You are on page 1of 35

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang maha Esa, karena atas
berkat-Nya, penulis dapat menyelesaikan refarat ini. Penulis juga ingin mengucapkan
banyak terimakasih kepada dosen pembimbing refarat dr.Abdul Rohman,Sp.P
sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat ini. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam penulisan refarat ini, tetapi sekiranya melalui refarat ini dapat
menambah ilmu pengetahuan dan tingkat kewaspadaan kita, khususnya terhadap
penyakit tuberculosis ini.
Salam Hormat

Rosalina Hutapea
030,10,240

BAB I
PENDAHULUAN
Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan yang banyak dijumpai di dunia. Penyakit
ini ditularkan oleh kuman basil Mycobacterium tuberculosis, penyebarannya melalui
udara yang dibatukkan oleh pengidap TB. Kuman ini menyerang paru dan terkadang
dapat berkomplikasi ke organ lain. Untuk mendeteksi penyakit dapat dilihat dari
biakan kuman di sputum pasien. Tanpa terapi yang benar, maka prevalensi
peningkatan penyakit ini makin meningkat.
1

Jumlah kasus terbanyak adalah di wilayah Asia Tenggara (35%), Afrika (30%) dan
regio Pasifik Barat (20%). Berdasarkan data yang terkumpul pada tahun 2012, sekitar
8.3 juta yang mengidap TB, sekitar 1,8 juta meninggal akibat penyakit tersebut, dan
sekitar 320.000 yang meninggal dengan HIV positif. HIV dan TB merupakan
kombinasi penyakit yang mematikan, apabila seseorang dengan HIV positif dan
terinfeksi penyakit TB, akan beresiko untuk menderita TB lebih besar dibandingan
HIV negatif.
Pada tahun 1993 WHO telah mengumumkan bahwa penyakit tuberkulosis merupakan
kedaruratan kedua yang dapat mengancam jiwa dan prevalensinya terus meningkat.
Tetapi sekitar 20 tahun kedepan, insidensi penyakit ini mulai menurun sekitar 45%.
Delapan belas tahun yang lalu, strategi untuk menurunkan insidens dengan
menggunakan program DOTs dan sekitar tahun 2015 mengembangkan program
MDGs (Millennium Development Goals). Adapun tujuan nomor 6 dari MDGs yaitu
untuk memberantas HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya termasuk TB.
Di Indonesia, pada tahun 2010 target indikator case detection rate (CDR) sebesar
73% dengan capaian 73.02% dan target angka keberhasilan pengobatan atau success
rate (SR) 88% sedangkan pencapaian adalah 89.3%. Untuk tahun 2014, target CDR
dan SR adalah 90% dan 88%. Target stop TB partnership pada tahun 2015 yaitu
mengurangi rerata prevalens dan kematian dibandingkan pada tahun 1990. Pada tahun
2050 targetnya dalam mengurangi insidens global kasus TB aktif menjadi kurang dari
1 kasus per satu juta populasi per tahun.1

BAB II
PENDAHULUAN
EPIDEMIOLOGI
Secara global pada tahun 2012, penderita tuberkulosis semakin menurun. Di wilayah
Afrika, sekitar 1.1 juta dari 8.6 Juta yang terkena TB memiliki HIV positif. Sekitar
450.000 yang berkembang menjadi MDR-TB dan sekitar 177.000 meninggal akibat
MDR TB. Pria merupakan penyumbang terbanyak yang mengidap TB dan mengalami
kematian. Tetapi dari beberapa data menyimpulkan bahwa TB termasuk dalam tiga
pembunuh terbesar, sekitar 410.000 yang meninggal akibat TB dan 117.000 yang
termasuk meninggal akibat TB HIVnya.2
DEFINISI
Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman basil
Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium Tuberculosis
Kuman tuberkulosis berbentuk batang dengan ukuran 2-4 x 0,2-0,5m, dengan
bentuk uniform, tidak berspora dan tidak bersimpai. Dinding sel mengandung lipid
sehingga memerlukan pewarnaan khusus agar dapat terjadi penetrasi zat warna. Yang
lazim digunakan adalah pengecatan Ziehl-Nielsen. Kandungan lipid pada dinding sel
menyebabkan kuman TB sangat tahan terhadap asam basa dan tahan terhadap kerja
bakterisidal

antibiotika.

M.Tuberculosis

mengandung

beberapa

antigen

dan

determinan antigenik yang dimiliki mikobakterium lain sehingga dapat menimbulkan


reaksi silang. Sebagian besar antigen kuman terdapat pada dinding sel yang dapat
menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Kuman TB tumbuh secara obligat
aerob. Energi diperoleh dari oksidasi senyawa karbon yang sederhana. CO2 dapat
merangsang pertumbuhan. Dapat tumbuh dengan suhu 30-40 0 C dan suhu optimum
3

37-380 C. Kuman akan mati pada suhu 600 C selama 15-20 menit. Pengurangan
oksigen dapat menurunkan metabolisme kuman.3
KLASIFIKASI
A. TUBERKULOSIS PARU

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak


termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA


positif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan


kelainan radiologi menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan


biakan positif

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran


klinis dan kelainan radiologi menunjukkan tuberkulosis aktif
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M. tuberculosis
2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b.
Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan


tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif

atau

biakan

positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologi dicurigai
lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan
beberapa kemungkinan :

- Lesi nontuberkulosis (pneumonia, bronkiektasis, jamur, keganasan dll)

- TB paru kambuh yang ditentukan oleh dokter spesialis yang


berkompeten menangani kasus tuberkulosis
c.
Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak
mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d.
Kasus gagal

Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi
positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau
5

akhir pengobatan.
e.
Kasus kronik

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai
pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang
baik
f.
Kasus Bekas TB:

- Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT
adekuat akan lebih mendukung

- Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat


pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan
gambaran radiologi

B. TUBERKULOSIS EKSTRA PARU

Tuberkulosis ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain


selain paru, misalnya kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran
kencing

dan

lain-lain.

Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari
tempat lesi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan
spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB
ekstraparu aktif.

