You are on page 1of 44

ASUHAN KEPERAWATAN COLOSTOMY

Pengertian Colostomi
Colostomi adalah suatu operasi untuk membentuk suatu hubungan buatan antara colon dengan permukaan kulit
pada dinding perut. Hubungan ini dapat bersifat sementara atau menetap selamanya. (llmu Bedah, Thiodorer
Schrock, MD, 1983).
Colostomi dapat berupa secostomy, colostomy transversum, colostomy sigmoid, sedangkan colon accendens dan
descendens sangat jarang dipergunakan untuk membuat colostomy karena kedua bagian tersebut terfixir
retroperitoneal.
Colostomy pada bayi dan anak hampir selalu merupakan tindakan gawat darurat, sedang pada orang dewasa
merupakan keadaan yang pathologis. Colostomy pada bayi dan anak biasanya bersifat sementara.
Indikasi Colostomy
Indikasi colostomy yang permanen
Pada penyakit usus yang ganas seperti carsinoma pada usus. Kondisi infeksi tertentu pada colon.
Komplikasi Colostomy
Prolaps merupakan penonjolan mukosa colon 6 cm atau lebih dari permukaan kulit.
Prolaps dapat dibagi 3 tingkatan:Penonjolan seluruh dinding colon termasuk peritonium kadang-kadang sampat loop
ilium
Adanya strangulasi dan nekrosis pada usus yang mengalami penonjolan
Prolaps dapat terjadi oleh adanya faktor-faktor Peristaltik usus meningkat, fixasi usus tidak sempurna, mesocolon
yang panjang, tekanan intra abdominal tinggi, dinding abdomen tipis dan tonusnya yang lemah serta kemungkinan
omentum yang pendek dan tipis.
lritasi Kulit
Hal ini terutama pada colostomy sebelah kanan karena feces yang keluar mengandung enzim pencernaan yang
bersifat iritatif. Juga terjadi karena cara membersihkan kulit yang kasar, salah memasang kantong dan tidak tahan
akan plaster.
Diare
Makin ke proksimal colostominya makin encer feces yang keluar. Pada sigmoid biasanya normal.
Stenosis Stoma
Kontraktur lumen terjadi penyempitan dari celahnya yang akan mengganggu pasase normal feses.
Hernia Paracolostomy

Pendarahan Stoma
Eviserasi
Dinding stoma terlepas dari dinding abdomen sehingga organ intra abdomen keluar melalui celah
lnfeksi luka operasi
Retraksi : karena fixasi yang kurang sempurna
Sepsis dan kematian
Untuk mencegah komplikasi, diperlukan colostomi dengan teknik benar serta perawatan pasca bedah yang baik,
selain itu pre-operatif yang memadai.
HAL-HAL YANG PERLU DIKAJI PADA PASIEN KOLOSTOMI

>Keadaan stoma :
Warna stoma (normal warna kemerahan)
Tanda2 perdarahan (perdarahan luka operasi)
Tanda-tanda peradangan (tumor, rubor, color, dolor, fungsi laese)
Posisi stoma
Apakah ada perubahan eliminasi tinja :
Konsistensi, bau, warna feces
Apakah ada konstipasi / diare
Apakah feces tertampung dengan baik
Apakah pasien dapat mengurus feces sendiri
Apakah ada gangguan rasa nyeri :
Keluhan nyeri ada/tidak
Hal-hal yang menyebabkan nyeri
Kualitas nyeri
Kapan nyeri timbul (terus menerus / berulang)
Apakah pasien gelisah atau tidak
Apakah kebutuhan istirahat dan tidur terpenuhi

Tidur nyenyak/tidak
Apakah stoma mengganggu tidur/tidak
Adakah faktor lingkungan mempersulit tidur
Adakah faktor psikologis mempersulit tidur
Bagaimana konsep diri pasien Bagaimana persepsi pasien terhadap: identitas diri,harga diri,ideal diri,gambaran diri
& peran
Apakah ada gangguan nutrisi :
Bagaimana nafsu makan klien
BB normal atau tidak
Bagaimana kebiasaan makan pasien
Makanan yang menyebabkan diarhe
Makanan yang menyebabkan konstipasi
Apakah pasien seorang yang terbuka ?
Maukah pasien mengungkapkan masalahnya
Dapatkah pasien beradaptasi dgn lingkungan
setelah tahu bag tubuhnya diangkat
Kaji kebutuhan klien akan kebutuhan seksual :
Tanyakan masalah kebutuhan seksual klien
Isteri/Suami memahami keadaan klien
Prioritas Perawatan Ditujukan Kepada:
Pengkajian mengenai penyesuaian psikologis
Pencegahan terhadap komplikasi
Pemberian dukungan untuk rnerawat diri sendiri
Menyediakan informasi
Kriteria Keberhasilan
Adanya perasaan penyesuaian yang aktual

Komplikasi dapat dicegah


Klien memenuhi kebutuhan sendiri
Adanya dukungan pelaksanaan pengobatan, mengetahui potensial terjadinya komplikasi
Dx. Keperawatan yg mungkin pada Colostomy
Potensial terjadinya gangguan eliminasi tinja (konstipasi atau diare) s.d kemungkinan diet yang tidak balans yang
ditandai, dengan .
Gangguan rasa nyaman nyeri s.d gangguan mekans kulit akibat tindakan operasi, ditandai dengan .
Gangguan rasa nyaman s.d BAB yang tidak terkontrol, yang ditandai dengan .
Gangguan istirahat dan tidur s.d adanya rasa takut pada keadaan stoma, ditandai dengan .
Potensial gangguan nutrisi sehubungan dengan ketidaktahuan terhadap kebutuhan makanan
Gangguan konsep diri (gambaran diri, peran) s.d belum dapat beradaptasi dengan stoma dan perubahan anatomis,
yang ditandai dengan .
Potensial ggn integritas kulit s.d terkontaminasinya kulit dengan feces, ditandai dengan .
Disfungsi seksualitas s.d perubahan struktur tubuh, yang ditandai dengan .
Potensial terjadinya infeksi s.d adanya kontaminasi luka dengan feces, yang ditandai dengan .
Cemas s.d takut terisolasi dari orang lain .
Keterbatasan aktifitas s.d klien merasa takut untuk melakukan aktifitas karena stoma.
Tujuan dan Intervensi
Agar pasien dapat BAB dengan teratur :
Hindari makan makanan berefek laksatif
Hindari makan makanan yang menyebabkan konstipasi (makanan yang keras)
Kolaborasi dengan ahli gizi masalah menu makanan
Kontrol makanan yang dibawa dari rumah
Berikan minum yang cukup (2-3 1t/hari)
Pola makan yang teratur (3 kali sehari)
Agar rasa nyeri dapat berkurang :

