You are on page 1of 73
DAFTAR ISI ‘Sambutan Ketua Seksi Skizofrenia PDSKII . ‘Sambutan Ketua PP PDSKII Pengantar Daftar Isi Bab I. Pendahuluan Bab II. Diagnosis dan Bab Ill Terapi Biologik..... Bab IV. Intervensi Psikososial Daftar Rujukan Lampiran A. Glosati.. Lampiran B. Instrumen-instrumen Pengukuran 6... Konsensus Penatalaksanaan Garigguan Skizolvenia BABI PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Kelompok gangguan psikotik menempati angka 1% dari populasi penduduk di Indonesia dan di dunia, bahkan untuk beberapa provinsi di Indonesia data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan angka yang jauh lebih besar. (Badan Litbangkes Depkes RI, 2008) Di Jakarta misainya, untuk populasi penduduk usia >15 tahun, 2,03% di antaranya menunjukkan gejala positif untuk gangguan psikotik, sehingga kita akan lebih memahami bahwa angka yang sesungguhnya untuk gangguan psikotik sebenarnya lebih tinggi. Dari kelompok gangguan tersebut, gangguan Skizofrenia merupakan kelompok gangguan terbanyak yang ditemukan di masyarakat. Deteksi dini dan penegakan diagnosis skizofrenia terutama dengan gejala positif sebenarnya mudah untuk dilakukan. Namun sayang cakupan, kasus masih rendah belum mencapai 30% dari total kasus yang seharusnya ada. Kasus ‘yang ditemukan pun bila ditinjau dari kualitas manajemennya sangat bervariasi dan belum tentu benar-benar menjawab kebutuhan orang dengan gangguan skizofrenia. Gangguan skizofrenia merupakan penyakit kronis, kambuhan, dan menyebabkan penurunan fungsi yang semakin lama semakin berat terutama bila tidak mendapatkan manajemen yang adekuat. Dengan kata lain, gangguan skizofrenia jelas mengakibatkan disabilitas yang sering kali ireversibel dan menimbulkan beban yang berat baik bagi individu tersebut ‘maupun untuk keluarganya. Perkembangan imu dan teknologi yang semakin pesat membawa dampak positif bagi perkembangan strategi terapi yang ada dengan dimungkinkannya pilihan yang semakin bervariasi dan semakin baik dari waktu ke waktu. Pilihan ini tentunya harus diupayakan untuk semakin rasional dengan tetap menempatkan kepentingan pasien di posisi yang uutama. Untuk itu Klinisi perlu untuk tetap mengikuti perkembangan terkini riset ilmiah dan menggabungkan pengetahuan imiah ini dengan pengalaman Klinis dan situasi tiap individu pasien dan preferensinya. Hal ini yang disebut dengan praktik berbasis bukti (ilmiah). (Sackett D et al., 2000) Suatu Konsensus manajemen penyakit atau pedoman praktik klinis (clinical practice uideline) membahas rencana perawatan, menyediakan pedoman untuk praktik yang direkomendasikan dan. menggambarkan luaran yang mungkin terjadi. Pedoman ini ‘menyediakan tuntunan akan praktik terbaik, suatu kerangka kerja yang di dalamnya eputusan Klinik dibuat, dan digunakan sebagai tolok ukur untuk evaluasi praktik Klinik. (Turner T et al., 2008) | Konsensus Penatalaksanaan Gongguan Skizolrenia Berangkat dari situasi inilah, maka Seksi Skizofrenia PDSKJI sebagai bagian dari organisasi profesi psikiater, merasa penting untuk menyusun konsensus penatalaksanaan gangguan skizofrenia sebagai acuan untuk manajemen yang lebih berkualitas. PEDOMAN MANAJEMEN Pedoman manajemen Klinis adalah “kumpulan pernyataan yang secara sistematis dikembangkan untuk membantu klinisi dan pasien dalam membuat keputusan tentang Pengobatan apa yang tepat untuk kondisi tertentu” (Departemen Kesehatan UK, 1998). Pedoman Klinis tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan profesional dan pertimbangan klinis, Penggunaan pedoman dibatasi oleh berbagai faktor: ketersediaan bukti riset yang berkualitas, penggunaan metode dalam penyusunan pedoman tersebut, kemampuan hasil penelitian untuk digeneralisir, dan keunikan tiap individu pasien. Pedoman klinis dapat membantu dalam hal: menyediakan rekomendasi yang berbasis bukti serta terkini dalam hal menejemen kondisi dan gangguan oleh tenaga kesehatan; digunakan sebagai dasar untuk menetapkan standar untuk penilaian praktik profesional kesehatan; sebagai dasar pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan; membantu pengguna jasa pelayanaan kesehatan dan pelaku rawat dalam membuat keputusan berdasarkan informasi tentang pengobatan dan perawatan; memperbaiki Komunikasi antara profesional kesehatan, pengguna jasa layanan dan pelaku rawat; serta membantu dalam menentukan prioritas penelitian ke depan. TUJUAN 11, Menyusun konsensus manajemen terapi yang komprehensif dan mampu laksana pada gangguan skizofrenia di Indonesia 2. Menerbitkan konsensus sebagai panduan terapi bagi anggota profesi khususnya dan ara pemangku kepentingan lainnya AKTIVITAS Kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan untuk mempersiapkan konsensus tersebut terbagi dalam 5 fase kegiatan: Fase penilaian kebutuhan (need assessment): Pada fase ini, Tim Inti Penyusunan menyebarkan kuesioner penilaian kebutuhian kepada para psikiater yang bekerja di berbagai institusi (layanan, institusi pendidikan, pemerintahan). Penilaian Kebutuhan meliputi jenis gangguan yang paling sering dihadapi, jumlah kasus, pola manajemen yang selama ini dijalankan, hal-hal yang membantu maupun menghambat proses manajemen, Kebutuhan untuk mengatasi Konsensus Penatalaksanaan Gongqucn Skizolvenie ganisasi angguan stematis tentang 1998), nal dan sediaan ersebut, a. berbasis hambatan dan tantangan, rekomendasi untuk perbaikan pola manajemen. Data diolah dan dianalisis sebagai masukan bagi konsensus. Fase penelusuran literatur Pada fase ini Tim Inti melakukan studi terhadap berbagailiteratur dari dalam maupun lar negeri termasuk kebijakan seperti INA-DRG. Fase penulisan draft konsensus Tim Penilaian Kebutuhan bertemu dengan tim literatur untuk melakukan konsolidasi dan memulai penulisan draft konsensus, Hasil penulisan draft tersebut didistribusikan ke Tim Pengkaji (reviewer) untuk mendapatkan masukan yang lebih baik dan komprehensif sebagai draft final Fase pre-launching dan launching Draft final disosialisasikan pada perwakilan PDSK.!! cabang untuk dapat dipergunakan ‘secara luas melalui pertemuan pre-launchingsebelum pada akhirnya di fase launching, Tim Inti akan mempresentasikan hasil konsensus yang telah disusun pada PIOT 2011 di Bandung sekaligus pembagian buku Konsensus bagi peserta yang mengikuti simposium. Fase monitoring dan evaluasi Fase ini akan berlangsung selama 1 tahun pasca /aunching untuk mendapatkan input dari berbagai pemangku kepentingan yang dapat dipergunakan untuk penyempurnaan, selanjutnya. Konsensus Penatolaksanaan Gengguan Sklzolrenie URAIAN IM PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA Dees ean Dee ae Tene es LCS mec a Manajemen Farmakologi dan Intervensi Psikiatrik dan Penilaian eso Ena Stee yang Berkelanjutan Seer] terhadap timbulnya respon yang Teg IDS eee eo Farmakologi, \ntervensi Psikososial, Coase Bc eeu meee esi ea Oe Cau as oes h OTL Co ‘Sumber: Treating Schizophrenia: A Quick Reference Guide for Peychiarst, American Psychiatric Association, 2004. Gambar 1. Skema umum penatalaksanaan kasus skizofrenia. Konsensus Penatalaksanaan Gonoouan Skzolrenia BAB Il DIAGNOSIS DAN PENILAIAN ee) ee eee a Berens ey anererio UNcae es me mee ic Akses terhadap kemungkinan bunuh diri atau pembunuhan Se MBean Te) CT ieee aun eure es Komorbiditas dengan Gangguan Medik Saat ini dan Riwayat cor Cem eeu Me mes eae Ronee aCe eenennuies ne) SACL Cee MCE eae ge nena eC ee MI) one eeu tic Meco d Bite ueieenl Promoted Gambar 2. Bagan prosedur umum diagnosis kasus skizofrenia. Sumber Treating Schizophrenia: A Quick Reference Guide fr Psychiatrist, American Psychiatric Association, 2004 Konsensus Penatalaksanaan Gonoo\ian skizolrenia ALUR DIAGNOSIS GANGGUAN SKIZOFRENIA ee ee ee ange cs ds ar ng sear Tg a een sa ott > Patties oe + Pet aba ama > Perot ket repartee Denne +. Pent degenerate co xan ren es Cora +. Pano aa gegan metsboli eden + Pane kit esas en nt pnalginaan aloo ca sai ‘ot tin + Ranson + Hagen + tn trimer a dee ian yong Tk teria ele yrg seul dengan stl, —— grag read myer, use Pein ila ato dn ara Frere ak ump, ek es, psp ass lor ings cher ato tak stents, ose periaka erga pt eyeing dan manne reoninn gals erat tame, reps I, itis aso, psa Penis es tegen eat Menpunys ans, wom dn ge oto eg evo hig ik cane clongan sara sei alan aan emis a haa altel mash menpernaan la gala esa (nara scar ssi fk ety 2a ta ss plaka kerr, ssi melons, ta hen tks) Tendo sae wore 12 bn ea, eberap | sara mai ety a, ee l cepest meron | ee pete ee negra. rene stn era wk situ esate eps an lh a ping seit 2 mega (ongne Slane TT ai dar yarg ih data as Gambar 3. Skema langkah-langkah diagnosis skizofrenia berdasarkan PPDG) IIV/ICD-10 Konsensus Penatalaksanaan Genoguian Skizolrenio TERMINOLOGI Gangguan skizofrenia adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsirealita, disorgenisasi, dan kemiskinan psikomotor. RINCIAN GEJALA Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran, persepsi, emosi, mmotivasi, neurokognitif, serta aktivitas motorik. Gejala pada skizofrenia sering kali dikenal sebagai gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif meliputi waham, halusinasi, dan ‘gangguan pikiran formal, Gejala negatif merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada kebanyakan orang ada. Tampil dalam bentuk kemiskinan pembicaraan, penumpulan dan pendataran afek, anhedonia, penarikan diri secara sosial, kurangnya inisiatif atau motivasi, ddan berkurangnya atensi Berikut adalah gejala-gejala yang dapat diamati pada skizofrenia: a. Gangguan Pikiran: 2.1. Gangguan proses pikir Ceol gine yr mnunjunkan adayagereglan proses il nbn: Asosiasi longgar Inkoherensi Tangensial Stereotipik verbal Neologisme Terhambat (Blocking), Mutisme Asosiasi bunyi (clang association) Ekolalia Konkretisasi Alogia 2. Gangguan isi pikir Gejala-gejala yang termasuk dalam gangguan isi pikir pada skizofrenia adalah adanya waham. Semakin akut skizofrenia, semakin sering ditemui waham disorganisasi atau waham tidak sistematis seperti waham kejar, waham kebesaran, waham dikendalikan, waham nil waham cemburu, erotomania, waham somatic, waham rujukan, waham penyiaran pikiran, waham penyisipan pikiran. Pada kelompok dengan predominan gejala negatif akan tampak gejala-gejala seperti alogia, miskin ide, Konsensus Penatalaksanaan Ganoguan Skizolrenia Gangguan persepsi Gangguan persepsi ditandai dengan gejala: 1. Halusinasi 2. Ilusi dan depersonalisasi Gangguan Emosi ‘Ada tiga afek dasat yang sering: 1, Afek tumpul atau datar 2. Afek tak serasi 3. Afek labil 4, Kedangkalan respons emosi sampai anhedonia Gangguan penampilan dan perilaku umum Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas untuk skizofrenia. Beberapa bahkan dapat tampil dan berperilaku sama dengan kebanyakan orang. Gejala-gejala yang mungkin ditemui dalam kelompok gangguan peritaku di antaranya: 1, Penelantaran penampilan 2. Menarik diri secara sosial Gerakan tubuh yang aneh dan wajah yang menyeringai Perilaku ritual ‘Sangat ketolol-tololan Agresif| Perilaku seksual yang tidak pantas 3. Gejala katatonik (stupor atau gaduh gelisah) 9, Fleksibilitas serea 10. Katalepsi 11. Stereotipi dan mannerism 12. Negativisme 13. Automatisme komando 14. Echolatia 15. Ekhopraxia Gangguan motivasi Ativitas yang disadari sering kali menurun atau hilang pada orang dengan skizotrenia, Gejala-gejala gangguan motivasi di antaranya: 1. kehilangan kehendak 3. a 3. tidak berkegiatan Konsensus Penatalaksanaan Gonoguan Skizolrenic Gangg Defisit Skizoin de me = fut DIAGNOS Diagnosis-d ada alur di Gangguan neurokognitif Defisit neurokognitif atau intelektual merupakan gambaran inti dari gangguan Skizofrenia. Gejala-gejala yang menyertai: 1. defisit dalam atensi dan performa 2. menurunnya kerampuan untuk menyelesaikan masalah 3. _gangguan dalam memori Stermasuk spasial dan verbal), serta 4, fungsi eksekutif DIAGNOSIS BANDING Diagnosis-diagnosis yang juga memiliki gejala psikosis aktif di antaranya: (dapat dilihat pada alur diagnosis) eo bahkan 2. Gangguan kondisi medis umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus fala yang temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus eritematosus Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif Gangguan skizoafektit Gangguan afektif berat Gangguan waham Gangguan perkembangan pervasif Gangguan kepribadian skizotipal Gangguan kepribadian skizoid Gangguan kepribadian paranoid KRITERIA DIAGNOSIS SKIZOFRENIA MENURUT PPDGJ III (ICD-10 CHAPTER V) Persyaratan normal untuk diagnosis skizofrenia adalah: dari gejala-gejala di bawah ini hrarus ada paling sedikit satu gejala yang sangat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang jelas) dari salah satu kelompok (a) sampai 9d) atau paling, sedikit dua dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas pada sebagian besar waktu selama satu bulan atau lebih 2. Thought echo, thought insertion, atau thought withdrawal, dan thought broadcasting b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence) atau waham pasivitas (delusion of passivity) yang jelas merujuk pada gerakan tubuh atau gerakan extremitas, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensasi) khusus; delusional perception ‘Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka senditi, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh Konsensus Penatalaksanaan Gongguan Skizolvenia l Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “makhluk super” (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain) Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektf yang jelas, atau pun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus ‘menerus ‘Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme Perilaku katatonik seperti Keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea (waxy flexibility), negativisms, mutisme, dan stupor Gejala-gejala negative seperti bersikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yangtterhenti, ddan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunkan kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik, bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik; Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu Keseluruhan dari beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tidak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam iri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial. Apabila didapati Kondisi yang memenuhi krteria gejala di atas tetapi baru dialami kurang dari satu bulan, maka harus dibuat diagnosis Gangguan Psikotik Lir Skizofrenia Akut (F23.2). Apabila gejala-gejala berlanjut lebih dari satu bulan dapat dilakukan Klasifikasi ulang. Instrumen-instrumen yang dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian pada gangguan skizofrenia Menggunakan alat diagnosis ~ PPDGJ IIV/ICD-10 MINI-ICD-10 Calgary Depression Scale for Schizophrenia (CDSS) Personal and Social Performance Scale (PSP) Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS) Positive and Negative Syndrome Scale (PANS) Clinical Global impression (CGI) Konsensus Penatalaksanaan Gonoguen Skizolvenia wajar serta au politik, gendalikan ef) waham xandungan s menetap, lan terus berakibat ih tertentu isme, dan gterhenti, BAB Il TERAPI BIOLOGIK Terapi biologik skizofrenia mengalami kemajuan pesat terutama setelah ditemukan obat ~antipsikotika generasi Kedua (APG-1). Obat APG-I mempunyai kelebihan dan keterbasan. Orang dengan skizofrenia (ODS) lebih nyaman dengan APG-II karena kurangnya efek samping ekstrapiramidal, misalnya distonia, parkinsonisme, dan akatisia. Mantaatnya lebih terasa pada penggunaan jangka panjang karena jarangnya terjadi tardive diskinesia. Luaran (outcome) jangka panjangnya lebih baik sehingga ia dapat memfas eberhasilan terapi psikososial dan rehabilitasi. Di samping kelebihannya, APG-Il mempunyai keterbatasan yaitu risiko efek samping penambahan berat badan, diabetes dan gangguan kardiovaskuler. Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi dan stabil atau ‘umatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang membutuhkan penatalaksanan segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode pertama atau ketika terjadinya kekambuhan skizofrenia. Fokus terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. Fase ‘akut biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Setelah fase akut terkontrol, ODS memasuki fase stabilisasi. Risiko kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut. Fase ini berlangsung paling sedikit ‘enam bulan setelah pulitnyai gejala akut, Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini dalam keadaan remisi. Target terapi pada fase ini adalah untuk mencegah kekamibuhan dan memperbaiki derajat fungsi. (Marder SR and Kane JM, 2005) FASE AKUT SKIZOFRENIA Agitasi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada fase akut skizofrenia. Pada agitasi terlihat adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik, peningkatan respon terhadap stimulus internal atau eksternal, peningkatan aktivitas verbal atau motorik yang tidak bertujuan. Agitasi juga bermanifestasi sebagai iritabilitas, tidak Kooperatif, ledakan kemarahan, sikap atau ancaman secara verbal, destruktif, dan penyerangan fisik. Selain itu, sensitivitas sosialnya menurun dan impulsivitasnya meningkat. Misalnya, secara tiba-tiba ODS melempar makanan ke lantai.. Konsensus Penatalaksanaan Genoguan Skizolrenia Tindakan impulsivitas yang serius dapat berupa melukai orang lain atau bunuh dir Tindakan ini dapat disebabkan oleh adanya waham atau halusinasi yang berbentuk perintah yang menyuruh ODS melakukan tindakan tersebut. Adanya riwayat tindakan kekerasan sebelumnya atau perilaku yang berbahaya selama di rumah sakit, halusinasi dan waham dapat memprediksi tindakan kekerasan. Selama periode agitasi, ODS terlinat susah tidur, gejala-gejala berfluktuasi dengan cepat. Secara subjektif, ODS sangat menderita akibat gejala-geiala yang ada. Selain itu, agitasi merupakan gejala yang sangat menakutkan karena sering meningkat menjadi perilaku atau tindakan kekerasan (violence) dan destruktif. Tindakan kekerasan yaitu agresi fisik oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain. Yang sering menjadi korban kekerasan adalah keluarga, petuges medik atau ODS lainnya, Oleh karena itu, intervensi cepat sangat diperlukan untuk mencegah ODS melukai dirinya, keluarga atau orang lain. (Morh P et al., 2005) Pada fase akut skizofrenia, perilaku agresif juga sering terlihat. Agresif merupakan sikap melawan secara verbal atau kekerasan fisik yang ditujukan kepada benda atau ‘orang lain. Risiko terjadinya perilaku agresit meningkat bila ia berkomorbiditas dengan penyalahgunaan alkohol atau zat, kepribadian antisosial, tidak mempunyai pekerjaan, dan gangguan neurologi serta rivayat kekerasan sebelumnya. Ide-ide kejaran dan/atau halusinasi perintah dikaitkan dengan agresivitas. Mengidentifikasi faktor risiko terkait perilaku agresif dan menilai perilaku yang membahayakan adalah hal yang penting pada fase akut. (Moran P et al., 2003) ‘Agitasi’akut dapat dipresipitasi oleh berbagai faktor, baik psikiatrik maupun nonpsikiatrik. Misalnya, agitasi dapat disebabkan oleh kondisi medik umum atau gangguan sistem sarat pusat (SSP). Hal ini hendaklah menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan terapi Untuk menentukan adanya gangguan organik, derajat kesadaran ODS merupakan tanda uutama. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari menggunakan terapi yang menyebabkan sedasi berlebihan karena dapat mengganggu penegakan diagnosis dan dapat pula mengganggu hubungan dokter-ODS. Terapi yang tepat dengan awitan kerja yang cepat sangat diperlukan untuk mencegah atau mengurangi penderitan ODS. (Yildiz A et al., 2003) Pemeriksaan Pada Fase Akut Pemeriksaan awal, misalnya riwayat lengkap tentang kondisi medik umum dan psikiatrik, pemeriksaan fisik dan status mental, hendaklah dilakukan pada setiap ODS. Kadang- kadang pemeriksaan yang adekuat tidak mungkin ditakukan pada saat pertemuan pertama dengan ODS karena ODS dalam keadaan gaduh gelisah. Dalam keadaan darurat atau adanya risiko keselamatan ODS, berbicara dengan keluarga sangat diperlukan meskipun ODS tidak mengizinkan. Selain itu, sering ODS tidak mampu memberikan riwayat penyakit, yang akurat pada pemeriksaan pertama sehingga diperlukan data dari keluarga. 14 Konsensus Penatalaksanaan Gonoovn Skizolrenia fi i € UH N TRey j HE Searagey bunuh diri uk perintah ) kekerasan dan waham ngan cepat. itu, agitasi i perilaku agresi fisik » kekerasan epat sangat orh Pet al., merupakan benda atau dengan pekerjaan, psikiatrik, |. Kadang- pertama atau imeskipun penyakit Beberapa faktor yang sering berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan adalah ketidakpatuhan terhadap obat antipsikotika, penyalahgunaan zat, dan adanya stresor kehidupan. Ketidakpatuhan terhadap obat antipsikotika dapat dinilai berdasarkan laporan ODS, anggota keluarga atau pengasuh lainnya, menghitung pil, dan pengulangan pengambilan resep. Untuk beberapa obat, penilaian kadar obat dalam darah mungkin diperlukan, Perhatian terhadap interaksi obat yang dapat memengaruhi kadar obat'dalam darah atau meningkatkan toksisitas sehingga menimbulkan ketidakpatuhan, harus pula dinitai. Apabila kekambuhan diduga akibat ketidakpatuhan, alasan ketidakpatuhan terhadap pengobatan tersebut harus dievaluasi dan dibuat perencanaan untuk mengatasinye. Kadang-kadang, meskipun ODS makan obat secara teratur, kekambuhan dapat pula terjadi arena perjalanan penyakit skizofrenia itu sendiri Penyalahgunaan zat harus dievaluasi secara rutin. Pemeriksaan urin, untuk melihat adanya penyalahgunaan zat, bila ada indikasi, perlu dilakukan. Perlu disadari bahwa beberapa obat yang disalahgunakan, misainya halusinogen tidak terditeksi di dalam urin. Bila ada dugaan ke arah tersebut, pemeriksaan darah dapat dilakukan. Putus alkohol atau beberapa zat lainnya dapat memperburuk gejala psikotik. Kemungkinan adanya putus zat dapat dievaluasi dengan mengetahui riwayat medik dan memantau tanda-tanda vital pada semua ODS yang mengalami eksaserbasi akut. Kondisi medik yang juga berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan dievaluasi dengan menanyakan riwayat medik, pemeriksaan-neurologi, fisik, radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan berat badan dan tanda-tanda vitaly-misalnya denyut nadi, tekanan’darah, frekuensi nafas, dan temperatur harus pula dilakukan. Pemeriksaan laboratorium lainnya, misainya pemeriksaan darah tepi, pengukuran elektrolit darah, glukosa, kolesterol, trigliserida, fungsi hati, ginjal dan tiroid, dapat pula dilakukan. Bila diduga ada indikasi, ppenentuan status HIV dan hepatitis C, harus pula dilaksanakan. Penilaian adanya komorbiditas dengan kondisi medik umum sangat perlu karena akan memengaruhi pemilihan obat untuk ODS. Pemeriksaan pencitraan otak, misalnya CT-scan dan MRI dapat pula memberikan informasi, terutama dalam menilai ODS dengan awitan baru atau dengan bentuk klinik yang, atipik. Meskipun demikian, CT-scan atau MRI tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis skizofrenia. Hasil CT-scan atau MRI yang menunjukkan pelebaran ventrikel dan berkurangnya volume korteks dapat meningkatkan kepercayaan terhadap diagnosis dan memberikan informasi yang relevan tentang rencana pengobatan dan prognosis. Karena neuropatologi, pada skizofrenia, kadang-kadang bentuknya sangat ringan, penggunaan MRI lebih bisa diandalkan daripada CT-scan. ‘Adanya potensi bunuh diri dan halusinasi berbentuk perintah, perlu diperhatikan Pertanyaan mengenai adanya ide-ide bunuh diri, mood depresi, tindakan bunuh diti sebelumnya dapat memprediksi tindakan bunuh diri selanjutnya pada penderita dengan Konsensus Penatalaksanaan Gongovan Skizolrenia 15, skizofrenia. Faktor risiko bunuh diri lainnya, misalnya ansietas, ketidakberdayaan, efek samping ekstrapiramidal (akatisia), gangguan penyalahgunaan zat, perlu pula diketahui. ‘Adanya penyalahgunaan zat dapat meningkatkan risiko Kekerasan. Evaluasi mengenai perilaku berbahaya atau agresif, kemungkinan ODS melukai orang lain, atau bentuk kekerasan lainnya, perlu dilakukan, Karena perilaku sebelumnya dapat memprediksi perilaku selanjutnya, anggota keluarga sering dapat membantu memberikan keterangan ‘adanya risiko ODS melukai dirinya atau orang lain. Gangguan