Gambar 2. Skema klasifikasi tuberkulosis

PATOGENESIS TUBERKULOSIS
a. Tuberkulosis primer
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam bentuk droplet yang terhirup,
dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh
mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman
TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi,
pada sebagian kecil kasus,makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
7

kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi
pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut fokus primer gohn. Dari fokus
primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang
diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan
sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB
biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12
minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah
103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas
seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan
menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga
mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru
8

atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan
menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau
paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar
karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis.
Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang
sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen,
kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai
penyakit sistemik. Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam
bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui
cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga
tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai
organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan
kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup
dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi
penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di
apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON.
b. Tuberkulosis Post Primer
Tuberkulosis

postprimer

akan

muncul

bertahun-tahun

kemudian

setelah
9

tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Mayoritas 90% karena
reinfeksi, diakibatkan karena sistem imun yang menurun, karena malnutrisi,
DM,maligna,AIDS,maupun gagal ginjal. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan
sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
2. Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif kembali
dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila jaringan keju
dibatukkan keluar.

3. Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kaviti


akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kaviti awalnya
berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kaviti sklerotik).
Kaviti tersebut akan menjadi:

a. meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang


pneumoni ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di
atas

b. memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.


Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi

c. bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh

dengan

membungkus

diri

dan

akhirnya

mengecil.

Kemungkinan berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut


sehingga kelihatan seperti bintang (stellate shaped).
Bertahun tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, fokus TB ini dapat
10

mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis,


TB tulang, dan lain-lain.5

DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis memerlukan beberapa kritera, yaitu berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang.

GEJALA KLINIS
TB paru sering menimbulkan gejala klinis yang dapat dibagi menjadi 2 yaitu
gejala respiratorik dan gejala sistematik. Gejala respiratorik seperti batuk, batuk
darah, sesak napas, nyeri dada, sedangkan gejala sistemik seperti demam, keringat
malam, anoreksia, penurunan berat badan dan malaise. Gejala respiratorik ini
sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat
tergantung dari luasnya lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka mungkin pasien
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi akibat adanya iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak keluar. Pada awal
perkembangan penyakit sangat sulit menemukan kelainan pada pemeriksaan fisik.
Kelainan yang dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen
posterior.

PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai antara lain suara napas bronkial, amforik,
suara napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diapragma dan
11

mediastinum. Untuk yang diduga menderita TB paru, diperiksa 3 spesimen dahak


dalam waktu 2 hari yaitu sewaktu pagi sewaktu (SPS). Berdasarkan panduan
program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
dijumpainya kuman TB (BTA). Sedangkan pemeriksaan lain seperti foto toraks,
biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sesuai
dengan indikasinya dan tidak dibenarkan dalam mendiagnosis TB jika diagnosis
dibuat hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman TB mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan
bakteriologis ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, bilasan bronkus, liquor
cerebrospinal, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin, faeces, dan jaringan
biopsi.
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan rutin adalah foto toraks PA. Pemeriksaan atas indikasi seperti foto
apikolordotik, oblik, CT Scan. Tuberkulosis memberikan gambaran bermacammacam pada foto toraks. Gambaran radiologis yang ditemukan dapat berupa:

bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apikal lobus bawah

bayangan berawan atau berbercak

Adanya kavitas tunggal atau ganda

Bayangan bercak milier

Bayangan efusi pleura, umumnya unilateral

Destroyed lobe sampai destroyed lung

Kalsifikasi

Schwarte

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia luasnya proses yang tampak pada
foto toraks dapat dibagi sebagai berikut:
-

Lesi minimal (Minimal Lesion): Bila proses tuberkulosis paru mengenai


sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume
paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus

12

spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V dan tidak
dijumpai kavitas.
-

Lesi luas (FarAdvanced): Kelainan lebih luas dari lesi minimal

Pemeriksaan Khusus
Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik baru yang dapat mendeteksi
kuman TB seperti :
a. BACTEC: dengan metode radiometrik , dimana CO2 yang dihasilkan dari
metabolisme asam lemak M.tuberculosis dideteksi growth indexnya.
b. Polymerase chain reaction (PCR) dengan cara mendeteksi DNA dari
M.tuberculosis, hanya saja masalah teknik dalam pemeriksaan ini adalah
kemungkinan kontaminasi.
c. Pemeriksaan serologi : seperti ELISA, ICT dan Mycodot
Pemeriksaan Penunjang Lain
Seperti analisa cairan pleura dan histopatologi jaringan, pemeriksaan darah
dimana LED biasanya meningkat, tetapi tidak dapat digunakan sebagai indikator
yang spesifik pada TB. Di Indonesia dengan prevalensi yang tinggi, uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnosis penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini
mempunyai makna bila didapatkan konversi, bula atau kepositifan yang didapat
besar sekali.
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif dan fase lanjutan.
Pada umumnya lama pengobatan adalah 6-8 bulan.
Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai:
Jenis obat lini pertama : IINH, Rimfampisin, Pirazinamid, Etambutol,
Streptomisin
Jenis obat lini kedua : Kanamisin, Kapreomisin, Amikasin, Kuinolon,
Sikloserin, Etionamid, Para Amino Salisilat (PAS)
DOSIS OAT
Obat

Dosis

R
H
Z

8-12
4-6
20-30

Harian
10
5
25

Intermitten
10
10
35

600
300

Dosis maks
<40
40-60
300
450
300
300
750
1000

>60
600
300
1500
13

15-20

15

30

750
1000
Sesuai
S
15-18
15
15
1000
750
BB
Pada tahun 1998 International Union Againts Tuberculosis and Lug Disease

1500
1000

(IUASLTD) dan WHO,menyarankan untuk penggantian dosis obat tunggal dengan


obat kombinasi dosis tetap, seperti di bawah ini:
Fase Intensif
2-3 bulan
Harian
RHZE
150/75/400/275
2
3
4
5

30-37
38-54
55-70
>71

False Lanjutan
4 bulan
Harian

3x/minggu
RH
150/150
2
3
4
5

2
3
4
5

Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:


a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 2 RHZE atau 2
RHZE

Paduan

ini
a. TB

paru

4R3H3
dianjurkan

BTA

(+),

kasus

untuk
baru

b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh
paru)
b. TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Paduan obat yang dianjurkan : 2 RHZE / 4 RH atau 6 RHE atau 2 RHZE /
4R3H3
c. TB

paru

kasus

kambuh

Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase
lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan.
d. TB

Paru

kasus

gagal

pengobatan

Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh
paduan: 3-6 bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan
15-18 bulan ofloksasin, etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak
14

memungkinkan pada fase awal dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase


lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji
resistensi

dapat

diberikan

obat

RHE

selama

bulan.

- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil


yang

optimal

- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru


e. TB

Paru

kasus

putus

berobat

Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali


sesuai

dengan
a.

kriteria

sebagai

Berobat

berikut

>

:
bulan

1) BTA saat ini negative


Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut
untuk memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga
kemungkinan penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan
dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan

yang

lebih

lama.

2) BTA saat ini positif


Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka
b.

waktu
Berobat

pengobatan

yang
<

lebih
4

lama
bulan

1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan


obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan
diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji

resistensi terhadap OAT.

f. TB Paru kasus kronik


Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil

15

uji resistensi (minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif)


ditambah dengan obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll.
Pengobatan minimal 18 bulan.
1. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
2. Pertimbangkan

pembedahan

untuk

meningkatkan

kemungkinan

penyembuhan
3. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
Pengobatan Supportif/Simptomatis
1. Pasien rawat jalan,
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila
keadaan klinis baik, tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dilakukan
pengobatan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu pengobatan tambahan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi keluhan.
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap:
a. Batuk darah massif
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumothoraks
d. Empiema
e. Efusi pleura massif/bilateral
f. Sesak batas berat
Tb diluar paru yang mengancam jiwa
a. Tb paru milier
b. Meningitis TB
Terapi Pembedahan
Indikasi Operasi:
1. Indikasi mutlak:
a. Pasien batuk darah yang massif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
b. Pasien dengan fistula bronkopleira dan empiemanyang tidak dapat diatasi
secara konservatif
2. Indikasi relatif:
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap
Evaluasi Pengobatan
16

Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.
Evaluasi klinis
Pasien dievaluasi secara periodik
Evaluasi terhadap respon pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat
serta
ada tidaknya komplikasi penyakit.
Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik
Evaluasi bakteriologis (0-2-6/8 bulan pengobatan)
Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknys konversi dahak.
Bila ada fasilitas biakan,dilakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan
Pemeriksan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis.
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
Evaluasi radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yangnjuga dipikirkan
kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
Pada akhir pengobatan.
Evaluasi pasien yang telah sembuh
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.
Hal yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai
indikasi/bila ada gejala)
Definisi kasus hasil pengobatan
Hasil
Definisi
Sembuh
Pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif sebelum pengobatan, dan hasil
pemeriksaan sputum BTA atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta
sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya negatif
Pada foto toraks, gambaran radiologi serial (minimal 2 bulan) tetap
sama/perbaikan
Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negative
Pengobatan Lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak memiliki hasil pemeriksaan
sputum atau kultur pada akhir pengobatan.
Gagal Pengobatan
Pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan kelima atau lebih dalam
17

pengobatan
Meninggal
1. Isoniazid

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT dapat
dilanjutkan.
2. Rifampisin

Pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama dalam pengobatan


Lalai berobat
Pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu dua bulan berturut-turut atau lebih
Pindah
Pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan) berbeda dan hasil akhir
pengobatan belum diketahui
Pengobatan sukses/berhasil
Jumlah pasien yang sembuh ditambah pengobatan lengkap

Efek samping OAT


- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-kadang
diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu
dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air
liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak
perlu khawatir.
3.Pirazinamid
18

Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang
dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4.Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi
5.Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat seiring
dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut akan
meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek samping
yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin parah
dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
(jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gr
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

19

Efek samping

Kemungkinan Penyebab

Minor
Tidak nafsu makan, mual,
Rifampisin
sakit perut
Nyeri sendi
Pyrazinamid
Kesemutan s/d rasa terbakar
INH
di kaki
Warna kemerahan pada air
Rifampisin
seni
Mayor
Gatal dan kemerahan pada
Semua jenis OAT
kulit
Tuli
Streptomisin
Gangguan
keseimbangan
Streptomisin
(vertigo dan nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Imbas Sebagian besar
Obat
(penyebab
lain OAT
disingkirkan)
Muntah dan confusion Sebagian besar
(suspected
drug-induced OAT
pre-icteric hepatitis)
Gangguan penglihatan
Etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin
syok dan purpura

Tatalaksana
OAT diteruskan
Obat
diminum
malam
sebelum tidur
Beri aspirin /allopurinol
Beri vitamin B6 (piridoksin)
1 x 100 mg perhari
Beri penjelasan, tidak perlu
diberi apa-apa
Hentikan obat
Beri
antihistamin
dan
dievaluasi ketat
Streptomisin dihentikan

Streptomisin dihentikan
Hentikan semua OAT sampai
ikterik menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Hentikan semua OAT dan lakukan
uji fungsi hati
Hentikan etambutol
Hentikan rifampisin

KOMPLIKASI
Pada pasien tuberkulosis dapat terjadi beberapa komplikasi, baik sebelum pengobatan
atau dalam masa pengobatan maupun setelah selesai pengobatan. Beberapa
komplikasi yang mungikin timbul adalah :

