Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
Nanda Perdana Putra
Program Studi Ilmu Pendidikan Islam
Jurusan Ilmu Agama Islam
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa,
nilai, dan agama atau keyakinan berbeda-beda. Bila bangsa ini ingin menjadi kuat dalam era
demokrasi, diperlukan sikap saling menerima dan menghargai dari tiap orang yang beraneka
ragam itu sehingga dapat saling membantu, bekerja sama membangun negara ini lebih baik.
Perkembangan pembangunan nasional dalam era industrialisasi di Indonesia telah
memunculkan side effect yang tidak dapat terhindarkan dalam masyarakat. Konglomerasi dan
kapitalisasi dalam kenyataannya telah menumbuhkan bibit-bibit masalah yang ada dalam
masyarakat seperti ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin, masalah pemilik modal
dan pekerja, kemiskinan, perebutan sumber daya alam dan sebagainya. Di tambah lagi
kondisi masyarakat Indonesia yang plural baik dari suku, agama, ras dan geografis
berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah
dikondisikan
untuk
mencerminkan
praktik
dari
nilai-nilai
demokrasi.
Kurikulum
menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek;
dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menunjung
tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara
sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
Pembelajaran berbasis Multibudaya didasarkan pada gagasan filosofis tentang
kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat
pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju
kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan Multibudaya bukanlah
kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan
pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi
budaya individual.
Pembelajaran
berbasis
Multibudaya
berusaha
memberdayakan
siswa
untuk
mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan
untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya
secara langsung. Pendidikan Multibudaya juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan
dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan
kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering
menjadi
penyebab
konflik
antar
kelompok
masyarakat.
Pendidikan
Multibudaya
dan disorientasi identitas yang hebat, tak ada satu hal pun yang berhasil dalam fase ini.
Dalam tahap penuh humor, penduduk musiman belajar menertawakan kecerobohankecerobohan budaya mereka dan mulai menyadari bahwa ada pro dan kontra dalam tiap
budaya, seperti ada baik dan buruk dalam tiap masyarakat. Dalam tahap in-sync, mereka
mulai merasa seperti ada di lingkungan sendiri dan mengalami keamanan dan inklusi
identitas. Batas antara outsider dan insider semakin kabur dan para pendatang mengalami
penerimaan dan dukungan sosial. Saat telah berada di zona kenyamanan, mereka harus
pulang. Dalam tahap ambivalensi, mereka mengalami duka, nostalgia, dan kebanggaan, yang
bercampur dengan rasa lega sekaligus sedih karena mereka akan pulang.
Dalam tahap guncangan budaya saat masuk kembali, penduduk musiman menghadapi
satu sentakan tak terduga. Karena sifatnya yang tak terduga, guncangan budaya reentry
biasanya berdampak lebih hebat. Mereka biasanya merasa lebih tertekan dibandingkan
dengan ketika mereka masuk. Pada tahap resosialisasi, beberapa individu secara diam-diam
mengasimilasikan diri mereka kembali pada peran-peran dan perilaku lama mereka tanpa
menimbulkan gelombang atau tanpa tampil berbeda dari kolega-kolega mereka. Beberapa
individu lain tak dapat masuk kembali ke dalam budaya asal mereka (alienator). Beberapa
individu lain mungkin menjadi agen perubahan dalam budaya atau organisasi asal mereka.
Mereka secara penuh pertimbangan mengintegrasikan pengalaman belajar di luar negeri
dengan hal-hal positif lain dari budaya asal mereka. Mereka menerapkan cara berpikir
multidimensional, kecerdasan emosi yang diperkaya, dan berbagai sudut pandang dalam
memecahkan masalah atau mendorong perubahan demi terciptanya organisasi pembelajaran
yang benar-benar inklusif. Mereka juga tidak takut terlihat berbeda di tempat asal mereka
karena mereka memiliki pengalaman menjadi orang yang berbeda saat di luar negeri. Mereka
merasa nyaman dengan proses berayun identitas ganda. Para transformer ini menjadi
individu-individu yang telah memiliki kecermatan, rasa iba, dan kebijakan.
