Professional Documents
Culture Documents
pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi, yaitu mencegah
penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada wanita
HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan
memberikan dukungan, layanan dan perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian
obat Anti Retroviral (ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeksi karenanya menjadi satu jalan
untuk menanggulangi pandemi HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah penularan
infeksi HIV pada anak dan bayi.
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke dalam keluarga retrovirus
subkelompok lentivirus, seperti virus Visna pada biri-biri, sapi, dan feline serta Simian
Immunodeficiency Virus (SIV). Lentivirus mampu menyebabkan efek sitopatik yang singkat dan
infeksi laten dalam jangka panjang, juga menyebabkan penyakit progresif dan fatal termasuk
wasting syndrom dan degenerasi susunan saraf pusat.
Perjalanan penyakit HIV
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV untuk menghancurkan
sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun untuk menghancurkan HIV.
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh respons imun
adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik dan progresif.
Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T
CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun
imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas dapat diikuti pada
orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh lainnya dari
seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh reseptor gp120 atau
gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+
dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel
tempat masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel
dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel
dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit
dapat menularkan HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah banyak dapat
dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia disertai dengan sindrom
HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh
tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan
limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral
maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan
produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan
pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa menjadi tempat
replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih kompeten mengatasi infeksi
mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut
juga masa laten klinis (clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian
besar sel T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam
jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang.
Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan
menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel
T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi virus,
kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya menyebabkan penurunan jumlah
sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun terhadap infeksi
tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV
dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin
(misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba,
sangat efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan
mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana terjadi destruksi
seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan
viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia
(HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat
(ensefalopati HIV).
MNAIFESTASI KLINIS
TANDA DAN GEJALA INFEKSI HIV DAN AIDS.
Fase penyakit
Manifestasi klinis
Penyakit HIV akut
Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati generalisata, eritema
Masa laten klinis
Berkurangnya jumlah sel T CD4+
AIDS
Infeksi oportunistik
Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)
Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella)
Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum)
Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)
Tumor
Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV)
Sarkoma Kaposi
Karsinoma servikal
Ensefalopati
Wasting syndrome
MASA INKUBASI DAN PENULARAN
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya antibodi anti HIV.
Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-tahun kemudian. Khusus pada bayi
di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal
kehidupan dan tetap terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunistik sudah
masa remaja.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai penyakit berat yang
dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada umur muda karena sebagian besar
(>80%) AIDS pada anak akibat transmisi vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS
anak berumur <>
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang ada di
lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi nonspesifik berupa
gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang, limfadenopati, dan
hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan adanya infeksi HIV adalah adanya
infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya
tidak memberikan penyakit pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama
imunitas selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang
biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara lain kandidiasis
mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena Pneumocystis carinii, radang paru
karena mikobakterium atipik, atau toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium
tuberculosis, penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak
sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia interstisialis
limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh HIV pada jaringan paru.
Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari tabuh, dan limfadenopati. Secara
radiologis terlihat adanya infiltrat retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di
hilus dan mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik yang
mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan motorik dan daya
intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik. Ensefalopati dapat merupakan
manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala
terdapat kalsifikasi. Antigen HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan
serebrospinal.
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV a, b
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana
Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Catatan:
a. Tidak dapat dijelaskan ebrarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh sebab yang lain
b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada kategori ini
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV. Tetapi karena antibodi anti
HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan dan dapat dideteksi hingga usia anak 18
bulan, maka adanya hasil antibodi yang positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta
menjadikan seorang anak pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu
mendeteksi virus atau komponennya seperti:
assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma
assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma
assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara berkembang. Real time
PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV, dan saat ini sudah dipasarkan dengan
harga yang jauh lebih murah dari sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga
generasi keempat masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji
laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah lengkap (whole
blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah dikembangkan di negara tertentu
penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA
HIV. Tetapi uji ini belum dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis definitif HIV
pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi
infeksi HIV, paling dini pada usia 9 sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau
yang sudah dihentikan pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji
antibodi. Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada usia 12
bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji cepat (rapid test) dapat
digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti orang dewasa.
Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan membantu dalam penentuan
stadium serta pemilihan obat ARV. Pada pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia,
leukositopenia, limfopenia, dan trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung
HIV pada sel asal, adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi
oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8 menurun. Fungsi sel
T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons proliferatif sel T terhadap antigen atau
mitogen. Secara in vivo, menurunnya fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit
terhadap antigen yang menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin
meningkat secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons antibodi
spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri, tetanus, atau hepatitis B
menurun.
DIAGNOSIS
Anak yang berumur kurang dari 18 bulan
Diagnosis definitif laboratoris infeksi HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan hanya
dapat ditegakkan melalui uji virologik. Hasil yang positif memastikan terdapat infeksi HIV. Tetapi
bila akses untuk uji virologik ini terbatas, WHO menganjurkan untuk dilakukan pada usia 6-8
minggu, dimana bayi yang tertular in utero, maupun intra partum dapat tercakup.
Uji virologik yang dilakukan pada usia 48 jam dapat mengidentifikasi bayi yang tertular in utero,
tetapi sensitivitasnya masih sekitar 48%. Bila dilakukan pada usia 4 minggu maka sensitivitasnya
naik menjadi 98%.
Satu hasil positif uji virologik pada usia berapa pun dianggap diagnostik pasti. Meskipun demikian
tetap direkomendasikan untuk melakukan uji ulang pada sampel darah yang berbeda. Bila tidak
mungkin dilakukan dua kali maka harus dipastikan kehandalan laboratorium penguji.
Pada anak yang didiagnosis infeksi HIV hanya dengan satu kali pemeriksaan virologik yang
positif, harus dilakukan uji antibodi anti HIV pada usia lebih dari 18 bulan.
Diagnosis infeksi HIV pada bayi yang mendapat ASI
Bila seorang bayi yang terpapar infeksi HIV mendapat ASI, ia akan terus berisiko tertulari HIV
selama masa pemberian ASI; karenanya uji virologik negatif pada bayi yang terus mendapat ASI
tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi HIV. Dianjurkan uji virologik dilakukan setelah bayi
tidak lagi mendapat ASI selama minimal 6 minggu. Bila saat itu bayi sudah berumur 9-18 bulan
saat pemberian ASI dihentikan, uji antibodi dapat dilakukan sebelum uji virologik, karena secara
praktis uji antibodi jauh lebih murah. Bila hasil uji antibodi positif, maka pemeriksaan uji
virologik diperlukan untuk mendiagnosis pasti, meskipun waktu yang pasti anak-anak membuat
antibodi anti HIV pada yang terinfeksi post partum belum diketahui.
Bila uji virologik tidak dapat dilakukan tetapi ada tempat yang mampu memeriksa, semua bayi
kurang dari 12 bulan yang terpapar HIV dan menunjukkan gejala dan tanda infeksi HIV harus
dirujuk untuk uji virologik. Hasil yang positif pada stadium apapun menunjukkan positif infeksi
HIV.
Pada usia 12 bulan, sebagian besar bayi yang terpapar HIV sudah tidak lagi memiliki antibodi
maternal. Hasil uji antibodi yang positif pada usia ini dapat dianggap indikasi tertular (94.5%
seroreversi pada usia 12 bulan; Spesifisitas 96%) dan harus diulang pada usia 18 bulan.
Secara umum waktu pendeteksian tidak berbeda, assay DNA dapat mulai diperiksa pada usia 48
jam. Pemakaian ARV pada ibu dan bayinya untuk PMTCT tidak akan mempengaruhi hasilnya.
DNA HIV akan tetap terdeteksi pada sel mononuklear darah tepi anak yang terinfeksi HIV dan
sudah mendapat ARV meskipun hasil assay RNA HIVnya tidak terdeteksi.
Sampai saat ini belum ada data pasti apakah sensitivitas RNA HIV atau assay antigen ICD p24
dipengaruhi oleh profilaksis ARV pada ibu dan bayi. WHO menyatakan bahwa pemeriksaan RNA
tidak berbeda dengan DNA, dalam hal sensitivitas dan spesifisitas, pada bayi yang lahir mendapat
ARV.
Diagnosis infeksi bila ibu minum ARV
Belum diketahui apakah pemakaian ARV pada ibu yang menyusui bayinya dapat mempengaruhi
deteksi RNA HIV atau p24 pada bayi, meskipun sudah dibuktikan uji DNA HIV tidak
terpengaruh.
Untuk mengidentifikasi infeksi HIV pada umur < 18 bulan dengan kemungkinan besar HIV
positif*
* Anak kurang dari 18 bulan dengan hasil uji antibodi positif termasuk di antaranya adalah anak
yang benar-benar terinfeksi, dan anak yang tidak terinfeksi tetapi masih membawa antibodi
maternal.
DAFTAR PUSTAKA
Centers for Disease Control and Prevention. 1994 Revised classification system for human
immunodeficiency virus infection in children less than 13 years of age; Official authorized
addenda: human immunodeficiency virus infection codes and official guidelines for coding and
reporting ICD-9-CM. MMWR 1994;43(No.RR-12):1-10
World Health Organization. Paediatric HIV and treatment of children living with HIV. Available at
http://www.who.int/hiv/paediatric/en/index.html. Accessed 2006.
World Health Organization. The World Health Report: Global Healthtodays challenges.
Available at http://www.who.int/whr/2003/en/Chapter1.pdf. Accessed 2005.
Epocrates. Drug Information. Epocrates Online. Available at http://www.epocrates.com/. Accessed
2007.
Kovacs A, Scott GB. Advances in the management and care of HIV-positive newborns and infants.
In: Pizzo PA, Wilfert CM. Pediatric AIDS: The Challenge of HIV Infection in Infants, Children,
and Adolescents. 3rd ed. Philadelphia, Pa: Lippincott Williams & Wilkins; 1998:567-92.
Laude TA. Manifestations of HIV disease in children. Clin Dermatol. Jul-Aug 2000;18(4):457-67.
Layton TL, Davis-McFarland E. Pediatric human immunodeficiency virus and acquired
immunodeficiency syndrome: an overview. Semin Speech Lang. 2000;21(1):7-17.
Nesheim S, Palumbo P, Sullivan K, Lee F, Vink P, Abrams E, Bulterys M. Quantitative RNA
testing for diagnosis of HIV-Infected infants. J Acquir Immune Defic Syndr
Wade AM, Ades AE. Age-related reference ranges: significance tests for models and confidence
intervals for centiles. Stat Med. 1994 Nov 30;13(22):2359-67.
Shearer WT, Rosenblatt HM, Gelman RS, Oyomopito R, Plaeger S, Stiehm ER, et al. Lymphocyte
subsets in healthy children from birth through 18 years of age: the Pediatric AIDS Clinical Trials
Group P1009 study. J Allergy Clin Immunol. 2003 Nov;112(5):973-80.
Supported by
FIGHT AGAINTS AIDS, SAVE INDONESIAN CHILDRENS
Yudhasmara Foundation
Working together against HIV and Aids in Indonesia, Save our Children From HIV-AIDS
Office ; JL Taman Bendungan Asahan 5 Jakarta Indonesia 10210
phone : 62(021) 70081995 5703646
email : judarwanto@gmail.com,
https://childrenhivaids.wordpress.com/
Editor in Chief :
Dr WIDODO JUDARWANTO
phone : 62(021) 70081995 62(021) 5703646, mobile : 0817171764
email : judarwanto@gmail.com
Copyright 2009, Fight Against Aids, Save Indonesian Childrens Information Education
Network. All rights reserved.
About these ads
Share this:
StumbleUponReddit
Loading...
Related
TANDA DAN GEJALA HIV DAN AIDS PADA ANAK
In "a.tanda-gejala"
HARI AIDS SEDUNIA : Selamatkan Anak Indonesia dari Ancaman HIV AIDS
In "a.aids di indonesia"
AIDS DI INDONESIA
In "a.aids di indonesia"
January 13, 20091 Reply
Previous
Next
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Name *
Email *
Website
Comment
Notify me of new comments via email.
gonjonglaweh on June 24, 2010 at 3:32 am
Lengkap banget neh informasi nya..thanks ya
Reply
Top Posts
HERPES GENITALIS : PENYAKIT MENULAR SEKSUAL
Gonore (GO) atau kencing nanah: Penyakit Menular Seksual Yang Paling Sering Terjadi
TANDA, GEJALA HIV AIDS DAN DIAGNOSISNYA
KONDILOMA AKUMINATA : PENYAKIT MENULAR SEKSUAL
Darimana HIV Aids Berasal ?
TANDA DAN GEJALA HIV DAN AIDS PADA ANAK
HIV DAN AIDS PADA BAYI BARU LAHIR
SIFILIS : PENYAKIT MENULAR SEKSUAL
KUTU KELAMIN (Kutu Pubic,PEDICULUS PUBIS) : PENYAKIT MENULAR SEKSUAL
About Us
Join With my Twitter
Pneumonia and wheezing in the first year: An international perspective - Garcia-Marcos - 2015 Pediatric... fb.me/7f9cz4iOa 2 weeks ago
Recent Posts
Ibu Rumah Tangga Terinveksi HIV Terus Meningkat
Darimana HIV Aids Berasal ?
Generasi anak bebas AIDS dapat terwujud
WHO menganjurkan pengobatan dini dan secara bertahap menghentikan penggunaan d4T
Bayi tanpa HIV yang lahir dari ibu dengan HIV tidak mengalami masalah pertumbuhan
Selzentry meningkatkan CD4 lebih banyak
Anak-anak dengan HIV hidup dan berkembang
Memulai pengobatan HIV mengurangi risiko kematian dari semua sebab manfaat tambahan
untuk pengobatan
Mengapa pria yang disunat memiliki kemungkinan lebih kecil untuk terinfeksi HIV:
Perubahan bakteri
Penelitian membuka rahasia hubungan protein terhadap penyebaran virus
SAVE SINCE PREGNANCY
Internal Links
Children Allergy Clinic
Children Autism Clinic
Children Fever Clinic
Children Foot Clinic
Children Sleep Clinic
Children Speech Clinic
CLinic For Children
Clinical Pediatric HIV-AIDS
Media Internal
Koran Anak Indonesia
Koran Demokrasi Indonesia
Koran Indonesa Sehat
SPECIAL LINKS
AIDSinfo(Dept. of Health and Human Services)
CDC Divisions of HIV/AIDS Prevention