Catat pemberian medikasi pada saat intra operatif


Evaluasi rasa nyeri dan karakteristiknya
Beri pengertian pada klien agar rasa nyeri diterima sebagai suatu yang wajar dlm batas tertentu
Berikan analgetik sebagai tindakan kolaborasi
Agar klien dapat tidur/istirahat yang cukup :
Jelaskan, stoma tidak akan terbuka pada saat tidur
Amati faktor lingkungan yang mempersulit tidur
Amati faktor psikologis yang mempersulit tidur
Agar kebutuhan nutrisi terpenuhi :
Bekerja sama dengan ahli gizi untuk menu makanan
Berikan gizi yang adekuat sesuai dengan kebutuhan
Berikan motivasi agar tidak merasa takut menghabiskan makanannya
Agar tidak terjadi gangguan konsep diri :
Berikan dorongan semangat yang membesarkan hati
Hindari sikap asing pada keadaan penyakit pasien
Arahkan agar klien mampu merawat diri sendiri
Beri penjelasan agar klien dapat menerima keadaan dan beradaptasi terhadap stomanya
Hindarkan perilaku yang membuat pasien tersinggung (marah, jijik, dll)
Agar kebutuhan seksualitas dapat terpenuhi :
Beri penjelasan bahwa klien boleh melakukan hubungan seksual dengan wajar
Agar tidak terjadi gangguan integritas kulit :
Lakukan teknik perawatan baik (bersih)
Lindungi kulit dengan pelindung kulit (vaselin / skin barier) disekitar stoma
Letakan alas (kasa) yang dapat menyerap aliran feces
Untuk menghindari infeksi sekunder :

Lakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada stoma


Ajarkan klien tentang personal hygiene dan perawatan stoma
Untuk menghindari rasa cemas :
Berikan keyakinan bahwa klten mampu beradaptasi dengan lingkungan (masyarakat)
Agar klien tidak takut melakukan aktifitas
Berikan penjelasan masalah aktifitas yang tidak boleh dilakukan (olah raga sepak bola, lari)
Bila akan melakukan aktifitas kantong stoma diberi penyangga (ikat pinggang)
Evaluasi
Kebersihan stoma dan sekitarnya terjaga dengan baik :
Tidak ada tanda-tanda infeksi
Tidak tampak tanda-tanda gangguan integritas kulit
Stoma tidak mengalami penurunan
Klien dapat BAB dengan teratur dan lancar :
Frekuensi BAB teratur (1-2 kali sehari)
Pola BAB teratur
Tidak ada diare/konstipasi
Kebutuhan istirahat dan tidur terpenuhi :

>KIien dapat tidur tenang (6-8 jam sehari)


Tidak ada faktor lingkungan dan psikologis yang mempersulit tidur
Klien kelihatan segar (tidak mengantuk)
Rasa nyeri dapat diantisipasi oleh klien sendiri
a.Tidak ada keluhan rasa nyeri
b. Wajah tampak ceria
5. Nutrisi dapat terpenuhi
Klien mau menghabiskan makanan yang diberikan

Tidak ada penyulit makan


BB seimbang
Tidak terjadi gangguan integritas kulit :
Tidak tampak tanda-tanda gangguan integritas kulit
(lecet)
Kebutuhan seksual terpenuhi
a. Isteri/Suami mau mengerti keadaan klien
b. Klien memahami dengan cara yang disarankan dalam melakukan hubungan seksual
8.lnfeksi tidak terjadi
Tidak ada tanda-tanda infeksi (rnerah, nyeri,
bengkak, panas)
9.Klien tidak cemas :
Klien terlihat tenang dan memahami keadaanya
10. Aktifitas klien tidak terganggu
Klien dapat melakukan aktifitas yang dianjurkan
PERAWATAN KOLOSTOMI (MENGGANTI KANTONG KOLOSTOMI)
Persiapan alat:
Sarung tangan
Handuk mandi
Air hangat
Sabun mandi
Tissue

>Kantong colostomy
Bengkok/plastik keresek untuk tempat sampah
Kassa

Vaselin
Spidol
Plastik untuk guide size (mengukur stoma)
Gunting
Pelaksanaan
Dekatkan alat-alat ke klien
Pasang selimut mandi
Dekatkan bengkok ke dekat klien
Pasang sarung tangan
Buka kantung lama
Bersihkan stoma dan kulit sekitar stoma dengan sabun atau air hangat
Keringkan kulit sekitar stoma dengan tissue atau kassa
Lindungi stoma dengan tissue atau kassa agar feces yang keluar lagi tidak mengotori kulit yang sudah dibersihkan
Ukur stoma dengan guide size untuk memilih kantung stoma yang sesuai
Pasang kantong stoma
Pastikan kantong stoma merekat dengan baik dan tidak bocor
Buka sarung tangan
Bereskan alat-alat
Cuci tangan

WATER SEAL DRAINAGE (WSD)


Pengertian
WSD merupakan tindakan invasive yang dilakukan untuk mengeluarkan udara, cairan (darah,pus) dari rongga
pleura, rongga thorax; dan mediastinum dengan menggunakan pipa penghubung.
Indikasi
a. Pneumothoraks :
Spontan > 20% oleh karena rupture bleb
Luka tusuk tembus
Klem dada yang terlalu lama
Kerusakan selang dada pada sistem drainase
b. Hemothoraks :
Robekan pleura
Kelebihan antikoagulan
Pasca bedah thoraks
c. Thorakotomy :
Lobektomy
Pneumoktomy
d. Efusi pleura : Post operasi jantung
e. Emfiema :
Penyakit paru serius
Kondisi inflamsi
Tujuan
Mengeluarkan cairan atau darah, udara dari rongga pleura dan rongga thorak
Mengembalikan tekanan negative pada rongga pleura
Mengembangkan kembali paru yang kolaps

