You are on page 1of 12

I.

Definisi dan Klasifikasi Hipertensi


Secara umum, batasan yang dipakai untuk menetapkan hipertensi adalah
tekanan darah sistolik mencapai > 140 mmHg dan/atau tekanan darah
diastolik > 90mmHg. Diagnosis ini secara klinis ditegakkan melalui
pengukuran tekanan darah
sebanyak dua kali atau lebih.
Antara tekanan darah normal
(tekanan sistolik <120 mmHg
dan
diastolik
<80mmHg)
ditetapkan
sebagai
prehipertensi. Pasien dengan
pre-hipertensi memiliki resiko
dua
kali
lipat
untuk
berkembang
menjadi
hipertensi.
Perlu
adanya
peningkatan
edukasi
pada
tenaga
kesehatan
dan
masyarakat
mengenai
modifikasi gaya hidup dalam
rangka
menurunkan
dan
mencegah
perkembangan
tekanan
darah
ke
arah
hipertensi.
Adapun pembagian derajat
keparahan
hipertensi pada
seseorang merupakan salah
satu
dasar
penentuan
tatalaksana hipertensi.

II.

Penyebab Hipertensi
Hipertensi esensial cenderung bersifat familial dan merupakan hasil
interaksi dari faktor genetik dan lingkungan.
Selain hipertensi esensial (primer), penyakit ini dapat pula disebabkan
oleh keadaan medis lainnya dan disebut sebagai hipertensi sekunder.
Berbagai penyebab sekunder dari hipertensi adalah penyakit ginjal,
hipertiroidisme, cushings syndrome, psikogenik, neurogenik, maupun
terkait obat-obatan seperti estrogen, dekongestan, dan lainnya.
Risiko relatif hipertensi tergantung pada jumlah dan keparahan dari faktor
risiko yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktorfaktor yang tidak dapat dimodifikasi antara lain faktor genetik, umur, jenis
kelamin, dan etnis. Sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi meliputi
stres, obesitas dan nutrisi.

III.

Evaluasi Pasien dengan Hipertensi


Pada pasien dengan hipertensi dilakukan evaluasi dengan tiga tujuan
utama yakni untuk menilai gaya hidup, faktor risiko kardiovaskular,
maupun penyakit/ gangguan konkomitan yang dapat mempengaruhi
prognosis dan berperan dalam penentuan tatalaksana; untuk menentukan
penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi; maupun untuk menilai ada
atau tidaknya kerusakan organ target dan penyakit kardiovaskuler.
Evaluasi ini dilakukan baik melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, uji
laboratorium, maupun prosedur diagnostik lainnya.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain adalah
urinalisis, glukosa darah, hematokrit, dan profil lipid, kadar kalium dan
kalsium, serta pemeriksaan fungsi ginjal. Pemeriksaan elektrokardiogram
pun dapat dilakukan.
Berbagai faktor risiko kardiovaskular yang dapat dievaluasi antara lain
berupa hipertensi, obesitas, dislipidemia, diabetes mellitus, merokok,
inaktivitas fisik, mikroalbuminuria, riwayat penyakit kardiovaskular dalam
keluarga.
Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi antara lain adalah penyakit
ginjal kronis, coarctatio aorta, cushing syndrome, terapi steroid kronis,
aldosteronisme primer, penyakit tiroid, ataupun terkait pemakaian obatobatan.
Evaluasi kerusakan organ target meliputi pemeriksaan jantung (hipertrofi
ventrikel kiri, angina pectoris/ riwayat infark miokard,
riwayat
revaskularisasi koroner, gagal jantung), otak (stroke atau transient
ischemic attack, dementia), penyakit vaskuler perifer, gagal ginjal kronis,
maupun retinopati.

IV.

Penataksanaan Hipertensi
Terdapat berbagai panduan yang dapat digunakan untuk acuan
penatalaksaan hipertensi. Disini, akan lebih dibahas mengenai prinsip
penatalaksaan hipertensi menurut JNC 7 dan pembaharuan melalui JNC 8,
serta prinsip penatalaksaan hipertensi dari PERKI dan AHA.
Penatalaksanaan dilakukan dengan intervensi non-farmakologik serta
obat-obatan. Penatalaksanaan medikamentosa dimulai pada tekanan
darah >140/90mmHg atau >150/90 mmHg pada pasien berusia 60 tahun
ke atas. Pada pasien dengan diabetes mellitus dan penyakit ginjal kronis,
obat-obatan antihipertensi dapat diberikan pada tekanan darah
>140/90mmHg tanpa memandang usia pasien. Target tekanan darah pada
penatalaksanaan hipertensi adalah <140/90 mmHg bagi pasien berusia di

bawah 60 tahun dan dapat dikatakan <150/90 mmHg bagi pasien berusia
60 tahun ke atas.
Melalui berbagai uji klinis, terapi antihipertensif dikaitkan dengan
penurunan kejadian stroke hingga 35-40%, kejadian infark miokard hingga
20-25%, gagal jantung hingga 50%.

A.

Tatalaksana Non Farmakologik


Penerapan gaya hidup sehat bagi setiap orang penting dilakukan
sebagai langkah pencegahan terhadap kejadian hipertensi. Gaya
hidup sehat juga tak kalah pentingnya dalam penatalaksaan
hipertensi. Penurunan berat badan sekitar 4.5kg saja berpotensi
menurunkan tekanan darah dan/atau mencegah hipertensi pada
sebagian besar pasien dengan berat badan lebih, meskipun
idealnya adalah tercapai dan dipertahankannya berat badan
normal. Penerapan pola makan yang sesuai juga berdampak positif
bagi tekanan darah. Secara garis besar pola makan ini meliputi diet
kaya buah-buahan dan sayuran, rendah lemak, kaya potassium dan
kalsium. Natrium dibatasi hingga tak lebih dari 2.4 gram per hari.
Melalui AHA, bahkan direkomendasikan asupa natrium harian tak
melebihi 1.5 gram per hari, terutama bagi mereka yang berusia 51
tahun ke atas, etnis kulit hitam, maupun menderita hipertensi,
diabetes mellitus, ataupun penyakit ginjal kronis.
Setiap orang yang mampu sebaiknya melaksanakan aktivitas fisik
aerobik secara teratur, misalnya dengan berupa berjalan kaki atau
bersepeda selama 30 menit per hari. Asupan alkohol harus dibatasi
hingga tak lebih dari 30 ml ethanol per hari, kira-kira setara dengan
12oz. (sekitar 1 kaleng) bir atau 5oz. (sekitar 150ml) untuk wine per
harinya.
Bagi penurunan risiko kardiovaskular, kebiasaan merokok juga
sangat dianjurkan untuk dihentikan.

Menurut guideline hipertensi dari PERKI, pada pasien yang


menderita hipertensi derajat 1, tanpa faktor risiko kardiovaskular
lain, maka strategi pola hidup sehat merupakan tatalaksana tahap
awal, yang harus dijalani setidaknya selama 4 6 bulan. Bila
setelah jangka waktu tersebut, tidak didapatkan penurunan tekanan
darah yang diharapkan atau didapatkan faktor risiko kardiovaskular
yang lain, maka sangat dianjurkan untuk memulai terapi
farmakologi.

B.

Tatalaksana Farmakologik
Secara umum, pada populasi non kulit hitam termasuk pada
mereka yang menderita diabetes terapi antihipertensi awal harus
meliputi diuretik tipe thiazide, calcium channel blocker, angiotensin
converting enzume (ACE) inhibitor, atau angiotensin recepor blocker
(ARB). Pada populasi ras kulit hitam pada umumnya termasuk pada
penderita diabetes, diberikan terapi awal berupa diuretik tipe
thiazide atau calcium channel blocker.
Apabila target tekanan darah tidak tercapai dengan obat-obat yang
diberikan setelah satu bulan pengobatan, maka dosis medikasi awal
apat ditingkatkan atau obat tipe kedua dapat turut diberikan
(jangan diberikan kombinasi ARB dan ACE inhibitor). Tekanan darah
harus dimonitor dan penyesuaian pengobatan dan dosis dapat
dilakukan hingga tekanan darah target tercapai. Apabila diperlukan
dapat diberikan kombinasi tiga golongan obat.
Apabila target tetap tidak tercapai dengan obat-obatan dari
golongan yang disebutkan di atas maka obat dari golongan lain
misanya penyekat beta dapat diberikan. Lebih lanjut, dapat
dilakukan rujukan kepada pihak yang memiliki ekspertise dalam
menatalaksana hipertensi.
Dewasa dengan penyakit ginjal kronis dan hipertensi selayaknya
mendapat terapi ACE inhibitor atau ARB sebagai terapi awal atau
tambahan berhubung kedua obat ini terbukti dapat berdampak baik
bagi ginjal.

Algorithma Penatalaksanaan Hipertensi JNC 8


Dewasa 18 tahun + Hipertensi
Pengaturan Lifestyle
(terus berlangsung sepanjang terapi)

Mengatur tekanan darah sesuai target dan memulai terapi obat sesuai dengan usia, diabtes, CKD
Populasi Umum
tanpa CKD & DM

Umur 60 tahun

Umur < 60 tahun

Target TD
SBP < 150 mmHg
DBP < 90 mmHg

Target TD
SBP < 140 mmHg
DBP < 90 mmHg
Non Kulit Hitam

Populasi CKD & DM

Semua umur + DM tanpaSemua umur +


CKD dengan/tanpa DM
CKD

Target TD
SBP < 140 mmHg
DBP < 90 mmHg
Kulit Hitam

Target TD
SBP < 140 mmHg
DBP < 90 mmHg
Semua Kasus

ACEI atau ARB,


thiazide-type
diuretic
atau CCB, sendiri atau kombinasi
azide-type diuretic atau ACEI atau ARB Inisiasi
atau CCB,
sendiri atau
kombinasi
sendiri atau kombinasi dengan obat golong

Pilih strategi terapi titrasi obat


Dosis maksimum obat pertama sebelum tambahkan obat kedua
Tambahakan obat kedua sebelum mengunakan obat pertama pa
Mulai dengan 2 kelas obat terpisah atau mengunakan kombina

Apakah tujuan TD tercapai ?


Tidak

Memperkuat terapi dan mengatur agar pola lifestyle tetap sesuai


Untuk strategi A dan B tambahakan dan titrasi thiazide-type diuretic atau ACEI atau ARB atau CCB (gunakan terapi ke
Untuk strategi C, dosis dititrasi dan inisiasi medikasi sampai maksimum

Tidak

Apakah tujuan TD tercapai ?


Tidak

Memperkuat terapi dan mengatur agar pola lifestyle tetap sesuai


Tambahkan obat dan titrasi thiazide-type diuretic atau ACEI atau ARB atau CCB (gunakan terapi kelas obat yang tidak

Apakah tujuan TD tercapai ?


Tidak

Memperkuat terapi dan mengatur agar pola lifestyle tetap sesuai


Tambahkan obat golongan lain ( -blocker, aldosterone antagonist atau yang lainnya) dan rujuk pasi

Tidak

C.

Apakah tujuan TD tercapai ?

Manajemen Hipertensi pada Situasi Khusus


1.

Penyakit jantung iskemik


Pasien hipertensi memiliki risiko lebih terhadap kejadian
infark miokard atau kejadian koroner lainnya dan memiliki
risiko yang lebih tinggi akan kejadian kematian mengikuti
infark miokard akut. Kebutuhan oksigen bagi otot jantung
pada pasien hipertensi kebanyakan meningkat karena
peningkatan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan dan
kemungkinan adanya hipertrofi ventrikel kiri. Asupan oksigen
terhadap otot jantung pada pasien hipertensi mungkin
terbatas karena adanya penyakit arteri koroner. Penurunan
SBP dan DBP efektif menurunkan kejadian penyakti jantung
iskemik.
Pada angina stabil, terapi ditujukan pada pencegahan infark
miokard dan kematian. Terapi farmakologis sebaiknya segera
dimulai kecuali terdapat kontraindikasi. Penyekat Beta (BB)
mampu menurunkan tekanan darah, meringankan gejala
angina, menurunkan cardiac output, dan laju jantung, serta
memperbaiki mortalitas. Penurunan inotropik dan laju
jantung menurunkan kebutuhan oksigen otot miokard.
Olahraga, berhenti merokok, tatalaksana diabetes dan
dislipidemia, penurunan berat badan pada pasien dengan
berat badan lebih juga sebaiknya dilakukan.
Apabila angina dan tekanan darah tidak dapt terkontrol
dengan terapi penyekat beta saja atau apabila terdapat
kontraindikasi terhadap obat tersebut (misalnya penyakit
saluran napas restriktif, AV blok signifikan) maka Calcium
channel blocker tipe dihidropiridin atau non dihidropiridin

kerja panjang dapat digunakan. Obat ini menurunkan resisten


perifer total dan penurunan resistensi koroner. CCB tipe
nondihidropiridin juga dapat menurunkan laju jantung akan
tetapi apabila digunakan besama penyekat beta dapat
menyebabkan bradikardia parah ataupun AV blcok tingkat
tinggi. Oleh sebabnya penggunaan CCB tipe dihidropiriin
jangka panjang lebih diutamakan bagi kombinasi terapi
dengan penyekat beta. CCB dihidropiridin jangka pendek
tidak digunakan karena dapat meningkatkan motralitas
terutama pada keadaan infark miokard akut. Apabila masih
tidak terkontrol, maka dapat diberikan pula tambahan nitrat.
2.

Gagal jantung
Berbagai sistem neurohormonal seperti renin-angiotensinaldosterone and sistem simpatik diaktivasi sebagai respons
terhadap disfungsi ventrikel kanan. Akan tetapi hal ini dapat
berdampak bagi remodelling ventrikel yang abnormal,
pembesaran lanjut dari ventrikel kiri dan penurunan
kontraktilitas jantung. Hal ini kemudian mendorong dis,
fungsi LV secara lebih lanjut. Penggunaan ACEi, BB, dan
diuretik dapat menurunkan kejadian ini. Hipertensi
meningkatkan kejadian gagal jantung hingga 2-3 kali lipat.
Pada gagal jantung grade A menurut AHA (NYHA I), ACE
inhibitor ataupun diuretik tipe thiazide dapat menjadi pilihan
terapi hipertensi. Pada gagal jantung grade B (NYHA I) dan
C(NYHA II-III), ACE inhibitor dan penyekat beta lebih
direkomendasikan. Sedangkan pada gagal jantung grade D
(NYHA IV) penatalaksanaan dapat meliputi obat inotropik,
pacemaker, dan lainnya. ACE inhibitor maupun ARB dapat
diberikan pada gagal jantung derajat apapun. Untuk
mengkontrol retensi cairan dapat diberikan loop diuretics.

3.

Diabetes Mellitus
Menurut JNC 8, batas ambang terapi farmakologik dan target
tekanan darah pada pasien dengan diabetes mellitus adalah
sama pada pasien pada umumnya. Kontrol tekanan darah
penting untuk menurunkan progresi nefropati diabetik.
Tatalaksana hipertensi dapat dilakukan dengan pemberian
diuretik tipe thiazide, ACEi/ ARB, dan CCB cukup baik pada
diabetik baik sebagai terapi tunggal atau kombinasi.
Pemberian ACE inhibitor dan ARB pada diabetes tipe 2
dengan penyakit ginjal kronis juga direkomendasikan guna
menghambat laju deteriorasi GFR dan albuminuria.
Penyekat beta dapat bermanfaat sebagai bagian dari terapi
kombinasi. Meski penyekat beta dapat menyebabkan dampak
buruk bagi homeostasis gula pada pasien diabetik, termasuk

memperburuk sensitivitas insulin hal ini biasanya dapat


ditanggulangi dan buka merupakan kontraindikasi absolut
penggunaan penyekat beta.
4.

Gagal ginjal kronis


Sama seperti pada komorbiditas diabetes mellitus, melalui
pembaruan JNC 8 ditetapkan bahwa batas ambang terapi
farmakologik dan target tekanan darah pada pasien dengan
gagal ginjal kronis adalah sama pada pasien pada umumnya.
Tatalaksana farmakologis untuk hipertensi yang dianjurkan
adalah ACE inhibitor ataupun ARB, baik sebagai monoterapi
ataupun gabungan dengan obat golongan lain.

5.

Penyakit serebrovaskular

6.

Hipertensi urgensi dan emergensi

You might also like