Batuk darah
Pneumotoraks
Luluh paru
Gagal napas
Gagal jantung
Efusi pleura

TUBERKULOSIS HIV
HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN GEJALA KLINIK
Human Immunodeficiency Virus adalah virus sitoplastik dari famili Retroviridae.
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang merupakan virus RNA
(Ribonucleacid Acid) dengan berat molekul 9.7 kilobases (kb). Pemeriksaan
20

mikroskop elektron memperlihatkan HIV memiliki banyak tonjolan eksternal yang


dibentuk oleh 2 protein utama envelope virus yaitu glikoprotein (gp) 120 disebelah
luar dan gp 41 yang terletak di transmembran. Glikoprotein 120 memiliki afinititas
tinggi terutama regon V3 terhadap reseptor CD4 sehingga bertanggung jawab pada
awal interaksi dengan sel target,sedangkan gp 41 bertanggung jawab dalam proses
internalisasi atau absorbs. CD4 adalah reseptor spesifik pada sel pejamu untuk terjadi
infeksi HIV yang mempunyai afinitas tinggi tehadap HIV terutama terhadap molekul
gp 120. Diantara sel tubuh yang mempunyai molekul CD4 paling banyak adalah sel
limfosit-T. Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada reseptor CD4 limfositT setelah penempelan terjadi fusi kedua membran (HIV dan limfosit) sehingga
seluruh komponen virus masuk ke dalam sitoplasma sel limfosit-T.4
GEJALA KLINIK HIV
Gejala klinik HIV merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan
asimptomatis berkepanjangan hinggga manifestasi AIDS berat. Gejala klinik HIV
dapat dibagi menjadi 4 tahap yaitu :
1. Tahap pertama
Merupakan tahap infeksi akut. Pada tahap ini muncul gejala tapi tidak spesifik.
Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah pajanan HIV berupa demam, rasa
letih, nyeri otot dan sendi, nyeri menelan dan pembesaran kelenjar getah bening.
2. Tahap kedua
Merupakan tahap asimptomatis. Pada tahap ini gejala dan keluhan menghilang.
Tahap ini berlangsung selama 6 minggu sampai beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi tetapi penderita masih normal.
3. Tahap ketiga
Merupakan tahap simptomatis. Keluhan penderita lebih spesifik dengan gradasi
sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak sampai 10%. Pada selaput
mulut terjadi sariawan berulang, infeksi bakteri pada saluran napas atas, namun
penderita dapat melakukan aktifitas meskipun terganggu. Penderita lebih banyak
di tempat tidur.
4. Tahap keempat
Merupakan tahap lanjut atau tahap AIDS. Gejala yang muncul berupa berat badan
turun lebih 10%, diare lebih 1 bulan, demam yang tidak diketahui penyebabnya
berlangsung selama 1 bulan, kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, TB paru.
Penderita hanya berbaring ditempat tidur lebih dari 12 jam sehari selama sebulan
terakhir. Dapat terjadi berbagai macam infeksi berupa pneumocystis pneumonia,

21

toksoplasmosis otak, penyakit sitomegalovirus, infeksi virus herpes, kandidiosis


pada esofagus, trakea, bronkus, paru, infeksi jamur seperti histoplasmosis. Dapat
juga ditemukan keganasan termasuk keganasan kelenjar getah bening dan sarcoma
Kaposi.
PATOGENESIS TB-HIV
Setelah hiv masuk ke dalam tubuh, virus menuju ke kalenjer limfe dan berada didalam
sel dendritik selama beberapa hari. Kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam
flu, disertai viremia hebat dengan keterlibatan berbagai kalenjer limfe. Pada tubuh
timbul respon imun humoral maupun seluler. Sindrom ini akan hilang setelah 1-3
minggu. Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun
tubuh. Proses ini berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara
pembentukan virus baru dan upaya eliminasi oleh respon sistem imun.
Serokonversi (perubahan antibodi negtif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah
infeksi. Kemudian pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi
penurunn bertahap jumlah cd4 yang terjadi setelah replikasi persisten hiv dengan
kadar rna virus relatif konstan. Cd4 adalah reseptor pada limfosit t4 yang menjadi
target sel utama hiv. Mula-mula penurunan jumlah cd4 sekitar 30-60 sel/mm3 per
tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi cepat, yaitu 50-100
sel/mm3 per tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi hiv sampa
masa AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah cd4 akan mencapai dibawah 200
sel/mm3.

22

TB merupakan infeksi oportunistik terbanyak yang ditemukan pada ODHA dan


penyebab kematian utama pada pengidap HIV. TB dapat merangsang HIV agar lebih
cepat menggandakan diri dan memperburuk infeksi HIV. Pengaruh TB terhadap HIV,
selain mempercepat progeresifitas HIV juga berakibat pada mortalitas HIV. Tingkat
mortalitas pengidap HIV yang sekaligus mengidap TB empat kali lipat lebih tinggi
dibandingkan dengan pengidap HIV tanpa TB. TB dengan HIV makin menurunkan
respon imun. Untuk itu, jika Tbnya tidak diobati dahulu, maka mempercepat replikasi
kalau ada koinfeksi.
Pada TB paru aktif, makrofag terinfeksi oleh M. tb yang akan mengekspresikan TNF bersamaan dengan Monocyte Chemotactic Protein 1 (MCP- 1) yang mengaktifkan
replikasi HIV-1. The Long Terminal Repeat (LTR) HIV mengandung 2 NF-kB. TNF-
menginduksi replikasi HIV dimediasi dengan peningkatan aktifitas NF-Kb di sel
mononuklear. M. tuberculosis dapat menyebabkan infeksi lanjut pada CD4 sel T
limfosit dan monosit. M. tuberculosis juga mengaktifkan replikasi HIV-1 pada CD4 T
limfosit yang terinfeksi laten. Masuknya monosit kedalam sel dendrit dapat
memfasilitasi trasmisi HIV-1 ke CD4 T limfosit yang apabila berdiferensiasi ke M. tb
dapat menyebabkan berkembang menjadi infeksi laten HIV-1
Karakteristik
Tb paru : Tb ekstraparu
Gejala Klinik
Kavitas
Alergi Tuberkulin
Dahak mikroskopis
Foto toraks

Late infection
50:50
Sama seperti Tb
primer
Jarang
Sering
Negatif
Tipikal
primer
millier/intertitial
Ada

Early infection
80:20
paru Sama seperti Tb paru post
primer
Sering
Jarang
Positif
TB Reaktivasi TB, kavitas di
puncak
Tidak ada

