You are on page 1of 14

KELOMPOK 4 MATA KULIAH ASPEK PSIKOSOSIAL

PENGARUH SOSIAL EKONOMI DAN GENDER TERHADAP FERTILITAS


NAMA

Diyan Reni Jayathi


Marella
Puri Kresnawati
Siti Fatimah
Yaneu Nuraineu

1506785955
1506705273
1506786806
1506786983
1506787166

1. SOSIAL EKONOMI BERPENGARUH TERHADAP FERTILITAS


A. Sosial Ekonomi
Menurut Sajogyo dan Pujawati (2002) dalam Raka (2012) status sosial ekonomi
keluarga dapat diukur melalui tingkat pendidikan, perbaikan lapangan pekerjaan, dan tingkat
penghasilan keluarga. Indikator status sosial adalah kasta, umur, pendidikan, status
perkawinan, aspirasi pendidikan, partisipasi sosial, hubungan organisasi pembangunan,
kepemilikan lahan, pemilikan sarana pertanian, serta penghasilan sebelumnya. Selain itu,
Melly G. Tan dalam Raka (2012) status sosial ekonomi seseorang diukur lewat pekerjaan,
pendidikan dan pendapatan.
Arsene Dumont, seorang ahli demografis bangsa Prancis dengan teorinya kapilaritas
sosial (Theory of Social Capillarity) berpatokan kepada keinginan seseorang untuk mencapai
kedudukan yang tinggi di masyarakat. Teori kapilaritas sosial dapat berkembang dengan baik
di negara demokrasi karena setiap individunya memiliki kebebasan untuk mendapatkan
kedudukan yang tinggi di masyarakat. Adanya kebebasan untuk mencapai kedudukan yang
tinggi di masyarakat, maka orang-orang akan berlomba-lomba untuk mencapai kedudukan
tersebut dan sebagai akibatnya angka kelahiran akan turun dengan cepat (Mantra, 2000:58).
John Stuart Mill, seorang ahli filsafat dan ahli ekonomi bangsa Inggris berpendapat bahwa
situasi tertentu manusia dapat mempengaruhi prilaku demografinya. Apabila produktivitas
manusia tinggi maka ia akan cenderung memiliki keluarga yang kecil. Jadi, taraf hidup
merupakan determinan dari fertilitas dan tinggi rendahnya fertilitas di tentukan oleh manusia
itu sendiri. Memperhatikan bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh
manusia itu sendiri, maka Mill menyarankan untuk meningkatkan tingkat golongan yang
tidak mampu dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan. (Mantra, 2000:57).
1

B. Fertilitas di Indonesia
Fertilitas merupakan kemampuan berproduksi yang sebenarnya dari penduduk (actual
reproduction performance). Atau jumlah kelahiran hidup yang dimiliki oleh seorang atau
sekelompok perempuan. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang
lahir hidup. Fertilitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan penduduk.
Di negara maju, jumlah penduduk yang besar disertai dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia yang tinggi. Sedangkan di negara sedang berkembang jumlah
penduduk yang besar secara kuantitatif tidak disertai dengan kualitas yang memadai. Ini
mengakibatkan penduduk menjadi beban pembangunan di segala aspek baik pembangunan
secara ekonomi dan pembangunan secara sosial. Suatu bangsa yang tidak mampu
mengembangkan

ketrampilan,

ilmu

pengetahuan

bangsanya

dan

tidak

mampu

menggunakannya secara efektif dalam perekonomian nasional akan berdampak terhadap


