Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Impetigo adalah suatu infeksi/peradangan pada kulit lapisan superfisial yang
disebabkan oleh bakteri. Ada dua jenis impetigo, yaitu impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa (disebut juga impetigo krustosa atau impetigo kontagiosa). Impetigo bulosa
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Pada negara maju, impetigo krustosa banyak
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, namun di negara berkembang, yang menjadi
penyebab utama impetigo krustosa adalah group A beta-hemolytic streptococcus
(GABHS).1,2,3
Faktor predisposisi impetigo yaitu hunian padat, cuaca panas, higienitas kurang,
malnutrisi, dan keadaan yang mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan
serangga, herpes simpleks, varisela, abrasi, dan luka bakar.1,2,3,4
Impetigo merupakan penyakit kulit yang banyak terjadi pada anak kisaran 2-5
tahun, namun semua usia juga dapat terkena. 4 Di dunia, impetigo menduduki peringkat
kedua penyakit infeksi bakteri pada anak.5,6 Berdasarkan data kunjungan poliklinik
Dermatologi dan Venereologi Divisi Dermatologi Infeksi Rumah Sakit Umum Mohammad
Hoesin Palembang (RSMH), pasien impetigo sejak Januari 2015 hingga Desember 2015
sebanyak 12 orang (2,2%).7 Impetigo non-bulosa atau impetigo krustosa meliputi kira-kira
70% dari semua kasus impetigo. Kebanyakan kasus ditemukan di daerah tropis atau
beriklim panas serta pada negara-negara yang berkembang dengan tingkat ekonomi
masyarakatnya masih tergolong lemah atau miskin.1,2,7
Referat ini membahas epidemiologi, etiologi, patogenesis, klasifikasi, gambaran
klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan dan prognosis dari impetigo. Tujuan
penulisan referat ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan mengenai impetigo sehingga
diharapkan dokter umum mampu mendiagnosis impetigo dan melakukan penatalaksanaan
secara cepat dan tepat.
EPIDEMIOLOGI
Impetigo merupakan penyakit kulit yang banyak terjadi pada anak kisaran usia 2-5
tahun, namun semua usia juga dapat terkena dengan rasio yang sama antara laki-laki dan
perempuan.4 Di Amerika, impetigo merupakan penyakit kulit peringkat tiga terbesar pada
anak. Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun
dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun.4,5 Di Indonesia, angka kejadian impetigo krustosa
sebanyak 15% dan impetigo bulosa 14,02%. Berdasarkan data kunjungan Poliklinik
Dermatologi dan Venereologi Divisi Dermatologi Infeksi Rumah Sakit Umum Mohammad
Hoesin Palembang (RSMH), pasien impetigo sejak Januari 2015 hingga Desember 2015
sebanyak 12 orang (2,2%).6
Impetigo krustosa banyak terjadi pada musim panas dan daerah lembab, seperti di
Amerika Selatan yang mengalami puncak insiden pada akhir musim panas. Anak
prasekolah dan sekolah paling sering terinfeksi. Pada usia dewasa, laki-laki lebih banyak
dibanding perempuan.2 Ada beberapa faktor yang dapat mendukung terjadinya impetigo
krustosa seperti hunian padat, higienitas buruk, hewan peliharaan dan keadaan yang
mengganggu integritas epidermis kulit seperti gigitan serangga, herpes simpleks, varisela,
abrasi, atau luka bakar.1
Impetigo bulosa umumnya sporadik, hal ini paling sering terjadi di musim panas.