Mencegah refluks drainage kembali ke dalam rongga dada


Tempat Pemasangan WSD
a. Bagian apex paru (apical)
anterolateral interkosta ke 1-2
fungsi : untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura
b. Bagian basal
postero lateral interkosta ke 8-9
fungsi : untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga pleura
Jenis-jenis WSD
a. WSD dengan sistem satu botol
Sistem yang paling sederhana dan sering digunakan pada pasien simple pneumothoraks
Terdiri dari botol dengan penutup segel yang mempunyai 2 lubang selang yaitu 1 untuk ventilasi dan 1
lagi masuk ke dalam botol
Air steril dimasukan ke dalam botol sampai ujung selang terendam 2cm untuk mencegah masuknya udara
ke dalam tabung yang menyebabkan kolaps paru
Selang untuk ventilasi dalam botol dibiarkan terbuka untuk memfasilitasi udara dari rongga pleura keluar
Drainage tergantung dari mekanisme pernafasan dan gravitasi
Undulasi pada selang cairan mengikuti irama pernafasan :
Inspirasi akan meningkat
Ekpirasi menurun
b. WSD dengan sistem 2 botol
Digunakan 2 botol ; 1 botol mengumpulkan cairan drainage dan botol ke-2 botol water seal
Botol 1 dihubungkan dengan selang drainage yang awalnya kosong dan hampa udara, selang pendek pada
botol 1 dihubungkan dengan selang di botol 2 yang berisi water seal
Cairan drainase dari rongga pleura masuk ke botol 1 dan udara dari rongga pleura masuk ke water seal
botol 2
Prinsip kerjasama dengan sistem 1 botol yaitu udara dan cairan mengalir dari rongga pleura ke botol
WSD dan udara dipompakan keluar melalui selang masuk ke WSD

Bisasanya digunakan untuk mengatasi hemothoraks, hemopneumothoraks, efusi peural


c. WSD dengan sistem 3 botol
Sama dengan sistem 2 botol, ditambah 1 botol untuk mengontrol jumlah hisapan yang digunakan
Paling aman untuk mengatur jumlah hisapan
Yang terpenting adalah kedalaman selang di bawah air pada botol ke-3. Jumlah hisapan tergantung pada
kedalaman ujung selang yang tertanam dalam air botol WSD
Drainage tergantung gravitasi dan jumlah hisapan yang ditambahkan
Botol ke-3 mempunyai 3 selang :
Tube pendek diatas batas air dihubungkan dengan tube pada botol ke dua
Tube pendek lain dihubungkan dengan suction
Tube di tengah yang panjang sampai di batas permukaan air dan terbuka ke atmosfer
Komplikasi Pemasangan WSD
a. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia
b. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema
Prosedur pemasangan WSD
a. Pengkajian
Memeriksa kembali instruksi dokter
Mencek inform consent
Mengkaji status pasien; TTV, status pernafasan
b. Persiapan pasien
Siapkan pasien
Memberi penjelasan kepada pasien mencakup :
Tujuan tindakan
Posisi tubuh saat tindakan dan selama terpasang WSD. Posisi klien dapat duduk atau berbaring
Upaya-upaya untuk mengurangi rangsangan nyeri seperti nafas dalam, distraksi
Latihan rentang sendi (ROM) pada sendi bahu sisi yang terkena

c. Persiapan alat
Sistem drainage tertutup
Motor suction
Slang penghubung steril
Botol berwarna putih/bening dengan kapasitas 2 liter, gas, pisau jaringan/silet, trokart, cairan antiseptic, benang catgut
dan jarumnya, duk bolong, sarung tangan , spuit 10cc dan 50cc, kassa, NACl 0,9%, konektor, set balutan, obat
anestesi (lidokain, xylokain), masker
d. Pelaksanaan
Prosedur ini dilakukan oleh dokter. Perawat membantu agar prosedur dapat dilaksanakan dengan baik , dan perawat
member dukungan moril pada pasien
e. Tindakan setelah prosedur
Perhatikan undulasi pada sleng WSD
Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :
Motor suction tidak berjalan
Slang tersumbat
Slang terlipat
Paru-paru telah mengembang
Oleh karena itu, yakinkan apa yang menjadi penyebab, segera periksa kondisi sistem drainage, amati tanda-tanda
kesulitan bernafas
Cek ruang control suction untuk mengetahui jumlah cairan yang keluar
Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah ditetapkan serta pastikan ujung pipa
berada 2cm di bawah air
Catat jumlah cairan yg keluar dari botol WSD tiap jam untuk mengetahui jumlah cairan yg keluar
Observasi pernafasan, nadi setiap 15 menit pada 1 jam pertama
Perhatikan balutan pada insisi, apakah ada perdarahan
Anjurkan pasien memilih posisi yg nyaman dengan memperhatikan jangan sampai slang terlipat
Anjurkan pasien untuk memegang slang apabila akan merubah posisi

Beri tanda pada batas cairan setiap hari, catat tanggal dan waktu
Ganti botol WSD setiap 3 hari dan bila sudah penuh. Catat jumlah cairan yang dibuang
Lakukan pemijatan pada slang untuk melancarkan aliran
Observasi dengan ketat tanda-tanda kesulitan bernafas, sianosis, emphysema subkutan
Anjurkan pasien untuk menarik nafas dalam dan bimbing cara batuk efektif
Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh
Yakinkan bahwa selang tidak kaku dan menggantung di atas WSD
Latih dan anjurkan klien untuk secara rutin 2-3 kali sehari melakukan latihan gerak pada persendian bahu daerah
pemasangan WSD
Perawatan pada klien yang menggunakan WSD
a. Kaji adanya distress pernafasan & nyeri dada, bunyi nafas di daerah paru yg terkena & TTV stabil
b. Observasi adanya distress pernafasan
c. Observasi :
Pembalut selang dada
Observasi selang untuk melihat adanya lekukan, lekukan yang menggantung, bekuan darah
Sistem drainage dada
Segel air untuk melihat fluktuasi inspirasi dan ekspirasi klien
Gelembung udara di botol air bersegel atau ruang
Tipe & jumlah drainase cairan. Catat warna & jumlah drainase, TTV & warna kulit
Gelembung udara dalam ruang pengontrol penghisapan ketika penghisap digunakan
d. Posisikan klien :
Semi fowler sampai fowler tinggi untuk mengeluarkan udara (pneumothorak)
Posisi fowler untuk mengeluarkan cairan (hemothorak)
e. Pertahankan hubungan selang antara dada dan selang drainase utuh dan menyatu
f. Gulung selang yang berlebih pada matras di sebelah klien. Rekatkan dengan plester

g. Sesuaikan selang supaya menggantung pada garis lurus dari puncak matras sampai ruang drainase. Jika selang dada
mengeluarkan cairan, tetapkan waktu bahwa drainase dimulai pada plester perekat botol drainase pada saat persiaan
botol atau permukaan tertulis sistem komersial yang sekali pakai
h. Urut selang jika ada obstruksi
i. Cuci tangan
j. Catat kepatenan selang, drainase, fluktuasi, TTV klien, kenyamanan klien
Cara mengganti botol WSD
a. Siapkan set yang baru
Botol berisi cairan aquadest ditambah desinfektan
b. Selang WSD di klem dulu
c. Ganti botol WSD dan lepas kembali klem
d. Amati undulasi dalam slang WSD
Pencabutan selang WSD
Indikasi pengangkatan WSD adalah bila :
a. Paru-paru sudah reekspansi yang ditandai dengan :
Tidak ada undulasi
Cairan yang keluar tidak ada
Tidak ada gelembung udara yang keluar
Kesulitan bernafas tidak ada
Dari rontgen foto tidak ada cairan atau udara
Dari pemeriksaan tidak ada cairan atau udara
b. Slang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan pada slang