pembangunan yang tanpa makna (Todaro,2000: 405).
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang dengan jumlah
penduduk dan laju pertumbuhan yang besar. Yaitu pada tahun 1971 sebesar 119.208.000 jiwa
(SP71, BPS) dan tahun 2025 sebesar 273.219.000 jiwa (Hasil Proyeksi BPS Indonesia tahun
2025). Dan laju pertumbuhan Indonesia yaitu antara tahun 19711980 : 2,32 persen; pada
tahun 1980-1990 : 1,98 persen; ditahun 19902000: 1,66 persen; 1,34 persen tahun 2000
2005; tahun 2005-2010 :1,27 persen; dan tahun 2020-2025 : 0,92 persen. Jumlah penduduk
yang besar dengan laju pertumbuhannya yang tinggi akan menghambat usaha peningkatan
dan pemerataan kesejateraan rakyat di berbagai bidang kehidupan.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup tahun 1998 tingginya jumlah penduduk
mengakibatkan rendahnya taraf kehidupan penduduk serta ketidak mampuan pemerintah
menangulanginya, tingginya angka pengangguran, meningkatnya jumlah kemiskinan,
rendahnya kualitas kesehatan dan pendidikan penduduk (BPS, 2005: 78). Ada tiga penyebab
yang mempengaruhi perkembangan jumlah penduduk yaitu, fertilitas (kelahiran), Mortalitas
(kematian) dan Migrasi (BPS,2005). Dari ketiga faktor tersebut, selama ini hanya faktor
fertilitas yang menjadi permasalahan yang utama dalam hal kependudukan. Secara nasional
pertambahan penduduk Indonesia hanya dipengaruhi oleh selisih antara tingkat kelahiran
dengan tingkat kematian (Singarimbun dan Sofian,2005: 1). Untuk itu sejak tahun 1968
pemerintah mendirikan Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN), yang dalam
menjalankan tugasnya diawasi dan dibimbing oleh Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat,
2

yang berfungsi untuk dapat menekan angka kelahiran melalui program keluarga berencana,
yang merupakan bagian dari program pembangunan nasional. Program ini sengaja
dicanangkan dengan harapan pertumbuhan penduduk akibat dari faktor kelahiran atau
fertilitas dari tahun ketahun dapat diturunkan, (BPS,2012).
C. Pengaruh sosial ekonomi terhadap fertilitas
Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang kuat terhadap
fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar pemikiran utama dari teori transisi demografis
yang sudah terkenal luas adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosialekonomi, maka fertilitas lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Berbagai metode pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan, senggama terputus
dan kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami isteri yang tidak menginginkan
mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti
memikul beban ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan material.
Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum bahwa hal inilah yang
menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara dalam abad 19. Leibenstein dapat
dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang dikenal dengan teori ekonomi tentang
fertilitas.
Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu aspek kegunaannya (utility) dan
aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas
jasa ekonomi atau membantu dalam kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang
dapat menghidupi orang tua di masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan
anak adalah biaya dari mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak
dapat dibedakan atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya
langsung adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi
kebutuhan sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya
tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang anak.
Misalnya, seoarang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak, kehilangan
penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua yang mempunyai
tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan maka aspirasi orang tua akan
berubah. Orang tua menginginkan anak dengan kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik.