Impetigo bulosa dapat terjadi pada semua umur. Paling sering terjadi pada anak dan bayi,
90% kasus terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, kasus pada dewasa jarang dilaporkan.2,5
ETIOLOGI DAN PATOGENESIS
Bakteri penyebab impetigo adalah Staphylococcus aureus dan Group A betahemolytic streptococcus (GABHS). Impetigo bulosa lebih sering disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Pada negara maju, impetigo krustosa banyak disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, namun di negara berkembang, penyebab utama impetigo krustosa
adalah Group A beta-hemolytic streptococcus (GABHS).1,2,3
Group A beta-hemolytic streptococcus atau Staphylococcus aureus masuk melalui
kulit yang tidak utuh. Beberapa penulis menerangkan perbedaan bentuk impetigo akibat
strain Staphylococcus dan aktivitas eksotoksin yang dihasilkan. Impetigo dapat terjadi
sebagai infeksi primer maupun infeksi sekunder.1 Infeksi primer biasanya terjadi karena
trauma kecil pada kulit, sehingga terjadi invasi bakteri pada kulit yang utuh. 10 Infeksi
sekunder terjadi bila telah ada penyakit kulit lain sebelumnya (impetiginisasi) seperti
2
dermatitis atopik, dermatitis statis, psoariasis vulgaris, systemic lupus erythematosus (SLE)
kronik, pioderma gangrenosum, herpes simpleks, varisela, herpes zoster, pedikulosis,
skabies, infeksi jamur dermatofita, gigitan serangga, luka lecet, luka goresan, dan luka
bakar. Infeksi sekunder ini dapat terjadi pada semua umur.10
Kulit yang utuh biasanya tahan terhadap kolonisasi dan impetigenisasi. Pada kulit
yang utuh tidak terdapatnya reseptor fibronektin untuk asam teikoat. Infeksi pada impetigo
krustosa terjadi karena trauma kecil pada kulit. Pada trauma, reseptor fibronektin muncul
dan berikatan dengan asam teikoat sehingga bakteri dapat berkolonisasi. 1,13
Impetigo bulosa disebabkan oleh Staphylococcus aureus yang mana strain 77 dan
55 nya menghasilkan toksin eksfoliatif ekstraseluler (exfoliatin) tipe A dan B. Toksin
eksfoliatif bekerja sebagai serine protease (mengurai) langsung dari Desmoglein 1 (Dsg1),
tetapi tidak dapat bekerja menguraikan Desmoglein 3 (Dsg3). Proses ini menyebabkan
munculnya bula hanya di permukaan epidermis, tidak sampai ke lapisan kulit yang lebih
dalam karena adanya mekanisme kompensasi oleh Dsg3 di lapisan kulit yang lebih dalam.
Dsg 1 merupakan struktur protein dari desmosom yang menjaga ikatan antar keratinosit.
Dengan adanya toksin eksfoliatif toksin ini mengakibatkan hilangnya adhesi sel pada
epidermis terpisah tepat di bagian bawah stratum granulosum sehingga membentuk bulla
yang berukuran besar yang terletak pada bagian superfisial kulit.1,3,4,13,14
Krusta dengan
kulit
sekitarnya
yang eritem
Krusta kuning
keemasan
(honey-colored)
Gambar 3. Impetigo krustosa di sekitar lubang hidung dan mulut pada anak- anak1
Impetigo bulosa
Predileksi impetigo bulosa di wajah, perineum, pantat, punggung dan ekstremitas.
Impetigo bulosa sering terjadi pada bayi baru lahir dan dapat juga pada orang dewasa. Bula
4
awalnya berisi cairan kuning jernih, kemudian berubah menjadi kuning kecoklatan,
berbatas tegas tanpa halo eritem, kulit di sekitar lesi umumnya normal tidak eritem. 1,2,3
Bula dengan
kulit sekitar
yang normal
Gambaran
collarete
Gambaran
varnishlike
aureus,
Etiologi
Impetigo Krustosa
Impetigo bulosa
Herpes simplex
Kandidiasis
Varisela
Bakteri
Bakteri
Virus
Jamur Candida
Virus
Staphylococcus
Staphylococcus
zoster
albicans
zoster
aureus
Varisela
Varisela
GABHS
Epidemiologi
2-5 tahun
tahun
namun
lebih
banyak
orang dewasa,
1-14 tahun.
pada neonatus.
Semua usia
Anak sampai
49 tahun.
Lesi
- Krusta kuning
- Bula yang
- pustul krusta
-Eritem
-Krusta
keemasan
terdapat pada
- Unilateral
membasah
- Lesi polimorfik
(honey-colored).
kulit normal
(mengenai satu
- adanya lesi
- Umumnya di
- Di sekitar krusta
- Gambaran
dermatom,
satelit
collarette dan
vesikopustul.
jarang di
varnishlike.
mengenai lebih
- Skuama collarete
- Umumnya di
dari satu
- Umumnya di
mulut dan
wajah, pantat,
dermatom yang
tempat yang
hidung)
ektremitas.
berdekatan)
lembab seperti
eritem.
- Umumnya di
-Umumnya di
ekstremitas
lipatan kulit
dermatom torakal
dan oftalmikus
Gejala klinis
Gatal
Terdapat gejala
Gatal
terbakar
prodromal dan
terjadi gejala
-Adanya
nyeri pada
prodromal (sakit
pembesaran kelenjar
dermatom yang
kepala, demam,
limfe regional
nausea, anoreksia
dan muntah),
namun pada orang
dewasa sering
terdapat gejala
prodromal.
