You are on page 1of 67

LAPORAN

MINI PROJECT
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji penulis ucapkan pada Tuhan sang pemilik nyawa karena atas rahmat dan
EVALUASI PROGRAM
hidayahNya penulis dapat menyelesaikan makalah mini project Evaluasi Program Imunisasi di
CAKUPAN IMUNISASI DASAR ANAK DAN TT PADA IBU HAMIL
Puskesmas Balaraja Tahun 2014 dengan baik.
DI PUSKESMAS BALARAJA PERIODE JANUARI-DESEMBER 2014
Penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, karena itu penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Murdiati selaku kepala puskesmas Balaraja yang telah menerima penulis dengan
baik,
2. dr. Aang Sunarto selaku pembimbing penulis selama di Puskesmas Balaraja, yang telah
banyak membantu penulis selama menjalani program dokter internsip di Puskesmas
Balaraja,
3. Orangtua penulis yang tiada henti memberikan doa demi kelancaran penulis,
4. Seluruh staff Puskesmas Balaraja yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu karena
telah menerima penulis dengan sangat baik dan membantu penulis selama berada di
Puskesmas Balaraja,
Pendamping:
5. Teman sejawat seperjuangan penulis
selama internsip atas segala bentuk dukungan dan
bantuannya,

dr. Aang Sunarto

6. Serta pihak lain yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Oleh:dan salah. Makalah ini masih jauh dari
Sesungguhnya manusia adalah tempat khilaf
dr. Arfiani
Kusumawati//
Benz Napoli//
kesempurnaan, karena
itu Ika
segalakritik
dan dr.saran
yang bersifat membangun demi
dr. Hani
Handayani//dr.
Lindengan
Tony Salim//
kesempurnaan makalah
ini akan
penulis terima
hati terbuka.
dr. Praisila Glory Florencia Jonathan//
dr. Shirley//dr.
Annisabagi pembaca umumnya dan bagi
Akhir kata penulis berharap
makalah iniSilvia
dapatAulia
bermanfaat
penulis khususnya.
Balaraja, September 2015

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSKESMAS BALARAJA
KABUPATEN TANGERANG
2015

Penulis
i

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah

1.3.Tujuan

1.4.Manfaat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Imunisasi

4
4

2.1.1 Definisi Imunisasi

2.1.2 Tujuan Imunisasi

2.1.3 Prosedur Imunisasi

2.1.4 Penyimpanan

2.1.5 Tehnik dan Ukuran Jarum

2.1.6 Arah sudut jarum pada suntikan Intramuscular

2.1.7 Tempat suntikan yang dianjurkan

2.1.8 Posisi anak dan lokasi suntikan

2.1.9 Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama
2.2. Imunisasi Wajib (PPI)

11
12

2.2.1. BCG

12

2.2.2 Hepatitis B

14

2.2.3 DTwP (whole-cell pertussis) dan DTap

16

(acelluler pertussis)
2.2.4 Polio

18

2.2.5. Campak

22

2.3. Program imunisassi TT Pada Ibu Hamil

27

2.3.1. Jadwal Imunisasi TT ibu hamil

27

2.3.2. Cara pemberian dan dosis

27

2.3.3. Efek Samping

28

ii

2.3.4. Tenaga Pelaksana Imunisasi

28

2.3.5. Vaksin TT (Tetanus Toxoid)

29

2.3.6. Tetanus Neonatorum (TN)

30

BAB III METODE PENELITIAN

32

3.1 Tujuan dan Desain penelitian

34

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

34

3.3. Populasi Penelitian

34

3.4. Besar sampel

34

3.5. Cara Pengambilan Sampel

35

3.6. Rencana analisis

36

3.7. Pengumpulan data primer

36

3.8 Penyajian

36

BAB IV PROFIL PUSKESMAS BALARAJA

37

4.1. Profil Kerja Pusmesmas Balaraja

37

4.2. Data Geografis

38

4.3. Data Demografis

39

4.4. Sumberdaya Kesehatan

44

4.5. Sarana Pelayanan Kesehatan

45

BAB V HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI

47

5.1 Hasil Penelitian

47

5.2 Diskusi

57

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

61

6.1 Kesimpulan

61

6.2 Saran

61

DAFTAR PUSTAKA

63

iii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Imunisasi merupakan salah satu upaya promotif dan preventif yang meningkatkan kekebalan
seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit. Uapaya

imunisasi diselenggarakan di

Indonesia sejak tahun 1956. Kegiatan ini berhasil membasmi penyakit cacar di Indoensia
sehingga Indonesia dinyatakan bebas dari penyakit cacar sejak tahun 1974. Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) merupakan salah satu penyebab kematian anak di
Negara Negara berkembang termasuk Indonesia.
Dalam taraf nasional, pencapaian keberhasilan program imunisasi masih cukup rendah, yakni
baru mencapai 69,6% pada tahun 2009. Hal ini masih jauh dari target yang diinginkan, yaitu
80% untuk 2010 bahkan 100% yang ditargetkan pada tahun 2014.
Pengerjaan program imunisasi terutama dipusatkan di puskesmas.

Puskesmas sebagai

penyedia layanan imunisasi secara gratis dan pos pengambilan utama imunisasi berkewajiban
menyukseskan program imunisasi yang dicanangkan pemerintah. Puskemsas baik puskesmas
utama tingkat kecamatan maupun puskesmas

pembantu di tingkat

kelurahan beserta

posyandu posyandu dalam wilayah binaannya menjadi motor dalam keberhasilan ini.
Provinsi Banten merupakan salah satu wilayah yang memiliki tingkat keberhasilan tinggi
dalam melaksanakan program imunisasi. Pada Tahun 2011 jumlah desa yang telah mencapai
target UCI (Universal Child Imnization) sebanyak 85,2%, hal ini meningkat dibandingkan
2010 yang hanya mencapai 81%. Sebuah desa dikatakan lolos UCI apabila telah melakukan
imunisasi BCG, DPT, Hep B, Polio, dan campak.
Berdasarkan Pusat data dan Informasi Kemetrian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2013,
provinsi Banten mencapai 92,40% dalam cakupan imunisasi campak. Sedangkan untuk kasus
Drop Out Rate imunisasi DPT/HB campak pada bayi provinsi Banten tahun 2013 adalah
5,5%, nilai ini melebihi batas DO Rate yang seharusnya 5%.

Begitupun yang terjadi di Puskemas Balaraja, salah satu puskesmas di Provinsi Banten.
Tahun 2014 cakupan imunisasi sudah hampir mencapai target. Namun untuk DPT/HB masih
ada beberapa yang belum memenuhi target. Hal tersebut yang membuat penulis tertarik
untuk melakukan evaluasi program imunisasi di Puskesmas Balaraja tahun 2014.
1.2 Rumusan Masalah
-

Bagaimana cakupan imunisasi pada Puskesmas Balaraja pada tahun 2014?

Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab kegagalan pencapaian target cakupan
imunisasi di Puskesmas Balaraja pada tahun 2014?

Bagaimana alternatif jalan keluar untuk mengatasi kegagalan pencapaian target cakupan
imunisasi di Puskesmas Balaraja pada tahun 2014?

1.3 Tujuan
Tujuan Umum
Untuk mengetahui

pelaksanaan program

imunisasi di Puskesmas Balaraja secara

menyeluruh sehingga dapat meningkatkan cakupan pelayanan imunisasi.


Tujuan Khusus
Untuk menilai program imunisasi di Puskesmas Balaraja, kabupaten Tangerang melalui
pendekatan sistem :
1. Mengetahui jumlah cakupan imunisasi di Puskesmas Balaraja tahun 2014
2. Mengetahui masalah yang terdapat dalam pencapaian target cakupan imunisasi di
Puskesmas Balaraja tahun 2014.
3. Mengetahui prioritas masalah dalam pencapaian target cakupan imunisasi di Puskesmas
Balaraja tahun 2014.
4. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya target cakupan imunisasi
di Puskesmas Balaraja tahun 2014.
5. Mengetahui dan mengembangkan alternatif pemecahan masalah dalam pencapaian target
cakupan imunisasi di Puskesmas Balaraja tahun 2014.
6. Memilih dan merencanakan solusi pemecahan masalah yang mampu laksana dalam
pencapaian target cakupan imunisasi di Puskesmas Balaraja tahun 2014.
2

7. Melaksanakan solusi pemecahan masalah yang mampu laksana dalam pencapaian target
cakupan imunisasi di Puskesmas Balaraja tahun 2014.

1.4 Manfaat
Bagi dokter internsip
1. Menerapkan Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah diperoleh saat kuliah.
2. Memberikan kesempatan dan pengalaman untuk melakukan evaluasi suatu program
kerja.
3. Melatih dan mempersiapkan diri dalam menjalankan suatu program kerja.
4. Mampu memanfaatkan dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan mengenai program
pelayanan imunisasi dan metode-metode yang digunakan dalam melaksanakan evaluasi
program pelayanan imunisasi di Puskesmas Balaraja.
5. Mampu menerapkan ilmu kedokteran yang diperoleh untuk memberikan saran dalam
pencapaian target cakupan imunisasi di Puskesmas Balaraja.

Bagi Puskesmas
1. Mengetahui faktor-faktor apa saja yang menyebabkan tidak tercapainya target cakupan
imunisasi di Puskesmas Balaraja tahun 2014.
2. Mendapatkan saran mengenai peningkatan kualitas terhadap program peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Balaraja.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Imunisasi
2.1.1 Definisi Imunisasi
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif
terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi
penyakit. Dilihat dari cara timbulnya maka terdapat dua jenis kekebalan, yaitu kekebaln pasif
dan kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari luar tubuh, bukan
dibuat oleh tubuh itu sendiri. Contohnya adalah kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu
atau kekebalan yang diperoleh setelah pemberian suntikan immunoglobulin. Kekebalan pasif
tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG 28 hari,
sedangkan waktu paruh immunoglobulin lainnya lebih pendek. Kekebalan aktif adalah kekebalan
yang dibuat oleh tubuh sendiri akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan
secara alamiah. Kekebalan aktif berlangsung lebih lama daripada kekebalan pasif karena adanya
memori imunologik.