Pengembangan lebih lanjut tentang ekonomi fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan
artikelnya yang cukup terkenal yaitu An Economic Analysis of Fertility. Menurut Becker
anak dari sisi ekonomi pada dasarnya dapat dianggap sebagai barang konsumsi (a
consumption good, consumers durable) yang memberikan suatu kepuasan (utility) tertentu
bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan dan kepuasan
(satisfaction). Secara ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, biaya
memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income) dapat meningkatkan
permintaan terhadap anak. Karya Becker kemudian berkembang terus antara lain dengan
terbitanya buku A Treatise on the Family.
Perkembangan selanjutnya analisis ekonomi fertilitas tersebut kemudian membentuk
teori baru yang disebut sebagai ekonomi rumah tangga (household economics). Analisis
ekonomi fertilitas yang dilakukan oleh Becker kemudian diikuti pula oleh beberapa ahli lain
seperti Paul T. Schultz, Mark Nerlove, Robert J. Willis dan sebagainya. Dalam tulisannya
yang berjudul Economic growth and population:
Perspective of the new home economics6 Nerlove mengemukakan:
Ekonomi rumah tangga terdiri dari empat unsur utama, yaitu (a) suatu fungsi kegunaan.
Yang dimaksud kegunaan disini bukanlah dalam arti komoditi fisik melainkan berbagai
kepuasan yang dihasilkan rumah tangga; (b) suatu teknologi produksi rumah tangga; (c)
suatu lingkungan pasar tenaga kerja yang menyediakan sarana untuk merubah sumbersumber daya rumah tangga menjadi komoditi pasar; dan (d) sejumlah keterbatasan sumbersumber daya rumah tangga yang terdiri dari harta warisan dan waktu yang tersedia bagi
setiap anggota rumah tangga untuk melakukan produksi rumah tangga dan kegiatankegiatan
pasar. Waktu yang tersedia dapat berbeda-beda kualitasnya, dan dalam hal ini tentunya
termasuk juga sumberdaya manusia (human capital) yang diwariskan dan investasi
sumberdaya manusia dilakukan oleh suatu generasi baik untuk kepentingan tingkah laku
generasi-generasi yang akan datang maupun untuk kepentingan tingkah laku sendiri
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa permintaan akan anak berkurang bila
pendapatan meningkat; yakni apa yang menyebabkan

harga pelayanan anak berkaitan

dengan pelayanan komoditi lainnya meningkat jika pendapatan meningkat? New household
economics berpendapat bahwa:
(a) orang tua mulai lebih menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah
yang hanya sedikit sehingga harga beli meningkat;

(b) bila pendapatan dan pendidikan meningkat makan semakin banyak waktu (khususnya
waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.
JURNAL YANG MENDUKUNG SOSIAL EKONOMI BERPENGARUH TERHADAP
FERTILITAS

Hasil penelitian :

Dari hasil penelitia n didapatkan secara persentase mayoritas rumahtangga wanita kawin/
pernah kawin di Provinsi Aceh berpendapatan kurang Rp 1.000.000,-; yaitu 98,57 persen dan
hanya 1,06 persen berpendapatan diatas Rp.1.000.000,-. Data tersebut juga menunjukan
bahwa semakin besar pendapatan rumahtangga maka persentase wanita kawin/ pernah kawin
semakin kecil persentase rumahtangga yang memiliki anak lebih dari dua orang.
Rumahtangga yang memiliki anak kurang dari dua orang mempunyai pola persentase tak jauh
berbeda dengan dengan rumahtangga yang memiliki anak lebih dari dua
SURVEY BESAR SOSIAL EKONOMI BERPENGARUH TERHADAP FERTILITAS

D. Gender
Gender adalah sifat melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk oleh
faktor soaial atau budaya sehingga menghasilkan pandangan berbeda mengenai perbedaan
peran antara laki-laki dan perempuan. Bentuk sosial yang mucul adalah pandangan bahwa
perempuan sebagai makhluk lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sedangkan
laki-laki dianggap sebagai makhluk kuat, rasiona;, jantan dan perkasa. Gender merupakan
suatu konsep sosial yang membedakan peran antara laki-laki dan perempuan. Pembedaan
peran bukan berdasarkan perbedaan biologis, tetapi dipisahkan menurut kedudukan,
fungsi, dan peran masing-masing di dalam kehidupan
Dalam memperjelas konsep seks dan gender, Unger (dalam Handayani, 2006)
membedakannya menjadi :
1. Sumber pembeda
Seks bersumber kepada Tuhan (Kodrati) yang sudah dibawa sejak lahir, sedangkan
pembeda gender ada manusia (masyarakat).
2. Visi dan misi
Visi dan misi seks adalah kesetaraan, sedangkan gender adalah kebiasaan
3. Unsur pembeda
Unsur pembeda pada seks adalah alat reproduksi (biologis), sedangkan gender adalah
kebudayaan (tingkah laku)
4. Sifat
Seks bersifat kodrat, tertentu dan tidak dapat dipertukarkan. Sedangkan gender
bersifar harkat, martabat dan dapat dipertukarkan.
5. Dampak
Seks membawa dampat terciptanya nilai kesempurnaan, kenikmata, kedamaian, dan
sebagainya sehingga menguntungkan kedua belah pihak. Sedangkan gender
membawa dampak terciptanya ketentuan tentang pantas atau tidak pantas,
misalnya laki-laki pantas menjadi pemimpin dan perempuan pantas dipimpin.
Sehingga sering merugikan salah satu pihak, yaitu perempuan.
6. Keberlakuan
Seks berlaku sepanjang masa dan dimana saja, serta tidak mengenaal pembedaan
kelas. Sedangkan gender dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas.