PENATALAKSANAAN
Umum
Terapi secara umum antara lain, menghilangkan krusta dengan mengelupaskan
krusta dengan handuk basah, mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet, dapat dengan
menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak, Lakukan
drainase pada bula dan pustul secara aseptik dengan jarum suntik untuk mencegah
penyebaran lokal, lanjutkan pengobatan sampai semua lesi sembuh. Edukasi pasien untuk
tindakan pencegahan dengan cara mencegah penularan infeksi terutama apabila terkena
luka, jangan menggunakan pakaian yang sama dengan pasien, cuci pakaian, handuk dan
sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan
keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat
7
dicuci dengan disinfektan dan gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal
di tempat yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu.10
Khusus
Pada prinsipnya, pengobatan impetigo bertujuan untuk memberikan kenyamanan
dan perbaikan pada lesi serta mencegah penularan infeksi dan kekambuhan.4
Terapi Topikal
Pasien diberikan antibiotik topikal bila lesi sedikit, terutama pada lesi di wajah dan
pada pasien dengan keadaan umum baik. Pemberian obat topikal dapat sebagai profilaksis
infeksi pada saat anak melakukan aktivitas di sekolah atau tempat lain. Membersihkan lesi
dengan antiseptik. Bila basah, lesi dikompres dengan larutan permanganas kalikus 1/10.000
atau NaCl 0,9%. Jika kering, lesi diolesi dengan salep. Antibiotik topikal diberikan 2-3 kali
sehari selama 7-10 hari.1,4,10
o
Mupirosin
Mupirosin merupakan antibiotik yang berasal dari Pseudomonas fluorescent.
Asam Fusidat
Asam fusidat adalah antibiotik yang berasal dari Fusidium coccineum.
Mekanisme kerja asam fusidat yaitu menghambat sintesis protein. Salap atau krim
asam fusidat 2% efektif terhadap Gram positif dan telah teruji sama efektif dengan
mupirosin topikal.
o
Basitrasin
Basitrasin merupakan antibiotik polipeptida siklik yang berasal dari strain
Bacillus Subtilis. Mekanisme kerja basitrasin yaitu menghambat sintesis dinding sel
bakteri dengan menghambat defosforilasi ikatan membran lipid pirofosfat sehingga
aktif melawan kokus Gram positif seperti Staphylococcus dan Streptococcus.
Basitrasin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit seperti
impetigo.
8
Retapamulin
Retapamulin adalah antibiotik pleuromutilin yang baru. Pleuromutilin
menghambat sintesis dinding sel bakteri dan menginaktivasi suatu inhibitor enzim
autolitik (hidrolase) dalam dinding sel sehingga enzim litik yang terlibat dalam
sintesis dinding sel serta menjaga morfologi bakteri atau lisisnya bakteri teraktivasi
dan mengakibatkan lisisnya bakteri.
11
Pilihan Kedua
Golongan Makrolida (bakteriostatik)
Makrolida dapat bersifat sebagai bakteriostatik yaitu menghambat sintesis
protein pada bakteri dengan cara yang pertama mencegah transfer peptidil tRNA
dari situs A ke situs P, yang kedua mencegah pembentukan peptide tRNA, ketiga
memblokir peptidil transferase, keempat yaitu mencegah pembentukan ribosom.
Selain itu makrolida juga memblokir aksi dari enzim peptidil transferase. Enzim ini
bertanggung jawab untuk pembentukan ikatan peptida antara asam amino yang
terletak dilokasi A dan lokasi P dalam ribosom dengan cara menambahkan peptidil
9
melekat pada tRNA ke asam amino. Dengan memblokir enzim ini eritomisin
mampu
menghambat
biosintesis
protein.11 Eritromisin
dengan dosis
30-
50mg/kgBB/hari dan azitromisin dengan dosis 500 mg/hari untuk hari ke-1 dan
dosis 250 mg/hari untuk hari ke-2 sampai hari ke-4.1
KOMPLIKASI
Komplikasi
pada
impetigo
berupa
ektima,
selulitis,
erisepelas
dan
PROGNOSIS
Pada beberapa individu, bila tidak ada penyakit lain sebelumnya impetigo dapat
membaik spontan dalam 2-3 minggu. Namun, bila tidak diobati impetigo dapat bertahan
dan menyebabkan lesi pada tempat baru serta menyebabkan komplikasi berupa ektima, dan
dapat menjadi erisepelas, selulitis, atau bakteriemi.4,7 Dapat pula terjadi staphylococcal
scalded
skin
syndrome
(SSSS)
pada
bayi
dan
dewasa
yang
mengalami
immunocompromised karena produksi exfoliatin atau gangguan fungsi ginjal. Bila terjadi
komplikasi glomerulonefritis akut, prognosis anak- anak lebih baik daripada dewasa. 1
- Pemeriksaan
biakan
cairan
eksudat:
Staphylococcus aureus dan atau Group A betahemolytic streptococcus (GABHS)
Impetigo krustosa
- Pemeriksaan
biakan
Staphylococcus aureus
cairan
eksudat:
Impetigo bulosa
11
Sembuh
Pengobatan selesai
Tidak sembuh
Uji sensivitas bakteri
Biopsi
Faktor resiko:
-
hunian padat
higienitas buruk
hewan
peliharaan
-
keadaan
yang
RINGKASAN
mengganggu
integritas epidermis
kulit seperti gigitan serangga, herpes
disebabkan oleh bakteri. Ada dua jenis impetigo, yaitu impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa (disebut juga impetigo krustosa atau impetigo kontagiosa). Impetigo bulosa
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Pada negara maju, impetigo krustosa banyak
disebabkan oleh Staphylococcus aureus, namun di negara berkembang, yang menjadi
penyebab utama impetigo krustosa adalah group A beta-hemolytic streptococcus (GABHS).