WSD

1. Definisi NGT

NGT adalah kependekan dari Nasogastric tube. alat ini adalah alat yang digunakan untuk
memasukkan nutsrisi cair dengan selang plasitic yang dipasang melalui hidung sampai lambung.
Ukuran NGT diantaranya di bagi menjadi 3 kategori yaitu:
1. Dewasa ukurannya 16-18 Fr
2. Anak-anak ukurannya 12-14 Fr
3. Bayi ukuran 6 Fr

1. Indikasi pemasangan NGT


indikasi pasien yang di pasang NGT adalah diantaranya sebagai berikut:
1. Pasien tidak sadar
2. pasien Karena kesulitan menelan
3. pasien yang keracunan
4. pasien yang muntah darah
5. Pasien Pra atau Post operasi esophagus atau mulut

1. Tujuan Pemasangan NGT


Tujuan pemasangan NGT adalah sebagai berikut:
1. Memberikan nutrisi pada pasien yang tidak sadar dan pasien yang mengalami kesulitan
menelan
2. Mencegah terjadinya atropi esophagus/lambung pada pasien tidak sadar
3. Untuk melakukan kumbang lambung pada pasien keracunan
4. Untuk mengeluarkan darah pada pasien yang mengalami muntah darah atau pendarahan
pada lambung

1. Kontraindikasi pemasangan NGT


1. Pada pasien yang memliki tumor di rongga hidung atau esophagus
2. Pasien yang mengalami cidera serebrospinal

1. Peralatan yang dipersiapkan diantaranya adalah;


1. Selang NGT ukuran dewasa, anak anak dan juga bayi. Melihat kondisi pasiennya
2. Handscun bersih
3. Handuk
4. Perlak
5. Bengkok
6. Jelli atau lubricant
7. Spuit 10 cc
8. Stetoskop
9. Tongue spatel
10. Plaster
11. Pen light
12. Gunting

1. Langkah Pemasangan NGT


Langkah langkah dalam pemasangan NGT diantaranya dengan:
1. Siapkan peralatan di butuhkan seperti yang telah disebutkan diatas termasuk plester 3
untuk tanda, fiksasi di hidung dan leherdan juga ukuran selang NGT

2. Setelah peralatan siap minta izin pada pasien untuk memasang NGT dan jelaskan pada
pasien atau keluarganya tujuan pemasangan NGT
3. Setelah minta izin bawa peralatan di sebelah kanan pasien. Secara etika perawat saat
memasang NGT berda di sebelah kanan pasien
4. Pakai handscun kemudian posisikan pasien dengan kepala hiper ekstensi
5. Pasang handuk didada pasien untuk menjaga kebersihan kalau pasien muntah
6. Letakkan bengkok di dekat pasien
7. Ukur selang NGT mulai dari hidung ke telinga bagian bawah, kemudian dari telinga tadi
ke prosesus xipoidius setelah selesai tandai selang dengan plaster untuk batas selang yang
akan dimasukkan
8. Masukkan selang dengan pelan2, jika sudah sampai epiglottis suruh pasien untuk
menelan dan posisikan kepala pasien fleksi, setelah sampai batas plester cek apakah
selang sudah benar2 masuk dengan pen light jika ternyata masih di mulut tarik kembali
selang dan pasang lagi
9. Jika sudah masuk cek lagi apakah selang benar2 masuk lambung atau trakea dengan
memasukkan angin sekitar 5-10 cc dengan spuit. Kemudian dengarkan dengan stetoskop,
bila ada suara angin berarti sudah benar masuk lambung. Kemuadian aspirasi kembali
udara yang di masukkan tadi
10. Jika sudah sampai lambung akan ada cairan lambung yang teraspirasi
11. Kemudian fiksasi dengan plester pada hidung, setelah fiksasi lagi di leher. Jangan lupa
mengklem ujung selang supaya udara tidak masuk
12. Setelah selesai rapikan peralatan dan permisi pada pasien atau keluarga.
13. Selang NGT maksimal dipasang 3 x 24 jam jika sudah mencapai waktu harus dilepas dan
di pasang NGT yang baru.
14. Langkah langkah pemberian makanan cair lewat NGT
Makanan yang bisa di masukkan lewat NGT adalah makanan cair, caranya adalah sebagai
berikut:
1. Siapakan spuit besar ukuran 50 cc
2. Siapakan makanan cairnnya ( susu, jus)
3. Pasang handuk di dada pasien dan siapkan bengkok

4. Masukkan ujung spuit pada selang NGT dan tetap jaga NGT supata tidak kemasukan
udara dengan mengklem.
5. Masukkan makanan cair pada spuit dan lepaskan klem, posisi spuit harus diatas supaya
makanan cairnya bisa mengalir masuk ke lambung.
6. Jangan mendorong makanan dengan spuit karena bisa menambah tekanan lambung,
biarkan makanan mengalir mengikuti gaya gravitasi
7. Makanan yang di masukkan max 200 cc, jadi jika spuitnya 50 cc maka bisa dilakukan 4
kali .
8. Apabila akan memasukkan makanan untuk yang kedua, jangan lupa mencuci dulu spuit.
Jika sudah selesai aliri selang NGT dengan air supaya sisa-sisa makanan tidak
mengendap di selang karena bisa mengundang bakteri.
9. Jika sudah rapikan peralata

9.3.1 Luka Bakar


Luka bakar dan luka akibat benda panas berkaitan dengan risiko tinggi kematian pada anak. Yang
bertahan hidup, akan menderita cacat dan trauma psikis sebagai akibat rasa sakit dan perawatan
yang lama di rumah sakit.
Penilaian
Luka bakar dapat terjadi pada sebagian lapisan kulit atau lebih dalam. Luka bakar yang dalam
(full-thickness) berarti seluruh ketebalan kulit pasien mengalami kerusakan dan tidak akan terjadi
regenerasi kulit.
Tanyakan dua hal berikut:

Sedalam apakah luka bakar tersebut?


o Luka bakar dalam, berwarna hitam/putih dan biasanya kering, tidak terasa dan
tidak memucat bila ditekan.
o Luka-bakar-sebagian, berwarna merah muda atau merah, melepuh atau berair dan
nyeri.

