Professional Documents
Culture Documents
Rasa sakit terjadi karena adanya ransangan saraf. Rangsangan saraf sendiri sapat terjadi akibat perubahan pH
lokal, perubahan konsentrasi ion-ion tertentu, atau pengeluaran zat-zat kimia bioaktif lainnya. Selain itu,
pembengkakan jaringan yang mengakibatkan peningkatan tekanan lokal juga dapat menimbulkan rasa sakit.
4. Pembengkakan (Tumor)
Pembengkakan ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringanjaringan interstitial. Campuran cairan dan sel yang tertimbun didaerah peradangan disebut dengan eksudat.
5. Fungsio Lasea
Perubahan fungsi atau fungsio lasea adalah reaksi reaksi peradangan yang telah dikenal. Sepintas mudah
dimengerti, mengapa bagian yang bengkak, nyeri yang disertai sirkulasi abnormal dari lingkungan kimiawi yang
abnormal, berfungsi abnormal. Namun sebetulnya tidak diketahui secara mendalam dengan cara apa fungsi
jaringan meradang terganggu.
Jenis Radang
1.Radang Kataral
Terbentuk diatas permukaan mukosa, dimana terdapat sel-sel yang mensekresikan musin. Eksudat musin yang
terkenal adalah Puck yang banyak menyertai infeksi pernafasan bagian atas.
2.Radang Pseudomembran
Istilah ini dipakai untuk reaksi radang pada permukaan selaput lendir, ditandai dengan pembentukan eksudat
berupa lapisan selaput superficial, mengandung agen penyebab, endapan fibrin, sel-sel nekrotik aktif, dan sel-sel
darah putih radang. Radang membranosa sering ditemui dalam orofaring, trachea, bronkus, dan traktus
intestinal.
3. Ulkus
Terjadi bila bagian permukaan jaringan hilang. Sementara jaringan sekitarnya meradang, contohnya sariawan.
4. Abses
Abses adalah lubang yang berisi nanah dalam jaringan.
5.Radang Purulen
Radang purulen terjadi akibat infeksi bakteri. Terjadi pada cedera aseptis dan dapat terjadi dimana-mana pada
tubuh yang jaringanya telah nekrotik.
6. Flegmon
Radang purulen yang meluas secara difuse pada jaringan
7.Radang Supuratif
Radang supuratif adalah radang yang menimbulkan nekrosis luquaktif. Nekrosis luquaktif adalah jaringan
nekrosis yang sedikit demi sedikit mencair akibat enzim. Infeksi supuratif lokal disebabkan oleh banyak macam
bakteri yang secara kolektif diberi nama piogen (Pembentukan nanah). Perbedaan penting antara radang
supuratif dan radang purulen bahwa pada radang spuratif terjadi nekrosis luquaktif pada jaringan dasar.
Reaksi Sistemik Pada Peradangan
1. Demam
Demam terjadi akibat pelepasan zat pirogen endogen berasal dari netrofil dan makrofag. Selanjutnyaa zat
tersebut
2. Perubahan Hematologis
Peradangan dapa mempengaruhi mempengaruhi maturasi dan pengelaran leukosit dari sum-sum tulang yang
mengakibatkan kenaikan jumlah lekosit, yang disebut dengan leukositosis. Perubahan protein tertentu juga
terjadi bersamaan dengan perubahan Laju Endap Darah (KED).
3. Gejala Konstitusional (Gejala Tidak Sehat Secara Umum)
Pada cedera hebat terjadi perubahan metabolisme dan endokrin sehingga reaksi peradangan lokal sering diiringi
gejala konstisusional berupa malaise (Lemah/lesu), anorexia (tidak nafsu makan), tidak mampu melakukan
pekerjaan yang berat, sampai tidak dapat melakukan apapun
Definisi
Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan
jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik
agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
Apabila jaringan cedera misalnya karena terbakar, teriris atau karena infeksi kuman, maka
pada jaringan ini akan terjadi rangkaian reaksi yang memusnahkan agen yang membahayakan
jaringan atau yang mencegah agen menyebar lebih luas. Reaksi-reaksi ini kemudian juga
menyebabkan jaringan yang cedera diperbaiki atau diganti dengan jaringan baru. Rangkaian
reaksi ini disebut radang (Rukmono, 1973).
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang kemudian diikuti oleh radang
adalah kuman (mikroorganisme), benda (pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin),
berbagai jenis sinar (sinar X atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera
radang yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang mempunyai
pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa degenerasi (kemunduran) atau
nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler,
terkumpulnya cairan dan sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang
yang disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya proses
fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik (Rukmono, 1973).
Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang
mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas
kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial,
pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein
lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit
dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan
yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin, prostaglandin, beberapa
macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan
berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang
tersensitisasi (Guyton & Hall, 1997).
Tanda-tanda radang (makroskopis)
Gambaran makroskopik peradangan sudah diuraikan 2000 tahun yang lampau. Tanda-tanda
radang ini oleh Celsus, seorang sarjana Roma yang hidup pada abad pertama sesudah Masehi,
sudah dikenal dan disebut tanda-tanda radang utama. Tanda-tanda radang ini masih
digunakan hingga saat ini. Tanda-tanda radang mencakup rubor (kemerahan), kalor (panas),
dolor (rasa sakit), dan tumor (pembengkakan). Tanda pokok yang kelima ditambahkan pada
abad terakhir yaitu functio laesa (perubahan fungsi) (Abrams, 1995; Rukmono, 1973;
Mitchell & Cotran, 2003).
Umumnya, rubor atau kemerahan merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Saat reaksi peradangan timbul, terjadi pelebaran arteriola yang
mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke
mikrosirkulasi lokal dan kapiler meregang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan
ini disebut hiperemia atau kongesti, menyebabkan warna merah lokal karena peradangan akut
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Kalor terjadi bersamaan dengan kemerahan dari reaksi peradangan akut. Kalor disebabkan
pula oleh sirkulasi darah yang meningkat. Sebab darah yang memiliki suhu 37oC disalurkan
ke permukaan tubuh yang mengalami radang lebih banyak daripada ke daerah normal
(Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung
saraf. Pengeluaran zat seperti histamin atau zat bioaktif lainnya dapat merangsang saraf. Rasa
sakit disebabkan pula oleh tekanan yang meninggi akibat pembengkakan jaringan yang
meradang (Abrams, 1995; Rukmono, 1973).
Pembengkakan sebagian disebabkan hiperemi dan sebagian besar ditimbulkan oleh
pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Campuran
dari cairan dan sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat meradang (Abrams,
1995; Rukmono, 1973).
Berdasarkan asal katanya, functio laesa adalah fungsi yang hilang (Dorland, 2002). Functio
laesa merupakan reaksi peradangan yang telah dikenal. Akan tetapi belum diketahui secara
mendalam mekanisme terganggunya fungsi jaringan yang meradang (Abrams, 1995).
Mekanisme radang
1. Radang akut
Radang akut adalah respon yang cepat dan segera terhadap cedera yang didesain untuk
mengirimkan leukosit ke daerah cedera. Leukosit membersihkan berbagai mikroba yang
menginvasi dan memulai proses pembongkaran jaringan nekrotik. Terdapat 2 komponen
utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh
darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan
mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada
pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan
sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan
selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003).
Segera setelah jejas, terjadi dilatasi arteriol lokal yang mungkin didahului oleh vasokonstriksi
singkat. Sfingter prakapiler membuka dengan akibat aliran darah dalam kapiler yang telah
berfungsi meningkat dan juga dibukanya anyaman kapiler yang sebelumnya inaktif.
Akibatnya anyaman venular pasca kapiler melebar dan diisi darah yang mengalir deras.
Dengan demikian, mikrovaskular pada lokasi jejas melebar dan berisi darah terbendung.
Kecuali pada jejas yang sangat ringan, bertambahnya aliran darah (hiperemia) pada tahap
awal akan disusul oleh perlambatan aliran darah, perubahan tekanan intravaskular dan
perubahan pada orientasi unsur-unsur berbentuk darah terhadap dinding pembuluhnya.
Perubahan pembuluh darah dilihat dari segi waktu, sedikit banyak tergantung dari parahnya
jejas. Dilatasi arteriol timbul dalam beberapa menit setelah jejas. Perlambatan dan bendungan
tampak setelah 10-30 menit (Robbins & Kumar, 1995).
Peningkatan permeabilitas vaskuler disertai keluarnya protein plasma dan sel-sel darah putih
ke dalam jaringan disebut eksudasi dan merupakan gambaran utama reaksi radang akut.
Vaskulatur-mikro pada dasarnya terdiri dari saluran-saluran yang berkesinambungan berlapis
endotel yang bercabang-cabang dan mengadakan anastomosis. Sel endotel dilapisi oleh
selaput basalis yang berkesinambungan (Robbins & Kumar, 1995).
Pada ujung arteriol kapiler, tekanan hidrostatik yang tinggi mendesak cairan keluar ke dalam
ruang jaringan interstisial dengan cara ultrafiltrasi. Hal ini berakibat meningkatnya
konsentrasi protein plasma dan menyebabkan tekanan osmotik koloid bertambah besar,
dengan menarik kembali cairan pada pangkal kapiler venula. Pertukaran normal tersebut akan
menyisakan sedikit cairan dalam jaringan interstisial yang mengalir dari ruang jaringan
melalui saluran limfatik. Umumnya, dinding kapiler dapat dilalui air, garam, dan larutan
sampai berat jenis 10.000 dalton (Robbins & Kumar, 1995).