E. Kedudukan Perempuan dari Berbagai Sudut Pandang


1. Perspektif Ekonomi
Charlotter P. Gilman dalam tulisannya berjudul Women and Econimic mengatakan
bahwa apabila seorang perempuan secara ekonomi dominan terhadap laki-laki, maka
ia dapat memegang kedudukan yang superior terhadap laki-laki. Saat laki-laki mulai
memberi makan dan melindungi perempuan, maka secara proporsional perempuan
akan berhenti memberi makan dan melindungi dirinya sendiri.
2. Perspektif Politis
Seorang perempuan tidak mempunyai kebebasan secara ekonomi karena masih
tergantung dengan suaminya. Hal tersebut membuat perempuan tidak memiliki
kendali atas properti dan alat produksi sehingga perempuan tidak memiliki akses
untuk berpartisipasi dalam ranah politik.
3. Perspektif Budaya
Pembagian peran laki-lai dan perempuan ditentukan oleh apa yang disebut
biogrammar, susunan hayati. Menurut teori ini laki-laki cenderung agresif dan
dominan apabila dibanding dengan perempuan. Biogrommar mengalami penyesuaian
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berburu, termasuk di dalamnya
pembagian kerja berdasarkan karakteristik seksual.
F. Pengaruh Gender Terhadap Fertilitas
Pengaruh

Gender

Terhadap

Kesehatan

Reproduksi

Perempuan

diantaranya Menikah pada usia muda bagi perempuan berdampak negatif terhadap
kesehatannya. Namun menikah di usia muda kebanyakan bukanlah keputusan mereka,
melainkan karena ketidakberdayaannya (isu gender). Di beberapa tempat di Indonesia,
kawin muda dianggap sebagai takdir yang tak bisa ditolak. Perempuan tidak berdaya untuk
memutuskan kawin dan dengan siapa mereka akan menikah. Keputusan pada umumnya
ada di tangan laki-laki; ayah ataupun keluarga laki-laki lainnya.
Kelahiran seorang anak dimulai dengan sebuah proses pengambilan keputusan dalam
keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan (desird fertility). Pengambilan keputusan
ini bisa dilakukan oleh istri atau suami saja atau bersama-sama. Selain itu terdapat juga
pengaturan jumlah anak yang didasari oleh program KB (Keluarga Berencana) untuk
membatasi jumlah anak yang dimiliki. Semakin mudah dan murah akses keluarga terhadap
sarana dan prasarana kontrasepsi maka akan semakin mungkin jumlah anak yang
dilahirkan (actual fertility) mendekati jumlah anak yang diinginkan (desired fertility).
8