Faktor predisposisi berperan penting dalam patogenesis penyakit ini, seperti hunian padat,
higienitas kurang, gizi buruk, imunitas rendah, hewan peliharaan dan adanya penyakit kulit
sebelumnya.
Penyakit ini dapat terjadi pada anak dan dewasa, paling sering terjadi pada anak
baik laki-laki maupun perempuan. Predileksi impetigo krusta terdiri dari wajah, leher, atau
ekstremitas. Pada impetigo bulosa tempat predileksinya di muka, perineum, pantat,
punggung dan ekstremitas. Gambaran lesinya berupa bula awalnya berisi cairan kuning
jernih, kemudian berubah menjadi kuning kecoklatan, yang jika ruptur akan membentuk
gambaran collarete dan varnishlike. Gambaran lesi pada impetigo krustosa yang dapat
ditemukan berupa vesikel yang menjadi pustul dan ruptur membentuk krusta khas berwarna
kuning keemasan (honey-colored). Penyakit impetigo yang lama tidak diobati kadang dapat
menyebabkan komplikasi, diantaranya yang berat adalah ektima, erisipelas, selulitis dan
glomerulonefritis post streptokokus. Prinsip pengobatan impetigo dengan umum dan
khusus. Umum dengan mengedukasi pasien menjaga kebersihan, memperkuat daya tahan
tubuh, mencegah luka kulit agar terhindar dari infeksi sekunder. Khusus dengan obat
12
topikal ataupun sistemik seperti bila basah, lesi dikompres dengan larutan permanganas
kalikus 1/10.000 atau NaCl 0,9% lalu setelah kering diberi.salap mupirosin 2% dioles 2-3
kali sehari pada lesi dan amoksisilin + asam klavulanat 250-500 mg sebanyak 2 kali sehari
selama 7-10 hari.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Rosen T. Superficial Cutaneous Infection and Pyodermas. In: Wolff K, Goldsmith, LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Patter AS, Lefel DJ, editors. Fitzpatricks Dermatology in
General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill; 2012. P. 2129-33
2.
Hay R.J, B.M Adriaans. Bacterial Infection. In: Burns T, Brethnach S, Cox N, Griffiths
C (eds). Rooks Text Book of Dermatology. 8th ed. Turin: Blackwell. 2010. p.30.14-16.
3.
Heyman W.R, Halpern V. Bacterial Infection. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP
(eds). Dermatology. 2nd ed. Spain: Mosby Elsevier. 2008. p.1075-77.
4.
5.
Romani L, Steer AC, Whitfield MJ, Kaldor JM. Prevalence of scabies and impetigo
worldwide: a systemic review. Lancet Infect Dis. 2015 Aug. 15 (8):960-7
6.
Tasani M, Tong SY, Andrews RM, Holt DC, currie BJ, Carapetis JR, et al. The
Importance of Scabies Coinfection in the Treatment Considerations for Impetigo.
Pediatr Infect Dis J, 2016 pr 35 (4): 374-8
7.
Laporan dan kunjungan pasien Poliklinik Dermatologi Infeksi Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin periode Januari 2015- Desember 2015. Palembang: RS Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin Palembang; 2014.
8.
Bangert Scott, Levy Moise. Bacterial Resistance and Impetigo Treatment Trends: A
review. Pediatric Dermatology. Vol.29. No.3. 2012. p.243-8.
13
9.
Arnold, Odom, James. Bacterial Infection. In: James W.D, Berger T.G, Elston D.M
(eds). Andrews Disease of the Skin Clinical Dermatology. 11th Ed. Canada: Saunders
Elsevier. 2010. p.251-2.
10. Craft N. Bacterial Infections Involving the Skin. In: Wolff K, editor. Fitzpatrick's Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGrawHill
Companies; 2009. p. 597-604.
11. Tanu, Ian. Farmakologi dan Terapi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
P. 24-5..
12. Waluyo, Lud. Teknik dan Metode Dasar Dalam Mikrobiologi. Malang. UMM Press.
2008
13. Asterholm, Mikael. Studies on Colonization and Infection with Staphylococcus Aureus
and Other Microbes in Skin Diseases. Institutte of Clinical Sciences Sahlgrenska
Academy at the University of Gothenburg. 2012. p.13-5.
14.
14