Eksudat adalah cairan radang ekstravaskuler dengan berat jenis tinggi (di atas 1.020) dan
seringkali mengandung protein 2-4 mg% serta sel-sel darah putih yang melakukan emigrasi.
Cairan ini tertimbun sebagai akibat peningkatan permeabilitas vaskuler (yang memungkinkan
protein plasma dengan molekul besar dapat terlepas), bertambahnya tekanan hidrostatik
intravaskular sebagai akibat aliran darah lokal yang meningkat pula dan serentetan peristiwa
rumit leukosit yang menyebabkan emigrasinya (Robbins & Kumar, 1995).
Penimbunan sel-sel darah putih, terutama neutrofil dan monosit pada lokasi jejas, merupakan
aspek terpenting reaksi radang. Sel-sel darah putih mampu memfagosit bahan yang bersifat
asing, termasuk bakteri dan debris sel-sel nekrosis, dan enzim lisosom yang terdapat di
dalamnya membantu pertahanan tubuh dengan beberapa cara. Beberapa produk sel darah
putih merupakan penggerak reaksi radang, dan pada hal-hal tertentu menimbulkan kerusakan
jaringan yang berarti (Robbins & Kumar, 1995).
Dalam fokus radang, awal bendungan sirkulasi mikro akan menyebabkan sel-sel darah merah
menggumpal dan membentuk agregat-agregat yang lebih besar daripada leukosit sendiri.
Menurut hukum fisika aliran, massa sel darah merah akan terdapat di bagian tengah dalam
aliran aksial, dan sel-sel darah putih pindah ke bagian tepi (marginasi). Mula-mula sel darah
putih bergerak dan menggulung pelan-pelan sepanjang permukaan endotel pada aliran yang
tersendat tetapi kemudian sel-sel tersebut akan melekat dan melapisi permukaan endotel
(Robbins & Kumar, 1995).
Emigrasi adalah proses perpindahan sel darah putih yang bergerak keluar dari pembuluh
darah. Tempat utama emigrasi leukosit adalah pertemuan antar-sel endotel. Walaupun
pelebaran pertemuan antar-sel memudahkan emigrasi leukosit, tetapi leukosit mampu
menyusup sendiri melalui pertemuan antar-sel endotel yang tampak tertutup tanpa perubahan
nyata (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah meninggalkan pembuluh darah, leukosit bergerak menuju ke arah utama lokasi jejas.
Migrasi sel darah putih yang terarah ini disebabkan oleh pengaruh-pengaruh kimia yang
dapat berdifusi disebut kemotaksis. Hampir semua jenis sel darah putih dipengaruhi oleh
faktor-faktor kemotaksis dalam derajat yang berbeda-beda. Neutrofil dan monosit paling
reaktif terhadap rangsang kemotaksis. Sebaliknya limfosit bereaksi lemah. Beberapa faktor
kemotaksis dapat mempengaruhi neutrofil maupun monosit, yang lainnya bekerja secara
selektif terhadap beberapa jenis sel darah putih. Faktor-faktor kemotaksis dapat endogen
berasal dari protein plasma atau eksogen, misalnya produk bakteri (Robbins & Kumar, 1995).
Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel
fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan
yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh
opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami
opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi
partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel
sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu
pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granula-granula sitoplasma neutrofil
menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut
degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme yang telah mengalami pelahapan mudah
dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa
organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995).
2. Radang kronis
Radang kronis dapat diartikan sebagai inflamasi yang berdurasi panjang (berminggu-minggu
hingga bertahun-tahun) dan terjadi proses secara simultan dari inflamasi aktif, cedera
jaringan, dan penyembuhan. Perbedaannya dengan radang akut, radang akut ditandai dengan
perubahan vaskuler, edema, dan infiltrasi neutrofil dalam jumlah besar. Sedangkan radang
kronik ditandai oleh infiltrasi sel mononuklir (seperti makrofag, limfosit, dan sel plasma),
destruksi jaringan, dan perbaikan (meliputi proliferasi pembuluh darah baru/angiogenesis dan
fibrosis) (Mitchell & Cotran, 2003).
