You are on page 1of 16

TUGAS KELOMPOK

KONSEP KEPERAWATAN KOMUNITAS AREA HOMELESS (TUNAWISMA)


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Komunitas dan Keluarga II
Dosen Pembimbing : Ns. Nurullya Rachma, M.Kep, Sp.Kep.Kom
Disusun Oleh: Kelompok 5
A.13.1
1.

Rahajeng Indrasari

22020113130115

2.

Ruli Rahmawati

22020113130119

3.

Sakinah Indirazeni

22020113130136

4.

Icha Gamelia Prisma P.

22020113140058

5.

Yuni M. Lestari Sianipar

22020113140062

6.

Christina Aprilia Purba

22020113140063

7.

Desy Nur Hidayah

22020113140072

8.

Ana Vionita

22020113140073

9.

Rossy Ratnaratih

22020113140085

10. Dinar Kurniadi Permana

22020113140090

11. Amalia Soya Praditta

22020113140085

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2016
A. DEFINISI
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki
tempat tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur.
Tunawisma biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak
memiliki keluarga.

Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat seperti
orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan, petani, ibu
rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta ilmuwan. Beberapa dari
mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau kegagalan sistem pendukung keluarga
mereka. Selain itu alasan lain menjadi tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal
oleh keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun
begitu apapun penyebabnya, tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan
akses ke pelayanan perawatan kesehatan berkurang.
B. FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA TUNAWISMA
1. Kemiskinan

Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya

gelandangan, pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa


seseorang menjadi gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang
layak, serta menjadikan mengemis sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan

seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan keluarga membuatnya dalam


garis kemiskinan.

Penghasilan yang tidak menentu berbanding terbalik dengan

pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma untuk tetap bertahan


hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi risiko yang lebih
besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan yang
menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung.
2. Rendah tingginya pendidikan

Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang.


Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja. Seseorang dengan
pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah pekerjaan yang layak.
Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi semua kebutuhan
hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan pengemis
relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh
pekerjaan yang layak.

3. Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan
yang lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis

atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa kurang
perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga

mereka cenderung mencari

kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.


4. Umur
Umur yang semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat
seseorang lebih sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk
memenuhi kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka
untuk bertahan hidup.
5. Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan
pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi
tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012 ))
kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti
kesehatan.
6. Rendahnya ketrampilan

Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan seseorang


dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah satunya melalui
pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk dikembangkan. Hal inilah
yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan ketrampilan yang
dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang memilih menjadi
tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan pengemis
tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
7. Masalah sosial budaya
Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang
menjadi gelandangan dan pengemis. Antara lain:
a) Rendahnya harga diri.
Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan
mereka tidak memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini,

harga diri bukanlah sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan
banyaknya tunawisma yang berusia produktif.
b) Sikap pasrah pada nasib.
Mareka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai
gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan
untuk melakuan perubahan.

c) Kebebasan dan kesenangan hidup mengelandang.


8. Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor
lingkungan yang mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan
banyak sekali ibu-ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pengemis.
Momen ini digunakan mereka mencari uang untuk membantu suaminya
mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya untuk melakukan
pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang didapatkan
lumayan untuk emmenuhi kebutuhan hidup.
9. Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya
membuat masyarakat yang tinggal di daerah tersebut mengalami
kemiskinan dan membuat masyarakat harus meninggalkan tempat
tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi, keputusannya
untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi
yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin
masuk dalam garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan.
Oleh karena itu ia lebih memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan
hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang hasil meminta-minta
10. Lemahnya penangan masalah gelandangan dan pengemis
Penanganan masalah gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh
pemerintah hanya setengah hati. Selama ini penanganan yang telah
nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti sosial, kemudian
setelah

itu

dipulangkan

ketempat

asalnya.

Pada

kenyataannnnya,

penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu
saat mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada
proses penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka
dibawa kepanti sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang
berusia renta akan tetap tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya
akan dipulangkan. Proses ini dirasakan terlalu mudah dan enak bagi
gelandangan dan pengemis sehingga ia tidak perlu takut apabila terjaring

razia lagi. hal inilah yang membuat mereka terus mengulang kegiatan
yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis.

