You are on page 1of 17

Status Epileptikus dan Epilepsi non Kompulsive

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran UKRIDA
SMF Ilmu Kesehatan Anak RS HUSADA
Disusun oleh : Adrian Cristianto Yusuf
Pembimbing: dr. Yvonne Marthina, Sp.A

Definisi
Epilepsi adalah manifestasi klinik dari bangkitan seizure(stereotipik),
berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa perubahan kesadaran,
disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut.
Menurut WHO (Chadwick, 1991) epilepsi adalah suatu kelainan otak kronik
dengan berbagai macam penyabab yang ditandai serangan kejang berulang yang
disebabkan oleh bangkitan neuron otak yang berlebihan, dimana gambaran klinisnya
dapat berupa kejang, perubahan tingkah laku, perubahan kesadaran tergantung lokasi
kelainan di otak.
Status Epileptikus (SE) didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau
lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau
serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih. Serangan yang
berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum pulih
setelah 5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.
1

Klasifikasi
Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy
(ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi yaitu:
1112.1 Bangkitan Parsial
2.1.1 Bangkitan Parsial sederhana

Motorik

Sensorik

Otonom

Psikis

2.1.2 Bangkitan Parsial kompleks

Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan gangguan


kesadaran

Bangkitan parsial yang disertai gangguan kesadaran saat awal


bangkitan

2.1.3 Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik

Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik

Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian menjadi


umum tonik klonik

2.2 Bangkitan Umum

Lena (absence)

Mioklonik

Tonik

Tonik-klonik

Atonik

2.3 Tak tergolongkan


2

Klasifikasi status epileptikus


Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan area tertentu
dari korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi
atau non-konvulsi.
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status
epileptikus. Satu versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status
epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status
epileptikus parsial (sederhana atau kompleks). Versi lain membagi berdasarkan status
epileptikus umum (overt atau subtle) dan status epileptikus non-konvulsi (parsial
sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan pendekatan berbeda
berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anak-anak,
anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).
Etiologi
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
1. Idiopatik

:penyebabnya

tidak

diketahui,

umumnya

mempunyai

predisposisi genetik
2. Kriptogenik : Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum diketahui,
termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan
epilepsi

mioklonik,

gambaran

klinik

sesuai

dengan

ensefalopati difus
3. Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat
misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP),
kelainan kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neuro degenerative.
3.1 Faktor pencetus Status Epileptikus
3

Penderita Epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak

memadai
Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
Keadaan umum yang tidak menurun sebagai akibat kurang tidur, stres

psikis, atau stres fisik.


Pengunaan atau Withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti
depresi

Patofisiologi
Sel saraf diootak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada
keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi
aktifitas listrik otak.
Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku, banyak
sel saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil kumpulan sel
saraf yang abnormal menyebabkan perubahan pada sel didekatnya atau pada sel yang
memilik hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah besar kumpulan sel saraf
tereksitasi bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas tubuh
berlebihan.
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang menginhibisi
sel eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin dikarenakan
produksi berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan sel mengeluarkan
sinyal listrik yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi juga dilepasakan berlebihan
dan mengganggu bendungan listrik sel saraf yang normalnya membatasi penyebaran
sinyal listrik yang abnormal. Diantara neurotansmitter-neurotarsmitter eksitasi dapat
disebut glutamate, aspartat, norepinefrin, dan asetilkolin, sedangkan nerutransmitter
inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA).
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima
fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah
otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan
darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang
diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30
menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang
dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf
4

irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut mengarah pada
terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap
kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks
serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus
mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf
maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks
dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Diagnosa dilakukan dengan cepat dalam waktu 5 10 menit. Hal yang
pertama kita lakukan adalah:

Anamnesis
riwayat epilepsi, riwayat menderita tumor, infeksi obat, alkohol, penyakit
serebrovaskular lain, dan gangguan metabolit. Perhatikan lama kejang, sifat
kejang (fokal, umum, tonik/klonik), tingkat kesadaran diantara kejang,
riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga, demam, riwayat
persalinan, tumbuh kembang, dan penyakit yang sedang diderita.