kepribadian antisosial atau ciri-ciri kepribadian antisosial perlu pula dievaluesi Gangguan kepribadian ini dapat pula berkomorbiditas dengan skizofrenia. Adanya gangguan kepribadian ini dapat meningkatkan tindakan kekerasan. Selain itu, riwayat tindakan ekerasan, cacatan kriminal sebelumnya, dan isi wahamnya perlu segera diketahui pada penderita skizofrenia yang bekomorbiditas dengan gangguan kepribadian antisosial Episode Pertama Tanda-tanda atau gejala-geiala harus diobservasi dengan cermat dan didokumentasikan karena episode pertama sering memiliki gejala yang polimorfik. Gejala-gejala tersebut dapat menyerupai berbagai gangguan, misalnya gangguan skizofreniform, gangguan bipolar, atau gangguan skizoafektif. Sebagian besar ODS dengan episode pertama memberikan respon yang baik terhadap engobatan. Meskipun responnya baik, ODS lebih rentan terhadap efek samping. Oleh Karena itu, dosis obat yang dibutuhkan sering lebin rendah. Sekitar 70% ODS dengan episode pertama mencapai remisi gejala atau tanda-tanda psikotik dalam tiga hingga empat bulan pengobatan. Sebanyak 83% mencapai_remisi stabil setelah satu tahun. Mengurangi risiko kekambuhan pada ODS yang telah mengalami remisi sangat perlu. Mempertahankan kepatuhan terhiadap pengobatan merupakan salah ‘satu usaha mencegah kekambuhan, Oleh karena itu, edukasi dan dukungan perlu diberikan kepada ODS dan anggota keluarganya. (Lehman AF et al., 2004) Tatalaksana Psikiatrik Pada Fase Akut Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah ODS melukai dirinya atau orang lain, ‘mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala misalnya agitasi, agresi, dan gaduh cilakukan adalah berbicara kepada ODS dan memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya yyaitt keputusan untuk memulai pemberian obat oral. Pengikatan atau penempatan ODS. di ruang isolasi (seklusi) mungkin diperlukan dan hanya dilakukan bila ODS berbahaya ‘erhadap dirinya dan orang lain serta bila usaha restriksilainnya tidak berhasil. Pengikatan. ‘ersebut hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar dua-empat jam dan ini digunakan untuk memulai pengobatan. Setelah mendapat obat, biasanya ODS akan lebih tenang. 16 Konsensus Penatalaksanaan Gangauan Skizolrenie xdayaan, efek ula diketahui. asi mengenai atau_bentuk memprediksi an keterangan ia dievaluasi enya gangguan ayat tindakan iketahui pada tisosial. eumentasikan sjala tersebut ™, gangguan ik terhadap sping. Oleh tanda-tanda pa remisi Hh mengalami lupakan salah s\u diberikan orang lain, Ik dan gejala yang harus selanjutnya best ops berbahaya Pengikatan i digunakan jh tenang, h skizotrenia Pengisolasian dan pengikatan harus didokumentasikan dengan balk. Kondisi fisik dan kologiknya harus selalu dipantau atau ODS tidak boleh dibiarkan begitu saja. Semua bahan dan kemajuannya harus dicatat. Isolasi tidak boleh dilakukan terhadap ODS igan penyakit fisik berat. (Morh P et al., 2005) -faktor yang _menyebabkan terjadinya episode akut, perlu pula diketahui Mengembalikan ODS sesegera mungkin ke derajat fungsi paling tinggi sebelumnya, mengembangkan aliansi dengan ODS dan keluarga, memformulasikan rencana terapi angka pendek dan jangka panjang, menghubungkan ODS dengan institusi perawatan yang sesuai di komunitas, perlu pula dilakukan. Usaha membangun kerja sama, aliansi terapetik, dengan keluarga atau caregiver lainnya sering lebih berhasil ketika fase akut, baik pada episode pertama maupun episode eksaserbasi. Keadaan akut merupakan stresor yang bermakna sehingga keluarga sangat memerlukan dukungan dan biasanya pendekatan kepada keluarga lebih mudah dilakukan ketika ODS dalam keadaan akut. (Lehman AF et al., 2004) Meskipun terapi oral lebih baik, pilihtan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang bin cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan. Trankuilisasi cepat yaitu pengulangan pemberian obat dengan interval waktu yang pendek, biasanya Jam satu atau satu setengah jam, kadang-kadang diperlukan. Pemberian haloperidol ngan dosis yang sangat tinggi untuk mengatasi agitasi akut, dahulu, selalu direkomendasikan. Sekarang, pemberian dosis tinggi ini tidak dianjurkan lagi karena tidak ‘ada perbedaan efektivitas antara dosis tinggivdengan dosis terapetik. Ada dua penelitian yang membuktikannya yaitu penelitian yang membandingkan rerata dosis haloperidol 48 mg/hari dengan 12,5 mg/ hari dan penelitian lainnya yang membandingkan haloperidol dengan dosis eskalasi mulai dari 20 mg/hari atau 100mg/hari pada hari Kelima, dan 100 mg pada hari kesepuluh yang dibandingkan dengan dosis stabil haloperidol 10 mg. Kedua penelitian ini tidak memperlihatkan adanya perbedaan efektivitas antare penggunaan ddosis tinggi dengan dosis terapetik. Sebaliknya, efek samping lebih sering terlihat pada dosis besar. (Neoborsky R et al., 1981) Dj samping intervensi farmakologik, intervensi nonfarmakologik, perilaku, dan intervensi sosial, serta lingkungan harus pula dilakukan. Dengan kata lain, pendekatan pada fase akut hendaklah komprehensif. Semua objek berbahaya yang dapat digunakan ODS sebagai senjata, segera disingkirkan. Situasi yang dapat merangsang ODS, misalnya ‘radio atau televisi sebaiknya dimatikan. Jumlah petugas di ruang akut, hendaklah cukup. Petugas tidak boleh membelakangi ODS. ODS harus didekati dengan penuh percaya dir, berbicara dengan tenang tetapi tegas. ODS dibiarkan bertanya atau diajukan pertanyaan yang bersifat mendukungnya atau yang dapat memventilasikan masalahnya, Kontak mata sangat diperlukan tetapi kalau ODS merasa tidak nyaman, jangan dilakukan. Konsensus Penatolaksanaan Gangguan Skizofrenic 17 Tantangan terapetik utara bagi klinikus adalah memilin dan menentukan dosis baik farmakaologi maupun intervensi psikososial sesual dengan gejala, fungsi, dan perilaku sosial yang telat pada ODS. Fase kul tidsk selalu memerlukan hospitalisasi. Dengan berkembangnya pengobatan dan program berbasis Komuunitas, penatalaksanaan fase akut mungkin dapat dilakukan di lwar rumah sakit. Diagnosis yang akurat mempunyai implikasi yang amat penting dalam perencanaan terapi jangka pendek dan jangka panjang. Meskipun demikian, diagnosis adalah suatu proses bukan suatu peristiwa sesaat. Informasi baru tentang ODS mungkin saja didapat setelah diagnosis ditegakkan. Oleh karena itu, perubahan diagnosis dapat sajaterjadi dan rencana terapi dapat pula berubab. Bila sudah ditegakkan diagnosis, target terapi harus ditentukan supaya ukuran luaran, yang. mengukur efek terapi, dapat diperkirakan. Target terapi dan juga penilaiannya, misalnya gejala positif, negatif, depresi, ide atau perilaku bunuh diri, gangguan penyalahgunaan zat, Komorbiditas dengan penyakit medik, isolasi sosial, tidak mempunyai pekerjaan, keterlibatan dalam kriminal, harus pula dievaluasi Faktor-faktor psiksosial haus pula dievaluasi dan kemudian intervensinya diformulasikan dan diimplementasikan. Formulasikan pula pemilihan modalitas terapi, tipe terapi yang spesifik, dan tempat pemberian terapi, Mengevaluasi kembali diagnosis dan terapi secara periodik perlu pula dilakukan agar tercapai-prahtik Klinik yang baik. ‘Terapi fatmakologi harus segera diberikan Kepada ODS dengan agitasi/akut arena agitasi, baik pada episode pertama maupun eksaserbasiakut, berkaitan dengan penderitean, mengganggu kehidupan ODS, berisiko melukai diri sendiri, orang lain, dan merusak benda-benda. Walaupun demikian, terapi yang diberikan jangan sampai memengaruhi penilaian terhadap diagnosis Sebelum pemberian antipsikotika, pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan. Selain itu, jika memungkinkan, manfaat dan risiko obat yang akan diberikan didiskusikan terlebih dahulu dengan ODS dan keluarga. Meskipun ODS dalam keadaan agitasi atau dengan gangguan isi pikir, hubungan dokter-ODS harus dibangun sejak hari pertama, Aliansi terapetik dapat meningkat bila dokter dan ODS, secara bersama-sama, bisa mengidentifikasi target gejala, misainya ansietas, gangguan tidur, halusinasi dan waham yang secara subjektif merupakan penderitaan bagi ODS. Selain itu, ODS dapat pula ‘mengalami defisit atensi dan kognitif lainnya yang sering menjadi lebih berat ketika eksaserbasi akut. Gejala-gejala ini dapat dijadikan alasan untuk mendorong ODS bersedia ‘menerima pengobatan. Pemberian edukasi kepada ODS bahwa antipsikotika berfungsi mengatasi gejala-gejala yang dideritanya, dapat meningkatkan aliansi terapetik, pada keadaan akut. Jadi, klinikus dapat mencari gejala yang mengganggu ODS (dengan 18 Konsensus Penatalaksanaan Gon) miszinya ¢ pengobata risiasi ce terhadap ¢ perawatan mengatasi dengan ya Sebagiant Oleh karen Petugas cu menenang mengisolas josis baik periiaku Dengan fase akut ean terapi n rencana aran, yang misalnya jahgunaan pekerjaan, mulasikan erapi yang api secara na agitasi, aderitaan, merusak lnengaruhi [Selain itu, n terlebih u dengan ma, bisa jan waham japat pula at ketika |S bersedia berfungsi tik, pada (dengan menanyakan kepada ODS) dan kemudian:meyakinkan ODS bahwa obat dapat mengatasi gejala tersebut. Kiat ini dapat membantu untuk membangun aliansi terapetik Obat APG-1 Injeksi APG-I sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut pada skizofrenia. Kerja obat ni Sangat cepat. Walaupun demikian, ada beberapa efek samping yang sering dikaitkan dengan injeksi APG-I, misainya distonia akut dan pemanjangan QTc, Efek samping ini dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan..” (Addonizio G and Alexopoulos GS, 1988) Penggabungan antara APG-I dengan benzodiazepin juga sering digunakan. Penggunaannya uuga terbatas Karena seringnya terjadi efek samping. Misalnya, benzodiazepin dapat menyebabkan depresi pernafasan, sedasi berlebihan, atau dapat menginduks| perilaku sisinhibisi yang dapat memperburuk keadaan. Selanjutnya, APG-I, misalnya haloperidol, dapat pula menyebabkan gejala ekstrapiramidal (EPS), abnormalitas elektrokardiogram EKG), sedasi berlebihan atau sindrom neuroleptik malignansi (SNM). Efek samping ini dapat menimbulkan penderitaan bagi ODS dan memberikan dampak buruk terhadap xepatuhan dan penerimaan terhadap terapi jangka panjang. (Marder SR and Kane JM 2005) Obat APG-II Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam mengendalikan agitasi pada fase akut skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas dan keamanannya lebih baik bila dibandingkan ngan APG-|. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka pendek APG-II misalnya olanzapin, aripiprazol, dan ziprasidon efektif mengontrol agitasi pada fase akut skizofrenia. (Breier A et al., 2002; Brook S et al., 2005; Andrezina R et al., 2006) ‘Szat ini, tersedia beberapa injeksi APG-II dengan efek sampingakut minimal. Meminimalkan lefek samping akut, misalnya distonia akut, dapat meningkatkan penerimaan ODS terhadap pengobatan dan keinginan ODS melanjutkan terapi antipsikotika. {nisiasi cepat pada terapi emergensi diperlukan bila ODS memperlihatkan perilaku agresit terhadap dirinya, orang lain atau objek. Ketika ODS di dalam ruangan gawat darurat, unit perawatan, atau fasiltas terapi akut linnya, protokol standar operasional baku untuk mengatasi keadaan akut yang tersedia harus diikuti agar terapi yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan. ‘Sebagian besar ODS dalam fase akut, biasanya memperlihatkan ketakutan dan kebingungan. Oleh karena itu, keterlibatan beberapa petugas pada intervensi pertama sanget diperlukan. Petugas rumah sakit harus berbicara kepada ODS dan berusaha menenangkannya, Usaha ‘menenangkan ODS harus dilakukan terlebih dahulu. Apabila gagal menenangkan ODS, smengisolasi atau mengikat ODS dapat dilakukan, Pengikatan ODS hanya dilakukan oleh Konsensus Penatalaksanaan ©2991" Si nla 19 tim yang sudah terlatin. Tindakan pengikatansODS bertujuan untuk mengurangi risiko ODS melukai dirinya atau petugas lainnya, Oleh karena itu, pengikatan jangan sampai melukai ODS. Pemilihan obat sering ditentukan oleh pengalaman ODS dengan antipsikotika sebelumnya, misainya respon terhadap gejala, pengalaman efek samping, dan cara (route) pemberian obat. Dalam pemilihian obat, Klinikus dapat mempertimbangkan respon ODS terahadap bat sebelumnya -termasuk respon ODS yang sitatnya subjektif, misainya disforik- dan efek semping obat; Adanya Komorbiditas dengan kondisi medik umum, dan potensi interaksi dengan obat lain harus pula diperhatikan. ‘Sebagian besar ODS memilih penggunaan obet secara ora. Jika ODS bersedia menggunakan ‘bat oral, bentuk sediaan yang cepat larut (olanzapin dan risperdon), dapat digunakan untuk mendapatkan efek yang lebih cepat dan mengurangi ketidakpatuhan. Selain itu, formula dalam bentuk isalnya risperidon dalam bentuk cair juga bermanfaat untuk rmengatasi agitasi akut. Apabila ODS tidak bersedia menggunakan obat oral, pemberian ‘bat injeksi dapat dilakukan meskipun ODS menolak. Jadi, tawaran penggunaan obat oral merupakan usaha pertama yang dilakukan untuk mengatasi keadaan agitasi. Injeksi antipsikotika sangat membantu untuk mengurangi agitasi. Formula injeksi jangka pendek APG-Il, misainya olanzapin, ziprasidon, dan aripiprazol dengan atau tanpa benzodiazepin, misalnya lorazepam, dapat digunakan untuk mengatasi agitasi. Dosis yang direkomendasikan harus efektif dan tidak menyebabkan efek samping yang secara subjektif ‘Sulit, ditoleransi ofeh ODS, Pengalaman-yangitidak menyenangkan dapat memengaruhi kepatuhan tertiadap terapi jangka panjang, Titrasi dosis hafSdilakukan dengan cepat, hinge mencapai target dosis)terapetik. Walaupun demikian, kemampuan toleransi ODS terhadap obat yang diberikan, harus pula dipertimbangkan. Apabila ada efek samping yang tidak nyaman, pemantauan status Klinik ODS selama 2-4 mingggu perlu dilakukan untuk mengevaluasi respon ODS tertiadap pengobatan. Pada ODS yang responnya lambat, klinikus harus lebih bersabar dalam ‘meningkatkan dosis, Dengan kata lain, peningkatan dosis yang cepat harus dihindari. Bila tidak ada perbaikan, perlu dilakukan evaluasi kemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap pengobatan, cepatnya metabolisme, atau buruknya absorbsi obat. bat tambahan sering pula diberikan untuk mengatasi Komorbidites pada fase akut. Misalnya, benzodiazepin sering digunakan untuk mengatasi katatonia, ansietas, dan agitasi hhingga efek terapetik antipsikotika tercapai. Antidepresan dapat pula dipertimbangkan tuntuk mengobati komorbiditas dengan depresi mayor atau dengan gangguan obsesif- kompulsif. Walaupun demikian, kewaspadaan terjadinya eksaserbasi psikotik akibat ‘pemberian antidepresan perlu pula ditingkatkan. Stabilisator mood dan beta-bloker dapat pula dipertimbangkan untuk mengurangi beratnya rekuten hostilitas dan agresi. Terjadinya interaksi obat perlu diperhatikan terutama yang terkait dengan ensim sitokrom P450. 20 Konsensus Penatolaksanaan Ganoguan Skizofrenia engurang) risiko jangan sampai ka sebelumnya, ute) pemberian ODS terahadap isforik- dan efek otensi interaksi imenggunakan digunakan, n. Selain itu, anfaat untuk , pemberian izan obat oral injeksi jangka n atau tanpa asi. Dosis yang jecara subjektif memengaruhi terapetik kan, harus intavan status ODS terhadap bar dalam fs dihindari ‘idakpatuhan fase ekut , dan agitasi fimbangkan in obsesif- tik akibat loker dapat . Terjadinya 450, lan Skizofrenie lek samping akut, misalnya hipotensi ortestatik, pusing, gelela ekstrpiramidal (misainya, fe2ksi distonia akut dan akatisia), insomnia, sedasi, harus pula didiskusikan dengan ‘ODS. Sebaliknya, efek samping jangka panjang belum perlu dibahas hingga episode akut ‘ratasi. Menjelaskan kemungkinan efek samping akut dapat: meningkatkan kemampuan ‘ODS untuk mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan efek samping tersebut dan hal ‘>i dapat mempertahankan aliansi terapetik. Olanzapin Injeksi Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat injeksi jangka pendek ‘slanzapin 10 mg dalam mengatasi agitasi pada skizofrenia dalam keadaan akut. Sebagai sembandingnya yaitu haloperidol 7,5 mg dan plasebo. Untuk menilai agitasi digunakan ‘estrumen the Excited Component of the Positive and Negative Syndrome Scale atau PANSS-EC yang terdiri dari lima butir yaitu ketegangan, ketidakkooperatifan, hostilitas, uruknya pengendalian impuls, dan gaduh gelisah. Kisaran nilai pada masing-masing butir PANSS-EC adalah antara 1-7. Skor 1 = absen; 2 = minimal, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat sedang; 6 = berat; 7 = berat sekali. Penilaian dengan PANSS-EC dilakukan pada 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 menit setelah ‘njeksi pertama. Luaran dinilai setelah dua jam. Efek samping dinilai dengan instrumen Barnes Akathisia Scale (BAS) dan Simpson Angus Scale (SAS) yang terdiri dari 10 butir yang nilainya berkisar antara 0-4 (0 = absen, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat; 4 = erat sekali). Selain itu, instrumen the Agitated Behavior Scale (ABS) dan the Agitation Calmness Evaluation Scale (ACES). yang terdiri dari sembilan butir skala (misalnya, 1 = agitasi jelas, 4 = perilaku normal, tidak dapat dibangunkan), juga digunakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa olanzapin efektif untuk mengurangi agitasi akut, pada subjek dan awitan kerjanya, secara bermakna, lebih cepat bila dibandingkan dengan plasebo. Perbedaannya dengan plasebo terlihat pada 15, 30, dan 45 menit setelah injeksi pertama. Rerata skor ABS dan ACES, setelah injeksi pertama hingga dua jam, juga ‘mengalami perbaikan yang bermakna. Perbedaan ini juga terlihat hingga 24 jam setelah injeksi pertama, Dalam 24 jam setelah injeksi pertama, subjek yang mendapat tambahan injeksi benzodiazepin lebih banyak pada kelompok yang mendapat plasebo bila dibandingkan | dengan kelompok yang mendapat olanzapin atau haloperidol. Subjek yang mendapat obat | ‘tambahan antikolinergik lebih banyak pada kelompok yang mendapat haloperidol bila dibandingkan dengan olanzapin atau plasebo. Jadi, uji klinis ini menyimpulkan bahwa olanzapin tidak inferior bila dibandingkan dengan haloperidol. Tidak ditemukan adanya distonia akut pada kelompok subjek yang mendapatkan olanzapin. Bila dibandingkan dengan plasebo, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada QTc interval. Dengan demikian, ODS yang memerlukan pengurangan agitasi dengan cepat dan yang menolak penggunaan terapi oral, injeksi olanzapin dapat diberikan karena risiko terjadinya distonia ‘akut dan pemanjangan QTc sangat rendah. Konsensus Penatolaksanaan Gangguan Skizolienie 21 Pengurangan derajat agitasi, dengan injekasi-olanzapin 10 mg atau haloperidol 7,5 mg yang terlihat dalam 24 jam setelah injeksi pertama tersebut, tetap bertahan selama empat hari dengan pemberian oral olanzapin 5-20 mg atau haloperidol 5-15 mgshari. Distonia akut dan akatisia terjadislebih sering pada kelompok haloperidol bila dibandingkan dengankelompok olanzapin sehingga kelompok yang mendapat haloperidol memerlukan lebih banyak antikolinergik. Begitu pula halnya dengan dua jam setelah injeksi, bila dibandingkan dengan plasebo, olanzapin injeksi (10 mg/injeksi) lebih superior. Bila dibandingkan dengan haloperidol (7,5 mg/injeksi), olanzapin tidak inferior. Dosis olanzapin yang diguriakan adalah 5, 7,5 dan 10 mg. (Breier A et al., 2002) Aripiprazol Injeksi ‘Terapi aripiprazol oral memperlihatkan efikasi dalam mengatasi fase akut atau eksaserbasi akut skizofrenia, la juga efektif untuk terepi rumatan jangka panjang. Profil tolerabilitas, ddan keamanannya baik dan hal ini terlihat dari rendahnya efek samping ekstrapiramid: sedasi serta tidak adanya peningkatan berat badan, Kadar prolaktin, dan pemanjangan QTc pada EKG. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap ODS atau skizoafektif yang dalam keadaan agitasi akut, berusia paling sedikit 18 tahun, lelaki dan perempuan, dan memiliki skor Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) Excited Component (PEC) > 15 dan < 32, serta paling sedikit dua dari lima butir PEC mempunyai skor > 4 menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi efektif dan sebanding dengan haloperidol dan ditoleransi baik oleh subjek dengan agitasi akut, ‘Subjek yang dimasukkan ke dalam penelitian ini adalah subjek dengan diagnosis, skizofrenia atau skizoafektif, sesuai definisi DSM-IV'dan kemudian dikonfirmasi dengan Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI), dalam keadaan agitasi akut tetapi masih dapat dinilai dengan skala psikiatrik yang digunakan, dapat mengikuti protokol penelitian, bersedia menghentikan semua psikotropik yang digunakan, dan mampu meberikan pernyataan kesediaan berpartisipasi dalam penelitian Evaluasi baseline dilakukan satu jam sebelum injeksi pertama. Subjek dibolehkan menerima tiga kali injeksi dalam 24 jam, Injeksi kedua, bila diperlukan, diberikan, paling sedikit, dua jam setelah injekasi pertama. Injeksi ketiga, paling sedikit dua jam setelah injekasi kedua atau empat jam setelah injeksi pertama. Injeksi terakhir diberikan tidak boleh lebih dari dua puluh jam setelah injeksi pertama. Pada kelompok plasebo, bila dipertukan injeksi ketiga, obat yang diberikan adalah aripiprazol 9,75 me/injeksi Dosis aripiprazol adalah 9,75 me/injeksi dan dosis maksimumnya yaitu 29,25 mg/hari. Dosis haloperidol adalah 6,5 mglinjeksi dan dosis maksimumnya adalah 19,5 mg/hari. Ukuran luaran efikasi adalah perbedaan antara rerata skor PEC pada baseline dengan skor PEC dua jam setelah injeksi pertama, Butir PEC terdiri dari hostilitas, ketidakkooperatifan, 22 Konsensus operidol 7,5 mg sn selama empat ng/hari. Distonia a dibandingkan dol memerlukan ah injeksi, bila n superior. Bila Dosis olanzapin atau eksaserbasi ofil tolerabilitas ekstrapiramidal mi pemanjangan dalam keadaan memiliki skor IC) > 15 dan < njukkan bahwa nsi baik oleh hean diagnosis imasi. dengan las! akut tetapi jkuti_protokol dan _mampu dibolehkan perikan, paling iz jam setelah iberikan tidak plasebo, bila lieksi 25 mgfnari 9.5 mg/hari dengan skor peratifan, gaduh gelisah, buruknya pengendalian impuls, dan ketegangan. Ukuran luaran sekunder dipakai Clinical Global Impression-Improvement (CGI-I) scale dan Clinical Global (mpression-Severity of Illness (CGI-S) scale. Selain itu, ACES dan Corrigan Agitated Behavior Scale (CABS) juga digunakan. Untuk menilai beratnya gejala yang berkaitan dengan skizofrenia digunakan PANS. Salama penelitian, penilaian efikasi dilakukan pada baseline dan pada waktu-waktu berikut yaitu 30 menit, 45 menit, satu, satu setengah, dua, empat, enam, dua belas dan dua puluh empat jam setelah injeksi pertama. Penilaian efikasi dilakukan segera sebelum njeksi ulang atau sebelum pemberian terapi lorazepam. Evaluasi injeksi ulang dilakukan pada satu dan dua jam setelah injeksi. Penilaian PANSS dilakuken pada baseline, dua dan 24 jam Keamanan, misalnya EPS dinilai dengan SAS dan BARS dinilai pada 2, 4, 6, 12, dan 24 Jam setelah injeksi pertama. Obat lain yang boleh diberikan hanya lorazepam dengan dosis, Tatsimum 4 mjhar. Obat dinyatakan berespons bila skor PEC, dibendingkan dengan baseline, turun sebanyak > 40%, dua jam setelah injeksi pertama: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi efektif mengontrol agitasi ‘akut pada ODS dengan skizofrenia atau skizoafektif. Superiornya aripiprazol_injeksi, bila dibandingkan dengan plasebo, terlihat dari perbaikan yang bermakna pada gejala agitasi yang dinilai dengan PEC, dua jam setelah injeksi, Hasil akhir PEC menunjukkan bahwa aripiprazol injkesi noninferior bila dibandingkan dengan haloperidol injeksi. Hasil eseluruhan ukuran efikasi sekunder menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi lebih superior bila dibandingkan dengan plasebo dan noninferior bila dibandingkan dengan haloperidol njeksi Bila dibandingkan dengan plasebo, perbaikan gejala agitasi dengan aripiprazol dicapai alam waktu satu jam setelah injeksi pertama, sedangkan dengan haloperidol injeksi dicapai dalam waktu 45 menit. Pencapaian perbaikan dengan haloperidol lebih cepat bila dibandingkan dengan aripirazol tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna, Aripiprazol ditoleransi dengan baik. Insiden EPS lebih rendah pada kelompok aripiprazol injeksi (1,7%) bila dibandingkan dengan kelompok plasebo injeksi (2,3%) atau dengan kelompok haloperidol injeksi (12,69). Selama pengobatan, skor SAS membaik pada kelompok aripiprazol