Seberapa luas tubuh pasien yang terbakar?


o Gunakan bagan luas permukaan tubuh berdasarkan umur berikut ini.
o Sebagai pilihan lain, gunakan telapak tangan pasien untuk memperkirakan luas
luka bakar. Telapak tangan pasien berukuran kira-kira 1% dari total permukaan
tubuhnya.

Bagan perkiraan persentase permukaan tubuh yang terbakar


Perkirakan total daerah yang terbakar dengan menjumlahkan persentase permukaan tubuh yang
terkena seperti yang ditunjukkan dalam gambar (lihat tabel untuk daerah AF yang berubah
sesuai dengan umur pasien).

Tatalaksana

Rawat inap semua pasien dengan luka bakar >10% permukaan tubuh; yang meliputi
wajah, tangan, kaki, perineum, melewati sendi; luka bakar yang melingkar dan yang tidak
bisa berobat jalan.

Periksa apakah pasien mengalami cedera saluran respiratorik karena menghirup asap
(napas mengorok, bulu hidung terbakar),
o Luka bakar wajah yang berat atau trauma inhalasi mungkin memerlukan intubasi,
trakeostomi
o Jika terdapat bukti ada distres pernapasan, beri oksigen (lihat bagian 10.7).

Resusitasi cairan (diperlukan untuk luka bakar permukaan tubuh > 10%). Gunakan
larutan Ringer laktat dengan glukosa 5%, larutan garam normal dengan glukosa 5%, atau
setengah garam normal dengan glukosa 5%.
o 24 jam pertama: hitung kebutuhan cairan dengan menambahkan cairan dari
kebutuhan cairan rumatan (lihat bagan 17) dan kebutuhan cairan resusitasi (4
ml/kgBB untuk setiap 1% permukaan tubuh yang terbakar)

Berikan dari total kebutuhan cairan dalam waktu 8 jam pertama, dan
sisanya 16 jam berikutnya.
Contoh: untuk pasien dengan berat badan 20 kg dengan luka bakar 25%
Total cairan dalam waktu 24 jam pertama
= (60 ml/jam x 24 jam) + 4 ml x 20kg x 25% luka bakar
= 1440 ml + 2000 ml
= 3440 ml (1720 ml selama 8 jam pertama)

o 24 jam kedua: berikan hingga cairan yang diperlukan selama hari pertama
o Awasi pasien dengan ketat selama resusitasi (denyut nadi, frekuensi napas,
tekanan darah dan jumlah air seni)
o Transfusi darah mungkin diberikan untuk memperbaiki anemia atau pada lukabakar yang dalam untuk mengganti kehilangan darah.

Mencegah Infeksi
o Jika kulit masih utuh, bersihkan dengan larutan antiseptik secara perlahan tanpa
merobeknya.
o Jika kulit tidak utuh, hati-hati bersihkan luka bakar. Kulit yang melepuh harus
dikempiskan dan kulit yang mati dibuang.
o Berikan antibiotik topikal/antiseptik (ada beberapa pilihan bergantung
ketersediaan obat: peraknitrat, perak-sulfadiazin, gentian violet, povidon dan
bahkan buah pepaya tumbuk). Antiseptik pilihan adalah perak-sulfadiazin karena
dapat menembus bagian kulit yang sudah mati. Bersihkan dan balut luka setiap
hari.

o Luka bakar kecil atau yang terjadi pada daerah yang sulit untuk ditutup dapat
dibiarkan terbuka serta dijaga agar tetap kering dan bersih.

Obati bila terjadi infeksi sekunder


o Jika jelas terjadi infeksi lokal (nanah, bau busuk, selulitis), kompres jaringan
bernanah dengan kasa lembap, lakukan nekrotomi, obati dengan amoksisilin oral
(15 mg/kgBB/dosis 3 kali sehari), dan kloksasilin (25 mg/kgBB/dosis 4 kali
sehari). Jika dicurigai terdapat septisemia gunakan gentamisin (7.5 mg/kgBB
IV/IM sekali sehari) ditambah kloksasilin (2550 mg/kgBB/dosis IV/IM 4 kali
sehari). Jika dicurigai terjadi infeksi di bawah keropeng, buang keropeng
tersebut .

Menangani rasa sakit


o Pastikan penanganan rasa sakit yang diberikan kepada pasien adekuattermasuk
perlakuan sebelum prosedur penanganan, seperti mengganti balutan.
o Beri parasetamol oral (1015 mg/kgBB setiap 6 jam) atau analgesik narkotik IV
(IM menyakitkan), seperti morfin sulfat (0.050,1 mg/kg BB IV setiap 24 jam)
jika sangat sakit.

Periksa status imunisasi tetanus


o Bila belum diimunisasi, beri ATS atau immunoglobulin tetanus (jika ada)
o Bila sudah diimunisasi, beri ulangan imunisasi TT (Tetanus Toksoid) jika sudah
waktunya.

Nutrisi
o Bila mungkin mulai beri makan segera dalam waktu 24 jam pertama.
o Anak harus mendapat diet tinggi kalori yang mengandung cukup protein, vitamin
dan suplemen zat besi.
o Anak dengan luka bakar luas membutuhkan 1.5 kali kalori normal dan 2-3 kali
kebutuhan protein normal.

Kontraktur luka bakar


Luka bakar yang melewati permukaan fleksor anggota tubuh dapat mengalami kontraktur,
walaupun telah mendapatkan penanganan yang terbaik (hampir selalu terjadi pada penanganan
yang buruk).

Cegah kontraktur dengan mobilisasi pasif atau dengan membidai permukaan fleksor
Balutan dapat menggunakan gips. Balutan ini harus dipakai pada waktu pasien tidur.

Fisioterapi dan rehabilitasi

Harus dimulai sedini mungkin dan berlanjut selama proses perawatan luka bakar.

Jika pasien dirawat-inap dalam jangka waktu yang cukup lama, sediakan mainan untuk
pasien dan beri semangat untuk tetap bermain.