Radang kronik dapat timbul melalui satu atau dua jalan. Dapat timbul menyusul radang akut,
atau responnya sejak awal bersifat kronik. Perubahan radang akut menjadi radang kronik
berlangsung bila respon radang akut tidak dapat reda, disebabkan agen penyebab jejas yang
menetap atau terdapat gangguan pada proses penyembuhan normal. Ada kalanya radang
kronik sejak awal merupakan proses primer. Sering penyebab jejas memiliki toksisitas rendah
dibandingkan dengan penyebab yang menimbulkan radang akut. Terdapat 3 kelompok besar
yang menjadi penyebabnya, yaitu infeksi persisten oleh mikroorganisme intrasel tertentu
(seperti basil tuberkel, Treponema palidum, dan jamur-jamur tertentu), kontak lama dengan
bahan yang tidak dapat hancur (misalnya silika), penyakit autoimun. Bila suatu radang
berlangsung lebih lama dari 4 atau 6 minggu disebut kronik. Tetapi karena banyak
kebergantungan respon efektif tuan rumah dan sifat alami jejas, maka batasan waktu tidak
banyak artinya. Pembedaan antara radang akut dan kronik sebaiknya berdasarkan pola
morfologi reaksi (Robbins & Kumar, 1995).
Mediator kimia peradangan
Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara
terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak
endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah
cedera, pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat
kimia di dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang
sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai
macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan
maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang
tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi
mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme
kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis
(Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari
respon peradangan. Identifikasinya saat ini sulit dilakukan. Walaupun daftar mediator yang
diusulkan panjang dan kompleks, tetapi mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan
menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin,
komplemen, dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan
prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator
lainnya (misal, radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan
trombosit) (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995).
1. Amina vasoaktif
Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan
dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast. Histamin tersebar luas dalam
tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan
merupakan histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila
dilepaskan. Stimulus yang dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik
(misal trauma atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap
reseptor Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein
derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin
tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams,
1995).
Pada manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula,
dan pelebaran pertemuan antar-sel endotel. Histamin bekerja dengan mengikatkan diri pada
reseptor-reseptor histamin jenis H-1 yang ada pada endotel pembuluh darah. Pada perannya
dalam fenomena vaskular, histamin juga dilaporkan merupakan bahan kemotaksis khas untuk
eosinofil. Segera setelah dilepaskan oleh sel mast, histamin dibuat menjadi inaktif oleh
histaminase. Antihistamin merupakan obat yang dibuat untuk menghambat efek mediator dari
histamin. Perlu diketahui bahwa obat antihistamin hanya dapat menghambat tahap dini
peningkatan permeabilitas vaskular dan histamin tidak berperan pada tahap tertunda yang
dipertahankan pada peningkatan permeabilitas (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar,
1995; Abrams, 1995).
Serotonin (5-hidroksitriptamin) juga merupakan suatu bentuk mediator vaasoaktif. Serotonin
ditemukan terutama di dalam trombosit yang padat granula (bersama dengan histamin,
adenosin difosfat, dan kalsium). Serotonin dilepaskan selama agregasi trombosit. Serotonin
pada binatang pengerat memiliki efek yang sama seperti halnya histamin, tetapi perannya
sebagai mediator pada manusia tidak terbukti (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar,
1995).
2. Protease plasma
Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang
saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses
dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem
koagulasi intrinsik). Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang
bersirkulasi dalam bentuk inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit
teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight
kininogen (HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian mengalami
perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat membongkar pusat serin aktif yang
dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell & Cotran, 2003).
Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin
merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK.
Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal
dari prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya
histamin, bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan
kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit,
tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak
dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara
cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada
tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins &
Kumar, 1995).
Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang
kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin.
Faktor Xa menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan emigrasi leukosit. Trombin
memperkuat perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida
(selama pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai
kemotaksis leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).
Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik.
Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin
kemudian melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus
terjadi sistem pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular.
Plasminogen activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein
adalah protein plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari
keduanya yaitu plasmin, merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell &
Cotran, 2003).
Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas
maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi
komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat terjadi oleh apa yang disebut jalur klasik
yang tercetus oleh pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau
melalui jalur alternatif yang dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin),
polisakarida kompleks, atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum
(termasuk properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem
komplemen akan memakai urutan efektor akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9
yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel
yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995).
Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu
pada fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga
anafilaktosin) meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan
cara menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur
lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga
menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil
dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel bakteri akan
bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang
mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell & Cotran, 2003).
a. Metabolit asam arakidonat
Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh (20-carbon polyunsaturated fatty acid)
yang utamanya berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk
esterifikasi sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari
fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau
fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat
berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan,
yaitu jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga
eikosanoid) dapat memperantarai setiap langkah inflamasi. (Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGD2, PGF2?, PGI2
(prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh
pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil
akhir biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan
tertentu. Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga produk
utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit yang kuat dan
vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi
banyak memiliki prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator
dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur
siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2 dan PGF2?, PGD2 menyebabkan
vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan
demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003).
Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan
proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama
pada neutrofil. Produk dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak
stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis
untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari
5-HPETE adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4
merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC4, LTD4, dan
LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular
(Mitchell & Cotran, 2003).
Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur
transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4),
tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin
mempunyai aksi baik pro- dan anti- inflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan
antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis
neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003).
b. Produk leukosit
Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator
inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama
pembentukan vakuola fagosit atau oleh fagositosis yang terhalang karena ukurannya besar
dan permukaan yang tidak dapat dicerna. Kalikrein yang dilepaskan dari lisosom
menyebabkan pembentukan bradikinin. Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang
diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins & Kumar, 1995).
Di dalam lisosom monosit dan makrofag juga banyak mengandung bahan yang aktif untuk
proses radang. Pelepasannya penting pada radang akut dan radang kronik. Limfosit yang
telah peka terhadap antigen melepaskan limfokin. Limfokin merupakan faktor yang
menyebabkan penimbunan dan pengaktifan makrofag pada lokasi radang. Limfokin penting
pada radang kronik (Robbins & Kumar).
c. Mediator lainnya
Metabolit oksigen reaktif yang dibentuk dalam sel fagosit saat fagositosis dapat luruh
memasuki lingkungan ekstrasel. Diduga bahwa radikal-radikal bebas yang sangat toksik
meningkatkan permeabilitas vaskular dengan cara merusak endotel kapiler. Selain itu, ion-ion
superoksida dan hidroksil juga dapat menyebabkan peroksidase asam arakidonat tanpa enzim.
Akibatnya, akan dapat terbentuk lipid-lipid kemotaksis (Robbins & Kumar, 1995).
Aseter-PAF merupakan mediator lipid yang menggiatkan trombosit. Hal ini karena
menyebabkan agregasi trombosit ketika dilepaskan oleh sel mast. Selain sel mast, neutrofil
dan makrofag juga dapat mensintesis aseter-PAF. Aseter-PAF meningkatkan permeabilitas
vaskular, adhesi leukosit dan merangsang neutrofil dan makrofag (Robbins & Kumar, 1995).
Daftar Pustaka
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland (Setiawan, A., Banni, A.P., Widjaja,
A.C., Adji, A.S., Soegiarto, B., Kurniawan, D., dkk , penerjemah). Jakarta: EGC. (Buku asli
diterbitkan 2000).
2. Rukmono (1973). Kumpulan kuliah patologi. Jakarta: Bagian patologi anatomik FK UI.
3. Guyton, A.C. & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokteran (9th ed.) (Setiawan, I.,
Tengadi, K.A., Santoso, A., penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1996).
4. Abrams, G.D. (1995). Respon tubuh terhadap cedera. Dalam S. A. Price & L. M. Wilson,
Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses penyakit (4th ed.)(pp.35-61)(Anugerah, P.,
penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan 1992).
5. Mitchell, R.N. & Cotran, R.S. (2003). Acute and chronic inflammation. Dalam S. L.
Robbins & V. Kumar, Robbins Basic Pathology (7th ed.)(pp33-59). Philadelphia: Elsevier
Saunders.
6. Robbins, S.L. & Kumar, V. (1995). Buku ajar patologi I (4th ed.)(Staf pengajar
laboratorium patologi anatomik FK UI, penerjemah). Jakarta: EGC (Buku asli diterbitkan
1987).
7. http://doctorology.net
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen
dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat
jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau
inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.
Reaksi peradangan merupakan reaksi defensif (pertahanan diri) sebagai respon terhadap
cedera berupa reaksi vaskular yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang
terlarut dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial pada daerah cedera
atau nekrosis. Peradangan dapat juga dimasukkan dalam suatu reaksi non spesifik, dari
hospes terhadap infeksi. Hasil reaksi peradangan adalah netralisasi dan pembuangan agen
penyerang, penghancuran jaringan nekrosis, dan pembentukan keadaan yang dibutuhkan
untuk perbaikan dan pemulihan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
1.3
TUJUAN PENULISAN
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Untuk mengetahui apa saja akibat dari radang akut dan radang kronik
j.
1.4
MANFAAT PENULISAN
Makalah ini dibuat dengan tujuan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Patologi sekaligus
sebagai literatur tambahan bagi mahasiswa atau pembaca yang ingin menambah wawasan
yang mencakup peradangan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Definisi Radang
Radang adalah reaksi protektif setempat yang ditimbulkan oleh cidera atau kerusakan
jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung (sekuester) baik agen
pencidera maupun jaringan yang cidera itu. (Dorland)
Radang merupakan rangkaian reaksi yang menyebabkan musnahnya agen yang
membahayakan jaringan atau mencegah agen ini menyebar lebih luas sehingga
mengakibatkan jaringan yang cedera diperbaharui atau di ganti dengan jaringan baru.