Pemeriksaan fisik
pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran penglihatan dan
pendengaran refleks fisiologis dan patologi, lateralisasi, papil edema akibat
peningkatan intrakranial akibat tumor, perdarahan, dll. Sistem motorik yaitu
parestesia, hipestesia, anestesia.

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium yaitu darah, elektrolit, glukosa, fungsi


ginjal dengan urin analisis dan kultur, jika ada dugaan infeksi, maka
dilakukan kultur darah dan

imaging yaitu CT Scan dan MRI untuk mengevaluasi lesi struktural di


otak

EEG untuk mengetahui aktivitas listrik otak dan dilakukan secepat


mungkin jika pasien mengalami gangguan mental

Pungsi lumbar, dapat kita lakukan jika ada dugaan infeksi CNS atau
perdarahan subarachnoid.

Gambaran klinik
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk
mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized TonicClonic) merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari
survei ditemukan kira-kira 44-74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status
Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering


dihadapi dan potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului
dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang cepat berubah
menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan
berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputusputus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea
retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan
laktat serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan
asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali
pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status
Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik
umum mendahului fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada
periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan
kehilangan kesadaran tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan
mioklonus adalah menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin
memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status epileptikus tidak
7

biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi
dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi
degeneratif.

E. Status Epileptikus Absens


Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada
usia pubertas atau dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran
dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi (dreamy state) dengan
respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat
kejang umum primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG
terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada
semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin
intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau
parsial kompleks, karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status
epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia,
delusional, cepat marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive
behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa kasus dijumpai
psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges,
tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari
dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada
8

satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari
tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak
terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan
(PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang pokok
dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya
afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan
gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory
jacksonian march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari
frekuensi yang cukup untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat
terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan keadaan kebingungan yang
berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus temporalis
atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi
mungkin sulit memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status
epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus

Protokol Penatalaksanaan Status Epileptikus


Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk
pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun mental
yang dimiliki pasien. Untuk tercapainya tujuan tersebut diperlukan beberapa upaya,
yaitu menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa efek samping
atau dengan efek samping yang ringan, serta menurunkan angka kesakitan dan
kematian.

Pertolongan pertama pada saat kejang

Bantulah pasien berbaring, jauhkanlah dari sesuatu yang keras dan


tajam seperti sudut meja

Gulingkan pasien sehingga kepala menghadap ketanah agar air ludah


tidak masuk ke jalan nafas dan mencegah lidah menutup jalan nafas

Longgrkan baju, lepaskan kaca mata tetapi kontak lens biarkan saja

Jangan berusaha memasukkan apapun kedalam mulut pasien, lidah tak


dapat berfungsi untuk menrlan sehingga akan menyebabkan tersedak

Sesudah kejang berhenti, sebaiknya jangan menahan (restrain) pasien,


hal ini akan mengakibatkan perlawanan atau agitasi pasien.

Hindari pemberian obat oral, minuman atau makanan sebelum pasien


pulih 100% kesadarannya.

Pilihan obat-obat untu status epileptikus


Lini

pertama

dalam

penanganan

status

epileptikus

menggunakan

Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam


(Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja
dengan peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada
Benzodiazepin-GABA dan kompleks Reseptor-Barbiturat.
Berdasarkan penelitian Randomized Controlled Trials (RCT) pada 570 pasien
yang mengalami status epileptikus yang dibagi berdasarkan empat kelompok (pada
tabel di bawah), dimana Lorazepam 0,1 mg/kg merupakan obat terbanyak yang
berhasil menghentikan kejang sebanyak 65 persen.