C. FAKTOR PERILAKU DAN PSIKOSOSIAL YANG MENYEBABKAN MASALAH


KESEHATAN PADA TUNAWISMA
1. Kemiskinan, antara lain mengakibatkan:
a. Makanan yang tidak cukup atau makanan yang kurang gizi
b. Persediaan air yang kurang, sanitasi yang jelek dan perumahan yang tidak layak.
c. Tidak mendapatkan pelayanan yang baik.
2. Gender
Adalah peran masing-masing pria dan wanita berdasarkan jenis kelamin menurut
budaya yang berbeda-beda. Gender sebagai suatu kontruksi sosial mempengaruhi
tingkat kesehatan, dan karena peran jender berbeda dalam konteks cross cultural berarti
tingkat kesehatan wanita juga berbeda-beda.
3. Pendidikan yang rendah
Kemiskinan
mempengaruhi

kesempatan

untuk

mendapatkan

pendidikan.Kesempatan untuk sekolah tidak sama untuk semua tetapi tergantung dari
kemampuan membiayai. Dalam situasi kesulitan biaya biasanya anak laki-laki lebih
diutamakan karena laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.
Dalam hal ini bukan indikator kemiskinan saja yang berpengaruh tetapi juga
jender berpengaruh pula terhadap pendidikan. Tingkat pendidikan ini mempengaruhi
tingkat kesehatan. Orang yang berpendidikan biasanya mempunyai pengertian yang
lebih besar terhadap masalah-masalah kesehatan dan pencegahannya. Minimal dengan
mempunyai pendidikan yang memadai seseorang dapat mencari liang, merawat diri
sendiri, dan ikut serta dalam mengambil keputusan dalam keluarga dan masyarakat.
4. Kawin muda
Di negara berkembang termasuk Indonesia kawin muda pada wanita masih banyak
terjadi (biasanya di bawah usia 18 tahun). Hal ini banyak kebudayaan yang
menganggap kalau belum menikah di usia tertentu dianggap tidak laku. Ada juga
karena faktor kemiskinan, orang tua cepat-cepat mengawinkan anaknya agar lepas
tanggung jawabnya dan diserahkan anak wanita tersebut kepada suaminya. Ini berarti
wanita muda hamil mempunyai resiko tinggi pada saat persalinan. Di samping itu

resiko tingkat kematian dua kali lebih besar dari wanita yang menikah di usia 20
tahunan. Dampak lain, mereka putus sekolah, pada akhirnya akan bergantung kepada
suami baik dalam ekonomi dan pengambilan keputusan.
5. Seks bebas
Dari perilaku seksual usia dini Anak jalanan perempuan, yang mulai seks bebas
yaitu anak-anak jalanan dengan usia dibawah 14 tahun dan ada yang melakukan
dengan saudaranya sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan rentan terhadap
penyakit kelamin misalnya HIV atau AIDS.
6. Penggunaan Drugs
Anak jalanan perempuan rela melakukan hal apapun ( merampas, mencuri,
membeli, hubungan seks) yang penting bisa mendapatkan uang untuk membeli
minuman keras, pil dan zat aditif lainnya. Mereka menggunakan itu karena ingin
menumbuhkan keberanian saat melakukan kegiatan di jalanan. (P. Agus. A., 2015)
7. Eksploitasi Seksual
Keberadaan anak jalanan perempuan yang tinggal dijalanan sangat rentan terhadap
eksploitasi khususnya eksploitasi seksual seperti pelecehan, penganiyaan secara
seksual, pemerkosaan, penjerumusan anak dalam prostitusi dan adanya indikasi
perdagangan anak keluar daerah khususnya Riau dan Batam.
D. MASALAH KESEHATAN PADA TUNAWISMA
1. Gangguan Fisik Akut
pada umumnya tunawisma akan mengalami gangguan fisik akut seperti:
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Gangguan fisik akut


ISPA (infeks sistem pernfasan atas)
Trauma-cedera ringan hingga berat
Penyakit kulit
TBC
Terserng kutu dan tungau
Gizi buruk/ kekurangan gizi
-

Gangguan fisik kronik


Kecanduan alkohol dan zat lain
Hipertensi
Gangguan pencernaan
Gangguan sistem saraf tepi
Masalah gigi
Diabetes melitus
HIV/AIDS

2. Masalah Kesehatan pada Tunawisma Anak-Anak


Selain masalah kesehatan fisik, masalah lain juga banyak timbul seperti :

Kegelisahan
Tidak mendapatkan/tidak lengkap untuk imunisasi
Masalah bahasa dan berbicara
Penyakit pernafasan atas dan asma
Infeksi telinga
Gangguan pencernaan/mata
Trauma
Terserang kutu rambut

3. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan kehamilan


Perawatan pre-natal yang kurang baik
Kurang nutrisi
Komplikasi kehamilan
4. Masalah kesehatan mental

Skizofrenia
Gangguan bipolar
Depresi
Gangguan kecemasan dan kepribadian antisosial
Kepribadian yang kacau

E. PERAN PERAWAT DI AREA HOMELESS (TUNAWISMA)


1. Perawat sebagai pemberi perawatan
Para tunawisma biasanya banyak mengalami kurang perhatian dari orang tua dan
lingkungan. Alhasil banyak masalah yang terjadi pada tunawisma baik dari segi
kesehatan fisik, psikologis dan sosial. Peran perawat disini adalah memberikan asuhan
keperawatan kepada mereka yang mengalami masalah kesehatan secara holistik atau
menyeluruh.
2. Perawat sebagai pendidik
Salah satu faktor penyebab dari tunawisma adalah rendahnya pendidikan
mereka yang membuat mereka menjadi miskin. Oleh karena itu, perawat
menjelaskan kepada mereka informasi seputar kesehatan dan menanamkan gaya

hidup sehat. Diharapkan para tunawisma tersebut dapat merubah perilaku


mereka untuk mencapai tingkat kesehatan yang maksimal.
3. Perawat sebagai pengamat kesehatan (monitoring)
Perawat memonitoring perubahan-perubahan yang terjadi pada tunawisma.
Bentuk monitoring dapat berupa observasi, kunjungan rumah, pertemuan atau
pengumpulan data.
4. Perawat sebagai panutan (role model)
Perawat dapat memberikan contoh yang baik dalam bidang kesehatan kepada
masyarakat tunawisma tatacara hidup sehat yang dapat ditiru dan dicontoh oleh mereka.
5. Perawat sebagai komunikator
Peran sebagai komunikator merupakan pusat dari seluruh peran perawat
yang lain. Perawat memberikan perawatan yang efektif, memberikan pembuatan
keputusan antara individu dan keluarga, memberikan perlindungan bagi para
tunawisma dari ancaman terhadap kesehatan dan kehidupannya. Semua itu
dilakukan dengan komunikasi yang jelas agar kualitas kehidupan mereka
terpenuhi.
6. Perawat sebagai rehabilitator
Rehabilitasi merupakan proses dimana individu kembali ke tingkat fungsi
maksimal setelah sakit, kecelakaan atau kejadian yang menimbulkan ketidakberdayaan
lainnya. Seringkali tunawisma mengalami gangguan fisik dan emosi yang mengubah
kehidupan mereka dan perawat membantu mereka untuk beradaptasi semaksimal
mungkin dengan keadaan tersebut.
F. LEVEL PENCEGAHAN HOMELESS (TUNAWISMA)
1. Pencegahan Primer
Tujuan dalam pencegahan primer adalah menjaga tunawisma agar tetap berada di
rumah. Langkah untuk pencegahan primer yaitu:
a.

Bantuan finansial
Memberikan pelayanan publik untuk mencegah terjadinya bantuan publik,

mengetahui tersedianya dana, dan mengajukan permohonan untuk mendapatkan


bantuan bagi tunawisma yang membutuhkan.
b.

Bantuan hukum

Membantu tunawisma untuk berkonsultasi secara hukum agar tidak terjadinya


pengusiran.
c.

Saran finansial
Menyediakan program konseling keuangan secara gratis kepada tunawisma.

d.

Program relokasi
Memberikan dana yang dibutuhkan bagi tunawisma untuk membayar rumah dan

kebutuhan dasar.
2. Pencegahan Sekunder
Memfokuskan pada populasi tunawisma dengan mendaftar segala kebutuhan serta
pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, para tunawisma sulit mengakses khususnya system
pelayanan kesehatan karena mereka tidak memiliki tempat atau alamat yang tetap,
sehingga dengan tujuan mengeluarkan populasi tersebut dari kondisi tersebut dan
mengatasi dampak yang timbul akibat menjadi tunawisma. Langkah untuk pencegahan
sekunder ialah
a. Membutuhkan rumah tradisional tanpa dipungut biaya yang rendah dan
menimbulkan persoalan umum bagi populasi tunawisma adalah mereka
b.
c.

menjalani medikasi dan regimen terapi.


Obat obatan yang dapat disimpan dengan mudah
Mengikuti dan mempelajari makanan yang disediakan ditempat penampungan
agar tunawisma tetap mendapatkan asupan makanan sesuai yang ada di tempat

d.
e.

penampungan tersebut.
Memberikan vitamin kepada tunawisma untuk mengompensasi defisit nutrisi
Memahami dan memfasilitasi bahwa para tunawisma selalu melakukan usaha

f.

terbaik untuk mengikuti program terapi


Mengidentifikasi faktor faktor yang menghambat para tunawisma agar tetap
mendapatkan pelayanan kesehatan

3. Pencegahan tersier (Rehabilitasi)


Pencegahan tersier adalah pencegahan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi (Budiarto,2003). Langkah pencegahan tersier pada tunawisma
antara lain:
a. Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial
kepada para PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting

guna menumbuhkan rasa percaya diri serta spiritualitas para gelandangan


dan pengemis. Karena pada dasarnya mereka memiliki semangat dan rasa
percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam dirinya. Selain itu
mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum
memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan
potensi-potensi tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan
pengemis (gepeng) yang tercakup dalam razia, keadaan mereka sangat
memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas ada juga yang
dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam
therapy individu dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan
pengemis (gepeng) satu persatu secara psikis.
b. Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan,
terlebih dahulu para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS)
diberikan fasilitas penanganan kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan
bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian kegiatan bimbingan kesehatan
dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan badan atau
jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan
memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang
sangat keras dan serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis
(gepeng) tentu masih merasa kesulitan untuk menerapkan gaya hidup
sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan kesehatan tidak
diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.

c.

Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan

sekali, dengan tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu


lintas, serta peraturan di jalan raya, sehingga para gelandangan dan
pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena keberadaan mereka di
jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas. Dalam
proses

bimbingan

ketertiban

ini

biasanya

pihak

dinas

sosial

mendatangkan narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat.


Menurut pengamatan peneliti pada saat pertama mengikuti wejangan dari

pak polisi para gelandangan dan pengemis (gepeng) terlihat sangat


antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi, karena pada
dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan sangat
berhati-hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian dipenjarakan.
d. Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas
sosial, guna untuk menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan
dan pengemis.

G. PERSPEKTIF HOMELESS ATAU GELANDANGAN DI INDONESIA


1. UUD 1945
Undang - Undang Dasar 1945 adalah Landasan konstitusional Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Para pendiri negeri ini telah merumuskannya,
sejak Bangsa Indonesia Merdeka dari jajahan para kolonialisme. UUD 1945
adalah sebagai hukum dasar tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan
berbangsa dan bernegara. UUD 1945 telah di amandemen empat kali pada
tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 yang telah menghasilkan rumusan
Undang - Undang Dasar yang jauh lebih kokoh menjamin hak konstitusional
warga negara dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia. Namun, di Indonesia masih banyak terdapat gelandangan,
pengemis, masyarakat dalam keadaan fakir, miskin dan terlantar. Dalam
UUD 1945 Pasal 34 Ayat 1 berbunyi Fakir Miskin dan anak - anak yang
terlantar dipelihara oleh negara.

2. Program atau kebijakan pemerintah tentang penanggulangan homeless atau gelandangan


di Indonesia
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980, gelandangan dan
pengemis tidak sesuai dengan norma kehidupan bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, karena itu perlu diadakan usaha-usaha penanggulangan.
Penanggulangan

tersebut

bertujuan

untuk

memberikan

rehabilitasi

kepada

gelandangan dan/atau pengemis agar mereka mampu mencapai taraf hidup,


kehidupan, dan penghidupan yang layak sebagai seorang warna negara Republik

Indonesia.Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 1, 5 dan 6, ada
beberapa usaha untuk menanggulangi gelandangan adalah sebagai berikut :
a. Usaha preventif
Adalah usaha secara terorganisir yang meliputi penyuluhan,
bimbingan,

latihan,

dan

pendidikan,

pemberian

bantuan,

pengawasan serta pembinaan lanjut kepada berbagai pihak yang


ada hubungannya dengan pergelandangan dan pengemisan
sehingga akan tercegah terjadinya :

i.