Membaca Hasil EKG (Elektrokardiografi)


November 16, 2011 ~ Sandurezu
EKG atau Elektrokardiogram adalah suatu representasi dari potensial listrik otot jantung yang
didapat melalui serangkaian pemeriksaan menggunakan sebuah alat bernama elektrokardiograf.
Melalui EKG (atau ada yang lazim menyebutnya ECG {in English: Electro Cardio Graphy}) kita
dapat mendeteksi adanya suatu kelainan pada aktivitas elektrik jantung melalui gelombang irama
jantung yang direpresentasikan alat EKG di kertas EKG.
Berikut ini sedikit catatan saya tentang bagaimana cara membaca hasil pemeriksaan EKG yang
tergambar di kertas EKG. Saya sarankan untuk terlebih dahulu memahami aktivitas elektrik
jantung dan cara memasang EKG. Mudah-mudahan bisa jadi bahan diskusi.
1. IRAMA JANTUNG

Irama jantung normal adalah irama sinus, yaitu irama yang berasal dari impuls yang dicetuskan
oleh Nodus SA yang terletak di dekat muara Vena Cava Superior di atrium kanan jantung. Irama
sinus adalah irama dimana terdapat gelombang P yang diikuti oleh kompleks QRS. Irama
jantung juga harus teratur/ reguler, artinya jarak antar gelombang yang sama relatif sama dan
teratur. Misalkan saya ambil gelombang R, jarak antara gelombang R yang satu dengan
gelombang R berikutnya akan selalu sama dan teratur.
Jadi, yang kita tentukan dari irama jantung adalah, apakah dia merupakan irama sinus atau bukan
sinus, dan apakah dia reguler atau tidak reguler.

Irama Sinus, seperti yang saya tulis di atas, yakni adanya gelombang P, dan setiap
gelombang P harus diikuti oleh kompleks QRS. Ini normal pada orang yang jantungnya
sehat.

Irama Bukan Sinus, yakni selain irama sinus, misalkan tidak ada kompleks QRS sesudah
gelombang P, atau sama sekali tidak ada gelombang P. Ini menunjukkan adanya blokade
impuls elektrik jantung di titik-titik tertentu dari tempat jalannya impuls seharusnya (bisa
di Nodus SA-nya sendiri, jalur antara Nodus SA Nodus AV, atau setelah nodus AV), dan
ini abnormal.

Reguler, jarak antara gelombang R dengan R berikutnya selalu sama dan teratur. Kita
juga bisa menentukan regulernya melalui palpasi denyut nadi di arteri karotis, radialis
dan lain-lain.

Tidak reguler, jarak antara gelombang R dengan R berikutnya tidak sama dan tidak
teratur, kadang cepat, kadang lambat, misalnya pada pasien-pasien aritmia jantung.

2. FREKUENSI JANTUNG
Frekuensi jantung atau Heart Rate adalah jumlah denyut jantung selama 1 menit. Cara
menentukannya dari hasil EKG ada bermacam-macam. Bisa kita pakai salah satu atau bisa
semuanya untuk membuat hasil yang lebih cocok. Rumusnya berikut ini:
1)

Cara 1

HR = 1500 / x
Keterangan: x = jumlah kotak kecil antara gelombang R yang satu dengan gelombang R
setelahnya.
2)

Cara 2

HR = 300 / y

Keterangan: y = jumlah kotak sedang (55 kotak kecil) antara gelombang R yang satu dengan
gelombang R setelahnya. (jika tidak pas boleh dibulatkan ke angka yang mendekati, berkoma
juga ga masalah)
3)

Cara 3

Adalah cara yang paling mudah, bisa ditentukan pada Lead II panjang (durasi 6 detik,
patokannya ada di titik-titik kecil di bawah kertas EKG, jarak antara titik 1 dengan titik
setelahnya = 1 detik, jadi kalau mau 6 detik, bikin aja lead II manual dengan 7 titik).
Caranya adalah:
HR = Jumlah QRS dalam 6 detik tadi itu x 10.
Nanti yang kita tentukan dari Frekuensi jantung adalah:

Normal: HR berkisar antara 60 100 x / menit.

Bradikardi= HR < 60x /menit

Takikardi= HR > 100x/ menit

3. AKSIS
Aksis jantung menurut definisi saya adalah, proyeksi jantung jika dihadapkan dalam vektor 2
dimensi. Vektor 2 dimensi disini maksudnya adalah garis-garis yang dibentuk oleh sadapansadapan pada pemeriksaan EKG. Sadapan (Lead) EKG biasanya ada 12 buah yang dapat
dikelompokkan menjadi 2:
1. Lead bipolar, yang merekam perbedaan potensial dari 2 elektroda/ lead standar, yaitu lead
I, II dan III.
2. Lead unipolar, yang merekam perbedaan potensial listrik pada satu elektroda yang lain
sebagai elektroda indiferen (nol). Ada 2: (a) unipolar ekstrimitas (aVL, aVF, dan aVR);
(b) unipolar prekordial (V1, V2, V3, V4, V5 dan V6)
Setiap lead memproyeksikan suatu garis/ vektor tertentu. Urutannya bisa dilihat dari gambaran
berikut ini:

Aksis jantung normal (positif) adalah antara -30 sampai dengan 120 (ada yang mendefinisikan
sampai 100 saja). Sebenarnya ini adalah proyeksi dari arah jantung sebenarnya (jika normal
dong :)). Pada kertas EKG, kita bisa melihat gelombang potensial listrik pada masing-masing
lead. Gelombang disebut positif jika arah resultan QRS itu ke atas, dan negatif jika ia kebawah.
Berikut ini arti dari masing-masing Lead:

Lead I = merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan tangan kiri (LA),
dimana tangan kanan bermuatan (-) dan tangan kiri bermuatan positif (+).

Lead II = merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan kaki kiri (LF),
dimana tangan kanan bermuatan negatif (-), dan kaki kiri bermuatan positif (+)

Lead III = merekam beda potensial antara tangan kiri (LA) dengan kaki kiri (LF), dimana
tangan kanan bermuatan negatif (-) dan tangan kiri bermuatan positif (+)

Lead aVL = merekam potensial listrik pada tangan kiri (LA), dimana tangan kiri
bermuatan positif (+), tangan kanan dan kaki kiri membentuk elektroda indiferen
(potensial nol)

Lead aVF = merekam potensial listrik pada kaki kiri (LF), dimana kaki kiri bermuatan
positif (+), tangan kiri dan tangan kanan nol.

Lead aVR = merekam potensial listrik pada tangan kanan (RA), dimana tangan kanan
positif (+), tangan kiri dan kaki kiri nol.