Gambar 1. Jadwal Imunisasi 2014

2.1.2 Tujuan Imunisasi


Tujuan imunisasi untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang, dan
menghilangkan penyakit tertentu pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan
menghilangkan penyakit tertentu dari dunia.
2.1.3 Prosedur Imunisasi
Prosedur imunisasi dimulai dari menyiapkan dan membawa vaksin, mempersiapkan anak
dan orangtua, tekhnik penyuntikkan yang aman, pencatatan, pembuangan limbah, sampai
pada tekhnik penyimpanan dan penggunaan sisa vaksin dengan benar. Penjelasan kepada
orang tua serta pengasuhnya sebelum dan setelah imunisasi perlu dipelajari pula.
Pengetahuan tentang kualitas vaksin yang masih boleh diberikan pada bayi/ anak perlu
mendapat perhatian. Ukuran jarum, lokasi suntikan, cara mengurangi ketakutan dan rasa
nyeri pada anak juga perlu diketahui. Imunisasi perlu dicatat dengan lengkap, termasuk
keluhan kejadian ikutan pasca imunisasi.
2.1.4 Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan kehilangan potensinya.
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada
0

temperature 2-8 C dan tidak membeku. Secara umum ada 2 jenis vaksin yaitu vaksin
hidup (polio oral, BCG, campak, MMR, varisella dan demam kuning) dan vaksi mati atau
inaktif (DPT,Hib, pneimokokus, Typhoid, influenza, polio inaktif, meningokokus).
0

Secara umum semua vaksin sebaiknya disimpan pada suhu +2 s/d +8 C vaksin hidup
akan cepat mati, vaksin polio hanya bertahan 2 hari, vaksin BCG dan campak yang belum
dilarutkan mati dalam 7 hari. Vaksin hidup potensinya masih tetap baik pada suhu kurang
0

dari 2 C s/d beku. Vaksin polio oral yang belum dibuka lebih bertahan lama (2tahun)
0

bila disimpan pada suhu -25 C s/d -15 C, namun hanya bertahan 6 bulan pada suhu +2
0

C s/d +8 C. vaksin BCG dan campak berbeda, walaupun disimpan pada suhu -25 C s/d 0

15 C, umur vaksin tidak lebih lama dari suhu +2

C s/d +8 C, yaitu BCG tetap 1 tahun

dan campak tetap 2 tahun. Oleh karena itu vaksin BCG dan campak yang belum
0

dilarutkan tidak perlu disimpan di -25 C s/d -15 C atau di dalam freezer.
5

Vaksin inaktif (mati) sebaiknya disimpan dalam suhu +2

C s/d +8 C juga, pada suhu

dibawah +2 C (beku) vaksin mati akan cepat rusak. Bila beku dalam suhu -0,5 C vaksin
hepatitis B dan DPT-Hepatitis B (kombo) akan rusak dalam jam, tetapi dalam suhu
0

diatas 8 C vaksin Hepatitis B bias bertahan sampai 30 hari, DPT-Hepatitis B kombinasi


sampai 14 hari. Dibekukan dalam suhu -5

C s/d -10 C vaksin DPT, DT dan TT akan


0

rusak dalam 1,5 s/d 2 jam, tetapi bias bertahan sampai 14 hari dalam suhu diatas 8 C.
2.1.5 Tehnik dan Ukuran Jarum
Pada tiap suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai dan .
Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis, karena resiko infeksi. Apabila
memakai botol multidosis maka jarum suntik yang telah digunakan menyuntik tidak
boleh dipakai lagi mengambil vaksin.
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi ada perkecualian lain
dalam beberapa hal seperti berikut :
-

pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan bayi-bayi kecil
lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan panjang 16 mm.

untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dipakai jarum ukuran 25 dengan panjang
16mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27 dengan panjang 12 mm.

untuk suntikan intramuscular pada oaring dewasa yang sangat gemuk (obese) diapakai
jarum ukuran 23 dengan panjang 38 mm.

untuk suntikan untradermal pada vaksinasi BCG dipakai jarum ukuran 25-27 dengan
panjang 10 mm.

2.1.6 Arah sudut jarum pada suntikan Intramuscular


Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 45

sampai 60

ke dalam otot vastus

lateralis atau otot deltoid. Untuk otot vastus lateralis, jarum harus diarahkan kea rah lutut
dan untuk deltoid jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dam pembuluh
0

vascular dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90 .

2.1.7 Tempat suntikan yang dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi-bayi
dan anak-anak umur dibawah 12 bulan. Region deltoid adalah alternative untuk vaksinasi
pada anak-anak yang lebih besar (mereka yang dapat berjalan) dan orang dewasa.
Sejak akhir 1980, WHO telah memberi rekomendasi bahwa daerah anterolateral paha
adalah bagian yang dianjurkan untuk vaksinasi bayi-bayidan tidak pada pantat (daerah
gluteus) untuk menghindari resiko kerusakan saraf iskhiadika (nervus ischiadicus).
Resiko kerusakan saraf ischiadika akibat suntikan di daerah gluteus lebih banyak
dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih tebal, sehingga
pada vaksinasi dengan suntikan intramuscular di daerah gluteal dengan tidak disengaja
menghasilkan suntikan subkutan dengan reaksi local yang lebih berat. Vaksinasi hepatitis
B dan rabies bila disuntikkan di daerah gluteal kurang imunogenik; hal ini berlaku untuk
semua umur. Sedangkan untuk vaksin BCG, harus disuntik pada kulit diatas insersi otot
deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak pundak memeberi resiko
terjadinya keloid.

2.1.8 Posisi anak dan lokasi suntikan


Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur di bawahh 12 bulan adalah:
-

Menghindari resiko kerusakan saraf ischiadika pada suntikan daerah gluteal.

Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan secara
adekuat.

Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B dan rabies berkurang bila disuntikkan di daerah
gluteal.

Menghindari resiko reaksi local dan terbentuk pembengkakan ditempat suntikan yang
menahun.

Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

Vastus lateralis, posisi anak dan lokasi suntikan


Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang mengisi bagian anterolateral
paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot bagian atas dan
tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut
0

45 -60 terhadap permukaan kulit, dengan jarum kearah lutut, maka jarum tersebut harus
menembus kulit selebar ujung jari diatas (kearah proksiimal) batas hubungan bagian atas
dan sepertiga tengah otot.

Gambar 2. Diagram Lokasi Suntikan Yang Dianjurkan pada otot paha.

Gambar 3. Potongan Lintang Paha : Menunjukkan Bagian Yang Disuntik

Lokasi suntikan pada vastus lateralis


-

Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan terlentang.

Tungkai bawah sedikit di tekuk dengan fleksi pada lutut.

Cari trochanter mayor femur dan condylus lateralis dengan cara palpasi, tarik garis yang
menghubungkan kedua tempat tersebut. Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga
bagian atas dan tengah pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka
lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian distal lebih jelas)

Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas antara sepertiga bagian
atas dan tengah, jarumditusukkan satu jari diatas batas tersebut.

Deltoid, posisi anak dan lokasi suntikan


-

Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikkan di daerah deltoid ialah duduk
diatas pangkuan ibu atau pengasuhnya.

Lengan yang akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi,sementara lengan
lainnya diletakkan di belaknag tubuh orang tua atau pengasuh.

Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi berlangsung aman dan
berhasil.

Posisi yang salah

akan menghasilkan suntikan subkutan yang tidak benar

dan

meningkatkan resiko penetrasi saraf.

Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik, membuka lengan atas dari pundak ke siku.
Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot, yaitu separuh antara akromion dan insersi
pada tengah humerus. Jarum suntik ditusukkan membuat sudut 45 -60

mengarah pada

akromion. Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada resiko trauma saraf radialis karena
saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep.

Perhatian untuk suntikan subkutan


0

Arah jarum 45 terhadap kulit.

Cubit tebal untuk suntikan subkutan

Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan.

Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.

Gambar 4. Lokasi Penyuntikan Subkutan Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

Perhatian untuk penyuntikan intramuscular


-

Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot.

Suntik dengan arah jarum 45 60 , lakukan dengan cepat.

Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat jaruum ditusukkan.

Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak masuk dalam

vena. Apabila terdapat darah buang dan ulangi dengan suntikan baru.
-

Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstremitas berbeda.

10

Gambar 5. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

2.1.9 Pemberian dua atau lebih vaksin pada hari yang sama
Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boelh diberikan pada hari
yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup, khususnya vaksin yang dianjurkan
dalam jadwal imunisasi, pada umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat
hari kunjungan yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksinvaksin DPT, Hib, hepatitis B, dan polio.
Lebih dari satu macam vaksin virus hidup dapat diberikan pada hari yang sama, tetapi
apabila hanya satu macam yang diberikan, vaksin virus hidup yang kedua tidak boleh
diberikan kurang dari 2 minggu dari vaksin yang pertama, sebab respons terhadap vaksin
yang kedua mungkin telah banyak berkurang. Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh
dicampur dalam satu semprit. Vaksin-vaksin yang berbeda yangdiberikan pada seseorang
pada hari yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan menggunakan
semprit yang berbeda.

11

2.2. Imunisasi Wajib (PPI)


Imunisasi yang diwajibkan meliputi BCG, polio, hepatitis B, DTP dan campak.

2.2.1. BCG
Bacille Calmete-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium Bovis yang
dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen teatapi
masih mempunyai imunogenitas. Vaksinasi BCG menimbulkan sensitivitas terhadap
tuberculin.

Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. Namun untuk mencapai cakupan
yang lebih luas, Departemen Kesehatan menganjutkan pemberian imunisasi BCG pada
umur antara 0-12 bulan.

Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun). Vaksin
BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.Deltoideus
sesuai anjuran WHO, tidak ditempat lain (bokong, paha) .

Vaksin BCG tidak dapat

mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat mencegah

komplikasinya. Apabila BCG diverikan pada umur

lebih dari 3 bulan, sebaiknya

dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberculin
negatif..