Pada dasarnya, model penyesuaian berbentuk W yang telah direvisi menekankan
beberapa karakteristik selama proses perubahan identitas para penduduk musiman:
1. Mereka perlu memahami puncak dan titik rendah, pergeseran positif dan negatif, yang
membentuk perubahan identitas dalam lingkungan asing, menyadari bahwa perubahan naikturun perasaan merupakan bagian dari proses perubahan dan perkembangan,
2. Mereka mesti menyadari dan mengikuti tujuan instrumental, relasional dan identitas mereka
dalam budaya baru; kesuksesan dalam satu set tujuan tertentu mempengaruhi keberhasilan
mencapai tujuan lain,
3. Mereka perlu memberikan diri mereka waktu dan ruang untuk menyesuaikan diri,
4. Mereka perlu mengembangkan ikatan kuat dan ikatan lemah untuk melindungi mereka dan
tempat mencari bantuan pada saat diperlukan,
5. Mereka perlu mencari kesempata untuk berpartisipasi dalam event budaya besar milik budaya
tuan rumah dan melibatkan diri dalam kesempatan langka itu serta belajar menikmati budaya
lokal semaksimal mungkin.
o Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas
Akulturasi adalah proses beranekasegi dan multidimensional yang melibatkan proses
perubahan level sistem dan individu. Para antropologis mengartikan akulturasi sebagai
kontak langsung yang berlangsung terus-menerus antara kelompok-kelompok individu yang
memproduksi perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya salah satu atau dua kelompok
tersebut. Transformasi individu ini dapat terjadi dalam masyarakat yang monokultural atau
pluralistis.
Dalam masyarakat monokultural dengan tuntutan akan konformitas yang tinggi,
akulturasi bagi inhabitan jangka panjang secara tipikal bersifat unidirectional. Dalam
masyarakat pluralistis, akulturasi dapat mengambil banyak bentuk dan arah. Konsep
akulturasi melibatkan banyak isu, seperti batas dalam kelompok/ luar kelompok, tekanan
konformitas, perilaku dan hubungan kelompok minoritas-mayoritas, dan pemeliharaan
warisan etnis serta asimilasi budaya yang lebih besar.
Dari perspektif tipologis minoritas-mayoritas, penonjolan identitas etnis/kultural dapat
dipandang sebagai model empat rangkap yang menekankan orientasi individu terhadap isuisu pemeliharaan identitas etnis dan identitas budaya yang lebih besar.
Menurut Berry, imigran yang cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis
dan merendahkan siginifikansi nilai-nilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi
yang berorientasi tradisional. Individu yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan
pada saat yang bersamaan menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat
yang lebih besar, menerapkan opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang
menganggap rendah signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung
memandang diri mereka sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi
asimilasi. Individu yang kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus
masyarakat yang lebih besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas,
mengalami marjinalisasi.
Kelima, dengan sikap saling menerima dan menghargai akan cepat berkembang bila
dilatihkan dan dididikkan pada generasi muda dalam sistem pendidikan nasional. Dengan
pendidikan, sikap penghargaan terhadap perbedaan yang direncana baik, generasi muda
dilatih dan disadarkan akan pentingnya penghargaan pada orang lain dan budaya lain bahkan
melatihnya dalam hidup sehingga sewaktu mereka dewasa sudah mempunya sikap itu. Di sini
pemerintah dan tiap sekolah perlu memikirkan model dan bentuk yang sesuai.
Keenam, lewat penanaman semangat multikulturalisme di sekolah-sekolah, akan
menjadi medium pelatihan dan penyadaran bagi generasi muda untuk menerima perbedaan
budaya, agama, ras, etnis dan kebutuhan di antara sesama dan mau untuk hidup bersama
secara damai.
Agar proses ini berjalan sesuai harapan, maka seyogyanya kita mau menerima jika
pendidikan Multibudaya disosialisasikan dan didiseminasikan melalui lembaga pendidikan,
serta jika mungkin, ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di berbagai jenjang
baik di lembaga pendidikan pemerintah maupun swasta. Apalagi, paradigma multikultural
secara implisit juga menjadi salah satu concern dari Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam pasal itu dijelaskan, bahwa pendidikan diselenggarakan secara
demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai
kultural dan kemajemukan bangsa.
James A. Banks, mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang
diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang
mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:
1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru
untuk memberikan keterangan dengan poin kunci pembelajaran dengan merefleksi
materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan
materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang
beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guruguru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat
kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan
unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah
beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.
2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana
para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan
kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi
ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan
pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;
3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak
usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang
perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan
perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda
dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan
perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua
kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif
tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara
konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang
ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak
melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya.
Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan
pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para
pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif.
Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih
bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.
4. Dimensi
pendidikan
memperhatikan
yang
cara-cara
sama/adil
dalam
(equitable
mengubah
pedagogy).
fasilitas
Dimensi
pembelajaran
ini
sehingga
mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok.
Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan
pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning),
dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga
menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah,
menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar
dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan, persamaan
hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.
5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school
culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya
siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping
itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan
berbeda.
Pada
umumnya,
guru-guru
memiliki
berbagai
perspektif
dalam
pembelajarannya.