Adenopati
hilus/mediastinum
Individu yang terinfeksi HIV pada TB paru aktif sangat dipengaruhi oleh derajat

imunodefisiensi.6 Pada pasien terinfeksi HIV dengan CD4+ > 350 cell/L gejala
klinik TB sesuai dengan pasien TB tanpa HIV. Gejala mayor terbatas pada paru dan
biasanya gambaran foto toraks lobus atas berupa gambaran infiltrat fibronodular
dengan atau tanpa kavitas. Gejala ekstraparu lebih sering timbul pada pasien HIV
23

dibandingkan pada pasien yang tidak terinfeksi HIV, walaupun manifestasi klinik
antara pasien terinfeksi HIV dengan tidak terinfeksi HIV tidak secara substantial.
Pada HIV stadium lanjut gambaran foto toraks pada pasien TB paru berbeda
dibandingkan dengan pasien dengan derajat keparahan imunosupresi lebih rendah.
Pada lobus bawah, lobus tengah, gambaran infiltrate milier lebih biasa dan kavitas
lebih jarang. Hal ini bisa terjadi karena pada sistem imun yang menurun tidak mampu
membentuk mekanisme pertahanan sehingga kuman TB mereplikasikan dirinya dalam
jumlah banyak, sehingga memberikan gambaran TB milier. Limfadenopati
mediastinum juga dapat ditemukan. Walaupun dengan gambaran foto toraks normal,
pasien terinfeksi HIV dan TB paru dapat memberikan hasil dahak yang positif dan
hasil kultur. Peningkatan derajat imunodefisiensi, TB ekstraparu (limfadenitis,
pleuritis, pericarditis dan meningitis) dengan atau tanpa keterlibatan paru ditemukan
pada gejala mayor dengan jumlah CD4+ < 200 cell/L. Pada beberapa pasien TB
dapat menjadi penyakit sistemik yang berat dengan demam tinggi, progresif, dan
sindoma

sepsis.

Penemuan

histopatologi

juga

dipengaruhi

oleh

derajat

imunodefisiensi. Pasien dengan fungsi relatif imun terdapat tipikal inflamasi


granulomatosa yang diasosiasikan dengan penyakit TB. Pada pasien dengan
imunodefisiensi berat dan kadar mikobakterium yang tinggi, penyakit TB dapat
menjadi subklinik atau oligoasimptomatis. Gejala klinik TB paru pada pasien dengan
HIV tergantung dari derajat imunosupresi sebagai hasil dari infeksi HIV. Pasien
dengan kadar CD4 > 200/mm3 lebih sering memberikan manifestasi TB paru
dibandingkan dengan ekstraparu. Pada pasien ini gambaran foto toraks akan seperti
pada orang dengan HIV negatif. Hasil pemeriksaan dahak lebih sering memberikan
hasil positif ada early infection dibandingkan pada late infection, hal ini dikarenakan
pada keadaan late infection kuman TB telah menyebar secara hematogen sehingga
pada pemeriksaan sputum jarang ditemukan di dahak. Keadaan imunodefisensi yang
semakin berat akan membuat gejala ekstraparu semakin menjadi lebih.
DIAGNOSIS
Seseorang dengan infeksi HIV, pemeriksaan untuk TB paru termasuk dengan
menanyakan tentang kombinasi dari gejala klinik yang terdapat pada pasien dan tidak
hanymenanyakan keluhan batuk saja. Ini seperti terapi dengan obat anti retrovirus dan
terapi preventif dengan izoniazid dapat mulai diberikan pada orang yang tidak ada
gejala, namun pemeriksaan kultur mikobakterium tetap dikerjakan.
24

a. Diagnosis of Latent Tuberculosis Infection (LTBI)


Semua pasien yang didiagnosis HIV sebaiknya diperiksa LTBI. Seseorang dengan
hasil pemeriksaan LTBI menunjukkan negatif, infeksi HIV lanjut (CD4+ < 200
cell/ L) dan tanpa indikasi pemberian terapi empiris LTBI seharusnya dilakukan
kembali uji LTBI ketika mulai terapi ART dan kadar CD4+ e. 200 cell/L. Pada
umumnya uji rutin untuk LTBI direkomendasikan untuk orang terinfeksi HIV
yang termasuk kategori resiko tinggi untuk berulang atau terpajan idividu dengan
TB paru, orang dengan hidup dengan faktor risiko terinfeksi HIV, pecandu aktif,
atau memiliki faktor risiko sosial demografi untuk TB. Setiap pasien dengan HIV
dan uji. Lesi fibrotik yang sesuai dengan TB kadang secara insidental ditemukan
pada gambaran foto toraks. Seseorang dengan lesi fibrotik seharusnya
menjalankan uji diagnosis LTBI dan dievaluasi untuk penyakit aktif. Pada keadaan
yang telah diketahui sebelumnya telah mendapat terapi TB secara adekuat,
pemeriksaan dahak dan kultur seharusnya diperiksa walaupun pasien tidak
menunjukkan gejala. Pada pasien HIV dengan CD4+ <200 cell/L dengan lesi
fibrotik yang sesuai dengan TB pada gambaran foto toraks dan t idak ada riwayat
terapi sebaiknya dipertimbangkan infeksi TB dengan mengabaikan hasil dari uji
LTBI. Pada keadaan seperti ini disarankan diberikan terapi empirik sambil
menunggu hasil uji diagnosis lebih lanjut.
b. Diagnosis TB Paru Aktif
Evaluasi dugaan HIV yang berhubungan dengan TB seharusnya dilakukan pada
pemeriksaan foto toraks yang merujuk kepada kemungkinan lokasi anatomi
penyakit. Sampel dari dahak dan kultur seharusnya didapatkan dari pasien dengan
gejala paru dan kelainan gambaran foto toraks. Gambaran normal foto toraks tidak
dapat menyingkirkan kemungkinan TB aktif ketika kecurigaan terhadap penyakit
ini tinggi dan sampel dari dahak tetap harus didapatkan. Hasil pengambilan dahak
3 hari lebih disarankan pagi hari dapat meningkatkan hasil dari hapusan dan
kultur. Lebih dari dari pasien HIV dengan penyakit TB paru menunjukkan hasil
negatif palsu. Serostatus HIV t idak mempengaruhi hasil dari pemeriksaan
hapusan dahak dan kultur. Hasil positif lebih sering didapatkan pada penyakit paru
dengan kavitas. Hasil dari pemeriksaan hapusan dahak dan kultur yang berasal
dari spesimen ekstraparu lebih tinggi diantara pasien imunodefisiensi lanjut
dibandingkan dengan orang yang tidak terinfeksi. Uji Nucleic acid amplication
(NAA), juga disebut Direct Amplification Test dapat langsung diterapkan pada
spesimen klinik seperti dahak dan sangat membantu dalam proses evaluasi pasien
25