injeksi dan sebaliknya pada kelompok haloperidol injeksi yaitu terjadi perburukan. Tingginya kecenderungan EPS dengan haloperidol injeksi membatasi cefektivitasnya secara keseluruhan dalam mengatasi agitasi akut. ‘Akatisia dan distonia sering terlihat pada pemberian haloperidol injeksi. Gejala_ ini menyebabkan penderitaan pada ODS dan keluarganya dan dapat memengaruhi sikap dan kepatuhan terhadap pengobatan antipsikotika selanjutnya. (Andrezina R et al., 2006) Konsensus Penatalaksanaan 19guoN Skizofrenia 23 Sebuah penelitian lainnya melaporkan bahwa’terlihat perbaikan skor PEC dengan aripiprazol, dosis 5,25, dan 9,75, serta 15 mg/injeksi (penambahan cairan 07, 1,3, dan 2 dari 7,5 ml) dan haloperidol 7,5 mg dibandingkan dengan plasebo, setelah dua jam injeksi. Bila dibandingkan dengan plasebo, awitan Kerja aripiprazol lebih cepat dan perbaikan skor PEC yang bermakna terlihat pada 45 menit dan satu jam setelah aripirazol injeksi (9,75 mg dan 1 mg) dan terlihat pula penurunan yang bermakna pada skor ACES dengan pencapaian skor 4 (fungsi normal) dua jam setelah injeksi. Beberapa subjek pada kelompok aripiprazol injeksi mempunyai skor ACES bernilai 8 (tidur dalam) dan 9 (tidak dapat dibangunkan). Subjek dengan skor bernilai 4 terlihat lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi mempunyai efek menenangkan (calming effect) atau kecenderungan sedasi berlebihannya rendah. Dengan kata lain, aripiprazol injeksi memiliki insiden efek samping terkait sedasi cukup rendah. Sedasi yang berlebihan dapat Pula memengaruhi efektivitas terapi agitasi karena ia dapat memengaruhi kelancaran wawancara, evaluasi, dan pencapaian aliansi terapetik yang efektif dengan ODS. (Frank AF, Gunderson JG, 1990) Tabel 1 di bawah ini memperlinatkan antipsikotika yang sering digunakan, ‘Tabel 1. Obat Antipsikotik yang Sering Digunakan, Er Cees Prine hennih ‘Antipsikatik Generasi | Fenotiazin Klorpromazin 300-1000, 520, Perfenazin 16-64 Thioridazin 300-800 it 15-50 ‘Butirofenon Haloperidol 520 Lainnya. Loksapin 30-100 “Antipsikotik Generasi 11 ‘Aripiprazol 10-30 Klozepin 150-600) Olanzapin 10-30 Quetiapin "300-800 Risperidon 28 ‘Sumber; reston JD et al, 2010 dan Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric Association 2004, 24 Konsensus Penatalaksanaan Gonggucn Skizolrenia PEC dengan an 07, 1,3, setelah dua h cepat dan zh aripirazot 2 pada skor apa subjek slam) dan 9 yak. Hal ini ming effect) raz0l injeksi pihan dapat kelancaran 20S. (Frank yang sering ikotika sering ditentukan olen pengalaman ODS sebelumnya dengan etipsikotika misalnya, respons gejala terhadap. antipsikotika, profil efek samping ‘pvsalnya, disforia), kenyamanan ODS terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya, ‘Dest antipsikotika generasi kedua harus dipertimbangkan sebagai obat lini pertaria untuk *%=5e akut skizofrenia terutama karena rendahnya efek samping ekstrapiramidal dan tardive ‘Sskinesia (82-85). Untuk ODS yang sebelumnya sudah berhasil diobati dengan APG-| -2t2u ODS lebih memilih APG-I dan secara kiinis obat tersebut memang bermanfaat, maka sntuk ODS tersebut obat APG-I dapat dijadikan pilihan pertama, ecuali klozapin yang efektit untuk ODS yang sudah resisten dengan terapi, untuk ‘wengobat gejala positif skizofrenia, semua antipsikotika, secara umum efikasinya sama. untuk mengobati psikopatologi global, gejala kognitif, negatif dan mood, APG-II lebih baik 20% perbaikan pada skala psikopatologi global) dan perbaikan gejala posit skizofrenia. Bukti perbaikan gejala negatif dengan quetiapin tidak begitu jelas karena perbaikan yang signifikan dengan quetiapin bila dibandingkan dengan plasebo tidak konsisten Perbaikan gejala negatif lebih disebabkan oleh perbaikan gejala negatif sekunder (misainya, dikaitkan dengan parkinsonisme atau psikosis) bukan Karena efek langsung terhadap gejala negatif primer. Bila dibandingkan dengan haloperidol dan klorpromazin, quetiapin menunjukkan perbaikan yang hampir sama atau kadang-kadang lebih besar pada psikopatologi global, zejala positif dan negatif. Sebuah penelitian meta-analisis menunjukkan bahwa derajat perbaikan antara quetiapin dengan APG-| adalah sama. Perbaikan psikpatologi global, gejala positif dan negatif dengan quetiapin (rerata dosi 254mg/hari, N= 553) adalah sama dengan risperidon (rerata dosis = 4,4mg/hari, N=175). Untuk gejala depresif, quetiapin lebih baik daripada risperidon. ‘Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap ODS yang resisten terhadap pengobatan ‘menunjukkan bahwa proporsi ODS yang memenuhi kriteria respon, lebih besar pada subjek yang mendapat quetiapin (600 mg/hari, N=143) bila dibandingkan dengan yang mendapat haloperidol 20mg/hari (52%:38%). Meskipun demikian, rerata perubahan pada psikopatologi global, gejala positif, gejala negatif adalah sama pada kedua kelompok. Bila dibandingkan dengan obat APG-|, quetiapin lebih bermanfaat untuk neurokognitif. Perbaikan yang bermakna pada kognisi global, pemikiran dan kelancaran verbal, dan daya ingat segera lebih baik pada kelompok subjek yang mendapat quetiapin 300-600me/ hari (N=13) bila dibandingkan dengan haloperidol 10-2Omg/hari (N=12). Perbaikan yang. bermakna pada kognisi global, fungsi eksekutif, atensi dan memori verbal lebih besar pada subjek yang diobati dengan quetiapin 300-600 mgjhari bila dibandingkan dengan kelompok subjek yang diobati dengan haloperidol 12 mg/hari Konsensus Penatalaksanaan Gonguan Skivolrenia 39 Dosis Quetiapin merupakan antipsikotika yang efektif untuk fase akut skizofrenia dengan kisaran dosis antara 300-800 mgfhari. Ada bukti yang menunjukkan bahwa efektivitasnya lebih, ‘tinggi pada dosis yang lebih besar (> 800 mg/hari).. Quetiapin tersedia dalam bentuk tablet IR (immediate release) dengan dosis 25 mg, 100 ‘mg, 200 mg, dan 300 mg, dengan pemberian dua kali per hari. Selain itu, juga tersedia quetiapin-XR dengan dosis 300 mg dan 400 mg, satu kali per hari EFEK SAMPING Secara umum, quetiapin ditoleransi dengan baik. Risiko efek samping ekstrapiramidal, ~abnormalitas konduksi kardiak, efek antikolinergik, peningkatan prolaktin dan efek samping sseksual sangat rendah sedangkan risiko sedasi cukup tinggi. Risiko hipotensi ortostatik, takikardi, peningkatan berat badan dan abnormalitas metabolik derajatnya sedang, Tidak ‘ada efek samping ekstrapiramidal meskipun dosisnya > 800 mg/hari. Risiko terjadinya akatisia sangat rendah. (Lehman AF et al., 2004; vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Peningkatan berat badan dengan quetiapin lebih kecil bila dibandingkan dengan APG-L Rerata penambahan berat badan berkisar antara 2-9 kg. Keadean ini dapat diatasi dengan melakukan psikoedukasi, misalnya mengubah gaya hidup, diet dan latihan fisik. Semua ODS yang menggunakan antipsikotika, termasuk quetiapin, harus dipantau berat badannya, lingkaran pinggang, dan glukosa sebelum menerima obat dan secara teratur selama penggunaan. (Baptista T et al., 2002) Penelitian preklinik (pada binatang percobaan) menunjukkan adanya hubungan antara peningkatan risiko katarak dengan quetiapin. Oleh karena itu, FDA menyarankan untuk. ‘pemeriksaan optamolologi sebelum dan setiap enam bulan penggunaan quetiapin. Risiko k ditemukan pada manusia. Belum pernah ada laporan mengenai hubungan antare iko peningkatan katrarak dengan quetiapin, setelah obat ini dipasarkan. ‘Selama fase titrasi atau pada awal pengobatan, adanya sedasi, hipotensi ortostatik, dan takikardi harus dipantau. Quetiapin dapat diberikan dua kali sehari Karena waktu parulh eliminasinya enam jam, Pemberian dosis besar, sebaiknya diberikan pada malam har, terutama pada awal pengobatan, karena dapat memperbaiki toleransi terhadap sedasi. Quetiapin terutama dimetabolisme oleh CYP3A4, Oleh Karena itu, ia dapat berinteraksi dengan zat lain yang menghambat atau menginduksi enzim tersebut. Klirens ora) ‘quetiapin meningkat lima kali lipat bila ia diberikan bersamaan dengan fenitoin (sanget kuat menginduksi CYP3A4) dan 68% bila diberikan bersama tioridazin. Bila diberikan bersamiaan dengan ketokonazol,klirens menurun sebanyak 84% (sangat kuat menginhibisi CYP3A4). (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) 40 Konsensus Penatolaksanaan Ganggucn Skizolrenia| 25mg, 100 juga tersedia rapiramidal, efek samping ortostatik, sedang. Tidak ko terjadinya SR, 2005b) sagan APG-. [dapat diatasi latinan fisik jipantau berat secara teratur iapin, Risiko sngan antara fatik, dan waktu paruh ‘malam hari, p sedasi. berinteraksi Klirens oral itoin (sangat ila diberikan menginhibisi Tidak terjadi interaksi obat yang bermakna secara Klinis, antara quetiapin dengan sodium divalproat, bila obat tersebut diberikan secara bersamaan. Begitu pula halnya penggunaan secara bersamaan antara quetiapin dengan fluoksetin, imipramin, haloperidol, litium atau dengan risperidon, farmakokinetik quetiapin tidak terpengaruh secara bermakna. (Potkin SG et al., 20022; Potkin SG et al., 2002b) ‘Metabolisme quetiapin terganggu (minimal) pada ODS dengan gangguan ginjal dan cukup bermakna pada ODS dengan penyakit hepar. Rokok tidak memengaruhi metabolisme quetiapin. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Aripiprazol Aripiprazol_merupakan antipsikotika baru yang memiliki profil farmakologi unik. la ‘merupakan antipsikotika dihidroquinolinon. Secara kimia, ia tidak berhubungan dengan fenotiazin, butirofenon,tinobenzodiazepin, dan antipsikatka lainnya, Secara fermakologik, mekanisme kerjanya baru. e ARIPIPRAZOL SEBAGAI STABILISATOR SISTEM DOPAMIN-SEROTONIN Agonis parsial D, berkompetisi pada reseptor D2 untuk dopamin endogen sehingga teriadi pengurangan aktivitas fungsi dopamin. Karena skizofrenia dengan gejala posiif dikaitkan dengan peningkatan aktivitas dopamin, pengurangan aktivitas tersebut dapat meredakan gejala. Keunikannya ini menyebabkan aripiprazol disebut juga dengan antipsikotika generasi ketiga atau stabilisator sistem serotonin-dopamin. Selain itu, ia juga dikaitkan dengan kurangnya dampak yang berhubungan dengan antagonis D, di mesokortek, higrostriatum, dan tuberoinfundibulum, Aripiprazol merupakan agonis parsial dopamin pertama yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai antipsikotika yang efektif untuk mengobati skizofrenia, PROFIL FARMAKOLOG! Aipiprazol merupakan agonis parsial kuat pada D., D,, dan 5-HT,, serta antagonis 5-HT,,. 1 vga mempunya ata yang ting! pada reseporD afnits Sedang pada D,, 5-H S-HT,, «,- adrenergik, histaminergik (H,), dan serotonin reuptake site (SERT), dan tidal terikat dengan reseptor muskarinik kolinergik. Metaboli aktifnya, dehidro-aripiprazo, ‘memperlihatkan afinitas yang sama dengan komponen induknya di reseptor D, dan tidak terlinat adanya perbedaan profil farmakologi yang bermakna secara Klinik. (Grunder G et al., 2022) Agonis parsial merujuk kepada Kemampuan untuk menghambat reseptor bila reseptor tersebut terstimulasi berlebinan dan mampu merangsang reseptor bila diperlukan peningkatan aktivitas reseptor tersebut. Tidak seperti APG-II lainnya, mengurangi gejala positif dengan menghambat reseptor O,, aripiprazol bekerja dengan menyetabilkan reseptor atau memodulasi tempat pengikatan. Apabila terjadi suplai dopamin yang Konsensus Penatolaksanaan Gangouian Skizolvenia 41 berlebihan (muncul gejala positif), aripiprazol akan mengikat reseptor dopamin tersebut dan kemudian meredakan stimulasinya. Akibatnya, terbentuk sinyal yang stabil yang hampir mendekati fungsi fisiologi normal sehingga terjadi pengurangan gejala psikatik. (Byars A et al., 2002) ‘Sebuah penelitian yang menggunakan positron emission tomography (PET) melaporkan bahwa setelah 14 hari pemberian aripiprazol, dosis 0,5-30 mg per hari, terlihat okupansi reseptor D, sekitar 40%-95%. Meskipun okupansi reseptor D, di striatal lebih dari 90%, akibat pengeunaan aripiprazol dosis tinggi, gejala ekstrapiramidal tidak ditemukan. Teori sebelumnya menyatakan bahwa EPS akan muncul, apabila okupansi D, reseptor lebih dari 70%-80%. Hal ini menunjukkan bahwa teori tersebut hanya berlaku untuk obat dengan antagonis sempurna, bukan untuk aripiprazol yang bersifat agonis parsial. (Yokoi F et al., 2002) Bila transmisi dopamin berkurang, aripiprazol mampu meningkatkan aktivitas transmisi tersebut melalui peningkatan aktivitas intrinsiknya. Mekanisme kerja yang unik ini dikaitkan dengan kemampuannya mengobati gejala negatif yang diduga disebabkan oleh hipodopaminergik. Aripiprazol juga bekerja sebagai agonis parsial pada reseptor serotonin 5-HT,, dan antagonis pada reseptor 5:HT,.. Agonis parsial pada reseptor 5-HT,, diketahui memberikan efek ~anksiolitik. Antagonis pada reseptor 5-HT., dapat memperbaiki gejala negatif. (Millan MJ, 2000) Aripiprazol memiliki afinitas sangat rendah terhadap histamin (H,) dan muskarinik (M,). Hambatannya pada reseptor a,-adrenergik dikaitkan dengan hipotensi ortostatik. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) FARMAKOKINETIK DAN DISPOSISI ‘Aripiprazol tersedia dalam bentuk tablet, cairan dan injeksi. Dosis awal yang direkomendasikan yaitu antara 10 - 15 mg dan diberikan sekali sehari. Kisaran dosis yaitu antara 10-30 mg/hari. Karena Kemungkinan ada rasa mual, insomnia, dan akatisia, dianjurkan untuk memberikan dosis awal lebih rendah. Beberapa klinikus mengatakan bahwa dosis awal 5 mg dapat meningkatkan tolerabilitas. Aripiprazol tidak terpengaruh oleh makanan. Setelah pemberian oral, aripiprazol iserap dengan baik dengan konsentrasi puncak plasma terjadi dalam waktu 3-5 jam. Bioavailabilitasnya adalah 87%. Di dalam plasma, aripiprazol dan metabolit utamanya, dehidro-aripiprazol, terikat dengan protein lebih dari 99%, terutama dengan albumin. Aripiprazol terdistribusi di luar sistem vaskuler. Waktu paruh eliminasi_aripiprazol dan metabolitnya adalah 47 jam dan 94 jam (untuk metabolit aktifnya yaitu dehidro- aripiprazol). Waktu pencapaian stabilnya obat dalam plasma (steady state) adalah setelah hari ke-14, Konsensus Penatalaksanaan Gengguan Sklzotrenia Aripiprazol 206 dan 3 Aripiprazol sitokrom P. Pada penes status fung dalam urin 1% dan 18 tetapi tia INTERAK Obst obat klirens ari menghamt quinidin, 1 meningkat farmakoki ‘enzim P45 Pada pen bermakna (warfarin), nin tersebut stabil yang la psikotik. melaporkan at okupans| 1 dari 90%, wkan. Teori lebih dari bat dengan koi F et al., s transmisi unik ini kan oleh antagonis prikan efek Millan MJ, pruskarinik: ortostatik, Aripiprazol dimetabolisme terutama di hepar. Ada dua enzim sitokrom hepar yaitu P450, 206 dan 3A4 yang mengkatalisasi dehidrogenasi aripiprazol menjadi dehidro-eripiprazol.. Aripiprazol tidak melakukan glukoronidasi Jangsung dan bukan substrat untuk enzim sitoktom P450: 1A1, 1A2, 246, 2B6, 2CB, 2C9, 2C19, dan 2E1. Pada penggunaan aripiprazol, penyesuaian dosis terkait dengan umur, jender, ras, merokok, status fungsi hepar dan ginjal ODS, tidak diperlukan. Sekitar 25%-55% dapat ditemukan dalam urin dan feses. Aripiprazol yang tidak diubah diekskresikan melalui urin sebanyak 1% dan 18% melalui feses. Aripiprazol sedikit berpengaruh terhadap enzim hepar lainnya tetapi tidak memengaruhi metabolisme obat lainnya. INTERAKSI OBAT Obat-obat yang menginduksi CYP3A4, misainya karbamazepin, dapat meningkatkan klitens aripiprazol sehingga menurunkan kadar plasmanya. Sebaliknya, obat-obat yang menghambat CYP3A4 (misalnya, ketokonazol) atau menghambat CYP2D6 (inisalnya, uinidin, fluoksetin, dan paroksetin) dapat menghambat eliminasi aripiprazol sehingga meningkatkan kadar plasma aripiprazol. Aripiprazol tidak menyebabkan_ interaksi farmakokinetik yang bermakna secara klinik dengan obat-obat yang dimetabolisme oleh enzim P450 lainnya, Pada penelitian in vivo, aripiprazol 10-30 mg juga tidak mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6 (dekstrometorfan), CYP2C9 (warfarin), dan CYP2C19 (omeprazol). Selain itu, aripiprazol juga tidak berpotensi untuk ‘memengaruhi obat-obat yang dimetabolisme oleh CYP1A2, (MeGavin JK and Goa KL, 2002) Obat-obat di bawah ini memerlukan penyesuaian dosis bila diberikan bersamaan dengan aripiprazo\; Famotidin Pemberian aripiprazol bersamaan dengan famotidin, antagonis H,, penghambat asam lambung poten, dapat menurunkan solubilitas aripiprazol, dan kemudian memperpanjang, waktu dan menurunkan jumlah absorbsi, Valproat Apabila valproat dan aripiprazol diberikan bersamaan, steady state C,,, dan AUC aripiprazol berkurang 25%. Walaupun demikian, ada penelitian lain yang memperlinatkan bahwa tidak ada pengaruh yang bermakna terhadap steady state aripiprazol, bila ia diberikan bersamaan dengan valproat. Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizolrenia Antihipertensi Kombinasi aripiprazol dengan obat-obat antihipertensi dapat menimbulkan hipotensi. Obat yang tidak memerlukan penyesuaian dosis aripiprazol adalah litium, dekstrometorfan, warfarin, danomeprazol. Pemberianlitium bersamaan dengan aripiprazol tidakmemengaru! konsentrasi_aripiprazol. Litium tidak dimetabolisme dan tidak terikat dengan protein, serta diekskresikan dalam bentuk utuh di urin, Oleh karena itu, pemberiannya bersamaan dengan aripiprazol tidak memengaruhi farmakokinetik aripiprazol atau metabolit aktifnya. (vanKammen DP, Marder SR, 20056) EFEK SAMPING Sebuah penelitian jangka pendek, plasebo-kontrol, melaporkan bahwa tidak ada perbedaan insidensi berhentinya dari pengobatan akibat Kejadian yang tidak diinginkan (adverse event) antara kelompok yang mendapat aripiprazol (796) dengan yang mendapat plasebo (9%). Sakit kepala, mengantuk, agitasi, dispepsia, ansietas, dan mual merupakan kejadian yang tidak diinginkan yang dilaporkan secara spontan oleh Kelompok yang mendapat aripiprazol. Efeksamping ekstrapiramidainyatidak berbeda secara bermakna dengan plasebo. (McQuade Ret al., 2002a) Akatisia dapat terjadi dan kadang-kadang dapat sangat mengganggu ODS sehingga sering mengakibatkan penghentian pengobatan. Insomnia dapat pula ditemui, Tidak ada peningkatan berat badan dan diabetes melitus pada penggunaan aripiprazol. Selain itu, peningkatan kadar prolaktin juga tidak dijumpai. Aripiprazol tidak menyebabkan erubahan interval QTc, Terjadinya kejang pernah dilaporkan, (vanKammen DP, Marder SR, 20056) Sebuah penelitian yang ditakukan selama 52 minggu, membandingkan aripiprazol dengan haloperidol, menunjukkan bahwa terdapat penambahan berat badan minimal pada kelompok yang mendapat aripiprazol yang Ketika awal terapi mempunyai body mass index (BMI) < 23, sedangkan ODS yang BMI-nya, pada awal terapi > 27, mengalami pengurangan berat badan. (McQuade R et al., 2002b) Penelitian lainnya, dilakukan selama 26 minggu, membandingkan aripiprazol dengan olanzapin, menunjukkan bahwa aripiprazol dikaitkan dengan penurunan berat badan, rata- rata 0,9 kg selama penelitian tersebut sedangkan olanzapin meningkatkan berat badan sebanyak 3.6 kg. Aripiprazol dapat menurunkan kadar rata-rata kolesterol secara signifikan sedangkan olanzapin, risperidon, dan haloperidol menimbulkan peningkatan kadar kolesterol. Berbeda dengan haloperidol dan risperidon, aripiprazol tidak menyebabkan ppeningkatan kadar prolaktin. Tidak ada laporan mengenai kejadian sindroma neuroleptik malignansi akibat aripiprazol. ODS yang sudah stabil dan kemudian obatnya diganti dengan aripiprazol_melaporkan terjadinya insomnia. Insomnia yang terjadi_biasanya bersifat sementara dan hilang dengan penambahan sedatif-hipnotik. (Saha A, 2001) 44 Konsensus Penatalaksanaan Gangquan Skizolrenia dalam per dengan Kejang te Oleh kare atau kond Seperti 2 ketrampil rmesin yan PADA LA Keamana gangguan menyebat yang sem terkait de gejala ne Tidak ad negatif 2 Sebuah § dengan f KONTRAINDIKASI Aipiprazo| dikontraindikasikan terhadap ODS-ODS yang diketahui hipersensitif terhadap bat aripiprazol. Karena aripiprazol bekerja sebagai antagonis reseptor a,-adrenergik, hipotensi ortostatik dapat terjadi. ODS-ODS dengan kelainan jantung tidak diikutsertakan dalam penelitian-penelitian aripiprazol. Oleh karena itu, penggunaan aripiprazol pada ODS dengan riwayat infarkjantung, jantung iskemik, gagal jantung, dan abnormalitas konduksi jantung, serta penyakit serebrovaskuler, atau kondisi yang berpotensi terjadinya hipotensi (hipovolum, dehidrasi, dan memakai antihipertensi) sebaiknya dihindari. Selain itu, tidak ada penelitian pada wanita hamil dan menyusui sehingga penggunaan aripiprazol pada ODS yang hamil dan menyusui tidak dianjurkan. Kejang terjadi pada 0,1% (1/926) ODS yang diobati dengan aripiprazol jangka pendek. Oleh Karena itu, aripiprazol sebaiknya tidak digunakan pada ODS dengan riwayat Kejang atau kondisi-kondisi yang menurunkan ambang kejang (misalnya, demensia Alzheimer). Seperti antipsikotika lainnya, aripiprazol_mempunyai potensi untuk memengaruhi ketrampilan motorik. Oleh Karena itu, mengendarai mobil dan mengoperasikan mesin- imesin yang berbahaya, sebaiknya berhati-hati. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) PADA LANJUT USIA Keamanan dan efikasi aripiprazol pada ODS psikotik usia lanjut dan demensia dengan gangguan perilaku belum pernah diteliti. Kehati-hatian perlu sekali dilakukan karena dapat menyebabkan terjadinya hipotensi ortostatik, Kesulitan menelan, mengantuk berlebihan, yang semuanya ini dapat mempredisposisi terjadinya kecelakaan atau aspirasi. EFIKASI ARIPIPRAZOL PADA SKIZOFRENIA Beberapa uji Klinis, membandingkan aripiprazol dengan plasebo dan dengan APG-I, memperiihatkan efektivitas aripiprazol pada fase akut skizofrenia. Perbaikan pada psikopatologi global, dalam respon klinis (> 20% perbaikan psikopatologi global), dan pada ejala postif lebih besar pada kelompok aripiprazol bila dibandingkan dengan plasebo. Perbaikan pada gejala negati tidak konsisten. Ada dugaan bahwa perbaikan gejala negatit ‘dengan aripiprazol lebih disebabkan oleh perbaikan gejala negatif sekunder (misalnya, terkait dengan perbaikan gejala parkinsonisme) tetapi bukan akibat efek langsung pada ejala negatif primer. Tidak ada perbedaan perbaikan psikopatologi global, respons Klinis, gejala posit dan negatif antara penggunaan haloperidol atau kiorpromazin dengan penggunaan aripiprazol. Sebuah penelitian lainnya menunjukkan bahwa aripirazol lebih efektf bila dibandingakn dengan haloperidol. Konsensus Penatalaksanaan Gongguan Skizotrenia Aripiprazol juga efektit dalam mengurangirisiko Kekambuhan. Sebuah uji Klinis, dilakukan selama 26 minggu, randomisasi, buta-ganda pada ODS dengan skizofrenia dalam fase sakut, memperlihatkan bahwa waktu terjadinya kekambuhan lebih panjang pada kelompok ODS yang diobati dengan aripiprazol (dosis 15 mg/hari) bila dibandingkan ‘dengan yang mendapat plasebo (5794:34%). Sebuah uji klinis lainnya, dilakukan selama 52 minggu, randomisasi, buta-ganda terhadap ODS dengan eksaserbasi akut skizofrenia menuipinjukkan bahwa angka respon dan waktu berhentinya dari penelitian adalah lebih gi pada kelompok yang mendapat aripiprazol 30 mg/hari ndingkan dengan yang mendapat haloperidol 10 mg/hari. Proporsi ODS yang menyelesaikan penelitian hhingga 52 minggu lebih besar pada kelompok yang mendapat aripiprazol (43%) bila dibandingkan dengan yang mendapatkan haloperidol (30%). (Saha A, 2001) Olanizapin Pada tahun 1990, suatu komponen, mirip dengan klozapin, yang disebutnya dengan olanzapin, dipatenkan. Olanzapin dapat mengobati skizofrenia. Pada tahun 1995, olanzapin, pertama kali, digunakan untuk mengobati penderita skizofrenia. Dosisnya berkisar antara 5-30 mg/hari. Gejala-gejala skizofrenia dapat membaik dan efek samping cekstrapiramidalnya juga rendah. Pada tahun 1997, berdasarkan hasil beberapa penelitian, FDA memberikan persetujuan penggunaan olanzapin secara luas di dunia. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) STRUKTUR OLANZAPIN Olanzapin, merupakan derivat tienobenzodiazepin dan secara’ kimia, ia terkait dengan klozapin, Suatu dibenzodiazepin. Rumus kimianya adalah 2-methyl -4- (4-methyl -1 iperaziny!) -1 OH-thieno [2,3-bi(1,5] benzodiazepine. Kemiripannya dengan klozapin, terlihat dari tingginya afinitas olanzapin terhadap beberapa reseptor neurotransmiter, misalnya dopamin (DA), D,, D,, D,, dan D,, serotonin 2 (5-HT,); muskarinik, histamin 1(H,), dan a, adrenergik. PROFIL FARMAKOLOGIK Penelitian in vitro dan penelitian preklinik menunjukkan bahwa olanzapin mempunyai khasiat antipsikotika yang signifikan dan efek samping EPS-nya rendah. Rendahnya efek ‘samping EPS disebabkan oleh ikatannya yang tidak selektit pada DA. Ikatan APG-I sangat ‘selektif terhadap reseptor yang termasuk kelompok D, (O,-lke). Reseptor yang termasuk ke dalam D.