Nama obat
1. Lorazepam
2. Phenobarbitone
3. Diazepam + Fenitoin
4. Fenitoin

Dosis (mg/kg)

Persentase

0,1
15
0.15 + 18
18

65 %
59 %
56 %
44 %

10

Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan


Diazepam dan karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut
dalam lemak dan akan terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah
dosis awal, konsentrasi Diazepam plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi
maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar
10 %) dari Lorazepam adalah sama.
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan menggunakan
Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan
tidak lebih dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika
kejang berulang. Efek samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%).
Fenitoin parenteral berisi Propilen glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan
penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang besar diikuti dengan NaCl 0,9 %
untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove syndrome. Larutan
dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal
OBAT
Diazepam

CARA PEMBERIAN
IV bolus
Rektal
IV infus

DOSIS DEWASA
10-20 mg at 2-5 mg/min
10-30 mg
8 mg/jam

DOSIS ANAK
0,25-0,5 mg/kgBB
2-5 mg/kgBB
0,5-0,75 mg/jam

Lorazepam

IV bolus

4 mg

0,1 mg/kg

Midazolam

IM/Rektal
IV bolus
IV infus
Buccal

0,15-0,3 mg/kg

5-10 mg
0,1-0,3 mg/kg at<4
mg/jam
0,05-0,4mg/kg/jam
10 mg

IV bolus

Phenobarbital

10 mg/kgBB kecepatan
<100 mg/min
Phenytoin

IV bolus/infus

15-18mg/kg kecepatan
<50 mg/kg/min

10 mg
15-20 mg/kg kecepatan
<100 mg/min

20 mg/kg kecepatan
<25 mg/min

11

Manajemen emergensi
Manajemen emergensi merupakan suatu manajemen dasar untuk mengatasi
keadaan status epilepsi dengan urutan sebagai berikut:
1. Resusitasi
Prinsip resusitasi pada status epileptikus sama dengan emergensi
neurologis lainnya. Pada keadaan akut, Airway, Breathing, Circulation
(ABC) yang berkaitan dengan fungsi cardio respirasi dan sirkulasi perlu
segera di antisipasi.
2. Algoritma investigasi emergensi
Algoritma pemeriksaan dan penegakan diagnosis status epileptikus

12

STATUS EPILEPSI

ANAMNESA

Pasien Epilepsi
Tanpa obat
Dengan obat
Obat tidak memadai
Obat cukup:
Tiba-tiba henti obat
Gangguan cerna
Kurang tidur
Alcohol
Narkotik
Stress psikis erat

Bukan Pasien Epilepsi


Trauma
Tumor
Infeksi otak/meningen
Keracunan kehamilan
Demam tingi
Intoksikasi
Ganguan metabolik
Gangguan elektrolit
Tiak diketahui

PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Neurologis:
Kesadaran, saraf kranial, motorik, sensorik, otonom, fungsi luhur

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium; pengamblan 50 ml sampel darah: periksa Hb, leukosit, Diffcount, K,Na,Ca,Mg, Glukosa, Creatinin,Ureum, A
EEG (elektro ensefalo grafi)
Pungsi Lumbal, stelah pasien tenang dan tidak ada kontra indikasi LP, maka pemeriksaancaitan otak lengkap dapat dilak
CT-scan otak dapat dipertimbangkan pada kasus-kasus khusus (tumor/trauma otak, stroke hemoragic)
Lanjutkan dengan Algoritma terapi pada status epileptikus

13

3. Protokol penatalaksaan status epileptikus


(Menurut pedoman tatalaksana epilepsy PERDOSSI 2007 dan Scottish
intercollegiate Guidelines Network 2003)

Protokol penanganan SE konvulsivus

OBAT
MIDAZOLAM

DOSIS DEWASA
0,1-1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4 mg/menit
dilanjutkan dengan pemberian 0,05-0,4 mg/kgBB/jam
melalui infuse

THIOPENTHONE

100-250 mg bolus, diberikan dalam 20 detik kemudian


dilanjutkan denan bolus 50 mg setiap 2-3 menit samapai
bangkitan teratasi, kemudian dilanjutkan dengan

PENTOBARBITAL

pemberian dalam infus 3-5 mg/kgBB/jam


10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25 mg/menit,
kemudian 0,5-1 mg/kgBB ditingkatkan sampai 1-3

PROPOFOL

mg/kgBB/jam
2 mg/kgBB kemudian dtingkatkan menjadi 5-10

mg/kgBB/jam
Status epileptikus Refrakter

STADIUM
Stadium I (0-10 menit)

Stadium II (1-60 menit)