Pendekatan perspektif ganda membantu siswa untuk menyadari bahwa suatu peristiwa
umum sering diinterpretasikan secara berbeda oleh orang lain, dimana interpretasinya sering
didasarkan atas nilai-nilai kelompok yang mereka ikuti. Solusi yang dianggap baik oleh suatu
kelompok (karena solusi itu sesuai dengan nilai-nilainya), sering tidak dianggap baik oleh
kelompok lainnya karena tidak cocok dengan nilai yang diikutinya. Keunggulan pendekatan
perspektif ganda ini terletak pada proses berpikir kritis terhadap isu yang sedang dibahas
sehingga mendorong siswa untuk menghilangkan prasangka buruk. Interaksi dengan
pandangan kelompok yang berbeda-bebada memungkinkan siswa untuk berempati. Hasil
penelitian membuktikan bahwa siswa yang rendah prasangkanya menunjukkan sikap yang
lebih sensitif dan terbuka terhadap pandangan orang lain. Mereka juga mampu berpikir kritis,
karena mereka lebih bersikap terbuka, fleksibel, dan menaruh hormat pada pendapat yang
berbeda. Bahan pelajaran dan aktivitas belajar yang kuat aspek afektifnya tentang kehidupan
bersama dalam perbedaan kultur terbukti efektif untuk mengembangkan perspektif yang
fleksibel. Siswa yang memiliki rasa empati yang besar memungkinkan dia untuk menaruh
rasa hormat terhadap perbedaan cara pandang. Tentu saja hal itu akan mampu mengurangi
prasangka buruk terhadap kelompok lain. Membaca buku sastra multietnik dapat mengurangi
stereotipe negatif tentang budaya orang lain. Pendekatan perspektif ganda mengandung dua
sasaran yaitu meningkatkan empati dan menurunkan prasangka. Empati terhadap kultur yang
berbeda merupakan prasyarat bagi upaya menurunkan prasangka.
KESIMPULAN
Pendidikan Multibudaya didefinisikan sebagai sebuah kebijakan sosial yang
didasarkan pada prinsip-prinsip pemeliharaan budaya dan saling memiliki rasa hormat antara
seluruh kelompok budaya di dalam masyarakat. Pembelajaran Multibudaya pada dasarnya
merupakan program pendidikan bangsa agar komunitas multikultural dapat berpartisipasi
dalam mewujudkan kehidupan demokrasi yang ideal bagi bangsanya.
Terdapat beberapa model perubahan identitas etnik, yang pertama adalah Model
Perubahan Identitas Penduduk Sementara. Lysgaard mengembangkan satu model
penyesuaian antarbudaya yang terdiri atas tiga fase yang mencakup penyesuaian awal, krisis,
dan penyesuaian yang diperoleh kembali. Penyesuaian awal adalah fase optimistis dari proses
penyesuaian para penduduk musiman, yang kedua merupakan fase yang menekan ketika
realitas terbentuk dan penduduk musiman diluapi ketidakmampuan mereka, yang ketiga
adalah fase penetapan, saat penduduk musiman belajar mengatasi lingkungan baru.
Yang kedua adalah Model Perubahan Identitas Imigran dan Minoritas. Imigran yang
cenderung mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan merendahkan siginifikansi nilainilai dan norma-norma budaya baru menerapkan opsi yang berorientasi tradisional. Individu
yang mengedepankan pemeliharaan tradisi etnis dan pada saat yang bersamaan
menampakkan gerakan untuk menjadi bagian dari masyarakat yang lebih besar, menerapkan
opsi yang berorientasi bikultural atau integratif. Individu yang menganggap rendah
signifikansi nilai-nilai dan norma-norma etnis mereka dan cenderung memandang diri mereka
sebagai anggota masyarakat yang lebih besar, menerapkan opsi asimilasi. Individu yang
kehilangan kontak psikologis/etnis dengan kelompok etnis sekaligus masyarakat yang lebih
besar dan mengalami perasaan alienasi dan kehilangan identitas, mengalami marjinalisasi.
Dalam mengimplementasikan filosofi Bhineka Tunggal Ika dalam dunia pendidikan,
James A. Banks mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan Multibudaya yang
diperkirakan dapat membantu guru dalam pelaksanaan tersebut. Lima dimensi tersebut
adalah: 1) Dimensi integrasi isi/materi (content integration). 2) Dimensi konstruksi
pengetahuan (knowledge construction). 3) Dimensi pengurangan prasangka (prejudice
DAFTAR PUSTAKA
Ainul Yaqin. 2005. Pendidikan Multikultural, Pilar Media: Yogyakarta.
Ainurrofiq Dawam. 2006. Pendidikan Multikultural, Penerbit Inspeal: Yogyakarta
Banks, J.A. 1997. Multicultural Education-Issue and Perspectives, Ellyn and Bacon: Boston.
Byrnes, D.A. 1988. Children and Prejudice, Social Education.
Dedy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat. 2001. Komunikasi MultiBudaya, Rosda Karya:
Bandung