(Patologi FKUI)
2.2
Sel-Sel Radang
Netrofil : Utama untuk fagositosis. Dibantu zat-zat anti, mempererat kontak leukosit
Basofil : Pertahanan pertama karena dapat migrasi dengan segera dan dalam jumlah yang
kedatangan parasit terutama cacing. Khemoktasis dan fagositosis lebih rendah dari netrofil
Sel fagositik besar berinti bulat (makrofag)
o
Dalam jaringan : Makrofag, histiosit, sel kurrer, sel retikuendotel, sel datia.
Sel kupffer: makrofag yang melapisi sinus-sinus pada hati, daya fagosit sangat besar
Sel retikuendotel: sel yang melapisi sinus-sinus kelenjar getah bening, sumsum tulang dan
limpa
o
Sel datia: sel besar berinti banyak, perubahan dari makrofag pada keadaan-keadaan
tertentu,Beberapa sel bersatu krn pembelahan inti yang tidak disertai pembelahan
protoplasma
o
Limfosit: dapat menghasilkan gammaglobulin (bag protein dari zat anti), Meningkat pada
radang menahun.
o
Sel plasma: tidak terdapat di dalam darah, membuat gamma globulin yang berfungsi
Kalor (panas), terjadi bersamaan dengan rubor karena lebih banyak darah (pada suhu
37oC) dialirkan dari dalam tubuh kepermukaan daerah yang terkena dibandingkan ke daerah
yang normal.
o Tumor (pembengkakan), pembengkakan lokal yang disebabkan perpindahan cairan dan
sel-sel dari aliran darah kejaringan interstisial.
o
Fungsio Laesa (perubahan fungsi), bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi yang
abnormal dan lingkungan kimiawi local yang abnormal, akhirnya berfungsi secara abnormal
2.4
Penyebab Radang
Benda-benda tajam
Suhu
Listrik
Zat-zat kimia
2.5
Patofisiologi Radang
Radang Akut
Radang Kronik
Kemudain akan terjadi vasodilatasi yang dimulai dari pembuluh arteriol yang tadinya
menyempit lalu diikuti oleh bagian lain pembuluh darah itu. Akibat dilatesi itu,maka aliran
darah akan bertambah sehingga pembuluh darah itu penuh berisi darah dan tekanan
hidrostatiknya meningkat, yang selanjutnya dapat menyebabkan keluarnya cairan plasma dari
pembuluh darah itu.
o Aliran darah menjadi lambat. Karena permeabilitas kapiler juga bertambah, maka cairan
darah dan protein akan keluar dari pembuluh darah dan mengakibatkan darah menjadi kental.
o
Marginasi leukosit.
Berdasarkan perbedaan intensitas jejas, maka reaksi yang terjasi dapat dikelompokkan
menjadi 3 kelompok yaitu:
o
Reaksi yang terjadi segera dan hanya berlangsung sebentar, akibat jejas ringan dan hanya
Reaksi segera dan menetap, akibat jejas keras dan mengenai semua pembuluh darah
2.7
o
Radang kronik yg mulai secara perlahan tanpa didahului radang akut klasik akibat dari :
Infeksi persisten oleh mikroba interseluler yang mempunyai toksisitas rendah tapi sudah
pada paru
2.8
Radang akut
o
Mencerminkan pengaruh mediator yang bekerja pada pembuluh darah. Setelah trauma
mekanik / injuri panas, perubahan permeabilitas vasa dapat timbul lebih awal dari respons
radang akut.
o
Dalam 30-60 menit dari injuri, granulosit neutrofil muncul. Mula-mula granulosit
neutrofil ini tampak mengelompok sepanjang sel-sel endotel pembuluh darah pada daerah
injuri. Setelah itu, leukosit menyusup keluar pembuluh darah dengan menyelinap keluar
pembuluh darah dengan menyelinap diantara sel-sel endotel.
daerah injuri.
o
Bila telah keluar dari pembuluh darah, neutrofil merupakan garis pertahanan pertama
Dalam empat sampai lima jam, jika respons inflamantoris akut berjalan terus, maka sel
Mononuklear (termasuk monosit & limfosit) akan muncul pada daerah Radang kronik
o
Bila inflamasi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Selanjutnya
dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, inflamantoris, setelah keluar dari pembuluh
darah melalui cara yang sama
o
makrofag, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi
kronik.
o
Dalam inflamasi kronik, monosit dan makrofag mempunyai 2 peranan penting sebagai
berikut :
Modulasi respon imun dan fungsi sel T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin
Bila patogen persisten dalam tubuh, makrofag akan mengalihkan respons berupa reaksi
Jadi inflamasi akut ini dapat dianggap sebagai titik membaliknya respons inflamasi ke
Akibat utama radang adalah perubahan jaringan, dapat berupa degenerasi, lisis jaringan, dan
proliferasi jaringan. Dipengaruhi antara lain oleh faktor-faktor host dan faktor-faktor
penyebab.