Nah, secara elektrofisiologi, arus potensial listrik jantung berasal dari SA node lalu meluncur ke
AV node, bundle His, cabang septal dan sampai ke serabut purkinje. Arus itu bermuatan negatif
(-). Jika arus itu menuju lead yang bermuatan positif (+), maka di kertas EKG akan muncul
gelombang ke atas, (kan tarik-menarik gitu..), kalau arus itu menjauhi lead yang bermuatan (+)
tersebut, maka di kertas EKG dia akan muncul sebagai gelombang ke bawah. (Arus menuju dan
menjauhi lead itu layaknya bisa di imajinasikan sendiri kali ya, bayangkan saja lokasi leadnya
dan arah arus elektrofisiologi jantungnya. Sama halnya jika diibaratkan, lead itu kayak orang
yang lagi berdiri memandangi sebuah mobil yang lagi jalan dalam suatu arena balap. Ada orang
yang melihat mobil itu dari sudut segini, ada yang dari segitu, jadi ntar penafsiran mereka bedabeda. Jika digabungkan, maka dapatlah mereka menyimpulkan apa yang terjadi dari mobil balap
itu.)
Itulah mengapa arah gelombang di lead aVR bernilai negatif (gelombangnya terbalik), karena
arah arus jantung berlawanan dengan arah lead/ menjauhi lead, sedangkan di lead-lead lainnya
bernilai positif (gelombangnya ke atas).
Cara menentukan aksis dari kertas EKG itu adalah:
1. Lihat hasil di Lead I, perhatikan resultan gelombang di kompleks QRS. (ingat lagi
pelajaran vektor di fisika, hehe). Jika resultan gaya Q, R dan S nya positif, (maksudnya
jika gelombang R-nya lebih tinggi daripada jumlah Q dan S {bisa dihitung jumlah
kotaknya}), maka lead I = positif (+). Jika R-nya lebih rendah daripada jumlah Q dan S,
maka lead I = negatif (-). Ini semacam resultan gaya. Bagusnya digambar di buku petak
matematika itu agar lebih paham.. He. :D
2. Lihat hasil di Lead aVF, perhatikan hal yang sama, apakah lead aVF nya positif atau
negatif.
3. Jika masih ragu lihat lagi di Lead II (lead II hasilnya lebih bagus karena letak lead II
searah dengan arah jantung normal). tentukan apakah lead II nya positif atau negatif.
Nah, cara menginterpretasikannya bisa dibuatkan tabel berikut ini:
Aksis / Lead

Normal

LAD

RAD

aVF

II

Aksis Normal = ketiga lead tersebut bernilai positif, artinya jantung berada di antara
aksis -30 sampai dengan 120 (ada yang menyebutkan sampai 100 saja).

LAD (Left Axis Deviation), artinya aksis / arah proyeksi jantungnya bergeser ke kiri, atau
di atas 3o. Kalau demikian tentu gak mungkin aVF atau lead II nya positif, pasti
negatif kan.. :D Ini biasa terjadi jika adanya pembesaran ventrikel kiri/ LVH (Left
Ventricular Hypertrophy), sehingga arah jantungnya jadi ga normal lagi, agak naik gitu.
Misalnya pada pasien-pasien hipertensi kronis dsb.

RAD (Right Axis Deviation), artinya aksisnya bergeser ke kanan, atau di atas 120. Kalau
ke kanan tentu lead I-nya akan negatif, sedangkan aVF dan II positif. Biasanya ini terjadi
jika adanya pembesaran jantung kanan/ RVH (Right Ventricular Hypertrophy).

4. Gelombang P
Gelombang P adalah representasi dari depolarisasi atrium. Gelombang P yang normal:

lebar < 0,12 detik (3 kotak kecil ke kanan)

tinggi < 0,3 mV (3 kotak kecil ke atas)

selalu positif di lead II

selalu negatif di aVR

Yang ditentukan adalah normal atau tidak:

Normal

Tidak normal:

P-pulmonal : tinggi > 0,3 mV, bisa karena hipertrofi atrium kanan.

P-mitral: lebar > 0,12 detik dan muncul seperti 2 gelombang berdempet, bisa karena
hipertrofi atrium kiri.

P-bifasik: muncul gelombang P ke atas dan diikuti gelombang ke bawah, bisa terlihat di
lead V1, biasanya berkaitan juga dengan hipertrofi atrium kiri.

5. PR Interval
PR interval adalah jarak dari awal gelombang P sampai awal komplek QRS. Normalnya 0,12
0,20 detik (3 5 kotak kecil). Jika memanjang, berarti ada blokade impuls. Misalkan pada pasien
aritmia blok AV, dll.
Yang ditentukan: normal atau memanjang.
6. Kompleks QRS
Adalah representasi dari depolarisasi ventrikel. Terdiri dari gelombang Q, R dan S. Normalnya:

Lebar = 0.06 0,12 detik (1,5 3 kotak kecil)

tinggi tergantung lead.

Yang dinilai:
Gelombang Q: adalah defleksi pertama setelah interval PR / gelombang P. Tentukan apakah
dia normal atau patologis. Q Patologis antara lain:

durasinya > 0,04 (1 kotak kecil)

dalamnya > 1/3 tinggi gelombang R.

Variasi Kompleks QRS

QS, QR, RS, R saja, rsR, dll. Variasi tertentu biasanya terkait dengan kelainan tertentu.

Interval QRS, adalah jarak antara awal gelombang Q dengan akhir gelombang S. Normalnya
0,06 0,12 detik (1,5 3 kotak kecil). Tentukan apakah dia normal atau memanjang.
7. Tentukan RVH/LVH
Rumusnya,

RVH jika tinggi R / tinggi S di V1 > 1

LVH jika tinggi RV5 + tinggi SV1 > 35

8. ST Segmen
ST segmen adalah garis antara akhir kompleks QRS dengan awal gelombang T. Bagian ini
merepresentasikan akhir dari depolarisasi hingga awal repolarisasi ventrikel. Yang dinilai:

Normal: berada di garis isoelektrik

Elevasi (berada di atas garis isoelektrik, menandakan adanya infark miokard)

Depresi (berada di bawah garis isoelektrik, menandakan iskemik)

9. Gelombang T
Gelombang T adalah representasi dari repolarisasi ventrikel. Yang dinilai adalah:

Normal: positif di semua lead kecuali aVR

Inverted: negatif di lead selain aVR (T inverted menandakan adanya iskemik)

