Professional Documents
Culture Documents
GENERAL ANESTESI
Penyusun :
Hanifah Astrid Ernawati
G99131041
Pembimbing :
dr. Fitri Hapsari Dewi, Sp. An
anestesi
umum
juga
termasuk
mengendalikan
pernapasan
digunakan
dalam
pembedahan
dikamar
operasi,
juga
dapat
menenangkan pasien dalam keadaan gawat darurat. Oleh karena itu sebagai
dokter umum, sebaiknya mengetahui tentang anestesi umum intravena.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,
tanpa" dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel
Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan
anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam
anestetik umum dan anestetik lokal. Berdasarkan pada dalamnya pembiusan,
anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi
nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,
sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia (Silistia, 1995).
Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan
anestesi umum dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi
lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh
tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada
anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak
terjadi kehilangan kesadaran (Soenardjo, 2010).
Menurut bentuk fisiknya, anestesi umum dibagi menjadi 2 macam yaitu
anestesi inhalasi dan anestesi intravena.
B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum
Faktor respirasi
Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam
paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan
parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui
membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat
anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan
tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi
hal tersebut adalah:
Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi
konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika
dalam alveolus.
Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat
meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada
hipoventilasi.
Faktor sirkulasi
Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena
Factor-faktor yang mempengaruhi:
1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam
alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika
diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.
2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika
dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya
dalam keadaan seimbang.
3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin
banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika
yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga
induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.
Faktor jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar
zat anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung,
hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah
jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi
dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14%
curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat
yang lain (Silistia, 1996).
D. Stadium Anestesi
Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi
anestesi, agar tidak membahayakan penderita, tetapi cukup adekuat untuk
melakukan operasi.
1. Stadium I (Stadium analgesi atau stadium disorientasi)
Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada
stadium ini, operasi kecil dapat dilakukan.
2. Stadium II (stadium delirium atau stadium eksitasi)
Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada
stadium ini penderita bisa meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil
melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi
(+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk
atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.
Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak
mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini dapat
membahayakan penderita sehingga harus segera diakhiri. Keadaan ini
dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,
persiapan psikologis penderita dan induksi yang halus dan tepat.
3. Stadium III (Stadium operasi)
Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Stadium ini
dibagi menjadi 4 plana :
Plana I
: Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan
abdominal
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya
(+), lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah
Plana II
menurun.
: Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise
seluruh otot interkostal.
Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari
torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin
melebar dan reflek cahaya menjadi hilang, lakrimasi
negatif, reflek laring dan peritoneal menghilang, tonus otot
Plana IV
makin menurun.
: Dari paralise semua otot intercostal sampai paralise
diafragma
Ditandai dengan paralise otot intercostal, pernafasan
lambat, ireguler dan tidak adekuat. Tonus otot makin
menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, reflek
cahaya negatif, reflek spinchter ani negatif.
4. Stadium IV
Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Disebut juga
stadium overdosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya
semua reflek, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan
circulatory failure.
E. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI
Kegagalan untuk mempersiapkan keadaan pasien sering terjadi dan
biasanya dapat dihindari dengan mudah untuk mencegah kecelakaan yang
berhubungan dengan anestesi. Persiapan ini menyangkut setiap aspek
terhadap kondisi pasien dan tidak hanya permasalahan patologis yang
membutuhkan operasi.
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu
mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,
gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang
anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan
5. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko
utama
pada
pasien-pasien
yang
menjalani
anestesia.
Untuk
Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara
intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang
sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti
obat-obat dapat diberikan secara intravena, obat akan efektif dalam 3 5 menit. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan
belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi
intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila
diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi
kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian
secara perlahan-lahan dan diencerkan.
Obat-obat yang sering digunakan:
a) Analgesik narkotik
1) Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
2) Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
3) Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3g/kgBB
b) Analgesik non narkotik
1) Ketorolak
2) Asam mefenamat
3) Natrium diklofenak
4) Tramadol
c) Hipnotik
1) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
2) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
d) Sedatif
1) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
2) Midazolam/dormicum
(amp
5cc/3cc
15
mg),dosis
0,1mg/kgBB
e) Antikolinergik
1) Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001
mg/kgBB
f) Anti emetic
1) Simetidin dan Ranitidin
2) Ondancentron
7. Obat-Obat Induksi Anestesi Intravena
Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat
yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan
barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri
maupun
kombinasi
untuk
mendapat
keadaan
seperti
pada
pemulihan
kesadaran
berlangsung
cepat.
Dapat
kardiovaskuler.
Induksi
bolus
2-2,5
mg/kg
dapat
nafas
kendali)
serta
pemberian
drip
melalui
infus
Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal
sesuai kebutuhan.(5) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan
adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang
dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(5) Ketamin dapat
diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis
0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias dapat diberikan
sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3)
Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun
sebagai induksi pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana
pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatriks
daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi
(radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien
dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital;
5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi
tidak ada; 7.) pasien asma. .(1)(4)
Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada:
1.) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan
diastolic 100mmHg; 2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan
decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada
pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring
karena reflex masih baik.
Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan
mimpi buruk sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24
jam pasca pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan
pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi. .(1)(4)
8. Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)
Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan
inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak
sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan
total
intravena,
pelumpuh
otot
dan
ventilator.
Untuk
dengan
pernafasan
spontan
tanpa
menggunakan
pipa
spasme
jalan
nafas,
batuk,
muntah,
gangguan
BAB III
KESIMPULAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Laboratorium
Klasifikasi Status Fisik
Masukan Oral
Premedikasi
Obat-obat Induksi Intravena
Pemeliharaan Anastesi (Maintanance)
Pemulihan Anastesi
DAFTAR PUSTAKA
Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan,
tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI
Jakarta 2012; 210-218
Fentanyl.
Available
at:
http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl.