You are on page 1of 20

Akibat kekurangan kalium di tubuh

Rio Ramadhona
10-2011-446
Mahasiswa Kedokteran Semester 2 Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara no.6 Jakarta Barat 11470
Email :rioramadhona@yahoo.com

Pendahuluan
Paralisis periodik (PP) adalah sekelompok gangguan otot rangka dengan bermacam etiologi,
episodik, berlangsung sebentar, dan hiporefleks kelemahan otot rangka, dengan atau tanpa
myotonia tetapi tanpa defisit sensorik dan tanpa kehilangan kesadaran. Pasien mengalami
serangan kelemahan otot dengan durasi dan keparahan yang bervariasi. Serangan dapat
berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa hari. Kelemahan dalam serangan dapat general
atau fokal. Dalam perjalanan penyakitnya dari penyakit otot ini, kekuatan normal kembali setelah
serangan, tetapi kemudian kelemahan otot signifikan yang menetap sering berkembang. Pada
awal perjalanan penyakit ini, kelumpuhan periodik primer atau yang diturunkan (familial),
kekuatan otot normal di antara serangan. Setelah bertahun-tahun serangan ini, kelemahan
interiktal terjadi dan mungkin progresif. Gangguan ini dapat diobati dan kelemahan progresif
dapat dicegah atau bahkan dapat sembuh

Anamnesis
Pemeriksaan pertama yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari pasien. Anamnesa selalu
didahului dengan pengambilan data pasien kemudian diikuti dengan keluhan utama dan riwayat
penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu dan kesehatan dan penyakit dalam keluarga.
Identitas: nama, umur, jenis kelamin, dokter yang merujuk, pemberi informasi (misalnya pasien,
keluarga,dll). Seperti yang sudah diterangkan dalam skenario seorang wanita 30 tahun datang
dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai sejak 1 hari yang lalu. Keluhan disertai dengan
nyeri otot dan badan lemas.1

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen paling baik dilakukan pada pasien dalam keadaan berbaring dan relaks,
kedua lengan berada disamping, dan pasien bernapas melalui mulut. Pasien diminta untuk
menekukkan kedua lutut dan pinggulnya sehingga otot-otot abdomen menjadi relaks. Tangan
pemeriksa harus hangat untuk menghindari terjadinya refleks tahanan otot oleh pasien.
Inspeksi
Setelah melakukan inspeksi menyeluruh dan keadaan sekitarnya dengan cepat, perhatikan
abdomen untuk memeriksa hal berikut ini:

Apakah abdomen dapat bergerak tanpa hambatan ketika pasien bernapas?


Apakah pasien menderita nyeri abdominal yang nyata?
Apakah pasien menderita iritasi peritoneum, yaitu pergerakan abdomen

menjadi terbatas?
Apakah terdapat jaringan parut akibat operasi sebelumnya?
Apakah terdapat distensi abdomen yang nyata?
Apakah terdapat vena yang berdilatasi?
Apakah terdapat gerakan peristaltik yang dapat terlihat?
Apakah terdapat kelainan-kelainan lain yang dapat terlihat?

Distensi yang menyeluruh biasanya disebabkan oleh lemak, cairan, janin, atau udara,
sedangkan penyebab dari pembengkakkan yang terlokalisasi antara lain hernia atau pembesaran
organ. Pada distensi abdomen yang menyeluruh, terutama jika disebabkan oleh asites, umbilikus
dapat menonjol keluar.

Peristaltik yang terlihat dapat dijumpai pada individu normal yang kurus, tetapi pada
orang yang gemuk, gerakan peristaltik hanya terlihat di sebelah proksimal dari letak lesi
obstruktif usus.
Palpasi
Abdomen harus diperiksa secara sistematis, terutama jika pasien menderita nyeri
abdomen. Selalu tanyakan letak nyeri yang dirasa maksimal dan periksa bagian tersebut paling
akhir.
Lakukan palpasi pada setiap kuadran secara berurutan, awalnya tanpa penekanan yang
berlebihan dan dilanjutkan dengan palpasi secara dalam (jika tidak terdapat area nyeri yang
diderita atau diketahui). Kemudian, lakukan palpasi secara khusus terhadap beberapa organ. 3
Ketika meraba organ intra-abdomen yang membesar, bagian tepi organ lebih sering
teraba daripada badan organ, akan tetapi konsistensi antara organ tersebut dengan organ
disekitarnya seringkali mudah dibedakan hanya dengan meraba bagian tepinya. Tepi organ dapat
diketahui dengan lebih mudah jika pemeriksa meminta pasien untuk mengambil napas agak
dalam sehingga organ tersebut bergerak.
Bila terdapat pembengkakkan yang abnormal, dan pada waktu palpasi tidak
menimbulkan rasa nyeri, tentukan keadaan dan karakteristiknya.
Tahanan abdomen merupakan suatu refleks penegangan otot-otot abdomianal yang
terlokalisasi yang tidak dapat dihindari oleh pasien dengan sengaja. Adanya tahanan tersebut
merupakan tanda iritasi peritoneum perifer atau tanda nyeri tekan yang tajam dari organ
dibawahnya. Pastikan adanya tahanan abdomen dengan melakukan perkusi ringan di atas area
yang terkena.

Perkusi

Perkusi berguna (khususnya pada pasien yang gemuk) untuk memastikan adanya
pembesaran beberapa organ, khususnya hati, limpa, atau kandung kemih. Lakukan selalu perkusi
dari daerah resonan ke daerah pekak, dengan jari pemeriksa yang sejajar dengan bagian tepi
organ.
Auskultasi
Hanya pengalaman klinis yang dapat memberitahu bising usus yang normal. Seorang
pemeriksa mungkin membutuhkan waktu selama beberapa menit sebelum dapat mengatakan
dengan yakin bahwa bising usus tidak terdengar.
Bising usus yang meningkat dapat ditemukan pada obstruksi usus, diare, dan jika terdapat
darah dalam pencernaan yang berasal dari saluran cerna atas (keadaan yang menyebabkan
peningkatan peristaltik).
Bising usus menurun atau menghilang ditemukan pada ileus, perforasi, peritonitis
generalisata.
Bising sistolik aorta atau arteri femoralis dapat terdengar di atas arteri yang mengalami
aneurisma atau stenosis. Bising arteri renalis dapat terdengar di bagian lateral abdomen atau di
punggung. Dengungan vena yang kontinu dapat menunjukkan adanya obstruksi vena kava
inferior atau obstruksi vena porta.
Terdapat kelemahan pada sistem otot skelet, serabut otot halus, dan otot jantung. Kelemahan otot
ini dimulai pada otot ekstremitas bawah sebelum berlanjut pada otot leher dan otot pernafasan.
Ileus paralitik dan refleks dilatasi gaster terja dikarena kelemahan serabut otot halus.
Bila hipokalemia terjadi lama, bisa didapatkan gangguan ginjal yang hampir sama dengan gejala
pielonefritis kronik.2

Differential diagnosis
A. Hiponatremia

Patofisiologi
Hiponatremia adalah kelebihan cairan relative yang terjadi bila :
1. Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi
2. Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan
melalui saluran cerna, gagal jantung dan sirosis hati atau pada SIADH
(Syndrome of Inappropriate ADH-secretion).

Berdasarkan prinsip di atas maka etiologi hiponatremia dapat dibagi atas :


-

Hiponatremia dengan ADH meningkat


Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologik
Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi

Sekresi ADH meningkat akibat deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada muntah, diare,
perdarahan, jumlah urin meningkat, gagal jantung, sirosis hati, SIADH, insufisiensi adrenal, dan
hipotiroid. Pada polidipsia primer dan gagal ginjal terjadi ekskresi cairan lebih rendah
disbanding adupan cairan sehingga menimbulkan respons fisiologik yang menekan sekresi ADH.
Respon fisiologik dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus
sehingga sekresi urin meningkat karena saluran air (AQP2A) di bagian apical duktus koligentes
berkurang (osmolaritas urin rendah).
Pemberian cairan iso-osmotik yang tidak mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel
dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma normal. Tingginya osmolalitas
plasma pada keadaan hiperglikemia atau pemberian manitol intravena menyebabkan cairan
intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang menyebabkan hiponatremia.
Dalam keadaan normal, 93% dari volume plasma terdiri dari air dan elektrolit sedang 7%
sisanya terdiri dari lipid dan protein. Pada hiperlipidemia atau hiperproteinemia berat akan
terjadi penurunan volume air plasma menjadi 80% sedang jumlah natrium plasma tetap dan
osmolalitas plasma normal; akan tetapi karena kadar air plasma berkurang (pseudohiponatremia)
kadar natrium dalam cairan plasma total yang terdektesi pada pemeriksaan laboratorium lebih
rendah dari normal.
5

Hiponatremia Akut

Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung cepat yaitu


kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan
kesadaran dan kejang, hal ini terjadi akibat edema sel otak, karena air dari ekstrasel
masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai
hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.

Hiponatremia Kronik

Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung lambat yaitu


lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan
kesadaran atau kejang (ada proses adaptasi), gejala yang timbul hanya ringan seperti
lemas atau mengantuk. Pada keadaan ini tidak ada urgensi melakukan koreksi konsentrasi
natrium, terapi dilakukan dalam beberapa hari dengan memberikan larutan garam
isotonik. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia asimptomatik.3
Diagnosis
Di klinik bila ditemukan kasus hiponatremia dengan gejala yang berat (kesadaran
menurun, kejang) maka hiponatremia digolongkan dalam kategori akut. Hiponatremia tanpa
gejala berat (lemas, mengantuk) digolongkan dalam kategori kronik. Hal ini penting untuk
diketahui sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan bila terjadi keadaan hiponatremia.3
Tatalaksana
Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari penyebab hiponatremia dengan cara :
-

Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah, penggunaan diuretic,

penggunaan manitol)
Pemeriksaan fisik yang teliti (antara lain apakah ada tanda-tanda hipovolemik

atau tidak)
Pemeriksaan gula darah, lipid darah
Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi)
Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa berat jenis
urin (interpretasi apakah ADH meningkat atau tidak, gangguan pemeketan)

Pemeriksaan natrium, kalium, dan klorida urin untuk mengetahui jumlah


ekskresi elektrolit di dalam urin.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran :


-

Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia akut atau kronik


Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu dikenali (deplesi

volume, dehidrasi, gagal jantung, gagal ginjal)


Koreksi natrium :
Pada hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat
dengan pemberian larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium
plasma dinaikkan sebanyak 5 mEq/L dari kadar natrium awal dalam
waktu 1 jam. Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1
mEq/L setiap 1 jam sampai kadar natrium darah mencapai 130 mEq/L.
Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan
natrium hipertonik yang diberika adalah
0,5 x beratbadan (kg) x delta natrium
Delta natrium merupakan selisih antara kadar natrium yang diinginkan
dengan kadar natrium awal.
Pada hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan
yaitu sebesar 0,5mEq/L setiap 1 jam, maksimal 10 mEq/L dalam 24
jam. Bila delta Na besarnya 8 mEq/L, dibutuhkan waktu pemberian
selama 16 jam. Rumus yang dipakai sama seperti diatas. Natrium yang
diberikan dapat dalam bentuk natrium hipertonik intravena atau
natrium per oral.3

B. Hipokalsemia

Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi
kalsium (Ca2+) di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dL darah. Dengan etiologi yang beragam dan
satu sama lain bisa saling mempengaruhi. 5

Faktor kausal.

Kurang adekuat diet harian bisa menjadi penyebab defisit Ca 2+. Dan Hampir 46% Ca2+ serum
terikat protein, utamanya dengan albumin hingga penurunan kadar albumin tubuh akan
menyebabkan hypokalsemi. Hipokalsemia dengan penurunan kalsium bentuk ion lepas sajalah
(Ca2+) yang akan berkorelasi timbulnya gejala dan simptom pada kita. 5
Diet protein tinggi (protein > 0,9 1,0 mg/kgBB) berpengaruh pada level Ca 2+ tubuh, karena
hanya bentuk ion Ca2+ yang bisa lepas dari jaringan tulang dan bisa dikeluarkan melalui urin.
Mekanisme rendahnya rasio kalsium dan fosfor pada diet tinggi protein, bisa dijelaskan dengan
mekanisme timbal balik antara level kalsium dan fosfor, dimana tubuh akan kehilangan Ca 2+
lebih banyak.

Penyebab

Keterangan

Biasanya terjadi setelah kerusakan kelanjar


Kadar

hormon

paratiroid paratiroid atau karena kelenjar paratiroid secara

rendah

tidak sengaja terangkat pada pembedahan untuk


mengangkat tiroid

Kekurangan

kelenjar Penyakit keturunan yg jarang atau merupakan

paratiroid bawaan

bagian dari sindroma DiGeorge

Pseudohipoparatiroidisme

Penyakit

keturunan

yg

jarang;

kadar hormon paratiroid normal tetapi respon

tulang & ginjal terhadap hormon menurun

Biasanya disebabkan oleh asupan yg kurang,


kurang terpapar sinar matahari (pengaktivan
vitamin D terjadi jika kulit terpapar sinar
matahari),
Kekurangan vitamin D

penyakit

hati,

penyakit saluran pencernaan yg menghalangi


penyerapan

vitamin

D,

pemakaian barbiturat & fenitoin, yg mengurangi


efektivitas vitamin D

Kerusakan ginjal

Mempengaruhi pengaktivan vitamin D di ginjal

Kadar magnesium yg rendah

Asupan

yg

kurang

atau

malabsorbsi

Menyebabkan

menurunnya

kadar

hormon

paratiroid

Terjadi dengan atau tanpa kekurangan vitamin D

Terjadi jika kelebihan asam lemak dalam darah


Pankreatitis

karena cedera pada pankreas, bergabung dengan


kalsium

Kadar albumin yg rendah

Mengurangi jumlah kalsium yg terikat dengan


albumin tetapi biasanya tidak menyebabkan

gejala, karena jumlah kalsium bebas tetap normal

Faktor lain yang berkontribusi menyebabkan hipokalsemi, adalah:

Penggunaan sitrat atau koreksi alkalasis yang berlebihan dalam darah

Pengangkatan sekaligus ke 4 kelenjar dari Tyroid

Kurang konsumsi vit D, atau kurang terpapar sinar matahari, terutama usia bayi dan usia
lanjut

Hiperfosfatemia karena gagal ginjal

Obat-obatan yang menyebabkan pengeluaran kalsium, misal (diuretik kerja kuat), kafein,
antikonvulsan, heparin, laxatif dan nikotin

Pengaruhnya.

Pada Bayi dan Anak: berisiko tinggi dan mudah terserang patah tulang

Pada Ibu hamil: bayi dalam kandungannya akan hipokalsemi juga dan si ibu akan
berisiko tinggi mengalami keguguran atau pre-eklamsi (keracunan kehamilan)

Pada Usia Lanjut: mudah terkena osteomalasia dan osteoporosis, terutama pada wanita
yang sudah menopaus. 5

Gejala Klinis hypokalsemi.

Neuromuskuler

10

Irritabilitas otot rangka (twiching, cramping, tetany)


Serangan akut
Hiper refleksi tendon dalam
Adanya tanda Trosseaus atau Chvosteks
Parestesia
Cemas, Psikosis, Kebingungan, Kehilangan ingatan (memori)
delirium (penurunan kesadaran)
depresi, halusinasi.

Respiratori
Nafas pendek
Gagal nafas (tetani dan serangan akut)

Kardiovaskular
Denyut jantung meningkat dan gangguan irama (disritmia)
Hipotensi
Denyut nadi melemah

Gastrointestinal
Bising usus meningkat
Kejang perut
Diare

Gejala-gejala tersebut akan menghilang jika kadar kalsium kembali normal.

11

Kadar kalsium yang sangat rendah (kurang dari 7 mgr/dL) dapat menyebabkan nyeri otot dan
kesemutan, yang seringkali dirasakan di bibir, lidah, jari-jari tangan dan kaki.
Pada kasus yang berat bisa terjadi kejang otot tenggorokan (menyebabkan sulit bernafas) dan
tetani (kejang otot keseluruhan).
Bisa terjadi perubahan pada sistem konduksi listrik jantung, yang dapat dilihat pada pemeriksaan
EKG.

Penegakan Diagnosa.
Hipokalsemi ditegakkan dengan serum Ca2+ < 9 mg/dL (< 4.5 mEq/L). Dimana nilai normalnya
adalah 9 11 mg/dL (4,5 5,5 mEq/L)
Bila ekskresi kalsium > 150 mg/hari, berarti pasien disertai juga dengan hiperkalsiuria. Ekskresi
yang berlebihan ini juga menandai adanya suatu proses perusakan pada tulang.
Level serum Ca2+ yang turun menyebabkan lemahnya kontraksi otot jantung, ditandai dengan
memanjangnya fase isoelektrik Q-T pada EKG.
Pemeriksaan radiografi tidak bisa menjelaskan kerusakan yang terjadi pada tulang sampai lebih
dari 25% tulang termineralisasi. Pemeriksaan yang lebih sensitif adalah menggunakan bonetesting, misal dengan densitometer atau foton absorpsimeter yang bisa mendeteksi kerusakan
tulang lebih awal.
Konsentrasi kalsium abnormal biasanya pertama kali ditemukan pada saat pemeriksaan darah
rutin.
Karena itu hipokalsemia sering terdiagnosis sebelum gejala-gejalanya muncul.
Untuk menentukan penyebabnya, perlu diketahui riwayat lengkap dari keadaan kesehatan
penderita, pemeriksaan fisik yang lengkap dan pemeriksaan darah dan air kemih lainnya

12

Tatalaksana medis.
Praktisi akan mengobati gejala hipokalsemia dengan mencari etiologi dan penyakit dasar yang
menyertainya secara holistik. Pilihan terapi Ca2+ bisa dengan preparat oral dan infus, yang
rutenya tergantung berat ringannya gejala.
Untuk pasien dengan fungsi ginjal baik, direkomendasikan terapi penggantian Ca 2+ elemental
sebanyak 1-2 g perhari, dalam bentuk gabungan dengan sitrat, glukonat, karbonat atau laktat.
Pemberian vit-D secara bersamaan juga diperlukan tuk membantu penyerapan kalsium. Untuk
mencegah kanker pada saluran reproduksi dianjurkan pemeberian hormon progesteron (Terapi
Pengganti Hormon/HRT).
Pada kehilangan fase akut, disarankan pemberian infus ca-glukonas 10%, 30-60 mL dalam 1000
mL selama 6 sampai 12 jam. Terapi ini sangat perlu apalagi bila pasien sudah kejang (tetani atau
konvulsi). Dan pada kasus gawat darurat bisa diberikan bahkan dalam hitungan menit. Sepuluh
mililiter dari 10% ca-glukonas mengandung 4,65 mEq atau 93 mg kalsium. Karena pasien
hipokalsemia biasanya disertai hipomagnesemia pula, tatalaksana defisiensi magnesium pada
pasien sebaiknya juga perlu diberikan5.

Working Diagnosis
A. Paralisis periodik hipokalemik
Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai kelemahan otot akut karena
hipokalemia yang terjadi secara episodik. Sebagian besar paralisis periodik hipokalemik
merupakan paralisis periodik hipokalemik primer atau familial. Paralisis periodik
hipokalemik sekunder bersifat sporadik dan biasanya berhubungan dengan penyakit tertentu
atau keracunan. Salah satu kelainan ginjal yang dapat menyebabkan paralisis periodik
hipokalemik sekunder adalah asidosis tubulus renalis distal (ATRD) yang awitan pertama
biasanya terjadi pada masa dewasa. Gejala klinis yang karakteristik adalah kelemahan otot
akut yang bersifat intermiten, gradual, biasanya pada ekstremitas bawah, dapat unilateral atau
bilateral, disertai nyeri di awal serangan. Paralisis periodik hipokalemik diterapi dengan

13

kalium dan mengobati penyakit dasarnya. Analisis yang cermat diperlukan untuk mengetahui
penyakit dasarnya karena sangat menentukan tata laksana dan prognosis selanjutnya 6.
Paralisis periodik hipokalemik adalah kelainan yang ditandai dengan kadar kalium yang
rendah (kurang dari 3.5 mmol/L) pada saat serangan, disertai riwayat episode kelemahan
sampai kelumpuhan otot skeletal. Hipokalemia dapat terjadi karena adanya faktor pencetus
tertentu, misalnya makanan dengan kadar karbohidrat tinggi, istirahat sesudah latihan fisik,
perjalanan jauh, pemberian obat, operasi, menstruasi, konsumsi alkohol dan lain-lain. Kadar
insulin juga dapat mempengaruhi kelainan ini pada banyak penderita, karena insulin akan
meningkatkan aliran kalium ke dalam sel. Pada saat serangan akan terjadi pergerakan kalium
dari cairan ekstra selular masuk ke dalam sel, sehingga pada pemeriksaan kalium darah
terjadi hipokalemia. Kadar kalium biasanya dalam batas normal diluar serangan. Pencetus
untuk setiap individu berbeda, juga tidak ada korelasi antara besarnya penurunan kadar
kalium serum dengan beratnya paralisis (kelemahan) otot skeletal 7.
Penderita dapat mengalami serangan hanya sekali, tetapi dapat juga serangan berkali-kali
(berulang) dengan interval waktu serangan juga bervariasi. Kelemahan biasanya terjadi pada
otot kaki dan tangan, tetapi kadang-kadang dapat mengenai otot mata, otot pernafasan dan
otot untuk menelan, di mana kedua keadaan terakhir ini dapat berakibat fatal. Angka kejadian
adalah sekitar 1 diantara 100.000 orang, pria lebih sering dari wanita dan biasanya lebih
berat. Usia terjadinya serangan pertama bervariasi dari 120 tahun, frekuensi serangan
terbanyak di usia 1535 tahun dan kemudian menurun dengan peningkatan usia.
Hipokalemik periodik paralisis biasanya terjadi karena kelainan genetik otosomal dominan.
Hal lain yang dapat menyebabkan terjadinya hipokalemik periodik paralisis adalah
tirotoksikosis (thyrotoxic periodic paralysis), hiperinsulin 7.
Diagnosa kelainan hipokalemik periodik paralisis ditegakkan berdasarkan kadar kalium darah
rendah [kurang dari 3,5 mmol/L (0,93,0 mmol/L) ] pada waktu serangan, riwayat mengalami
episode flaccid paralysis dengan pemeriksaan lain dalam batas normal. Paralisis yang terjadi
pada penyakit ini umumnya berlokasi di bahu dan panggul meliputi juga tangan dan kaki,
bersifat intermiten, serangan biasanya berakhir sebelum 24 jam, pada EMG dan biopsi otot
ditemukan miotonia, refleks Babinsky positif, kekuatan otot normal diluar serangan. Terdapat 2
bentuk kelainan otot yang diobservasi yaitu episode paralitik dan bentuk miopati, kedua keadaan
ini dapat terjadi secara terpisah ataupun bersama-sama. Sering terjadi bentuk paralitik murni,
kombinasi episode paralitik dan miopati yang progresifitasnya lambat jarang terjadi, demikian
pula bentuk miopatik murni jarang terjadi. Episode paralitik ditandai terutama adanya flaccid
paralysis dengan hipokalemia sehingga dapat terjadi para paresis atau tetraparesis berpasangan
dengan otot pernafasan. Pada pasien ini murni flaccid paralysis dengan hipokalemia dan akan
14

sembuh atau remisi sendiri 56 jam kemudian, dengan pemberian kalium per oral serangan
menjadi lebih ringan. Tidak terdapat kelainan pada otot pernafasan. Jika terdapat kelainan
genetik maka pada analisa didapatkan kelainan antara lain adalah autosomal dominan inheritance
yaitu mutasi pada kromososm CACNA1S (70%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 1,
mutasi lokus pada kromosom SCN4A (10%) disebut hipokalemik periodik paralisis tipe 2
1. Etiologi
Sinyal listrik pada otot skeletal, jantung, dan saraf merupakan suatu alat untuk
mentransmisikan suatu informasi secara cepat dan jarak yang jauh. Kontraksi otot skeletal
diinisiasi dengan pelepasan ion kalsium oleh retikulum sarkoplasma, yang kemudian terjadi aksi
potensial pada motor end-plate yang dicetuskan oleh depolarisasi dari transverse tubule (T
tubule). Ketepatan dan kecepatan dari jalur sinyal ini tergantung aksi koordinasi beberapa kelas
voltage-sensitive kanal ion. Mutasi dari gen dari kanal ion tersebut akan menyebabkan kelainan
yang diturunkan pada manusia. Dan kelainannya disebut chanelopathies yang cenderung
menimbulkan gejala yang paroksismal : miotonia atau periodik paralisis dari otot-oto skeletal.
Defek pada kanal ion tersebut dapat meningkatkan eksitasi elektrik suatu sel, menurunkan
kemampuan eksitasi, bahkan dapat menyebabkan kehilangan kemampuan eksitasi. Dan
kehilangan dari eksitasi listrik pada otot skeletal merupakan kelainan dasar dari periodik paralisis
8
.

2. Patofisiologi

Patofisiologi
Hipokalemia merupakan kejadian yang sering dijumpai di klinik. Penyebab hipokalemik
dapat dibagi sebagai berikut :
-

Asupan kalium kurang


Pengeluaran kalium berlebihan
Kalium masuk kedalam sel

Asupan kalium kurang


Kalium yang masuk ke dalam tubuh dalam keadaan fungsi ginjal yang normal, akan di
ekskresikan melalui ginjal. Makin tinggi asupan kalium, makin tinggi eksresi melalui ginjal,
demikian sebaliknya bila asupan kalium rendah. Asupan kalium normal berkisar antara 40-120
mEq perhari. Dalam keadaan normal ekskresi kalium melalui ginjal dapat minimal sampai 5
15

mEq per hari untuk mempertahankan kadar kalium normal dalam darah, sejalan dengan
rendahnya asupan kalium. Hipokalemia akibat asupan kalium rendah saja, jarang terjadi dalam
klinik. Biasanya disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretic atau pemberian diet
rendah kalori pada program menurunkan berat badan.

Pengeluaran kalium berlebihan


Pengeluaran kalium yang berlebihan terjadi melalui saluran cerna, ginjal atau keringat.
Pada keadaan muntah atau pemakaian selang naso-gastrik, pengeluaran kalium bukan melalui
saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan gastric hanya sedikit (5-10 mEq/L), akan
tetapi kalium banyak keluar melalui ginjal. Akibat muntah atau pemakaian selan naso-gastrik,
terjadi alkalosis metabolic sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang akan
mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga dibantu dengan adanya
hiperaldosteron sekunder dari hipovolemia yang timbul akibat muntah. Kesemuanya ini akan
meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan menyebabkan hipokalemia.
Pada saluran cerna bawah (diare, pemakaian pencahar), kalium keluar bersama bikarbonat
(asidosis metabolic). Kalium dalam saluran cerna bawah jumlahnya lebih banyak (20-50
mEq/L). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat terjadi pada pemakaian
diuretic, kelebihan hormone mineralokortikoid orimer/hiperaldosteronisme primer 9adenoma
kelenjar adrenal), anion yang tidak dapat di reabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan
dalam tubulus (bikarbonat, beta-hidroksibutirat, hipurat) menyebabkan lumen duktus koligentes
bermuatan lebih negative dan menarik kalium masuk dalam lumen lalu dikeluarkan bersama
urin, pada hipomagnesemia, poliuria (polidipsia primer, diabetes insipidus) dan salt-wasting
nephropathy(sindrom Bartter atau Gitelman, hiperkalsemia). Pengeluaran kalium berlebihan
melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga
produksi keringat mencapai 10L.
Kalium masuk kedalam sel
Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin,
peningkatan aktifitas beta-adrenergik (pemakaian 2-agonis), paralisis periodic hipokalemik,
16

hipotermia. Hanya sejumlah kecil praksi konsentrasi ion kalium berada pada rongga
ekstraseluler. Karenanya, konsentrasi total ion kalium secara akurat. Defisit ion kalium
tergantung pada lamanya kontak dengan penyebab (time for equilibration) dan konsentrasi ion
kalium serum 1 mEq sebanding dengan defisit 200mEq. Dianjurkan untuk mempertahankan
konsentrasi ion kalium serum <4.0 mEq/L.3
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah 9,13
A. Laboratorium
1) Kadar kalium serum
Kalium serum merupakan pemeriksaan laboratorium yang paling penting.
Diantara serangan paralisis, kalium serum abnormal pada tipe paralisis periodik sekunder,
tetapi biasanya normal pada paralisis periodik primer. Selama serangan kadar kalium
serum dapat tinggi, rendah, atau di atas batas normal dan bisa di bawah batas normal.
Pemeriksaan secara random kadar kalium serum dapat menunjukan fluktuasi yang
periodik pada paralisis periodik normokalemik.
Konsentrasi kalium serum pada 3,0-3,5 mEq/L berhubungan dengan suatu
keadaan klinis seperti kelemahan otot ringan, fatigue, dan mialgia. Pada konsentrasi
serum kalium 2,5-3,0 mEq/L kelemahan otot menjadi lebih berat terutama pada bagian
proximal dari tungkai. Ketika serum kalium turun hingga dibawah dari 2,5 mEq/L maka
dapat terjadi kerusakan struktural dari otot, termasuk rhabdomiolisisdan miogobinuria.
2) Fungsi ginjal
3) Kadar glukosa darah pengambilan glukosa darah ke dalam sel menyebabkan kalim
berpindah dari luar sel (darah) ke dalam sel-sel tubuh.
4) pH darah
Dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis biasa menyertai
hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel. Asidosis menyebabkan
kehilangan K+ langsung dalam urin.
5) Hormon tiroid: T3,T4 dan TSH untuk menyingkirkan penyebab sekunder
hipokalemia.
6) Kadar CPK (creatinin phospokinase) dan mioglobin serum

17

Kadar CPK tinggi pada paralisis periodik primer selama atau baru saja setelah serangan.
Kadar mioglobin serum juga mungkin tinggi.
B. EKG
Perubahan pada EKG ini dapat mulai terjadi pada kadar kalium serum dibawah 3,5 dan
3,0 mEq/L. Kelainan yang terjadi berupa inversi gelombang T, timbulnya gelombang U
dan ST depresi, pemanjangan dari PR, QRS, dan QT interval 8.
C. EMG
Di antara serangan, mungkin ada fibrilasi dan pengulangan keluaran kompleks,
meningkat dengan dingin dan menurun dengan latihan (dalam paralisis periodik
hipokalemik). Selama serangan, EMG akan menunjukkan listrik diam, baik pada paralisis
periodik hiperkalemik dan paralisis periodik hipokalemik.
D. Biopsi otot
Biopsi otot diperlukan pada beberapa kasus yang dengan penampilan klinis yang tidak
spesifik. Pada paralisis periodik hipokalemik primer muangkin terdapat vakuola sentral
yang tunggal atau mutipel. Pada paralisis periodik hiperkalemik sekunder, vakuala dan
agregat tubular dapat ditemukan.