Efek proteksi timbul 8-12 minggu setelah penyuntikkan. Berhubungan dengan beberapa
factor yaitu mutu vaksin yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium atipik atau
factor pejamu (umur, keadaan gizi dan lain-lain)
12

Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8 C, tidak
boleh beku. Vaksin yang telah dienccerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

2.2.1.1 Kejadian ikutan pasca imunisasi vaksinasi BCG


Penyuntikan BCG intradermal akan menimbulkan ulkus local yang superficial 3 minggu
setelah penyuntikkan. Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan,

dan

meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm, apabila dosis terlalu tinggi maka ulkus
yang timbul lebih besar, namun apabila penyuntikkan terlalu dalam maka parut yang terjadi
tertarik ke dalam.
1. Limfadenitis
Limfadenitis supuratif di aksila atau di

leher kadang-kadang dijumpai

setelah

penyuntikan BCG. Limfadenitis akan sembuh sendiri, jadi tidak perlu diobati. Apabila
limfadenitis melekat pada kulit atau timbul fistula maka dapat dibersihkan (drainage) dan
diberikan obat anti tuberculosis oral. Pemberian obat anti tuberculosis sistemik tidak
efektif.
2. BCG-itis diseminasi
Jarang terjadi, seringkali berhubungan dengan imunodefisiensi berat. Komplikasi lainnya
adalah eritema nodosum, iritis, lupus vulgaris dan osteomielitis. Komplikasi ini harus
diobati dengan kombinasi obat anti tuberculosis.
2.2.1.2 Kontra indikasi BCG
-

Reaksi uji tuberculin >5 mm.

Menderita infeksi HIV atau dengan resiko tinggi infeksi HIV, imunokompromais akibat
penggunaan kortikosteroid, obat imunosupresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau system limfe.

Menderita gizi buruk.

Menderita demam tinggi.


13

Menderita infeksi kulit yang luas.

Pernah sakit tuberculosis.

Kehamilan.

2.2.1.3 Rekomendasi
-

BCG diberikan pada bayi < 2bulan.

Pada bayi yang kontak erat dengan penderita TB denagn BTA +3 sebaiknya diberikan
INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.

2.2.2 Hepatitis B
Vaksin hepatitis B (hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat vaksinasi
hepB merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk memutuskan rantai
penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada bayinya.

Vaksin diberikan secara intramuscular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan di
anterolateral paha, sedangkan pada anak besar dan dewasa, diberikan di region deltoid

2.2.2.1 Imunisasi aktif


-

Imunisasi hepB-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12 jam) setelah lahir.

Imunisasi hepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi hepB-1 yaitu saat
bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval imunisasi hepB-2
dengan hepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka imunisasi hepB-3 diberikan pada
umur 3-6 bulan.

Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua.
Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bukan dari imunisasi
kedua.

Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan.


14

Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag yang tidak diketahui, hepB-1 harus diberikan dalam
waktu 12 jam setelah lahir dan dilanjutkan pada umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila
semula status Hbs-Ag ibu tidak diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya
diketahui ibu dengan Hbs-Ag positif, maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin
(HBIg) 0,5 ml sebelum bayi berumur 7 hari.

Bayi lahir dari ibu dengan Hbs-Ag positif, diberikan vaksin hepB-1 dan HBIg 0,5 ml
secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir.

Anak dari ibu pengidap hepatitis B, yang telah memperoleh imunisasi dasar 3x pada masa
bayi, maka pada saat usia 5 tahun tidak perlu imunisasi ulang (booster). Hanya dilakukan
pemeriksaan kadar anti HBs

Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh imunisasi hepatitis
B, maka secepatnya diberikan imunisasi Hep B dengan jadwal 3x pemberian (catch up
vaccination).
Catch up vaccination merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang belum
pernah di imunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada
imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu
antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga
minimal 8 minggu atau 16 minggu sesudah dosis pertama.

Ulangan imunisasi (hepB-4) dapat dipertimbangkan pada umur 10-12 tahun, apabila
kadar pencegahan belum tercapai (anti Hbs< 10g/ml).

2.2.2.2 Imunisasi pasif


Hepatitis B immune globulin (HBIg) dalam waktu singkat akan memeberikan proteksi
meskipun hanya untuk jangka pendek (3-6 bulan).

HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca paparan. Sebaiknya HBIg diberikan bersama
vaksin VHB sehingga proteksinya berlangsung lama. Pada needle stick injury maka
diberikan HBIg 0,06 ml/kg maksimum 5 ml dalam 48 jam pertama setelah kontak. Pada

15

penularan dengan cara kontak seksual HBIg diberikan 0,06 ml/kg maksimum 5 ml dalam
waktu <14 hari sesudah kontak terakhir.

2.2.2.3 Efek samping


Umumnya berupa reaksi local yang ringan dan bersigat sementara. Kadang-kadang dapat
menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.

2.2.2.4 Kontra indikasi


Tidak ada kontra ondikasi yang absolute.

2.2.3 DTwP (whole-cell pertussis) dan DTap (acelluler pertussis)


Imunisasi DTP primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan
sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8
minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3
padaumur 6 bulan. Ulangan booster DTP selanjutnya diberikan satu tahun setelah DTP-3
yaitu pada umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Pada booster umur 5 tahun harus tetap diberikan vaksin dengan komponen pertusis
(sebaiknya diberikan DTaP untuk mengurangi demam pasca imunisasi) mengingat
kejadian pertusis pada dewasa muda meningkat akibat ambang proteksi telah sangat
rendah sehingga dapat menjadi sumber penularan pada bayi dan anak.
DT-5 diberikan pada kegiatan imunisasi di sekolah dasar. Ulangan DT-6 diberikan pada
12 tahun, mengingat masih dijumpai kasus difteria pada umur lebih dari 10 tahun.
Dosis DTwP atau DTaP atau DT adalah 0,5 ml, intramuscular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan.

16

Jadwal untuk imunisasi rutin pada anak, dianjurkan pemberian 5 dosis pada usia 2,4,6,1518 bulan dan usia 5 tahun atau saat masuk sekolah. Dosis ke 4 harus diberikan sekurangkurangnya 6 bulan setelah dosis ke 3. kombinasi toksoid difteria dan tetanus(DT) yang
mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontra indikasi terhadap
pemberian yang pertusis.

2.2.3.1 Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP


-

Reaksi local kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh
penerima DTP.

Proporsi Demam ringan dengan reaksi local sama dan diantaranya dapat mengalami
hiperpireksia.

Anak gelisah dan menangis

terus menerus selama beberapa jam paska suntikan

(inconsolable crying).
-

Dari suatu penelitian ditemukan adanya kejang demam

sesudah vaksinasi yang

dihubungkan dengan demam yang terjadi.


-

Kejadian ikutan yang paling serius adalah terjadinya ensefalopati akut atau reaksi
anafilaksis dan terbukti disebabkan oleh pemberian vaksin pertusis.

2.2.3.2 Kontra indikasi


Saat ini didapatkan dua hal yang diyakini sebagai kontra indikasi mutlak terhadap
pemberian vaksin pertusis baik whole cell maupun acelular. Yaitu :
-

anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya.

Ensefalopati sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya.

Keadaan lain dapat

dinyatakan sebagai perhatian khusus (precaution). Misalnya

pemberian vaksin pertusis berikutnya bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat
hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus
menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP

17

Riwayat kejang dalam keluarga dan kejang yang tidak berhubungan dengan pemberian
vaksin sebelumnya, kejadian ikutan paska imunisasi atau alergi terhadap vaksin bukanlah
suatu indikasi kontra terhadap pemberian vaksin DTaP. Walaupun demikian keputusan
untuk pemberian vaksin pertusis

harus dipertimbangkan secara

individual dengan

memperhitungkan keuntungan dan resiko pemberiannya.

2.2.3.3 Vaksin pertusis a-seluler


Vaksin pertusis aseluler adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari
Bordetellapertusis yang dipilih sebagai dasar yang berguna dalam patogenesis pertusis
dan perannya dalam memicu antibody yang berguna untuk pencegahan terhadap pertusis
secara klinis.

2.2.4 Polio
Poliomielitis atau polio, adalah penyakit paralisis atau lumpuh yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk
ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah
dan mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan (paralisis).

18

Gambar 7. Anak dengan Polio

Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat menular.
Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam.
Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia
antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga
35 hari.
Anak-anak kecil yang terkena polio seringkali hanya mengalami gejala ringan dan
menjadi kebal terhadap polio. Karenanya, penduduk di daerah yang memiliki sanitasi
baik justru menjadi lebih rentan terhadap polio karena tidak menderita polio ketika masih
kecil. Vaksinasi pada saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di masa depan
karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa. Orang yang telah
menderita polio bukan tidak mungkin akan mengalami gejala tambahan di masa depan
seperti layu otot; gejala ini disebut sindrom post-polio.

19

2.2.4.1 Imunisasi Polio


Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang
sangat menular. Penularannya bias lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio.
Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang sehat.
Imunisasi polio memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit poliomielitis. Polio bisa
menyebabkan nyeri otot dan kelumpuhan pada salah satu maupun kedua lengan/tungkai.
Polio juga bisa menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot pernafasan dan otot untuk
menelan. Polio bisa menyebabkan kematian.
Terdapat 2 macam vaksin polio:
- IPV (Inactivated Polio Vaccine, Vaksin Salk), mengandung virus polio yang telah
dimatikan dan diberikan melalui suntikan.
- OPV (Oral Polio Vaccine, Vaksin Sabin), mengandung vaksin hidup yang telah
dilemahkan dan diberikan dalam bentuk pil atau cairan.
Bentuk trivalen (TOPV) efektif melawan semua bentuk polio, bentuk monovalen
(MOPV) efektif melawan 1 jenis polio.Imunisasi dasar polio diberikan 4 kali (polio I,II,
III, dan IV) dengan interval tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan
diberikan 1 tahun setelah imunisasi polio IV, kemudian pada saat masuk SD (5-6 tahun)
dan pada saat meninggalkan SD (12 tahun).
Di Indonesia umumnya diberikan vaksin Sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes
(0,1 mL) langsung ke mulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula.
Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer,
sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibody
sampai pada tingkat yang tertinggi. Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi
hebat (anafilaktik) setelah pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin,
tidak boleh diberikan IPV. Sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem
kekebalan (misalnya penderita AIDS, infeksi HIV,

leukemia, kanker, limfoma),

dianjurkan untuk diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang menjalani
20

terapi penyinaran, terapi kanker, kortikosteroid atau obat imunosupresan lainnya. IPV
bisa diberikan kepada anak yang menderita diare.
Jika anak sedang menderita penyakit ringan atau berat, sebaiknya pelaksanaan imunisasi
ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa menyebabkan nyeri dan kemerahan
pada tempat penyuntikan, yang biasanya berlangsung hanya selama beberapa hari. Masa
inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami
kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang
terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang
menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Imunisasi polio akan memberikan kekebalan
terhadap serangan virus polio.

2.2.4.2 Usia Pemberian:


Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan
dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin
DTP.

2.2.4.3 Cara Pemberian:


Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral
Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.

2.2.4.4 Efek Samping:


Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan
sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang. Dapat mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan
kejang-kejang.

21

2.2.4.5 Tingkat Kekebalan:


Dapat mencekal hingga 90%.

2.2.4.6 Indikasi Kontra:


Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas
0

38 C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani
pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum;

serta anak dengan mekanisme

kekebalan terganggu.

2.2.5. Campak
Penyakit Campak (Rubeola, Campak 9 hari, measles) adalah suatu infeksi virus yang
sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis (peradangan selaput
ikat mata/konjungtiva) dan ruam kulit. Penyakit ini disebabkan karena infeksi virus
campak golongan Paramyxovirus.

Gambar 8. Anak dengan Campak

Sebelum vaksinasi campak digunakan secara meluas, wabah campak terjadi setiap 2-3
tahun, terutama pada anak-anak usia pra-sekolah dan anak-anak SD. Jika seseorang
22

pernah menderita campak, maka seumur hidupnya dia akan kebal terhadap penyakit ini.
Tidak ada pengobatan khusus untuk campak. Anak sebaiknya menjalani tirah baring.
Untuk menurunkan demam, diberikan asetaminofen atau ibuprofen. Jika terjadi infeksi
bakteri, diberikan antibiotik. Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada
anak-anak. Vaksin biasanya diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan
campak Jerman (vaksin MMR/mumps, measles, rubella), disuntikkan pada otot paha atau
lengan atas. Jika hanya mengandung campak, vaksin diberikan pada umur 9 bulan.
Dalam bentuk MMR, dosis pertama diberikan pada usia 12-15 bulan, dosis kedua
diberikan pada usia 4-6 tahun. selain itu penderita juga harus disarankan untuk istirahat
minimal 10 hari dan makan makanan yang bergizi agar kekebalan tubuh meningkat.
2.2.5.1 Imunisasi Campak
Sebenarnya, bayi sudah mendapat

kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring

bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibody
tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit campak mudah menular,
dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang
disebabkan virus Morbili ini. Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup.
Jadi, sekali terkena campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi. Imunisasi campak
efektif untuk memberi kekebalan terhadap penyakit campak sampai seumur hidup.
Penyakit campak yang disebabkan oleh virus yang ganas ini dapat dicegah jika seseorang
mendapatkan imunisasi campak, minimal dua kali yakni semasa usia 6 59 bulan dan
masa SD (6 12 tahun).
Upaya imunisasi campak tambahan yang dilakukan bersama dengan imunisasi rutin
terbukti dapat

menurunkan kematian karena penyakit campak sampai 48%.Tanpa

imunisasi, penyakit ini dapat menyerang setiap anak, dan mampu menyebabkan cacat dan
kematian karena komplikasinya seperti radang paru (pneumonia); diare, radang telinga
(otitis media) dan radang otak (ensefalitis) terutama pada anak dengan gizi buruk.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet) penderita
yang terhirup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang berlangsung sekitar
23

10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah muncul gejala flu (batuk, pilek,
demam), mata kemerah-merahan dan berair, si kecil pun merasa silau saat melihat
cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut muncul bintik-bintik putih yang akan
bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga mengalami diare. Satu-dua hari kemudian timbul
demam tinggi yang turun naik, berkisar 38-40,5C. Seiring dengan itu, barulah keluar
bercak-bercak merah yang merupakan ciri khas penyakit ini. Ukurannya tidak terlalu
besar, tapi juga tak terlalu kecil. Awalnya hanya muncul di beberapa bagian tubuh saja
seperti kuping, leher, dada, muka, tangan dan kaki. Dalam waktu 1 minggu, bercakbercak
merah ini akan memenuhi seluruh tubuh. Namun bila daya tahan tubuhnya baik, bercakbercak merah ini hanya di beberapa bagian tubuh saja dan tidak banyak.
Jika bercak merah sudah keluar, umumnya demam akan turun dengan sendirinya. Bercak
merah pun akan berubah jadi kehitaman dan bersisik, disebut hiperpigmentasi. Pada
akhirnya bercak akan

mengelupas atau rontok atau sembuh

dengan sendirinya.

Umumnya, dibutuhkan waktu hingga 2 minggu sampai anak sembuh benar dari sisa-sisa
campak. Dalam kondisi ini, tetaplah meminum obat yang sudah diberikan dokter. Jaga
stamina dan konsumsi makanan bergizi. Pengobatannya bersifat simptomatis, yaitu
mengobati berdasarkan gejala yang muncul. Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang
efektif mengatasi virus campak. Jika tak ditangani dengan baik campak bisa sangat
berbahaya. Bisa terjadi komplikasi, terutama pada campak yang berat. Ciri-ciri campak
berat, selain bercaknya di sekujur tubuh, gejalanya tidak membaik setelah diobati 1-2
hari. Komplikasi yang terjadi biasanya berupa radang paru-paru (broncho pneumonia)
dan radang otak (ensefalitis).

Komplikasi inilah yang umumnya

paling sering

menimbulkan kematian pada anak.

2.2.5.2 Deskripsi
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis (0,5ml)
mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM 70, dan tidak lebih
dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu erythromycin. Vaksin ini berbentuk
vaksin beku kering yang harus dilarutkan hanya dengan pelarut steril yang tersedia secara
24

terpisah untuk tujuan tersebut. Vaksin ini telah memenuhi persyaratan WHO untuk
vaksin campak.
2.2.5.3 Indikasi
Untuk Imunisasi aktif terhadap penyakit campak.
2.2.5.4 Komposisi
Tiap dosis vaksin yang sudah dilarutkan mengandung : Virus Campak >= 1.000 CCID50,
Kanamycin sulfat <= 100 mcg, Erithromycin <= 30 mcg
2.2.5.5 Dosis dan Cara Pemberian
Imunisasi campak terdiri dari dosis 0,5 ml yang disuntikkan secara SUBKUTAN, lebih
baik pada lengan atas. Pada setiap penyuntikan harus menggunakan jarum dan syringe
yang steril. Vaksin yang telah dilarutkan hanya dapat digunakan pada hari itu juga
(maksimum untuk 8 jam) dan itupun berlaku hanya jika vaksin selama waktu tersebut
disimpan pada suhu 2-8C serta terlindung dari sinar matahari. Pelarut harus disimpan
pada suhu sejuk sebelum digunakan.
Satu dosis vaksin campak cukup untuk membentuk kekebalan terhadap infeksi.Di negaranegara dengan angka kejadian dan kematian karena penyakit campak tinggi pada tahun
pertama setelah kelahiran, maka dianjurkan imunisasi terhadap campak dilakukan sedini
mungkin setelah usia 9 bulan (270 hari). Di negara-negara yang kasus campaknya sedikit,
maka imunisasi boleh dilakukan lebih dari usia tersebut.
Vaksin campak tetap aman dan efektif jika diberikan bersamaan dengan vaksin-vaksin
DT, Td, TT, BCG, Polio, (OPV dan IPV), Hepatitis B, dan Yellow Fever.

2.2.5.6 Usia & Jumlah Pemberian:


Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9 bulan, 1 kali di usia 6 tahun. Dianjurkan, pemberian
campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia 9
bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan
25

belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR
(Measles Mumps Rubella).
2.2.5.7 Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bisa menyebabkan demam dan diare, namun
kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu. Kadang juga terdapat
efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.
2.2.5.8 Kontraindikasi
Terdapat beberapa kontraindikasi yang berkaitan dengan pemberian vaksin campak.
Walaupun berlawanan penting untuk mengimunisasi anak yang mengalami malnutrisi.
Demam ringan, infeksi ringan pada saluran nafas atau diare, dan beberapa penyakit
ringan lainnya jangan dikategorikan sebagai kontraindikasi. Kontraindikasi terjadi bagi
individu yang diketahui alergi berat terhadap kanamycin dan erithromycin.
Karena efek vaksin virus campak hidup terhadap janin belum diketahui, maka wanita
hamil termasuk kontraindikasi. Individu pengidap virus HIV (Human Immunodficiency
Virus). Vaksin Campak kontraindikasi terhadap individu-individu yang mengidap
penyakit immune deficiency atau individu yang diduga menderita gangguan respon imun
karena leukimia, lymphoma atau generalized malignancy. Bagaimanapun penderita HIV,
baik yang disertai gejala ataupun tanpa gejala harus diimunisasi vaksin campak sesuai

2.2.5.9 Jadual yang ditentukan.


Bagi anak-anak yang sedang sakit berat seperti diare dan demam tinggi, menurut Jane,
diinstruksikan tidak perlu diimunisasi campak. Para petugas cukup mencatat namanya.
Apabila anak tersebut telah sembuh, petugas akan mendatangi rumahnya untuk diberi
imunisasi.
2.2.5.10 Kemasan
Vaksin tersedia dalam kemasan vial 10 dosis + 5 ml pelarut dalam ampul.
26