-like yaitu D,, D,, dan D,, sedangkan reseptor yang termasuk D,-like yaitu D, dan D,. Obat APG-1 memblok O,-like lebih besar bila dibandingkan dengan D,-like, Misainya, haloperidol memblok O,ike lebih besar bila dibandingkan dengan D,-like (25:1). Klozapin terikat pada semua subtipe dopamin secara parsial dengan rasio D, = sama dengan 0,7:1. Olanzapin, secara parsial, hanya selektifterhadap D,-like, dengan rasio D, terhadap D, yaitu 3:1. la terletak antara haloperidol dengan klozapin.. 46 Konsensus Penatolaksanaan Gangauan Skizolrenia Olanzapin colanzapin tegmentum EPS, sangat aktivitas net Selain deng dengan rese 2004) Dalam perce rmanjat) yan oleh stimula Katalepsi m olanzapin ya untuk meng atipik. Nilai menjadi pet Efek farmat reseptor 5+ Oleh karen sama halny dan tertiada Profil afinit , 1996) in 1995, Dosisnya samping enelitian, Kammen ais nya efek G-I sangat termasuk Hike yaitu D-like. Olanzapin memberikan efek antipsikotika dengan gejala EPS minimal adalah karena olanzapin bekerja lebih selektif pada traktus dopaminergik A10 (yang berjalan dari tegmentum ventral ke area mesolimbik). Efeknya pada AQ (nigrostriatal), yang memedias| EPS, sangat kecil. Dengan kata lain, pemberian olanzapin secara kronik, menghambat aktivitas neuron ALO secara signifikan tanpa menghambat traktus AQ secara bermakna, Selain dengan dopamin, dari penelitian klinis terlihat bahwa olanzepin juga berikaten dengan reseptor kolinergik muskarinik M,-M,, a, aderenergik, dan H,. (Schulz SC et al, 2004) Dalam percobaan binatang, olanzapin dapat mengurangi perilaku yang aktif (memanjat- manjat) yang diinduksi oleh apomorfin dan mengantagonis hiperaktivitas yang diinduksi oleh stimulansia. Kecenderungan olanzapin untuk menimbulkan Katalepsi juga tendab. Katalepsi merupakan indikator untuk menial kecenderungan terjadinya EPS. Rasio dosis ‘olanzapin yang dibutuhkan untuk menimbulkan katalepsi terhadap dosis yang dibutuhkan untuk menghambat penghindaran terkondisi, merupakan bentuk lain untuk menifal efikasi atipik. Nilainya lebih tinggi bila dibandingkan dengan obat-obat konvensional dan ini jugs menjadi petunjuk suatu “atipik”. Efek farmakologik lainnya hampir sama dengan klozapin yaitu bekerja mengantagonis, reseptor 5-HT,, Sistem serotonin merupakan umpan balik negatif terhadap dopaminergik Oleh karena itu, dengan menghambat 5-HT,,. risiko EPS dapat dikurangi. Olanzapin, sama halnya dengan klozapin, afinitasnya terhadap reseptor 5-HT,,, SHT,..cukup tinggi dan terhadap reseptor 5-HT, afinitasnya sedang, serta terhadap 5:HT, afinitasnya rendah. Profil afinitasnya ini berbeda dengan APG-I dan komponen atipik lainnya. (Bymaster F et al., 1996) Olanzapin berefek pula terhadap sistem lainnya, misalnya mempunyai afinitas kuat pada reseptor muskarinik M1-5 (berkontribusi pula sebagai anti-EPS). Walaupun demikian, bbeberapa ODS, dalam praktik Klinik, dapat memperlihatkan efek samping antikolinergik vyang signifikan. Olanzapin melawan efek fensiklidin. Fensiklidin suatu anastesi disosiati psikotogenik, yang bekerja mengantagonis N-methyI-D-aspartate (NMDA). Olanzapin juga bersifat antagonis terhadap ,~ adrenergik (berkontribusi dalam terjadinya hipotensi) dan histaminergik (berkontribusi dalam terjadinya sedasi dan penambahan berat badan). Selain itu, olanzapin hampir tidak mempunyai efek terhadap a,- dan B adrenergik, H,, nikotinik, y-aminobutyric acid (GABA), opioid, sigma, atau reseptor benzodiazepin. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) FARMAKOKINETIK DAN DISPOSISI Olanzapin diabsorbsi dengan baik melalui pemberian oral. Konsentrasi puncak, pada sebagian besar individu, terjadi 4-6 jam setelah penggunaan. Sekitar 40% dosis yang diberikan mengalami metabolisme cepat pertama dan tidak mencapai sirkulasi sistemik ssehingga makanan sedikit sekali memengaruhi ketersediaan biologiknya. Konsensus Penatalaksanaan Songun Skizolvenia ‘Ada dua formulasi oral yang tersedia saat ini yaitu tablet oral biasa dan tablet oral yang terdesintegrasi. Tablet terdesintegrasi secara oral dapat larut sempurna dalam dua menit setelah diletakkan di lidah. Setelah satu dosis oral, olanzapin 12,5 mg, sekitar 57% ditemukan dalam urin dan 30% dalam feses. Pada penelitian in vitro, sekitar 93% olanzapin terikat dengan protein, terutama dengan albumin dan a,-acid glycoprotein. (Chue P and Jones B, 2002) Olanzapin dimetabolisme menjadi beberapa metabolit. Metabolit utamanya yaitu 10-N-glucoronide dan 4’-N-desmethyl-olanzapine. Setelah pemberian jangka lama, rata- rata konsentrasi plasma metabolit ini adalah 44% dan 30% dari konsentrasi olanzapin. Metabolit lainnya yaitu 4”-N-oxide olanzapine dan 2-hydroxymethy! olanzapine. Enzim sitokrom P450 1A2 merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan 4’-N- cdesmethy-olanzapine. Enzim flavin-containing monooxigenase-3 (FMO-3) berperan dalam pembentukan 4’-N-oride olanzapine serta enzim sitokrom P450 2D6 berperan dalam pembentukan 2-hydroxymethy! olanzapine. Meskipun enzim 1A2 merupakan ensim metabolisme utama, klirens olanzapin tidak berkaitan secara bermakna dengan rasio paraksantin-kafein (merupakan ukuran aktivitas enzim 1A2). Analisis lainnya menyatakan bahwa rasio metabolik plasma 4’-N-desmethyl- olanzapine terhadap olanzapin, secara bermakna, berkaitan dengan klirens olanzapin. Parameter farmakokinetik olanzapin, terkait ensim 206, tidak berbeda secara signifikan antara metaboliser yang baik (extensive metabolizer) dengan yang buruk (poor metabolizer). Farmakokinetik olanzapin terlihat linier dalam kisaran dosis yang direkomendasikan. Rerata konsentrasi puncak olanzapin, setelah delapan hari pemberian, dosis 7,5 mg/hari, pada 12 orang laki-laki (11 perokok), adalah 18.3 ng/mL. Rerata waktu paruh adalah 36 jam, rerata klirens adalah 29.4L/jam, Waktu paruh kedua metabolit utama (4’-N-desmethyl- olanzapine dan 10-N-glucoronide) adalah 92,6 jam dan 39,6 jam dengan AUCO-24 adalah 57ng*jam/mL dan 112 ng*jam/mL. Peneliti lainnya juga melaporkan bahwa rerata waktu paruh olanzapin sekitar 30 jam dan rerata klirensnya adalah 25Ujam. Konsentrasi steady-state olanzapin pada pemberian ssekali sehar, selama satu minggu, adalah dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan konsentrasi setelah dosis tunggal. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa olanzapin merupakan substrat intermediet P-glycoprotein. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Klirens olanzapin menurun pada wanita dan orang tua. Pada wanita, klirens olanzapin adalah 25%-30% lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Sebuah penelitian juga memperlihatkan bahwa konsentrasi olanzapin, setelah pemberian satu minggu, dosis 12,5 me hari, lebih tinggi pada wanita bila dibandingkan dengan laki-laki (29 ng/mL : 19 ng/mL). Konsentrasinya tetap lebih tinggi setelah dosis dinaikkan menjadi 25 mg/ hari, dengan rerata konsentrasi plasma pada minggu ke-8 adalah 65 ng/mL pada wanita dan 35 ng/mL pada laki-Iaki. (Kelly DL et al., 1999) Klirens pada usia lanjut adalah 30% lebih rendah bila dibandingkan dengan usia muda, Waktu paruh pada usia lanjut yaitu 48 Konsensus Penatalaksanaan Gengquon Skisohenie 50% lebih Gangguan f konsentras! Sebuah pe gangguan g gangguan § bahwa tid Olanzapin olanzapin olanzapin § SR, 20056 MEKANIS Obat-obat sedangkan Olanzapin, lebih besa positron ef dosis, met kemampuz Olanzapin) kemampuz ini dikaitie serotonin olanzapit Masing-me reseptor ¥ D,) denga spesifik. O psikotik ta oleh penel c-fos di re 1996) olanzapin. ine. Enzim AUCO-24 0 jam dan pemberian an dengan ‘lanzapin 2005b) olanzapin penelitian ga, dosis, 9 gm : di 25 may ada wanita jalah 30% anjut yaitu skizotrenio 50% lebih panjang, Penelitian pada anakdan remaja (usia 10-18 tahun) memperlinatkan bahwa farmakokinetiknya sama dengan orang dewase yang tidak merokok. Rerata T,. (waktu yang dibutuhkan untuk mencapai Konsentrasi plasma maksimum) adalah 4,7 jar Rerata klirens oral adalah 9,6L/jam dan rerata waktu paruh adalah 37,2 jam. (Schulz SC et al., 2004) Gangguan fungsi ginjal dan hati tidak memengaruhi disposisi olanzapin. Sebuah penelitian melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan farmakokinetik yang bermakna antara individu ‘dengan gangguan hepar dengan individu tanpa gangguan hepar. Meskipun’ demikian, konsentrasi olanzapin 10-N-glukoronida meningkat dalam urin penderita serosis, Sebuah penelitian yang membandingkan farmakokinetik olanzapin pada subjek dengan ‘gangguan ginjal yang mendapat olanzepin satu jam sebelum hemodialisis dengan subjek ‘gangguan ginjal yang mendapat olanzapin selama 48 jam di antara dialisis melaporkan bahwa tidak terdapat perbedaan farmakokinetik yang bermakna di antara kedua kelompok. Olanzapin tidak terdeteksi di dalam cairan dialisis pada kelompok yang mendapat olanzapin satu jam sebelum hemodialisis. Data ini menunjukkan bahwa penyesuaian dosis olanzapin pada penderita dengan gagal ginal, tidak diperlukan. (vanKammen DP, Marder ‘SR, 2005b) MEKANISME KERJA Obat-obat yang lebin kuat menghambat reseptor dopamin dikategorikan sebagai APG-I sedangkan yang lebih kuat menghambat serotonin dikategorikan sebagai APG-lI. Olanzapin, baik penelitian in vitro maupun in vivo, memiliki kemampuan memblok 5-HT., lebih besar bila dibandingkan dengan reseptor DA. Sebuah penelitian yang menggunakan positron emission tomography (PET) menunjukkan behwa olanzapin, pada semua kisaran dosis, memblok 5-HT,, lebih besar (95% atau lebih besar) bila dibandingkan dengan kemampuan memblok dopamin. Olanzapin memiliki banyak persamaan dengan kiozapin dalam hal struktur kimia dan kemampuan membiok reseptornya. Kemampuannya dalam menghambat berbagai reseptor ini dikaitkan dengan peranannya yang signifikan sebagai antipsikotika. Blokade dopamin, serotonin dan histamin, mungkin juga neurotansmiter lainnya, merupakan kemampuan olanzapin sebagai antipsikotika. Masing-masing neurotransmiter memiliki berbagai reseptor. Untuk dopamin, ada lima reseptor yang berbeda yang dikelompokkan ke dalam dua subtipe (D, dan D,; D,, D,, dan D,) dengan lokasi yang berbeda. Obat-obat antipsikotika bekerja pada reglo-regio yang spesifik. Oleh Karena itu, obat-obat APG-II, misalnya olanzapin dapat menurunkan gejala psikotik tanpa menyebabkan gangguan gerak. Kerjanya yang spesifik ini juga didukung ‘leh penelitian biologi molekuler yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan ekspresi ‘fos di regio spesifik di otak, misalnya area kaudatus, (Robertson GS and Fibiger HC, 1996) Konsensus Penatolaksanaan Gonogucn Skizolrenie 49 Selain itu, juga ada pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam mengurangi gejala psikotik tanpa disertai efek samping ektrapiramidal dapat pula disebabkan oleh kecepatan lepasnya beberapa obat antipsikotika dari reseptor. Obat-obat yang menghambat reseptor tetapi ia dengan, cepat meninggalkan reseptor tersebut, menunjukkan bahwa bat itu memiliki potensi pada reseptor tersebut sehingga ia dapat mengurangi gejala psikosis tetapi aktivitas reseptor tersebut tetap dalam keadaan “fisiologis” karena cepat dilepaskannya. Mekanisme kerja ini yang menyebabkan keberhasilan olanzapin mengatasi ‘ejala psikotik tanpa adanya EPS pada dosis yang direkomendasikan. Walaupun demikian, pada dosis yang lebih tinggi (30 me/hari), kemampuannya memblok dopamin meningkat sehingga dapat menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Glutamat, suatu neurotransmiter eksitatori, berperan pula dalam patofisiologi skizofrenia. Teori ini didukung oleh efek psikotomimetik antagonis giutamat seperti fensikiidin dan ketamin. Sebuah penelitian Klinik memperlihatkan mantaat agonis glutaminergik (D-sikloserin) dalam pengobatan skizofrenia, (Goff DC et al., 1995) Apabila glutamat diberikan kepada ODS skizofrenia, perbaikan gejala negatif dan fungsi ognitif dapat terlihat tetapi tidak terlinat terjadinya perbaikan gejala positif. Ada peneliti yang juga memperlihatkan peranan