Sebaliknya jika aksses keluarga terhadap sarana dan prasarana semakin sulit dan mahal
maka actual fertility akan semakin besar dan tidak sesuai dengan yang diinginkan
Relasi gender merupakan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan yang
dibentuk secara sosial dan budaya dalam melakukan segala hal. Hubungan gender berbeda
dari waktu ke waktu, dan antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, akibat
perbedaan suku, agama, status sosial maupun nilai (tradisi dan norma yang dianut). Dalam
relasi ini kemudian muncul upaya kesetaraan gender ketika ternyata dalam relasi ini ada
fakta bahwa dalam lingkungan dan budaya tertentu belum terjadi kesetaraan gender.
Semakin harmonis relasi gender tersebut maka semakin kuat pengaruhnya terhadap
fertilitas. Dalam konteks seksualitas dan reproduksi yang sehat, relasi gender yang
harmonis, menggambarkan suatu sifat saling membantu, saling memahami, menghargai,
dan menghormati antara laki-laki dan perempuan (Hatmadji, Sri Harijati, 2003)
Hubungan yang terjadi antara suami dan istri yang tercermin dalam relasi gender
didalam keluarga merupakan konstruksi dari nilai dan norma sosial budaya dalam lingkup
komuitas. Menurut Riley (1997) semakin kecil perbedaan peran gender anatar laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat, perempuan dapat memperoleh status dan kuasa di
masyarakat dan memiliki kontrol terhadap aspek reproduksinya. Saat perempuan memiliki
otonomi lebih besar, kesehatan ibu dan anak semakin meningkat, fertilitas dan kematian
anak menurun dan pertumbuhan penduduk akan lebih lambat.
Hakim et al (2003) menggunakan survey fertilitas dan keluarga berencana di Pakistan
pada tahun 1996-1997, menyimpulkan bahwa terdapat tiga indikator utama otonomi
perempuan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi, yaitu :
1. Mobilitas spesial
2. Pengambilan keputusan mengenai perawatan anak
3. Pengambilan keputusan mengenai pembelian makanan
Dalam studinya dikatakan bahwa semakin tinggi kontrol perempuan dalam
pengambilan keputusan mengenai pembelian makanan, maa dapat berpengaruh
terhadpa indikator lain. Ketiga indikator tersebut digunakan sejalan dengan penelitian
yang pernah dilakukan oleh peneliti lain di lima negara Asia.

Pada abad 20, terjadi revolusi dalam tingkat kesetaraan gender pada masing-masing
negara, terutama negara-negara maju. Pada awalnya dimulai dari titik dimana perempuan
memiliki sedikit atau tidak ada keadilan dalam bidang pendidikan, pasar kerja. Masa
tersebut berakhir pada saat ini, tingkat keadilan terhadap perempuan cukup tinggi apalagi
dalam bidang pasar kerja.

Selain itu, saat ini kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan yang lebih
tinggi semakin terbuka, sehingga menyebabkan banyak perempuan yang menunda
perkawinan. Banyak wanita saat ini menghabiskan waktunya untuk pendidikan. Selain itu
wanita dengan pendidikan tinggi cenderung memilih untuk melanjutkan karir mereka
terlebih dahulu sebelum memasuki masa perkawinan. Pendidikan yang saat ini diperoleh
oleh wanita secara luas, akan berdampak terhadap pengetahuan yang mereka miliki
terutama mengenai fertilitas (Yuniarti S, 2011).

10

Terdapat penelitian yang pernah dilakukan oleh Mason dan Smith (1999) yang
menekankan terhadap indikator pada level individu yang mempunyai pengaruh lebih
lemah dibandingkan dengan indikator pada tingkat sosial atau komunitas. Mason dan
Smith juga menekankan pentingnya untuk secara bersama-sama mengubah norma gender
di level komunitas dan meningkatkan aspek individual perempuan seperti peningkatan
usia kawin dan pendidikan dan kesempatan kerja dalam upaya pemberdayaan perempuan
untuk meningkatkan statusnya dalam relasi gender. Dalam upaya melihat indikator
keterbedayaan perempuan, Mason dan Smith berdasarkan hasil penelitiannya di 56
komunitas di lima negara Asia (Pakistan, India, Malaysia, Thailand, dan Filipina)
merumuskan lima aspek :
1. Kuasa