2.3. Program imunisassi TT Pada Ibu Hamil


Program Imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan, kecacatan dan kematian
dari penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Untuk mencapai hal
tersebut, maka program imunisasi harus dapat mencapai tingkat cakupan yang tinggi dan
merata di semua wilayah dengan kualitas pelayanan yang memadai. (Dinkes Jambi, 2003).
Pelaksanaan kegiatan imunisasi TT ibu hamil terdiri dari kegiatan imunisasi rutin dan
kegiatan tambahan. Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang secara rutin
dan terus-menerus harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditetapkan, yang
pelaksanaannya dilakukan di dalam gedung (komponen statis) seperti puskesmas,
puskesmas pembantu, rumah sakit, rumah bersalin dan di luar gedung seperti posyandu
atau melalui kunjungan rumah. Kegiatan imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi
yang dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi.
(Depkes RI, 2005).
2.3.1. Jadwal Imunisasi TT ibu hamil
1. Bila ibu hamil sewaktu menjadi calon pengantin sudah mendapat TT sebanyak 2 kali,
maka kehamilan pertama cukup mendapat TT 1 kali, dicatat sebagai TT ulang dan pada
kehamilan berikutnya cukup mendapat TT 1 kali saja yang dicatat sebagai TT ulang juga.
2. Bila ibu hamil sewaktu menjadi calon pengantin atau hamil sebelumnya baru mendapat
TT 1 kali, maka perlu diberi TT 2 kali selama kehamilan ini dan kehamilan berikutnya
cukup diberikan TT 1 kali sebagai TT ulang.
3. Bila ibu hamil sudah pernah mendapat TT 2 kali pada kehamilan sebelumnya, cukup
mendapat TT 1 kali dan dicatat sebagai TT ulang.
2.3.2. Cara pemberian dan dosis
1. Sebelum digunakan, vaksin harus dikocok terlebih dahulu agar suspense menjadi
homogen.
2. Untuk mencegah tetanus/tetanus neonatal terdiri dari 2 dosis primer yang disuntikkan
secara intramuskular atau subkutan dalam, dengan dosis pemberian 0,5 ml dengan
interval 4 minggu. Dilanjutkan dengan dosis ketiga setelah 6 bulan berikutnya. Untuk
mempertahankan kekebalan terhadap tetanus pada wanita usia subur, maka dianjurkan
27

diberikan 5 dosis. Dosis ke empat dan ke lima diberikan dengan interval minimal 1 tahun
setelah pemberian dosis ke tiga dan ke empat. Imunisasi TT dapat diberikan secara aman
selama masa kehamilan bahkan pada periode trimester pertama.
3. Di unit pelayanan statis, vaksin TT yang telah dibuka hanya boleh digunakan selama 4
minggu dengan ketentuan :

Vaksin belum kadaluarsa

Vaksin disimpan dalam suhu +2 - +8C

Tidak pernah terendam air.

Sterilitasnya terjaga

VVM (Vaccine Vial Monitor) masih dalam kondisi A atau B.

4. Di posyandu, vaksin yang sudah terbuka tidak boleh digunakan lagi untuk hari berikutnya.
2.3.3. Efek Samping
Efek samping jarang terjadi dan bersifat ringan, gejalanya seperti lemas dan kemerahan
pada lokasi suntikan yang bersifat sementara dan kadang-kadang gejala demam. (Depkes
RI, 2005).
2.3.4. Tenaga Pelaksana Imunisasi
Standar tenaga pelaksana di tingkat pusksmas adalah petugas imunisasi dan pelaksana
cold chain. Petugas imunisasi adalah tenaga perawat atau bidan yang telah mengikuti
pelatihan, yang tugasnya memberikan pelayanan imunisasi dan penyuluhan. Pelaksana
cold chain adalah tenaga yang berpendidikan minimal SMA atau SMK yang telah
mengikuti pelatihan cold chain, yang tugasnya mengelola vaksin dan merawat lemari es,
mencatat suhu lemari es, mencatat pemasukan dan pengeluaran vaksin serta mengambil
vaksin di kabupaten/kota sesuai kebutuhan per bulan. Pengelola program imunisasi adalah
petugas imunisasi, pelaksana cold chain atau petugas lain yang telah mengikuti pelatihan
untuk pengelola program imunisasi, yang tugasnya membuat perencanaan vaksin dan
logistik lain,

mengatur jadwal pelayanan imunisasi, mengecek catatan

pelayanan

imunisasi, membuat dan mengirim laporan ke kabupaten/kota, membuat dan menganalisis


PWS bulanan, dan merencanakan tindak lanjut. (Depkes, 2005).

28

Untuk meningkatkan pengetahuan dan/atau ketrampilan petugas imunisasi perlu dilakukan


pelatihan sesuai dengan modul latihan petugas imunisasi. Pelatihan teknis diberikan
kepada petugas imunisasi di puskesmas, rumah sakit dan tempat pelayanan lain, petugas
cold chain di semua tingkat. Pelatihan manajerial diberikan kepada para pengelola
imunisasi dan supervisor di semua tingkat. (Depkes RI, 2005).

2.3.5. Vaksin TT (Tetanus Toxoid)


Deskripsi
Vaksin TT ( Tetanus Toxoid ) adalah vaksin yang mengandung toxoid tetanus yang telah
dimurnikan dan terabsorbsi ke dalam 3 mg/ml aluminium fosfat. Thimerosal 0,1 mg/ml
digunakan sebagai pengawet. Satu dosis 0,5 ml vaksin mengandung potensi sedikitnya 40
IU. Dipergunakan untuk mencegah

tetanus pada bayi yang baru lahir

dengan

mengimunisasi Wanita Usia Subur (WUS) atau ibu hamil, juga untuk pencegahan tetanus
pada ibu bayi. (Depkes RI, 2005).
Kemasan Vaksin
Kemasan vaksin dalam vial. 1 vial vaksin TT berisi 10 dosis dan setiap 1 box vaksin
terdiri dari 10 vial. Vaksin TT adalah vaksin yang berbentuk cairan. (Depkes RI, 2005).
Kontraindikasi Vaksin TT
Ibu hamil atau WUS yang mempunyai gejala-gejala berat (pingsan) karena dosis pertama
TT. (Depkes RI, 2005).
Sifat Vaksin
Vaksin TT termasuk vaksin yang sensitif terhadap beku (Freeze Sensitive=FS) yaitu
golongan vaksin yang akan rusak bila terpapar/terkena dengan suhu dingin atau suhu
pembekuan. (Depkes RI, 2005).

29

Kerusakan Vaksin
Keterpaparan suhu yang tidak tepat pada vaksin TT menyebabkan umur vaksin menjadi
berkurang dan vaksin akan rusak bila terpapar /terkena sinar matahari langsung. (Depkes
RI, 2005).
Tabel Keadaan suhu terhadap umur vaksin TT
VAKSIN

TT

PADA SUHU

DAPAT BERTAHAN SELAMA

-0,5C

Maximal jam

-5 C -10 C

Maximal 1,5 2 jam

Beberapa C diatas suhu

30 hari

udara luar (ambient


temperature <34 C)
Sumber : Depkes RI, 2005

2.3.6. Tetanus Neonatorum (TN)


Tetanus Neonatorum (TN) adalah infeksi akut yang disebabkan oleh kuman Clostridium
Tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang kurang terawat dan terjadi
pada bayi sejak lahir sampai umur 28 hari, kriteria kasus TN berupa sulit menghisap ASI,
disertai kejang rangsangan, dapat terjadi sejak umur 3- 28 hari tanpa pemeriksaan
laboratorium. (Sudarjat S, 1995).
Penularan TN sebagai akibat memotong tali pusat dengan peralatan tidak steril dan
terkontaminasi dengan ekskreta hewan atau tanah yang mengandung spora tetanus sebagai
balutan atau tali akar untuk mengikat tali pusat. Tetanus Neonatorum penularannya secara
langsung atau tak langsung melalui luka yang ada pada bayi, biasanya terjadi akibat
infeksi pada luka di pusar bekas pemotongan tali pusat dengan menggunakan alat yang
terkontaminasi. Disamping itu infeksi dapat pula terjadi jika luka pusar bayi diobati atau
diberi zat-zat yang terkontaminasi. (George D, 1995).
30

Masa inkubasi biasanya 4-21 hari (umumnya 7 hari), tergantung pada tempat terjadinya
luka, bentuk luka, dosis dan toksisitas kuman. (Sudarjat S, 1995).
Tanda-tandanya terdapat pada bayi baru lahir (neonatus) sampai umur kurang dari 28 hari,
biasanya beberapa hari sesudah lahir dengan gejala-gejala bayi mula-mula masih bisa
menetek/minum, lama kelamaaan karena otot rahang kejang, maka sulit membuka mulut
sehingga bentuk mulut bayi mencucu seperti mulut ikan, lama kelamaan otot pernafasan
kejang, tidak lama kemudian bayi kelihatan biru, kejangkejang sampai meninggal dunia.
(SubDit Imunisasi,Ditjen PPM &PLP,1992).
Untuk mencegah tetanus pada bayi baru lahir dilakukan imunisasi aktif dengan toksoid
tetanus pada ibu hamil menjelang kelahiran bayi dan seandainya kelahiran seorang bayi
ditolong oleh dukun, bayi secepatnya dibawa ke dokter/puskesmas untuk mendapat
imunisasi pasif dengan serum anti tetanus. (Markum A.H, 1987). Vaksin TT memiliki
efektifitas yang sangat tinggi dan pemberiannya mudah, sehingga tujuan untuk melindungi
bayi terhadap TN dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat. (Panitia PIN, 1996).
Untuk mendapatkan perlindungan seumur hidup terhadap TN maka diperlukan pemberian
imunissi TT 5 dosis dengan interval waktu sesuai ketentuan. (Panitia PIN, 1996).
Tabel. Jadwal Pemberian Imunisasi TT 5 Dosis
Pemberian
Imunisasi
(status TT)