olanzapin pada glutamat yaitu penelitian pada tikus yang mempelajari tentang inhibisi prepulse. Inhibisi prepulse merupakan suatu ukuran gerbang sensormotorik yang dinyatakan terganggu pada penderita skizofrenia. Olanzapin dinyatakan dapat memperbaiki defisit inhibisi prepulse yang diinduksi oleh isolasi. Karena ada hubungan antara antagonis NMDA dengan inhibisi prepulse, penemuan ini membuktikan bahwa terdapat mantaat olanzapin terhadap sistem glutaminergik. Sebuah penelitian lainnya yang melihat efek olanzapin terhadap kadar glutamat, menggunakan magnetic resonance spectroscopy, melaporkan bahwa kadar glutamat ‘meningkat setelah penggantian dari APG-1 ke olanzapin. Pada kelompok yang merunjukkan peningkatan kadar plasma glutamat juga memperlihatkan peningkatan konsentrasi i koa cei ton ew parila ee pati (Ct et al., 2002) Dekatnya hubungan anatomi antara neurotensin dengan sistem neurotransmiter lain yang terlibat pada skizofrenia, perubahahan kader neurotensin otak ketika diberiken obat antipsikotika dan ipnya antara efek pemberian secara langsung neurotensin dengan efek antipsikotika, menimbulkan dugaan bahwa neurpeptida neurotensin berperanan pula pada skizofrenia, Terdapat peningkatan mRINA neurotensin setelah pemiberian olanzapin, Pola perubahan neurotensin yang terlihat dengan olanzapin berbeda dengan yang terlihat dengan haloperidol. Efek ini sama dengan yang terlihat pada klozapin. Oleh Karena itu, fk slanzatn pas nereterin.ceue wg pentng pede toe. (Ender EB ta Konsensus Penatalaksanaan ©:)}90)0 Sieohienie INDIKASI Olanzapin skizoafektif, adalah dari bahwa kiss dianjurkan lebin tings! olanzapin. Marder SR, EFEK SAMI Efek sampin dilakukan ya (EPS), disto antipsikatike Pada penelit perbaikan & penelitian ( ontroinya. bila dibandi (14% : 38 rendahnyat lebin rendat et al., 2004 Efek sampir badan. Pen antipsikotik samping ne utama pade perhatian &! Sebuah per antipsikotik colanzapin, 4 badan 0,74 jangka panj Rendahnya mengurangi babkan oleh fensikiidin futaminergik if dan fungsi Ada peneliti pada tikus glutamat, glutamat eFunjukkan konsentrasi INDIKASI Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA sebagai. antipsikotika untuk skizofrenia, skizoafektif, dan bipolar episode manik dan campuran. Dasar pemberian persetujuan ini adalah dari hasil-hasil penelitian olanzapin yang dilakukan, Penelitian awal menunjukkan bahwa kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mgfhari. Mula-mula dosis yang dianjurkan adalah 10 mghari, di malam hari. Kemudian, Klinikus menggunakan dosis lebih tinggi yaitu rata-rata 13 me/hari. Di ruang perawatan, klinikus sering, memberikan olanzapin dengan dosis 5 mg di pagi hari dan 10 mg di malam hari. (vanKammen OP, Marder SR, 2005b) EFEK SAMPING Efek samping pada penggunan klinis tidak begitu berbeda dengan penelitian preklinis yang, dlilakukan yaitu kurangnya efek samping neurologik, misalnya efek samping ekstrapiramidal (EPS), distonia dan akatisia. Bahkan, pada kelompok-kelompok yang sensitif terhadap antipsikotika, misalnya penyakit Parkinson, efek sampingnya juga rendah, Pada penelitian obat, fase 1 dan lll, Kelompok yang mendapat olanzapin memperlihatkan perbaikan EPS pada akhir penelitian bila dibandingkan dengan ketika mereka memasuki enelitian (baseline). Sebagian besar penelitian tersebut menggunakan APG-1 sebagai ontroinya. Efek samping neurologik lebih jarang pada kelompok yang mendapat olanzapin bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat haloperidol. Misalnya, parkinsonisme (14% : 38%) dan akatisia (12% ;. 4096), Rendahnya EPS dapat pula memprediksi rendahnya tardive diskinesia. Pemberian antiparkinsonisme pada penelitian obt olanzapin lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian obat risperidon (13%:32%). (Schulz SC et al., 2004) Efek samping yang sering diternukan pada penggunaan olanzapin yaitu penambahan berat badan. Penambahan berat badan dapat berkontribusi dalam ketidakpatuhan terhadap antipsikotika sehingga dapat meningkatkan angka kekambuhan. Dengan penurunan efek ssamping neurologik dengan obat-obat APG-II, sindrom metabolik muncul menjadi risiko uutama pada ODS yang menggunakan obat tersebut. Sindrom metabolik harus menjadi perhatian khusus klinikus. Sebuah penelitian meta-analisis yang menilai perubahan berat badan akibat pemberian antipsikotika memperlinatkan bahwa klozapin dapat meningkatkan beret badan 4,45 kg, clanzapin, 4,15 kg, risperidon 2,1 kg, haloperidol 1,08 kg, dan plasebo menurunkan berat badan 0,74 kg. Rata-rata penelitian berlangsung lebin dari 10 minggu. Pada penelitian jangka panjang, subjek yang berat badannya meningkat lebih dari 7% adalah 30%-50%. Rendahnya berat badan sebelum mendapat terapi dan baiknya respons klinis terhadap pemberian olanzapin dikaitkan dengan tingginya efek samping penambahan berat badan. Konsensus Penatalaksanaan Genova Skiohenia At Perhatian yang lebih besar tentang penambaham ‘berat badan yaitu pada anak-anak dan remaja. Mereka akan terpapar dengan obatlebih lamadan merekajugasangat memperhatikan pentampilan. Sebuah penelitian yang dilakukan selama 12 minggu melaporkan bahwa berat badan remaja yang dirawatrmeningkat sebanyak 7,2 + 6,3 kg, dua kali peningkatan beret badan yang terjadi pada kelompok yang mendapat risperidon. Peningkatan berat badan. yang > 7% tersebut terdapat pada sekitar 90% remaja yang menggunakan olanzapin. Penelitian lainnya juga melaporkan bahwa rerata penambahan berat badan pada remaja, berusia kurang dari 18 tahun, menderita skizofrenia, menggunakan olanzapin lebih dari 18 minggd, adalah 6,5 kg. (Fidling RL et al., 2003) Intoleransi glukosa, hiperglikemia, hiperlipidemia, ketoasidosis diabetik, sebagian besar dikaitkan dengan Klozapin dan olanzapin. Kasus-kasus yang dilaporkan ke FDA Drug Surveillance System memperiihatkan bahwa awitan baru diabetes dan hiperglikemia yang. dikaitkan dengan olanzapin yaitu 78%. Sebanyak 35% dari yang menderita diabetes tersebut mengalami ketosis atau asidosis. Sebanyak 8% kelompok mengalami ketoasidosis tersebut meninggal. Sebagian besar kasus terjadi pada enam bulan awal pengobatan dengan olanzapin. Beberapa kasus terjadi pada bulan pertamia pengobatan. ‘Sebuah penelitian yang menggunakan data dasar yang cukup besar melaporkan bahwa risiko terjadinya diabetes tipe-2, setelah penggunaan olanzapin dan kiozapin, relatf tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan risperidon atau APG-I. Oleh Karena itu, pemantauan terjadinya diabetes tipe-2 harus dilakukan. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b; Schulz SC et al., 2004) ‘Sedasi’sering terjadi pada awal pengobatan dengan olanzapintetapi berkurang setelah beberapa lama pengobatan. Insidensnya sekitar 15% dan kejadian ini sama dengan hraloperidol. Efek antikolinergik dapat terjadi selama pengobatan dan angkanya sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan plasebo dan tidak menyebabkan_penghentian pengobatan. Peningkatan ringan enzim hati dapat pula terjadi tetapi biasanya stabil atau menurun tanpa menjadi progresif atau menyebabkan disfungsi hepar. Peningkatan prolaktin dapat pula terlihat selama pengobatan tetapi kadarnya sangat rendah bila dibandingkan dengan risperidon atau APG-|. Konsentrasi prolaktin dapat melebihi kadar normal bila dosis obat lebih dari 30 mg/hari. Leukopenia sangat jarang. Angka kejadiannya sama dengan APG-| atau atipik lainnya. Olanzapin tidak menimbulkan agranulositosis, bahkan pada ODS-ODS yang menderita agranulositosis, ketika mereka menggunakan Klozapin, membaik setelah diganti dengan olanzapin. Tidak ada efek pemanjangan QTc, dan efek samping kardiovaskuler lainnya, (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Konsensus Penatalaksanaan Gonoouan Skizolrenie INTERAKS! Olanzapin dit P450 1A2. farmakoki klirens olan Fluvoksamin| olanzapin.. rmenerima 1 konsentresi 119% bila sebanyak fluvoksamin, menurun 64 paruh baik dl ini menun) ‘metabolism Fluoksetin ¢ dengan ofan: olanzapin dé meningkatks ‘18, Pemberi (Callaghan J Obat-obat sehingga Mm: tethadap ore hari dan ken klirens yang Di samping. Penghentian sebanyak 11 Merokok jug disposisi. ol dengan yang signifikan 2 vivo, olanza warfarin, bi 2 anak-anak dan stmemperhatikan rkan bahwa berat eningkatan berat stan berat badan maken olanzapin ian pada remaje, nzapin lebih dari . sebagian besar sf ke FDA Drug perglikemia yang nderita diabetes ami ketoasidosis kanya sedikit 0 penghentian atau menurun bila dosis obat kul lainnya, INTERAKS! OBAT Olanzapin dimetabolisme terutama melalui glukoronidasi dan oksidasi oleh enzim sitokrom 450 1A2. Obat-obat lain yang memengaruhi jalur metabolisme ini akan memengaruhi farmakokinetik olanzapin. Obat-obat yang menghambat aktivitas ensim 1A2 menurunkan Klirens olanzapin sehingga meningkatkan konsentrasi plasma olanzapin. Fluvoksamin, suaty inhibitor sitoktom P450 1A2, diketahui menghambat,metabolisme olanzapin. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 10 orang laki-laki sehat, perokok, menerima 11 hari fluvoksamin dengan dosis 50-100 mg, menunjukkan peningkatan konsentrasi maksimum (C,.,) olanzapin sebanyak 84% dan peningkatan AUC... sebanyak 119% bila dibandingkan dengan olanzapin ditambah plasebo. Klirens olanzapin menurun sebanyak 50% dan volume distribusinya menurun sebanyak 45% dengan penambahan fluvoksamin. Begitu pula dengan C.., metabolit olanzapin (4’-N-desmethyl-olanzapine) menurun 64% dan AUC... turun sebanyak 77%. Tidak ada perubahan-dalam waktu paruh baik pada olanzapin maupun pada metabolitnya (4’-N-desmethyl-olanzapin). Hal ini menunjukkan bahwa fluvoksamin menghambat metabolisme cepat pertama (first-pass metabolism). Fluoksetin dan imipramin tidak menghambat sitikrom P450 1A2. Ketika dikombinasiken dengan olanzapin terlihat hanya sedikit perubahan farmakokinetik olanzapin. Kombinasi clanzapin dengan fluoksetin menurunkan Klirens olanzapin hanya sebanyak 15% dan meningkatkan C., 18% dan tidak ada perubahan yang signifikan dalam waktu paruhnya ‘8, Pemberian bersamaan dengan imipramin meningkatkan C... olanzapin sebanyak 14%. (Callaghan JT et al, 1997) Obat-obat yang menginduksi enzim P450 1A2 dapat meningkatkan klirens olanzapin sehingga mengurangi kadar olanzapin dalam darah. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap orang sehat, diberikan karbamazepin dengan dosis 2 x 200 mg/hari, selama 18 hari dan kemudian diberikan olanzapin 10 mg dosis tunggal memperlihatkan peningkatan kiirens yang signifikan (32.6 : 47,6 Ujam) dan juga volume distribusi (1,190 : 1,400L). Di samping itu, juga teriadi penurunan C,,, yang sangat bermakna (11,7 : 8,8 ng/L). Penghentian karbamazepin dikaitkan dengan peningkatan kembali konsentrasi olanzapin sebanyak 114%. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b) Merokok juga dapat menginduksi enzim P450 1A2 sehingga dapat pula memengaruhi disposisi olanzapin. Klirens olanzapin lebih tinggi pada perokok bila dibandingkan dengan yang tidak perokok. Dalam penelitian in vitro, olanzapin tidak menghambat secara signifikan aktivitas enzim sitokrom P450 142, 2D6, 2C9 atau 2C19, Pada penelitian in vivo, olanzapin tidak memengaruhi disposisi aminofilin, diazepam, alkohol, imipramin, warfarin, biperiden, dan litium. (Callaghan JT et al., 1999) Konsensus Penatalaksanaan Sonsqu0" shisolrenie Klozapin Penelitian APG-II pertama kali, klozapin, dimulai pada akhir tahun 1960-an. Obat ini dapat mengurangi gejala psikosis tanpa menyebabkan efek samping gangguan anggota gerak. Ketika terjadi kematian akibet agranulositosis, sebagai efek samping klozepin. penelitian mengenai obat ini dihentikan, baik di Eropa maupun di Amerika Seriket.”> Kemudian, semangat untuk mengembangkan APG-I! mucul Kembali. Akhitnya, penelitian- penelitian dilakukan Kembali dan disimpulkan bahwa Klozapin dapat digunakan dengan syarat, selama penggunaannya, pemantavan yang ketat tethadap sistem hemopoetik, hharus dilakukan, Setelah mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA), Klozapin Kembali digunakan. (Schulz SC et al., 2004) FASE STABILISAS! ‘Selama fase stabilisasi, tujuan terapi adalah mengurangi stres pada ODS dan memberikan

You might also like