dengan hasil hapusan dahak positif. Hasil positif NAA pada hapusan dahak sangat
merefleksikan TB aktif. Pada orang dengan hasil dahak negatif atau penyakit
ekstraparu maka penggunaan NAA harus digunakan dan diinterpretasikan sesuai
dengan penyebabnya Pada pasien dengan tanda TB ekstraparu, aspirasi jarum
halus atau biopsi dari lesi kulit, kelenjar limfe, cairan pleura dan perikardial harus
dilakukan. Kultur darah dari mikobakterium dapat membantu pasien dengan tanda
penyebaran penyakit atau perburukan imunodefisiensi. Hasil positif dahak dari
berbagai spesimen (dahak, aspirasi jarum halus, biopsi jaringan) mewakili
beberapa bentuk penyakit mikobakterium namun tidak selalu TB. Tujuan utama
algoritma diagnosis adalah membantu keputusan klinik di daerah dengan
prevalensi HIV tinggi dan mengurangi angka kesalahan diagnotik dan kematian.
Algoritma akan memberikan efek yang signifikan pada diagnosis TB paru dengan
HIV/AIDS dan akan membantu penanganannya secara terintegrasi. Algoritma
digunakan pada pasien dewasa dengan keluhan batuk selama 23 minggu dan
berdasarkan kondisi pasien Pada pasien dengan sakit berat perlu segera dirujuk ke
pusat rujukan atau yang memiliki fasilitas lebih lengkap. Apabila tindakan rujukan
tidak dapat dilakukan segera maka pemberian antibiotik spektrum luas segera
diberikan dan pemeriksaan dahak segera dikerjakan. Apabila hasil pemeriksaan
HIV negatif, gejala klinik HIV kurang nyata dan apabila daerah tersebut tidak
termasuk kedalam prevalensi HIV yang tinggi maka dilanjutkan penegakan
diagnosis sesuai dengan pedoman yang berlaku. Apabila gejala klinik dan pasien
berasal dari wilayah dengan prevalensi HIV tinggi maka penegakan diagnosis
sesuai algoritma.
PENGOBATAN
Pengobataan OAT pada TB-HIV:
Macam obat ARV yang tersedia di Indonesia dibedakan menjadi 3 kelompok
besar obat ARV:
1. Nucleosida dan Nucleotida Reverse Transkriptase Inhibitor (NRTI dan NtRTI)
2. Non-Nucleosida Reverse Transcriptase Inhibitor's (NNRTI)
3. Protease Inhibitor (PI)
Golongan Obat
Nukleosida RTI (NsRTI)
Abakavir (ABC)

300 mg 2x/hari atau 400 mg 1x/hari


250 mg 2x/hari (BB <60 kg
26

Didanosin (ddl)
Lamivudin (3TC)
Stavudin (d4T)
Zidovudin
Nukleotida RTI
TDF
Non nukleosid RTI (NNRTI)
Efavirenz (EFV)
Nevirapine
Protease Inhibitor (PI)
Indinavir/ritonavir (IDV/r)
Lopinavir/ritonavir (LPV/r)
Nelfinavir (NFV)
Saquainavir/ritonavir (SQV/r)
Ritonavir (RTV/r)

150 mg 2x/hari atau 300 mg 1x/hari


40 mg 2x/hari (30 mg 2x/hari bila BB<60
kg)
300 mg 2x/hari
300 mg 1x/hari
600 mg 1x/hari
200 mg 1x/hari untuk 14 hari kemudian
200 mg 2x/hari
800 mg/100 mg 2x/hari
400 mg/100 mg 2x/hari
1250 mg 2x/hari
1000 mg/100 mg 2x/hari atau 1600
mg/200 mg 1x/hari
Kapsul 100 mg, larutan oral 400 mg/5ml

MULTI DRUG RESISTANT TUBERCULLOSIS


Multi drug resistant TB (MDR TB) didefinisikan sebagai resistensi terhadap dua agen
anti-TB lini pertama yang paling poten yaitu isoniazide (INH) dan rifampisin. MDR
TB berkembang selama pengobatan TB ketika mendapatkan pengobatan yang tidak
adekuat. Hal ini dapat terjadi karena beberapa alasan; Pasien mungkin merasa lebih
baik dan menghentikan pengobatan, persediaan obat habis atau langka, atau pasien
lupa minum obat. Awalnya resistensi ini muncul sebagai akibat dari ketidakpatuhan
pengobatan. Selanjutnya transmisi strain MDR TB menyebabkan terjadinya kasus
resistensi primer. Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil
tahan asam (BTA) tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif
setelah terjadi konversi negatif. Directly observed therapy (DOTS) merupakan sebuah
strategi baru yang dipromosikan oleh World Health Organization (WHO) untuk
meningkatkan keberhasilan terapi TB dan mencegah terjadinya resistensi.
Definisi dan faktor yang mempengaruhi MDR TB
TB dengan resistensi terjadi dimana basil Mibacterium tuberculosis resisten terhadap
rifampisin dan isoniazid, dengan atau tanpa OAT lainnya. TB resistensi dapat berupa
resistensi primer dan resistensi sekunder. Resistensi primer yaitu resistensi yang
terjadi pada pasien yang tidak pernah mendapat OAT sebelumnya. Resistensi primer
ini dijumpai khususnya pada pasien-pasien dengan positif HIV. Sedangkan resistensi
27