PENATALAKSANAAN
Memperbaiki fungsi kardio respirasi
Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen, resusitasi
Pemeriksaan status nerologik
Penukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
EKG (elektro kardio grafi)
Memasang infus paa pembuluh darah besar
Megambil darah 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
lab
Pemberian OAE emergensi:
Diazepam 10-20 g iv (keceatan pemberian 2-5
mg/menit atau rectal apat diulang 15 menit kemudian)
14

Stadium III (0-60/90


menit)

Memasukkan 50 cc glukosa 50% dengan atau tanpa


Thiamin 250 mg intravena

Menentukan etiologi
Bila kejang berlangsung terus selama 30 menit seteah
pemberian diazepam pertama, beri phenytoin iv 1518mg/kg dengan kecepatan 50 mg/menit
Memulai terapi dengan vasopresor bila diperlukan
Mengoreksi komplikasi

Stadium IV (30-90 menit)

Bila kejang tetapi tidak teratasi selama 30-60 menit,


transfer pasien k ICU, beri propofol (2mg/kgBB bolus
iv, diulang bila perlu) atau thiopentone (100-250 mg
bolus iv pemberian dalam 20 menit, dilanjutkan dengan
bolus 50 mg setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 1224 jam setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir, lalu dilakukan tapering off
Memantau bangkitan dan EEG, tekanan intracranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan

Pada umumnya sekitar 80% pasien dengan SE konvulsif dapat terkontrol


dengan pemberian benzodiazepine atau phenytoin. Bila bangkitan masih berlangsung
yang kita sebut sebgai status epileptikus refrakter, maka diperlukan penanganan di
ICU untuk dilakukan tindakan anastesi

Status epileptikus non konvulsif


Dapat ditemukan pada sepertiga kasus epileptikus, dapat dibagi menjadi SE
lena, SE parsial kompleks, SE non konvilsif pada pasien koma, dan SE pada
pasien dengan gangguan belajar
Pemilihan OAE untuk SE non konvulsif tercantum pada tabel dibawah ini
Tabel terapi status epileptikus non konvulsif
TIPE

SE Lena

TERAPI PILIHAN
Benzodiazepine IV/Oral

TERAPI LAIN
Valproate IV

15

SE Parsial Kompleks

SE Lena atipikal

Clobazam Oral

Lorazepam/phenyton/Phenobarbital IV

Valproate Oral

Benzodiazepin, lamotrigine, topiramate,


mthylphenidate, sterod oral
Methylhenidate, steroid

SE tonik

Lamotrigine oral

Anastesia
dengan
thiopentone,
phenobarbital, propofol atau midazolam

SE nonkonvulsivus pada Phentoin IV atau


pasien koma
Phenobarbtal

Kesimpulan
Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi
tanpa adanya normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan
memiliki spektrum luas dari gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan
dasar etiologi.
Status Epileptikus merupakan suatu kegawatdaruratan medis yang harus
ditangani segera dan secepat mungkin, karena melibatkan proses fisiologis pada
sistem homeostasis tubuh, kerusakan syaraf dan otak yang dapat mengakibatkan
kematian. Penanganannya tidak hanya menghentikan kejang yang sedang
berlangsung, tetapi juga harus mengidentifikasi penyakit dasar dari status tersebut.
Umur, jenis kejang, etiologi, jenis kelamin perempuan, durasi dari status epileptikus,
dan lamanya dari onset sampai penanganan merupakan faktor prognostik penting.

16

Dengan ditetapkannya atau lebih dipahaminya dasar dari patofisologi penyakit


ini dan adanya konsensus mengenai penatalaksanaan Status Epileptikus, maka
diharapkan prognosa pasien yang mengalami kasus ini dapat menjadi lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Brashers L.V. Aplikasi Klinis Patofisioligi Pemeriksaan dan Managemen.
Cetakan pertama. Jakarta: EGC; 2008.h.309-15.
2. Utama H. 2008. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. In: Farmakologi dan Terapi.
Ed: ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapuetik FKUI.
3. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Ed: 6. Jakarta. EGC.
4. Tjahjadi, dkk. 2007. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In: Kapita Selekta
Neurologi. Ed: 2. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
5. Korff CM., Nordii D.R. Diagnosis and management of nonconvulsive status

epilepticus in children. Nature Clinical Practice Neurology. 2007;3:505-516

17

You might also like