Pergelandangan dan pengemisan oleh individu atau keluarga-keluarga


terutama yang sedang berada dalam keadaan sulit penghidupannya

ii. Meluasnya pengaruh

dan

akibat

adanya

pergelandangan

dan

pengemisan di dalam masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban


dan kesejahteraan pada umumnya

iii. Pergelandangan dan pengemisan kembali oleh para gelandangan dan


pengemis yang telah direhabilitir dan telah ditransmigrasikan ke
daerah pemukiman baru ataupun telah dikembalikan ke tengah
masyarakat.
Dalam hal ini, usaha yang di maksud adalah dengan :
i.

Penyuluhan dan bimbingan sosial

ii.

Pembinaan sosial

iii. Bantuan sosial


iv. Perluasan kesempatan kerja
v.

Pemukiman lokal

vi. Peningkatan derajat kesehatan

b. Usaha represif

adalah usaha-usaha yang terorganisir, baik melalui lembaga maupun


bukan dengan maksud menghilangkan pergelandangan dan pengemisan,
serta mencegah meluasnya di dalam masyarakat. Usaha represif yang di
lakukan sesuai PP No. 31 Tahun1980 Pasal 9 adalah razia, penampungan
sementara untuk di seleksi, dan pelimpahan. Dalam pasal 12 disebutkan
bahwa setelah gelandangan di seleksi, tindakan selanjutnya terdiri dari :
i.

Dilepaskan dengan syarat

ii.

Dimasukkan dalam panti sosial

iii. Dikembalikan kepada orang tua/wali/keluarga/kampung halamannya


iv. Diserahkan ke pengadilan
v.

Diberikan pelayanan kesehatan

c. Usaha Rehabilitatif
adalah

usaha-usaha

yang

terorganisir

meliputi

usaha-usaha

penyantunan, pemberian latihan dan pendidikan, pemulihan kemampuan


dan penyaluran kembali baik ke daerah-daerah pemukiman baru melalui
transmigrasi maupun ke tengah-tengah masyarakat, pengawasan serta
pembinaan lanjut, sehingga dengan demikian para gelandangan dan
pengemis, kembali memiliki kemampuan untuk hidup secara layak sesuai
dengan martabat manusia sebagai Warganegara Republik Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 1980 pasal 7 di jelaskan


bahwa pelaksanaan penanggulangan gelandangan di atur lebih lanjut oleh
Menteri Sosial, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan
bidang tugas masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.T., & McFarlane, J. (2001). Buku Ajar Keperawatan Komunitas Teori dan
Praktik Ed. 3. Jakarta: EGC
Budiarto, E & Anggraeni, D. (2003). Pengantar Epidemiologi. Jakarta: EGC.
Maurer, Frances A., Smith, Claudia M. 2009. Community/ Public Health Nursing Practice
Health For Families And Populations. 4th ed. Canada: Saunders Elsevier.
P. Agus. A., (2015). Perdagangan Anak dan Perempuan untuk Tujuan Seksual di Riau
Harus Disikapi

Serius.

Artikel

ini

diakses

melalui:

http://www.goriau.com/berita/umum/perdagangan-anak-dan-perempuan-untuk-tujuan-seksualdi-riau-harus-disikapi-serius.html#sthash.CghCmBzW.dpuf
Potter, Patricia A. (2005). Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Edisi 4.
Jakarta:EGC.
Ramandhana, N. (2010). Gepeng, Anak Jalanan, Pemerintah, dan UUD 1945 Pasal
34

Ayat 1. Artikel di akses melalui :

http://www.kompasiana.com/niko_ramandhana/gepeng-anak-jalanan-pemerintah-dan-uud1945-pasal-34-ayat-1_54ff5aa6a333114e4a50ffa1 pada tanggal 6 maret 2015 pukul


20.00

Riskawati. I., Syani. A. (2012). Faktor penyebab terjadinya gelandangan dan pengemis. Jurnal
sosiologie. Vol.1. No.1 : 43-52.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Modern. Jakarta :
Kencana.Buku Ajar
Sheila L. Videbeck:alih bahasa, Renata Komalasari, Alfrina Hany. 2008. Keperawatan
Jiwa:editor edisi Bahasa Indonesia, Pamilih Eko Karyuni.Jakarta:EGC
Zefianingsih, B. D et all. (2015). Penanggulangan Gelandangan dan pengemis oleh Panti
Sosial Bina Karya di Pangudi Luhur Bekasi. Dalam Unpad press. Diakses dari http:
http://kesos.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2016/01/10.-Pelangi-Isu-Kesejahteraan-Sosia
l-_kedua_untuk-KesosUnpadacid.pdf pada tanggal 28 Februari 2016 pukul 18.40.

You might also like