sekunder yaitu resistensi yang didapat selama terapi pada orang yang sebelumnya
sensitif obat.1
Jalur yang terlibat dalam perkembangan dan penyebaran MDR TB akibat mutasi dari
gen mikobakterium tuberkulosis. Basil tersebut mengalami mutasi menjadi resisten
terhadap salah satu jenis obat akibat mendapatkan terapi OAT tertentu yang tidak
adekuat. Terapi yang tidak adekuat dapat disebabkan oleh konsumsi hanya satu jenis
obat saja (monoterapi direk) atau konsumsi obat kombinasi tetapi hanya satu saja
yang sensitif terhadap basil tersebut (indirek monoterapi). Pasien TB dengan
resistensi obat sekunder dapat menginfeksi yang lain dimana orang yang terinfeksi
tersebut dikatakan resistensi primer. Transmisi difasilitasi oleh adanya infeksi HIV,
dimana perkembangan penyakit lebih cepat, adanya prosedur kontrol infeksi yang
tidak adekuat; dan terlambatnya penegakkan diagnostic.2 Ada beberapa hal penyebab
terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:3
1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberculosis.
2. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau
di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi
terhadap kedua obat tersebut.
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu
lalu berhenti, setelah dua bulan berhenti kemudian bepindah dokter mendapat obat
kembali selama dua atau tiga bulan lalu berhenti lagi, demikian seterusnya.
4. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan
pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah
resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan (addition) satu macam
obat hanya akan menambah panjangnya daftar obat yang resisten saja.
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik
sehingga mengganggu bioavailabilitas obat.
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang-kadang terhenti pengirimannya
sampai berbulan-bulan.
Mekanisme resistensi
Ungkapan terhadap tahap MDR pada mikrobakteriologi mengarah pada resisten
secara simultan terhadap Ripampisin dan Isoniazide (dengan atau tanpa resistensi
pada obat anti tuberkulosis lainnya).4 Analisa secara genetik dan molekuler pada
mikobakterium tiberkulosis menjelaskan bahwa mekanisme resistensi biasanya
didapat oleh basil melalui mutasi terhadap target obat 5 atau oleh titrasi dari obat akibat
28

overproduksi dari target. MDR TB menghasilkan secara primer akumulasi mutasi gen
target obat pada individu.
A. Mekanisme Resistensi Terhadap INH (Isoniazide)
Isoniazid merupakan hydrasilasi dari asam isonikotinik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan
menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting
pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti rekasi katase peroksidase.6
B. Mekanisme Resistensi Terhadap Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun ekstraseluler. Obat ini menghambat
sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase
yang tergantung DNA.
Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barier atau
adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin mengahambat
RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis
RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan
rantai (chain elongation), tetapi RNA polymerase manuisia tidak terganggu. Resistensi
terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya
perubahan pada tempat ikatan obat tersebut.
C. Mekanisme Resistensi Terhadap Pyrazinamide
Pyrazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis14. Obat ini bekerja efektif
terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan
pH netral, pyrazinamid tidak berefek atau hanya sedikit ber efek. Obat ini merupakan
bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana
asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil
tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pyrazinoat.Mekanisme resistensi
pyrazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pyrazinamidase sehingga
pyrazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pyrazinoat. 7
D. Mekanisme Resistensi Terhadap Ethambutol
Ethambutol merupakan turunan ethylenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Ethambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar.
29

Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang


memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel. .
E. Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomysin
Streptomysin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Strain M.tuberculosis yang resisten terhadap streptomysin tidak mengalami
resistensi silang terhadap capreomysin maupun amikasin.
Diagnosis MDR Diagnosis MDR TB
Tuberkulosis paru dengan resistensi dicurigai kuat jika kultur basil tahan asam (BTA)
tetap positif setelah terapi 3 bulan atau kultur kembali positif setelah terjadi konversi
negatif. Beberapa gambaran demografik dan riwayat penyakit dahulu dapat
memberikan kecurigaan TB paru resisten obat, yaitu 1) TB aktif yang sebelumnya
mendapat terapi, terutama jika terapi yang diberikan tidak sesuai standar terapi; 2)
Kontak dengan kasus TB resistensi ganda; 3) Gagal terapi atau kambuh; 4) Infeksi
human immnodeficiency virus (HIV); 5) Riwayat rawat inap dengan wabah MDR TB.
Diagnosis TB resistensi tergantung pada pengumpulan dan proses kultur spesimen
yang adekuat dan harus dilakukan sebelum terapi diberikan. Jika pasien tidak dapat
mengeluarkan sputum dilakukan induksi sputum dan jika tetap tidak bisa, dilakukan
bronkoskopi. Tes sensitivitas terhadap obat lini pertama dan kedua harus dilakukan
pada laboratorium rujukan yang memadai.
Penatalaksanaan MDR TB
Dasar pengobatan terutama untuk keperluan membuat regimen obat-obat anti TB,
WHO guidelines membagi obat MDR-TB menjadi 5 group berdasarkan potensi dan
efikasinya, sebagai berikut :
1. Grup pertama, pirazinamid dan ethambutol, karena paling efektif dan dapat
ditoleransi dengan baik. Obat lini pertama yang terbukti sebaiknya digunakan dan
digunakan dalam dosis maksimal.
2. Grup kedua, obat injeksi bersifat bakterisidal, kanamisin (amikasin), jika alergi
digunakan kapreomisin, viomisin. Semua pasien diberikan injeksi sampai jumlah
kuman dibuktikan rendah melalui hasil kultur negative
3. Grup ketiga, fluorokuinolon, obat bekterisidal tinggi, misal levofloksasin. Semua
pasien yang sensitif terhadap grup ini harus mendapat kuinolon dalam regimennya
4. Grup empat, obat bakteriostatik lini kedua, PAS (paraaminocallicilic acid),
30

ethionamid, dan sikloserin. Golongan obat ini mempunyai toleransi tidak sebaik obatobat oral lini pertama dan kuinolon.
5. Grup kelima, obat yang belum jelas efikasinya, amoksisilin, asam klavulanat, dan
makrolid baru (klaritromisin). Secara in vitro menunjukkan efikasinya, akan tetapi
data melalui uji klinis pada pasien MDR TB masih minimal.
Menurut WHO guidelines 2008 membuat pentahapan tersebut sebagai brikut (World
Health Organization, 2008):

Tahap 1 : gunakan obat dari lini pertama yang manapun yang masih

menunjukkan efikasi
Tahap 2 : tambahan obat di atas dengan salah satu golongan obat injeksi

berdasarkan hasil uji sensitivitas dan riwayat pengobatan


Tahap 3 : tambahan obat-obat di atas dengan salah satu obat golongan

fluorokuinolon
Tahap 4 : tambahkan obat-obat tersebut di atas dengan satu atau lebih dari obat
golongan 4 sampai sekurang-kurangnya sudah tersedia 4 obat yang mungkin

efektif
Tahap 5 : pertimbangkan menambahkan sekurang-kurangnya 2 obat dari
golongan 5 (melalui proses konsultasi dengan pakar TB MDR) apabila
dirasakn belum ada 4 obat yang efektif dari golongan 1 sampai 4.