Keuntungan Radang
o
Pengenceran toxin.
Pembentukan fibrin.
Penyaluran nutrien.
Ruptura organ.
Fistula.
2.10
Permeabilitas normalnya.
Cairan yang sudah dikeluarkan dari pembuluh darah diabsorpsi oleh limfatik
Namun, apabila jumlah jaringan yang dihancurkan cukup banyak maka resolusi tidak
terjadi.
Regenerisasi
Regenerasi adalah penggantian sel parenkim yang hilang dengan pembelahan sel parenkim
yang bertahan di sekitarnya. Hasil akhirnya adalah penggantian unsur-unsur yang hilang
dengan jenis sel-sel yang sama. Faktor-faktor penentu regenerasi :
o
stroma.
Perbaikan / pemulihan dengan pembentukan jaringan ikat
o
baru terbentuk (angioblas), fibroblas, sisa sel radang (berbagai jenis leukosit ; makrofag,
limosit, eosinofil, basofil, & neutrofil) , bagian cairan eksudat dan zat dasar jaringan ikat
longgar setengah cair. Fibroblas & angioblas pada jaringan granulasi yang berasal dari
fibroblas dan kapiler di sekelilingnya yang sebelumnya ada.
o
Bukti organisasi yang paling awal biasanya terjadi beberapa hari setelah dimulainya eaksi
peradangan. Setelah kurang lebih 1 minggu, jaringan granulasi masih cukup longgar &
selular. Pada saatini, fibroblas jaringan granulasi sedikit demi sedikit mulai menyekresikan
prekursor protein kolagen yang larut, saat ini sedikit demi sedikit akan mengendap sebagai
fibril-fibril di dalam ruang intersisial jaringan granulasi. Setelah beberapa waktu,semakin
banyak kolagen yang tertimbun didalam jaringan granulasi,yang sekarang secara bertahap
semakin matang menjadi jaringan ikat kolagen yang agak padat atau jaringan
parut..Walaupun jaringan parut telah cukup kuat setelah kira-kira 2 minggu, proses
remodeling masih terus berlanjut,serta densitas & kekuatan jaringan parut ini juga meningkat.
Jaringan granulasi,yang pada awalnya cukup selular & vaskula, lambat laun kurang selular &
kurang vaskular serta menjadi kolagen yang lebih padat.
Penyembuhan luka
o
Proses penyembuhan luka yang mudah dipahami adalah proses penyembuhan pada luka
Hari pertama pasca bedah.Setelah luka disambung & dijahit,garis insisi segera
o Terisi oleh bekuan darah yang membentuk kerak yang menutupi luka. Reaksi radang akut
terlihat pada tepi luka. Dan tampak infiltrat polimorfonuklear yang mencolok.
o
Hari kedua, terjadi Reepitelialisasi permukaan & pembentukan jembatan yang terdiri dari
jaringan fibrosa yang menghubungkan kedua tepi celah subepitel. Keduanya sangat
tergantung pada anyaman fibrin pada bekuan darah., karena ini memberikan kerangka bagi
sel epitel, fibroblas, dan tunas kapiler yang bermigrasi. Jalur-jalur tipis sel menonjol di bawah
permukan kerak, dari tepi epitel menuju ke arah sentral. Tonjolan ini berhubungan satu sam
lain, dengan demikian luka telah tertutup oleh epitel.
o
Hari ketiga, respon radang akut mulai berkurang, neutrofil digantikan oleh makrofag yang
membersihkan tepi luka dari sel-sel yang rusak dan pecahan fibrin.
o
Hari kelima, celah insisi biasanya terdiri dari jaringan granulasi yang kaya pembuluh
Minggu kedua, fibroblas & pembuluh darah berploriferasi terus menerus, dan tampak
adanya timbunan progresif serabut kolagen. Kerangka fibrin sudah lenyap. Jaringan parut
masih tetap berwarna merah cerah sebagai akibat peningkatan vaskularisasai. Luka belum
memiliki daya rentang yang cukup berarti. Reksi radang hampir seluruhnya hilang.
o Akhir minggu kedua, struktur jaringan dasar parut telah mantap. Jaringan parut berwarna
lebih muda akibat tekanan pada pembuluh darah, timbunan kolagen dan peningkatan daya
rentang luka.Luka bedah yang sembuh sempurna tidak akan mencapai
o
Kembali daya rentang, ekstensibilitas dan elastisitas yang dimiliki oleh kulit normal.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Radang (bahasa Inggris: inflammation) adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen
dan alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat
jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar, atau terinfeksi. Radang atau
inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan terhadap infeksi dan iritasi.
Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia (histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan
prostaglandin) yang dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam
sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran infeksi.
Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-tanda sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Syamsunir., 1995, DASAR DASAR PATOLOGI seri
keperawatan, EGC, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta
Robbins, Stanley L.; Kumar, Vinay., 1995, BUKU AJAR PATOLOGI I,
a.
b.
c.
d.
e.
terdapat dalam cedera akan diatasi pada fase ini, sehingga patogen yang ada akan dihilangkan. Setelah
itu, tubuh akan memperbaiki sel-sel yang rusak atau meregenerasi jaringan.
2.3 Mekanisme Inflamasi
Olahraga merupakan pengelolaan tubuh secara sistematis dalam bentuk fisik untuk memperoleh
tujuan tertentu. Bukan hanya untuk meningkatkan prestasi, tetapi juga untuk meningkatkan derajat
kebugaran jasmani individu agar dapat tetap melakukan aktivitas sehari-hari dengan tanpa merasakan
kelelahan yang berarti.
Terlepas dari pada itu, olahraga sendiri tidak bisa lepas dari resiko terjadinya cedera. Cedera
yang terjadi akan menimbulkan dampak-dampak yang berpengaruh dari aktivitas tubuh itu sendiri.
Respon tubuh tersebut berupa terjadinya inflamasi akibat cedera yang ada. Cedera akan direspon oleh
tubuh melalui sel reseptor, dan mengirimnya ke otak tepatnya hipotalamus dalam bentuk impuls.
Hipotalamus akan merespon dengan HPA axis, karena terjadi stres fisik pada tubuh. Hasilnya adalah Ach
(asetilkolin). Asetilkolin yang meningkat di dalam tubuh yang disekresi dari organ-organ dalam tubuh
seperti hati, limpa, dan jantung akan menyebabkan produksi sitokin meningkat, seperti IL6 dan TNF.
Hal tersebut dapat mengaktifkan pula sel mast dan sel makrofag yang akan mengeluarkan histamin dan
heparin. Ini akan menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah.
Seiring mengembangnya pembuluh darah akan terjadi pula perubahan permeabilitasnya,
sehingga komponen tertentu di dalam darah seperti plasma darah dan sel dapat keluar dari pembuluh
menuju daerah cedera tersebut. Hal ini merupakan proses yang baik bagi tubuh, karena leukosit akan
mudah keluar dan menuju pusat cedera dan menyembuhkan serta meregenerasi sel yang rusak.
a.
b.
c.
a.
b.
mungkin harus meninggalkan sama sekali hobi dan profesinya. Oleh sebab itu dalam penaganan cedera
olahraga harus dilakukan secara tim yang multidisipliner.
Cedera olahraga dapat digolongkan 2 kelompok besar :
Kelompok kerusakan traumatik (traumatic disruption).
Contoh cedera seperti : lecet, lepuh, memar, leban otot, luka, stram otot, sprain sendi, dislokasi
sendi, patah tulang, trauma kepala, leher, tulang belakang, trauma tulang pinggul, trauma pada dada,
trauma pada perut, cedera anggota gerak atas dan bawah.
Kelompok sindroma penggunaan berlebihan (over use syndromes).
Lebih spesifik yang berhubungan dengan jenis olahraganya, seperti : tenis elbow, golfers elbow
swimers shoulder, jumpers knee, stress fracture pada tungkai dan kaki.
Inflamasi pada olahraga sebenarnya banyak terjadi. Hal ini tidak lepas dari faktor-faktor yang
ada. Diperlukan perhatian ekstra agar tidak terjadi cedera yang menyebabkan peradangan atau
inflamasi. Terlepas dari itu inflamasi merupakan hal yang bagus bagi tubuh, karena dapat dijadikan
sebagai sebuah peringatan. Adanya peringatan tersebut agar tubuh dapat istirahat dan tidak terjadi
cedera yang lebih parah, untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Seluruhnya tubuh melakukannya
sesuai dengan fungsi kerja dari masing-masing sistem organ tubuh. Ini akan menjadikan tubuh untuk
merespon dan selalu beradaptasi dari hal-hal yang terjadi, sehingga tubuh tidak mengalami gangguan
dalam waktu yang lama.