Interval waktu

Masa Perlindungan

pemberian minimal

Dosis

TT1

0,5 cc

TT2

4 minggu setelah TT1

3 tahun

0,5 cc

TT3

6 bulan setelah TT2

5 tahun

0,5 cc

TT4

1 tahun setelah TT3

10 tahun

0,5 cc

TT5

1 tahun setelah TT4

25 tahun/seumur hidup

0,5 cc

31

BAB III
METODE PENELITIAN

Metode penelitian adalah suatu cara yang dipergunakan dalam sebuah penelitian untuk
mencapai tujuan penelitian. Metode penelitian atau sering disebut juga metodologi
penelitian adalah sebuah desain atau rancangan penelitian. Rancangan ini berisi rumusan
tentang objek atau subjek yang akan ditelliti, teknik teknik pengumpulan data, prosedur
pengumpulan dan analisi

data berkenaan dengan fokus

masalah tertentu. Metode

penelitian (research methods) adalah cara cara yang digunakan oleh peneliti dalam
merancang, melaksanakan, pengolah dara, dan menarik kesimpulan berkenaan dengan
masalah penelitian tertentu.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Statistik
deskriptif adalah bagian dari statistika yang mempelajari cara pengumpulan data dan
penyajian data sehingga mudah dipahami. Statistika deskriptif hanya berhubungan
dengan hal menguraikan atau memberikan keterangan-keterangan mengenai suatu data
atau keadaan. Dengan kata statistika deskriptif berfungsi menerangkan keadaan, gejala,
atau persoalan. Penarikan kesimpulan pada statistika deskriptif (jika ada) hanya ditujukan
pada kumpulan data yang ada. (Ibrahim, 2007) menjelaskan penelitian deskriptif adalah
penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi
pada saat sekarang. Hal ini hampir sama dengan pendapat Sukmadinata (Sukmadinata,
2005) yang menjelaskan bahwa penelitian deskriptif (descriptive research) adalah suatu
metode penelitian yang ditujukan untuk menggambarkan fenomena- fenomena yang ada,
yang berlangsung pada saat ini atau saat yang lampau.
Fruchan (Furchan, 2011) mengemukakan penelitian deskriptif mempunyai karakteristik
karakteristik :

Sukmadinata, N. S. (2005). Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rosda.

32

1. Penelitian deskriptif cenderung menggambarkan suatu fenomena apa adanya


dengan cara menelaah secara teratur ketat, mengutamakan objektivitas, dan
dilakukan secara cermat.
2. Tidak adanya perlakuan yang diberikan atau dikendalikan, dan tidak adanya uji
hipotesis.
Menurut Ronny Kountur (Kountur, 2004), penelitian deskriptif mempunyai ciri ciri
sebagai berikut:
1. Berhubungan dengan keadaan yang terjadi saat itu.
2. Menguraikan satu variabel saja atau beberapa variable namun diuraikan satu persatu.
3. Variabel yang ditelilti tidak dimanipulasi atau tidak ada perlakuan (treatment)
Pada penelitian ini, penulis menerapkan metode kuesioner untuk mendapatkan data
deskriptif untuk tujuan analisa. Kuesioner disusun berdasarkan tiga kelompok pertanyaan
yang kami anggap penting dan berkaitan erat dengan sikap dan perilaku orang tua
ataupun ibu hamil dalam mendapatkan imunisasi. 3 kelompok ini adalah:
1. Pengetahuan mengenai imunisasi
2. Sikap Ibu terhadap imunisasi
3. Kualitas pelayanan di Puskesmas terkait.
Masing masing kelompok pertanyaan terdiri dari beberapa pertanyaan, dan disusun
sedemikian rupa dengan pertanyaan positif ataupun negatif, untuk mengurangi bias yang
dapat terjadi. Respons pasien dibatasi menjadi 3 kelompok : ya, tidak , dan ragu.
(kuesioner dapat dilihat pada Lampiran 1).
Kuesioner dibagikan pada jam pelayanan Puskesmas Balaraja kepada setiap sampel yang
sesuai dengan kriteria

inklusi dan eksklusi,

pada saat sedang melakukan antrian

pelayanan kesehatan. Pembagian keusioner dibagi pada 3 lokasi yaitu pada Balai
Pengobatan Dewasa, Klinik Ibu dan Anak, dan Balai Pengobatan Anak. Setiap responden
diberikan waktu tidak terbatas dalam mengisi kuesioner.
Hasil kemudian dikumpulkan kembali dan dilakukan penyajian secara grafis untuk
mendapatkan hasil deskriptif atau peta penyebab permasalahan. Dari hasil tersebut, tim
33

penulis akan melakukan intervensi yang sesuai dan membagikan hasil penemuan dengan
Puskesmas Balaraja.
3.1 Tujuan dan Desain penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan varibel yang berkaitan dengan cakupan
imunisasi, antara lain tingkat pengetahunan orang tua terkait imunisasi, sikap yang
diambil dan kualitas pelayanan fasilitas pelayanan primer setempat, dengan tujuan akhir
memetakan permasalahan rendahnya cakupan imunisasi tertentu di wilayah

kerja

Puskesmas Balaraja
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan selama periode kepanteraan dokter internship, yaitu dari bulan Juli
Oktober 2015 , di wilayah kerja Puskesmas Balaraja, yang mencakupi:
1. Kelurahan Balaraja
2. Desa Telaga Sari
3. Desa Sentul
4. Desa Sentul Jaya
5. Desa Saga

3.3. Populasi Penelitian


2

a. Populasi Target :
wanita usia porduktif yang telah menikah dan di dalam wilayah kerja Puskesmas Balaraja

3.4. Besar sampel


Untuk jumlah populasi yang telah diketahui dapat digunakan rumus Taro Yamane
(Taro Yamane, 1967) untuk menghitung jumlah sampel yang diperlukan

Populasi yang menjadi target akhir generalisasi penelitian.

34

J=

0
0 @6 + 1

Pada penelitian ini N = jumlah bayi baru lahir tahun 2014 di wilayah kerja Puskesmas =
1474
d = presisi yang ditetapkan = 20%, maka didapatkan jumlah sampel yang diteliti adalah :
25orang.
Jumlah Ibu hamil pada 2014 (prediksi) di wilayah kerja Puskesmas Balaraja adalah:
1621, maka didapatkan jumlah sampel yang diteliti adalah: 25 orang.
Besaran sampel yang diperlukan adalah :50 responden

3.5. Cara Pengambilan Sampel


Secara umum sampling bisa dilakukan secara probabilitas dan non probabilitas. Dalam
sampling probabilitas, setiap elemen populasi memiliki kesempatan untuk menjadi
elemen sampel, dan hasil sampling probabilitas lebih akurat dalam merepresentasikan
populasi yang sesungguhnya. Dalam prosedur sampling non probabilitas, sampling
ditentukan oleh kebijakan peneliti sendiri.
Pada penelitian ini, berhubung tidak ada sampling frame yang jelas, maka sampling tidak
bisa dilakukan secara random atau mengkutip istilah Deming, secara probabilitas.
Prosedur sampling yang digunakan adalah non probabilitas.
Berdasarkan besaran sampling minimal seperti yang terhitung diatas, tim penulis
membagi keusioer sesuai dengan jumlah tersebut pada 3 lokasi di Puskesmas Balaraja:
Balai Pengobatan Dewasa, Klinik Ibu dan Anak, dan Balai Pengobatan Anak.

35

3.6. Rencana analisis


Hasil akan dianalisis secara deskriptif grafis.
3.7.

Pengumpulan data primer

Pengumpulan data memegang peranan yang sangat

penting dalam mendapatkan

informasi kesehatan, penelitian klinik dan kesehatan masyarakat.


Data ialah hasil dari suatu pengukuran ataupun pengamatan. Kecukupan dari data
menetapkan prioritas masalah. Untuk itu, harus tersedia waktu, tenaga, dana dan sarana
yang cukup agar jenis data yang dikumpulkan dapat diperluas. Sumber data adalah data
primer (yang diperoleh dari penelitian deskriptif kategorik), dan data sekunder yang
diperoleh dari Puskesmas Balaraja dan Dinas Kesehatan Tangerang, yang meliputi :
-

Buku profil kesehatan Puskesmas Balaraja tahun 2014

Laporan Pencapaian Indikator program imunisasi Puskesmas Balaraja tahun 2014

Wawancara dengan pemegang program imunisasi.


3.8 Penyajian Data
Untuk memudahkan memahami laporan ini, maka penulis menyajikan data dalam bentuk
yang mudah dipahami. Cara penyajian data yang lazim digunakan adalah bentuk
penyajian data secara :
1. Diagram

: penyajian data dalam bentuk diagram

36

BAB IV
PROFIL PUSKESMAS BALARAJA

4.1. Profil Kerja Puskesmas Balaraja


Visi, Misi, dan Tujuan
Visi Puskesmas Balaraja
Memberikan pelayanan kesehatan profesional pada tahun 2015
Misi Puskesmas Balaraja
o Memberikan pelayanan tingkat pertama yang bermutu
o Meningkatkan kerja sama lintas Program dan lintas sektoral
o Meningkatkan sumberdaya untuk menunjang mutu pelayanan kesehatan Nilainilai:
o Kejujuran
o Kedisiplinan
o Kerjasama
o Profesionalisme
o Berwawasan ke depan

Kebijakan Mutu Puskesmas Balaraja


Kebijakan Mutu Puskesmas Balaraja berkomitmen untuk mencapai visi & misi
dengan menerapkan sistem manajemen ISO 9001:2008 dengan tindakan sebagai
berikut:
o Memberikan pelayanan tingkat pertama dengan cepat dan tepat
o Bersikap ramah dan sabar
o Profesional dalam menjalankan tugas
37

o Meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia secara berkesinambungan


o Meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektor
o Meningkatkan efektivitas Sistem Manajemen Mutu secara berkesinambungan
4.2. Data Geografis

Gambar I Tampak Depan Puskesmas Balaraja


Puskesmas Balaraja terletak di Jalan Raya serang Km. 24, yang berjarak + 24 km dengan
Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dan berjarak + 8 km dengan Ibukota. Luas
wilayah kerja Puskesmas Balaraja adalah 1.672 hektar. Letak ketinggian 23 meter dari
permukaan laut, dengan curah hujan 30 CMM.
Puskesmas Balaraja dibangun pada tahun 1954. Wilayah kerja Puskesmas Balaraja terdiri
dari 1 Kelurahan dan 4 Desa dengan 17.945 kepala keluarga.
Batas wilayah Puskesmas Balaraja:
Utara: Kecamatan Krojo dan Kemeri
Barat: Kecamatan Sukamulya
Timur: Kecamatan Cikupa
Selatan: Kecamatan Cisoka

38

Gambar II Peta Wilayah Kerja Puskesmas Balaraja


4.3. Data Demografis
No. Desa/Kelurahan

Keterangan

Balaraja

Kelurahan

Talagasari

Desa

Saga

Desa

Sentul

Desa

Sentul Jaya

Desa

Tabel I. Desa/Kelurahan Wilayah Kerja Puskesmas Balaraja tahun 2014

No.