perempuan

dalam

pembuatan

keputusan

ekonomi-

apakah

mereka

berpartisipasi dalam keputusa-keputusan ekonomi yang besar dalam keluarga dan


apakah mereka memiliki kebebesan dalam membuat keputusan ekonomi yang lebih
kecil tanpa harus bertanya ke anggota keluarga lain?
2. Kebebasan perempuan dalam pembuatan keputusan terkait ukuran keluarga apakah
mereka berpartisipasi atau ikut mengontrol keputusan mengenai jumlah anak yang
dimiliki.
3. Kebebasan perempuan untuk melakukan mobilitas fisik dapatkah mereka
mengunjungi tempat-tempat misalnya pasar lokal, layanan kesehatan atau taman di
luar desa tanpa harus bertanya terlebih dahulu kepada anggota keluarga lain.
4. Kontrol suami terhadap istri melalui intimidasi dan paksaan apakah mereka takut
untuk tidak setuju dengan pendapat suami karena khawatir suami akan marah, dan
apakah suami pernah memukul mereka.
5. Menulusuri hubungan gender dan fertilitas, yaitu dengan melihat tingkat gender di
level komunitas yang dipahami oleh individu
11

Hasil yang didapatkan adalah semakin perempuan mempunyai kuasa dalam


pengambilan keputusan yang lebih besar dan kebebasan bergerakm mereka memilih
actual fertility yang lebih rendah, keinginan yang lebih rendah untuk menambah anak, dan
penggunaan kontrasepsi yang lebih tinggi. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hakim et al (2003) di Pakistan yang mengemukakan
bahwa indikator otonomi perempuan sebagaimana yang digunakan oleh Maron dan Smith
berkolerasi positif dengan penggunaan kontra spesi. Aspek otonomi perempuan yang
terkuat pengaruhnya terhadap penggunaan kontrasepsi adalah pengambilan keputusan
ekonomi rumah tangga dalam hal pemberlian makanan.

DAFTAR PUSTAKA

12

Biro Pusat Statistik, Estimasi Fertilitas, Mortalitas dan Migrasi. Hasil Survei
Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, Seri: S3, Biro Pusat Statistik, Jakarta, 1997
Ghuman, S.J., Lee, H.J. & Smith, H.L., 2004. PSC Research Report. Diakses dari :
http://www.psc.isr.umich.edu/pubs/pdf/rr04-556.pdf
Handayani, Trisakti dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, Edisi Revisi,
Cetakan Kedua, UMM Press, Malang, 2006.
Hatmadji, Sri Harijati. 2003. Relasi Gender dan pengaruhnya terhadap fertilitas Warta
Demografi vol. 33 no. 01 (2003), page 7-15.
Diakses dalam https://lib.atmajaya.ac.id/default.aspx?tabID=61&src=a&id=50695 pada 21
April 2016
Hull, Terence H. & Valerie J. Hull, Hubungan Antara Status Ekonomi dan Fertilitas,
Lembaga Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1976
Nasir , Muhammad . Analisis faktor-faktor ekonomi dan sosial yang mempengaruhi
fertilitas di provinsi aceh. 2012
Riley, N.E. 1997. Gender, Power, and Population Change. Dalam: Population Bulletin
Vol. 52, No. 1, Mei 1997. Diakses dari : http://download.springer.com/static/pdf/837/
Robinson, Warren C. & Sarah F. Harbison, Menuju Teori Fertilitas Terpadu, Pusat
Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta,1993
Sari, Melly Selfita Dian. Hubungan Fertilitas Dengan Kondisi-Kondisi Sosial
Ekonomi Masyarkat Kecamatan Tlanakan Kabupaten Pamekasan Jurusan Pendidikan
Geografi FIS Universitas Negeri Malang. Pembimbing I Drs. Djoko Soelistijo, M.Si.
Pembimbing II Drs. Singgih Susilo, M.Si. 2010.
Yuniarti S, Sukandar H, Susiarni H. (2011). Analisis Faktor yang Berhubungan
dengan Fertilitas Suatu Kajian Literatur. Diakses dari : http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/06/Analisis-Faktor-Yang-Berhubungan-Dengan-Fertilitas.pdf
13

http://demography.anu.edu.au/sites/default/files/publications/pop-futures/genderfert.pdf

14

You might also like