4. Penatalaksanaan
A. Paralisis periodik hipokalemik
Seperti pada bentuk lain dari periodik paralisis dan miotonia, kebanyakan pasien dengan
HypoPP tidak memerlukan intervensi farmakologis. Pasien kita edukasi dan berikan
informasi untuk mencegah dan menurunkan kejadian serangan melalui menghindari kegiatan
yang memerlukan kekuatan fisik yang berat, hindari kedinginan, mengkonsumsi buahbuahan atau jus yang tinggi akan kalium, membatasi intake karbohidrat dan garam (160
mEq/hari).
Pemberian obat-obatan seperti penghambat carbonic anhidrase dapat diberikan untuk
menurunkan frekuensi dan beratnya serangan kelemahan episodik dan memperbaiki kekuatan
otot diantara serangan. Acetazolamide merupakan obat jenis tersebut yang banyak
diresepkan, dosis dimulai dari 125 mg/hari dan secara bertahap ditingkatkan hingga dosis
yang dibutuhkan maksimum 1500 mg/hari. Pasien yang tidak berespon dengan pemberian
acetazolamide dapat diberikan penghambat carbonic anhidrase yang lebih poten seperti,
dichlorphenamide 50 hingga 150 mg/hari atau pemberian diuretik hemat kalium seperti
spironolactone atau triamterine (keduanya dalam dosis 25 hingga 100 mg/hari). Pemberian
rutin kalium chlorida (KCL) 5 hingga 10 g per hari secara oral yang dilarutkan dengan cairan
18

tanpa pemanis dapat mencegah timbulnya serangan pada kebanyakan pasien. Pada suatu
serangan HypoPP yang akut atau berat, KCL dapat diberikan melalui intravena dengan dosis
inisial 0,05 hingga 0,1 mEq/KgBB dalam bolus pelan, diikuti dengan pemberian KCL dalam
5% manitol dengan dosis 20 hingga 40 mEq, hindari pemberian dalam larutan glukosa
sebagai cairan pembawa. Kepustakaan lain KCL dapat diberikan dengan dosis 50 mEq/L
dalam 250 cc larutan 5 % manitol 9,6.

Kesimpulan
Wanita 30 tahun dengan keluhan kelemahan pada kedua tungkai kaki sejak 1 hari yang
lalu menderita hipokalemia periodic paralisis akibat kekurangan asupan kalium untuk kebutuhan
tubuh.

Daftar Pustaka
1. Welsby. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinik. Jakarta: Penerbit buku
kedokteran EGC;2008.h.50-2.
2. Kowalak JP, Welsh W, editor. Buku pegangan uji diagnostik. Ed. 3. Jakarta:
EGC, 2009.h.83-5.
3. Sudoyo, Aru. W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta 2007:
Fakultas kedokteran Universitas Indonesia.
4. John Gennar,F. Current Conceps Hypokalemia. The New England Journal of
Medicine, 339 (7) Agustus 1998., pp. 451-458.

19

5. Dickerson

RN.

Guidelines

Hypophosphatemia,

for

the

Hypomagnesemia,

Intravenous
Hypokalemia

Management
and

of

Hypocalcemia.

Hospital pharmacy. 2001;36:1201-08.

6. Souvriyanti, Elsye; Sudung OP.. Paralisis Periodik Hipokalemik pada Anak dengan
Asidosis Tubulus Renalis Distal. 2008. Vol 1. 53-59
7. Widjajanti, A & SM Agutini. Hipokalemik Periodik Paralisis. 2005; 19-22
8. Cannon SC. Myotonia and Periodic Paralysis: Disorders of Voltage-Gated Ion Channels
in Neurological Theurapeutics Principles and Practice, vol.2 part 2. Mayo Foundation.
United Kingdom. 2003; 225;2365-2377
9. Arya, SN. Lecture Notes: Periodic Paralysis. Journal Indian Academy of Clinical
Medicine. 2002. Vol 3 No 4.
10. Graber M. Terapi Cairan, Elektrolit dan Metabolik, ed.1. Farmedia. Jakarta.2002
11. Sternberg, D., Masionobe, T., Jurkat-Rott, K., et al., 2001, Hypokalaemic Periodic
Paralysis type 2 caused by mutasions at codon 672 in the muscle sodium channel gene
SCN4A. Barain. 124: 10919.
12. Sternberg, D., Tabt,i N., Haingue, B., Fontaine, B., 2004, Hypokalemic periodic
Paralysis,. Gene Reviews. Funded by NIH University of Washington, Seattle 19 May, 1
22.
13. Fialho, D & Michael GH. Periodic Paralysis. Chapter 4. 2007;77-105

20

You might also like