Desa

Kelurahan

Jumlah Penduduk
Laki-laki Perempuan

Jumlah

1.

Balaraja

6.118

5.763

11.881

2.

Talagasari

5.751

5.483

11.234

3.

Saga

14.556

14.238

28.796

4.

Sentul

4.590

4.090

8.680

5.584

5.019

10.603

36.559

34.593

71.192

5.

Jumlah

Sentul
Jaya

Tabel II. Jumlah Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Balaraja tahun 2015

39

No.

Desa/ Kelurahan

Keterangan

1.

Balaraja

2.849

2.

Talagasari

3.368

3.

Saga

6.896

4.

Sentul

2.669

5.

Sentul Jaya

2.163

Jumlah

17.945

Tabel III. Jumlah Kepala Keluarga Wilayah Kerja Puskesmas Balaraja tahun 2014
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa Desa Saga mempunyai jumlah penduduk paling
besar, karena di Desa Saga terdapat 3 (tiga) perumahan. Sedangkan jumlah penduduk
paling sedikit adalah Desa Sentul Jaya.

No.

Pendidikan

Jumlah

1.

Perguruan Tinggi

13.121

30

2.

SMU

10.952

25

3.

SLTP

14.338

33

4.

SD/ MI

3.316

5.

Tidak tamat SD

1.303

6.

Buta Huruf

563

43.593

100

Jumlah

Tabel IV. Klasifikasi penduduk menurut tingkat pendidikan Puskesmas Balaraja tahun 2014

40

Dari tabel diatas dapat dilihat, bahwa sebagian besar penduduk Kecamatan Balaraja
tingkat pendidikannya sebagian besar tamat SMU yaitu 25% dan masih terdapatnya
penduduk yang buta huruf di wilayah Kecamatan Balaraja sebesar 1 %
No

Sarana Pendidikan

Jumlah

1.

TK

28

2.

SD

24

3.

SLTP

10

4.

SMU

14

5.

SLB

Jumlah

77

Tabel V. Sarana pendidikan Puskesmas Balaraja tahun 2014


Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa di wilayah Puskesmas Balaraja sudah ada sarana
pendidikan sampai SMU, dan ada 1 (satu) SLB (Sekolah Luar Biasa) untuk para
penderita cacat.
No.

Agama

Jumlah

1.

Islam

66.313

95

2.

Kristen

1.983

3.

Hindu

466

4.

Budha

749

69.511

100

Jumlah

Tabel VI. Klasifikasi penduduk menurut agama Puskesmas Balaraja tahun 2014
41

Dari tabel diatas dapat dilihat, bahwa semua agama ada di wilayah Balaraja, mayoritas
penduduk beragama Islam yaitu sebesar 95%.
Jumlah Penduduk

No.

Jumlah

Umur
Laki-laki

Perempuan

1.

04

3.853

3.654

7.507

5-9

3.177

3.169

6.346

3.

10 14

2.893

2.686

5.579

4.

15 19

2.822

2.664

5.486

5.

20/-24

3.564

3.474

7.038

25-29

4.019

3.996

8.015

7.

30 34

4.140

4.230

8.370

8.

35 39

3.756

3.576

7.332

9.

40 44

2.939

2.359

5.298

10.

45-49

1.716

1.262

2.978

11.

50 54

1.085

886

1.971

12.

55 59

725

638

1.363

13.

60-64

422

433

855

14.

65 69

303

320

623

15.

70 74

185

222

407

42

16.

75 +

145

198

343

JUMLAH

35.744

33.767

69.511

Tabel VII Klasifikasi penduduk menurut umur dan jenis kelamin Puskesmas
Balaraja tahun 2014
Mata Pencaharian

Jumlah

Petani

2.078

4,66

Petani Penggarap

11.606

26,03

Buruh Tani

712

1,60

Pedagang

6.347

14,23

Industri Rakyat

1.104

2,48

Buruh Industri

10.623

23,82

Pertukangan

795

1,78

PNS

1.896

4,25

Pensiunan PNS

1.139

2,55

ABRI

844

1,89

Purnawirawan ABRI

729

1,63

Perangkat Desa

768

1,72

3.292

7,38

2.656

5,96

Pengangguran
Kentara
Pengangguran

Tidak

43

Jumlah

44.589

100

Tabel VIII Klasifikasi penduduk menurut mata pencaharian Puskesmas Balaraja


tahun 2014
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa di wilayah Balaraja banyak sekali jenis mata
pencaharian, yang paling besar adalah sebagai petani penggarap (26.03 %) dan sebagai
buruh industri sebesar (23.82 %). Angka pengangguran juga masih cukup tinggi, yaitu
sebesar (5.96 %).
4.4.

Sumber daya Kesehatan


1. Sumber Daya
a. Satu unit gedung rawat jalan

Unit loket pendaftaran

Unit balai pengobatan dewasa

Unit balai pengobatan gigi

Unit KIA/KB

Unit balai pengobatan anak

Unit balai pengobatan TB paru

Unit laboratorium

Unit kasir

Unit apotek

Klinik lansia remaja

b. Satu Gedung Rawat Inap


Gedung rawat

inap yang baru selesai

dibangun pada awal tahun

2009.Gedung Rawat Inap mempunyai 4 kamar utama dengan kapasitas total 22


tempat tidur yang terdiri atas:
o 2 buah tempat tidur untuk nifas
o 5 buah tempat tidur anak
o 7 buah tempat tidur untuk laki-laki dewasa
o 5 buah tempat tidur untuk wanita dewasa
o 2 buah tempat tidur untuk persalinan
44

2. Ketenagaan

Tabel IX Jumlah tenaga berdasarkan jenis ketenagaan dan status kepegawaian


Puskesmas Balaraja tahun 2014

4.5.

Sarana Pelayanan Kesehatan


No. Jenis Sarana Kesehatan
1.

Jumlah

a. Puskesmas

b. Puskesmas Pembantu

45

c. Puskesmas Keliling

2.

Rumah Sakit Pemerintah

3.

Rumah Sakit Swasta

4.

Rumah Bersalin Swasta

5.

Balai Pengobatan Swasta

25

6.

Praktek Dokter Umum Swasta

14

7.

Praktek Bidan Swasta

37

8.

Dokter Gigi Praktek Swasta

Laboratorium Klinik Swasta

10.

Apotek

11.

Optikal

12.

Gudang Farmasi

13.

Posyandu

46

14.

Toko Obat

15

Pos UKK

16.

Polindes

Tabel X Jumlah sarana kesehatan Puskesmas Balaraja tahun 2014

46

1. Perlengkapan Medis
Perlengkapan medis Puskesmas Balaraja juga ditunjang dengan berbagai peralatan
yang sangat membantu kegiatan pelayanan kesehatan itu sendiri. Peralatan tersebut
dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
a. Peralatan penunjang medis, yaitu: tensimeter, stetoskop, peralatan bedah
minor, timbangan berat badan, alat pemeriksaan laboratorium (alat pemeriksa
kadar gula darah, alat pemeriksa kadar asam urat), mikroskop untuk
pemeriksaan (laboratorium) sputum, ultrasonografi, tabung oksigen, peralatan
partus, stetoskop Laenec.
b. Peralatan penunjang non medis, yaitu :
Perlengkapan Kantor dan administrasi : meja tulis, kursi, papan tulis,
lemari arsip, komputer, printer, dan mesin ketik.
Peralatan rumah tangga : Kulkas,

tempat tidur susun, lemari,

dispenser, perlengkapan dapur, dan alat pembersih yang masih layak


pakai.
Peralatan komunikasi : Terdapat telepon yang juga berfungsi sebagai
alat faks.
Perlengkapan transportasi :Terdapat satu unit

mobil Puskesmas

Keliling.
2. Sumber air :Air di Puskesmas berasal dari air tanah yang kualitas dan kuantitasnya
dinilai cukup baik secara fisik.