Pengobatan pasien MDR TB terdiri atas dua tahap, tahap awal dan tahap lanjutan.
Pengobatan MDR TB memerlukan waktu lebih lama daripada pengobatan TB bukan
MDR, yaitu sekitar 18-24 bulan. Pada tahap awal pasien akan mendapat Obat anti
tuberkulosis lini kedua minimal 4 jenis OAT yang masih sensitif, dimana salah
satunya adalah obat injeksi. Pada tahap lanjutan semua OAT lini kedua yang dipakai
pada tahap awal.
Pemantauan selama pengobatan
Pasien harus dipantau secara ketat untuk menilai respons terhadap pengobatan dan
mengidentifikasi efek samping pengobatan. Gejala klasik TB batuk, berdahak,
demam dan BB menurun umumnya membaik dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Penilaian respons pengobatan adalah konversi dahak dan biakan. Hasil
uji kepekaan MDR TB dapat diperoleh setelah 2 bulan. Pemeriksaan dahak dan
biakan dilakukan setiap bulan pada fase intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan.
31

Evaluasi pada pasien MDR TB adalah; (1) penilaian klinis termasuk berat badan, (2)
penilaian segera bila ada efek samping, (3) pemeriksaan dahak setiap bulan pada fase
intensif dan setiap 2 bulan pada fase lanjutan, (4) pemeriksaan biakan setiap bulan
pada fase intensif sampai konversi biakan, (5) uji kepekaan obat sebelum pengobatan
dan pada kasus kecurigaan akan kegagalan pengobatan, Periksa kadar kalium dan
kreatinin sepanjang pasien mendapat suntikan (Kanamisin dan Kapreomisin), (7)
pemeriksaan TSH dilakukan setiap 6 bulan dan jika ada tanda-tanda hipotiroid
Pencegahan terjadinya resistensi obat
WHO merekomendasikan strategi DOTS dalam penatalaksanaan kasus TB, selain
relative tidak mahal dan mudah, strategi ini dianggap dapat menurunkan risiko
terjadinya kasus resistensi obat terhadap TB. Pencegahanan yang terbaik adalah
dengan standarisasi pemberian regimen yang efektif, penerapan strategi DOTS dan
pemakaian obat FDC adalah yang sangat tepat untuk mencegah terjadinya resistensi
OAT.
Pencegahan terjadinya MDR TB dapat dimulai sejak awal penanganan kasus baru TB
antara lain : pengobatan secara pasti terhadap kasus BTA positif pada pertama kali,
penyembuhan secara komplit kasih kambuh, penyediaan suatu pedoman terapi
terhadap TB, penjaminan ketersediaan OAT adalah hal yang penting, pengawasan
terhadap pengobatan, dan adanya OAT secar gratis. Jangan pernah memberikan terapi
tunggal pada kasus TB. Peranan pemerintah dalam hal dukungan kelangsungan
program dan ketersediaan dana untunk penanggulangan TB (DOTS). Dasar
pengobatan TB oleh klinisi berdasarkan pedoman terapi sesuai evidence based dan
tes kepekaan kuman.
Strategi DOTSPlus
Penerapan strategi DOTS plus mempergunakan kerangka yang sama dengan strategi
DOTS, dimana setiap komponen yang ada lebih ditekankan kepada penanganan MDR
TB. Strategi DOTSPlus juga sama terdiri dari 5 komponen kunci :
1. Komitmen politis yang berkesinambungan untuk masalah MDR (multi drug
resistance)
2. Strategi penemuan kasus secara rasional yang akurat dan tepat waktu
menggunakan pemeriksaan hapusan dahak secara mikroskopis ,biakan dan uji
kepekaan yang terjamin mutunya.
32

3. Pengobatan standar dengan menggunakan OAT lini kedua ,dengan pengawasan


yang ketat (Direct Observed Treatment/DOT).
4. Jaminan ketersediaan OAT lini kedua yang bermutu
5. Sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Setiap komponen dalam penanganan
TB MDR lebih kompleks dan membutuhkan biaya lebih banyak dibandingkan
dengan pasien TB bukan MDR Pelaksanaan program DOTS plus akan
memperkuat Program Penanggulangan TB Nasional

Dapus untuk MDR


1. Mc Donald RJ, Reichmann LB. Tuberculosis in Baum G.L., et al (eds), Baums
Textbook of Pulmonary Disease, 7th ed. Lippincot William and Wilkins Publisher,
Boston, 2003.
2. Leitch GA. Management of tuberculosis in Seaton A,et al (eds) , Crofton and
Douglass Respiratory diseases Vol 1, 15th ed. Berlin.2000.
3. Aditama TY, dkk. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di
Indonesia, PERPARI, Jakarta, 2006.
4. Vareldzis BP, Grosset J, de Kantor I, Crofton J, Laszlo A, Felten M, et al. Drugresistant tuberculosis: laboratory issues. World Health Organization
recommendations. Tubercle and Lung Diseases 1994;75:1-7.
5. Spratt BG. Resistance to antibiotics mediated by target alterations. Science
1994;264:388-93.
6. Riyanto BS, Wilhan. Management of MDR TB Current and Future dalam Buku
Program dan Naskah Lengkap Konferensi Kerja Pertemuan Ilmiah Berkala.
PERPARI.Bandung. 2006.
7. Wallace RJ, Griffith DE. Antimycrobial Agents in Kasper DL, Braunwald E (eds),
Harrisons Principles of Internal Medicine, 16th ed. Mc Graw Hill. New York.
2004.
8. World Health Organization .Guidelines for the programmatic managementdrug
resistant tuberculosis emergency edition ,Geneve.2008
Dapus untuk TB
1. A
2. A
3. Crevel van R., Tom H. M.O., W.M. van der Meer., 2002, Innate Immunity to
33

M. tuberculosis,Clin. Microbiol. Rev., Vol. 15 (2) : 294-309


4.

34

35

You might also like