47

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI

5.1 Hasil Penelitian


Dari 55 lembar kuesioner yang dibagikan, data kemudian dimasukkan ke dalam tabel dan
dipresentasikan dala bentuk grafis seperti di bawah ini: (tim penulis memilih pilihan
presentasi grafis dalam bentuk diagram untuk memvisualisasikan respons dari responden).
5.1 Kelompok survey

5.2 PENGETAHUAN IBU MENGENAI IMUNISASI

48

49

50

51

52

5.3 SIKAP IBU TERHADAP IMUNISASI

53

5.4 PELAYANAN SARANA KESEHATAN

54

55

56

5.5

Diskusi
Dari perolehan data primer Puskesmas Balaraja tahun 2014, didapatkan kesenjangan
dalam beberapa parameter cakupan imunisasi terutama pada cakupan imunisasi tetatnus
pada ibu hamil. Kesenjangan yang ditemukan terdapat pada tiga parameter yaitu:
1. Polio satu (target 98%, tercapai 91.3%)
2. TT 1 (target 95%, tercapai 57.2%)
3. TT 2 (target 90%, tercapai 82.2%)
4. BCG (target 98%, tercapai 91.3%)

57

Dari 4 target yang tidak tercapai tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok TT untuk ibu
hamil baik TT1 ataupun TT2 merupakan kelompok dengan cakupan terendah.
Untuk mencari penyebab permasalahan tidak tercapainya target imunisasi, maka kami
melakukan kuesioner untuk mengeksplorasi 3 sumber permasalahan yang mungkin: tingkat
pengetahuan ibu, sikap ibu terhadap imunisasi, dan kualitas pelayanan Puskesmas setempat.
Pertanyaan pada kuesioner disusun sedemikian rupa dan hanya menilai pengetahuan umum
ibu dan juga penilaian ibu mengenai stigma ataupun perilaku yang berkaitan dengan
pemberian imunisasi. Seluruh pertanyaan dibatasi dengan 3 jenis respons yaitu: ya, tidak dan
ragu. Setiap pertanyaan yang tidak dijawab atau dikosongkan oleh responden dianggap
sebagai ragu oleh kami.
Hasil tersebut kemudian dikumpulkan dengan menggunakan Google Sheet dan dengan
aplikasi yang sama presentasi diagram dilakukan.
Dari kelompok pertanyaan mengenai tingkat pengetahuan ibu, ditemukan bahwa rata rata
lebih dari 80% responden mempunyai pengetahuan yang baik mengenai tujuan imunisasi
yaitu untuk mencegah penyakit dan bukan untuk mengobati, dan pemberian imunisasi
melibatkan meyuntikkan bagian atau seluruh patogen yang telah dilemahkan. Namun hanya
71.7% yang percaya bahwa imunisasi sungguh dapat menurunkan angka kesakitan dan
kematian pada bayi dan balita. Terdapat beberapa pertanyaan untuk menilai pengetahuan ibu
mengenai jadwal pemberian imunisasi, terutama dalam hal pemberian imunisasi di luar
jadwal biasanya. Tujuan pertanyaan yang multiple untuk menilai hal yang sama adalah untuk
menilai konsistensi jawaban responden. Hasilnya bervariatif dari rentang antara 39.6%
sampai 79.2% mempunyai pengetahuan bahwa imunasasi tetap dapat diberikan walaupun
telah melewati jadwal yang tertera. Hal ini memerlukan perhatian karena masih sebagian
besar sampel berasumsi bahwa imunisasi tidak dapat diberikan apabila sudah terlewat jadwal
imunisasi.
Dari kelompok tetanus pada ibu hamil, ditemukan hasil yang sesuai dengan kesenjangan
yang ditemukan dalam capaian target imunisasi TT pada ibu hamil. Hanya 73.1% wanita
berkeluarga pada usia reproduktif yang mengetahui perlunya mendapatkan imunisasi tetanus
dan hanya 32.7% yang memiliki pengetahuan bahwa imunisasi tersebut mesti diberikan
58

minimal 2 kali. Hal ini menjadi fokus intervensi penulis mengingat capaian target imunisasi
TT pada ibu hamil pada tahun 2014 menunjukkan kesenjangan yang signifikan. Hasil ini juga
konsisten dengan data primer yang menunjukkan pola kecenderungan ibu hamil untuk
mendapatkan imunisasi hanya satu kali saja.
Dari kelompok pertanyaan mengenai sikap ibu terhadap imunisasi, ditemukan bahwa lebuh
dari 90.6% responden setuju untuk anak ataupun pribadinya mendapatkan imunisasi. 80.8%
yang setuju bahwa imunisasi mempunyai dampak yang lebih besar daripada kerugian efek
sampingnya. Hal ini dikonfirmasi oleh hasil

persentase yang sama pada pertanyaan

konfirmasi ke 2 yaitu sekitar 80.8% (pertanyaan no II.4, dan II.5). 80.8% tetap akan berusaha
memberikan imunisasi pada anaknya ataupun pribadinya meskipun biaya menjadi persoalan.
Dari segi pelayanan Puskesmas Balaraja. 80.8% mengkonfirmasi penjelasan yang baik
diberikan oleh petugas yang bersangkutan mengenai jadwal dan manfaat imunisasi. Namun
kesenjangan ditemukan dalam pemberian penjelasan bahwa imunisasi dapat tetap dilakukan
sekalipun anak sedang sakit ringan. Hanya 38.5% responden yang menyatakan bahwa
petugas memberikan informasi tersebut. Hal ini penting mengingat potensi membentuk
perilaku sosial dimana orang tua akan menunda imunisasi pada anaknya apabila anaknya
sakit ringan, dan berpotensi memundurkan jadwal imunisasi hingga menurunkan komplians
untuk mendapatkan imunisasi. 84.6% responden mengaku bahwa informasi mengenai
imunisasi tetap dapat diberikan meskipun telat, diberikan oleh petugas yang bersangkutan.
Jadwal imunisasi, dan penyuluhan mendapat pengakuan di atas 90% oleh responden. 38.5 %
responden mengaku bahwa lokasi pusat pelayanan sangat jauh, namun kendala ini dianggap
kurang signifikan karena dari penilaian sikap ibu terhadap imunisasi ditemukan bahwa 80.8%
ibu tetap akan membawakan anaknya dan pribadinya untuk mendapatkan imunisasi sekalipun
biaya menjadi persoalan.
Dengan mempertimbangkan hasil deskriptif diatas, kami menyimpulkan bahwa sikap ibu
terhadap imunisasi secara umum cukup baik, namun segi pengetahuan masih perlu perhatian.
Tindakan intervensi yang akan kami lakukan adalah upaya peningkatan pengetahuan ibu
mengenai imunisasi terutama pada bidang dengan kesenjangan capaian imunisasi tertinggi
yaitu pada imunisasi TT1 dan TT2. Kami menimbang bahwa upaya peningkatan pengetahuan
ini paling tepat dilakukan dengan menyebarkan leaflet informatif mengenai jenis imunisasi
59

yang terkait melalui pusat pelayanan di Puskesmas Balaraja, maupun melalui kader dan
bidan desa. Dengan begitu penyampaian informasi dapat mencapai diseminasi yang lebih
luas dan menyeluruh. Pada tingkatan lokal di Puskesmas Balaraja, kami juga melakukan
tindakan intervensi berupa penyuluhan pada audiensi yang terbatas pada pengunjung
puskesmas Balaraja. Selain itu, kami akan melakukan sosialisasi hasil penelitian deskriptif
ini kepada pihak Puskesmas Balaraja dengan maksud mensuplementasi pengetahuan akan
kemungkinan sumber permasalahan pada pencapaian target imunisasi, dengan harapan dapat
membantu pihak Puskesmas dalam mengambil kebijakan terkait meningkatkan pencapaian
target imunisasi pada tahun pelayanan kedepannya.

60

BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, telah ditemukan adanya kesenjangan dalam
beberapa parameter cakupan imunisasi, yaitu Polio 1 (target 98%, tercapai 91.3%), TT 1
(target 95%, tercapai 57.2%), TT 2 (target 90%, tercapai 82.2%), dan BCG (target 98%,
tercapai 91.3%). Dari hasil diskusi mengenai kuesioner yang telah disebar untuk mencari
kemungkinan penyebab tidak tercapainya target imunisasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa secara garis besar tingkat pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar pada anak dan
imunisasi dalam kehamilan masih kurang. Dengan pemberian leaflet kepada kader, ibu
hamil, dan ibu dengan anak balita, maka diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan ibu
tentang imunisasi dasar pada anak dan imunisasi kehamilan.
Sedangkan sikap ibu terhadap tindakan imunisasi pada anak maupun imunisasi saat hamil
sudah cukup baik, artinya walaupun dari segi pengetahuan masih terbilang kurang,
namun para ibu telah menyadari pentingnya imunisasi bagi anak maupun kehamilannya
sehingga bersedia melakukan imunisasi. Pelayanan petugas imunisasi sudah cukup baik,
hanya saja petugas masih perlu memberikan beberapa informasi yang lebih jelas kepada
ibu, misalnya mengenai kontraindikasi imunisasi. Walaupun masih ada kendala berupa
jauhnya jarak antara pusat pelayanan kesehatan dengan tempat tinggal, namun tidak
menghambat ibu untuk melakukan imunisasi bagi anaknya, begitu pula dengan ibu hamil.

6.2 Saran
1. Perlu dilakukan upaya peningkatan pengetahuan ibu dengan anak usia balita dan ibu
hamil mengenai imunisasi dasar anak dan imunisasi dalam kehamilan, antara lain
dengan cara pemberian penyuluhan secara rutin, pemasangan poster di setiap pusat
pelayanan kesehatan, pembagian leaflet, dan konseling.
2. Dilakukan pendekatan persuasif secara khusus kepada ibu-ibu yang menolak imunisasi
dengan peningkatan pendayagunaan kader-kader desa.
61

3. Saat melakukan pelayanan, petugas imunisasi perlu memberikan informasi yang jelas
mengenai manfaat, kontraindikasi, KIPI imunisasi dasar yang saat itu dilakukan pada
anak dan imunisasi untuk ibu hamil, serta jadwal imunisasi berikutnya. Selanjutnya,
perlu ditanyakan kepada ibu apakah masih ada informasi yang belum jelas.
4. Pada akhirnya diharapkan lebih banyak lagi penelitian lebih lanjut mengenai hal
serupa untuk mendukung pencapaian cakupan imunisasi yang lebih maksimal.

62

DAFTAR PUSTAKA

1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all. In Harrisons :


Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical Publishing
Division, 2005.
2. Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD, Michael
P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition. Saunders Elsevier. Canada.
2006
3. Hanifah Oswari,Tinjauan Multi

Aspek Hepatitis

B pada Anak

Tinjauan

Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000
4. Lina Herlina Soemara, Vaksinasi Hepatitis B Tinjauan Komprehensif Hepatitis
Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000
5. Julfina Bisanto. Hepatitis virus Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan
Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta. 2007
6. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
7. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2008

63

You might also like