PEMERIKSAAN FISIK SISTEM NEUROLOGI

BAHAN AJAR
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM NEUROLOGI

O
L
E
H

0
Ns. HENDRI BUDI, S.Kep
PEMERIKSAAN FISIK SISTEM NEUROLOGI
A. ANAMNESA
Perlu ditanyakan keluhan utama pasien. Pada setiap keluhan ditanyakan :
1. Sejak kapan timbul
2. Sifat serta beratnya
3. Lokasi serta penjalarannya
4. Hubungannya dengan waktu (pagi, siang, malam, sedang tidur, waktu haid, habis makan, dsb.)
5. Keluhan lain yang ada kaitannya
6. Pengobatan sebelumnya dan bagaimana hasilnya
7. Faktor yang memperberat atau memperingan keluhan
8. Perjalanan keluhan, apakah menetap, bertambah berat/ringan, datang dalam bentuk serangan,
dsb.
Pada setiap pasien dengan penyakit syaraf, harus dijajaki kemungkinan adanya keluhan atau
kelainan di bawah ini, dengan mengajukan pertanyaan.
9. Nyeri kepala
10. Muntah
11. Vertigo
12. Gangguan penglihatan
13. Gangguan pendengaran
14. Gangguan syraf otak lainnya
15. Gangguan fungsi luhur
16. Gangguan kesadaran
17. Gangguan motorik
18. Gangguan sensibilitas

19. Gangguan syaraf otonom


B. PEMERIKSAAN TINGKAT KESADARAN
Prinsip :
Untuk Mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan skala koma glasgow yang
memperhatikan tanggapan / respon pasien terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respon
tersebut. Tanggapan atau respon pasien yang perlu diperhatikan ialah : Respon Membuka mata
(Eye), Respon verbal (V), dan respon motorik (M).
Skala Glasgow
Area Pengkajian Nilai
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3
Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supra orbita atau kuku jari) 2
Tidak ada reaksi ( dengan rangsang nyeri pasien tidak membuka mata) 1
Respon verbal (bicara)
Baik dan tidak ada disorientasi 5
Kacau (Confused), dapat berbicara dalam kalimat,
namun ada disorientasi waktu dan tempat 4
Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata,
Namun tidak berupa kalimat atau tidak tepat 3
Mengerang (tidak mengucapkan kata,
hanya mengeluarkan suara erangan 2
Tidak ada respon 1
Motor Response
Menurut perintah (misalnya suruh pasien angkat tangan) 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan dengan jari pada supra orbita.
Bila pasien mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk maksud
menepis rangsangan tersebut, berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri
Reaksi menghindar / Withdraws 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) Abnormal Flexion 3
Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras
seperti ballpoint pada kuku jari, Bila sebagai jawaban siku memfleksi,
terdapat reaksi fleksi terhadap nyeri

Reaksi ekstensi abnormal /Abnormal extention / desebrasi 2


Dengan rangsangan nyeri tersebut diatas, terjadi ekstensi pada siku.
Ini selalu disertai fleksi spastic pada pergelangan tangan.
Tidak ada reaksi 1
(harus dipastikan terlebih dahulu, bahwa rangsangan nyeri telah adekuat
C. PEMERIKSAAN RANGSANGAN MENINGEAL
Bila ada peradangan selaput otak atau di rongga sub arachnoid terdapat benda asing seperti
darah, maka dapat merangsang selaput otak
1. Kaku kuduk
Untuk memeriksa kaku kuduk dapat dilakukan dengan cara :
a. Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring
b. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada.
c. Selama penekukan ini diperhatikan adanya tahanan.
d. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan tahanan dan dagu tidak mencapai dada.
e. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada kaku kuduk yang berat, kepala tidak dapat
ditekuk, malah sering kepala terkedik ke belakang.
f. Pada keadaan yang ringan, kaku kuduk dinilai dari tahanan yang dialami waktu menekukkan
kepala.
2. Tanda laseque
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus,
b. lakukan ekstensi pada kedua tungkai.
c. Kemudian salah satu tungkai diangkat lurus, di fleksikan pada sendi panggul.
d. Tungkai yang satu lagi harus berada dalam keadaan ekstensi / lurus.
e. Normal : Jika kita dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul rasa sakit atau tahanan.
f. Laseq (+) = bila timbul rasa sakit atau tahanan sebelum kita mencapai 70 o
3. Tanda Kerniq
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring lurus di tempat tidur.
b. Pasien difleksikan pahanya pada sendi panggul sampai membuat sudut 90o,
c. Setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
d. Biasanya dapat dilakukan ekstensi sampai sudut 135 o, antara tungkai bawah dan tungkai atas.
e. Tanda kerniq (+) = Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut 135o
4. Tanda Brudzinsky I
Pemeriksaan dilakukan sebagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.

b. Dengan tangan yang ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita
tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.
c. Tangan yang satunya lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya
badan.
d. Brudzinsky I (+) ditemukan fleksi pada kedua tungkai.
5. Tanda Brudzinsky II
Pemeriksaan dilakukan seagai berikut :
a. Pasien berbaring di tempat tidur.
b. Satu tungkai di fleksikan pada sendi panggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam
keadaan lurus.
c. Brudzinsky I (+) ditemukan tungkai yang satu ikut pula fleksi, tapi perhatikan apakah ada
kelumpuhan pada tungkai.
D. PEMERIKSAAN KEKUATAN MOTORIK
1. Inspeksi
- Perhatikan sikap pasien waktu berdiri, duduk, berbaring dan bergerak,
- Perhatikan bentuknya apakah ada deformitas,
- Perhatikan ukuran nya apakah sama bagian tubuh kiri dan kanan
- Perhatikan adanya gerakan abnormal yang tidak dapat dikendalikan seperti tremor, khorea,
atetose, distonia, ballismus, spasme, tik, fasikulasi dan miokloni.
2. Palpasi
- Pasien disuruh mengistirahatkan ototnya
- Palpasi otot untuk menentukan konsistensi dan nyeri tekan, tonus otot
3. Pemeriksaan gerakan aktif
- Pasien disuruh menggerakan bagian ekstremitas atau badannya dan kita pemeriksa menahan
gerakan tersebut
- Kita pemeriksa menggerakkan bagian ekstremitas atau badan pasien dan disuruh ia menahan
Penilaian status motorik dilakukan dengan melihat :
1. Fungsi motoris dengan menilai : Besar dan bentuk otot, tonus otot dan kekuatan otot
ekstremitas (skala 0 5)
1) 0 = tidak ada gerakan
2) 1 = kontraksi otot minimal terasa tanpa menimbulkan gerak
3) 2 = otot dapat bergerak bila gaya berat dihilangkan
4) 3 = gerakan otot dapat melawan gaya berat tapi tidak bisa thd tahanan pemeriksa
5) 4 = gerakan otot dg tahanan ringan pemeriksa dan dapat melawan gaya berat
6) 5 = gerakan otot dg tahanan maksimal pemeriksa
Pada pemeriksaan kekuatan otot digunakan skala dari 0-5. Seperti pada gambar di bawah ini:
4. Pemeriksaan gerakan pasif

5. Koordinasi gerak
E. PEMERIKSAAN SENSORIK
1. Pemeriksaan sensibilitas : Pemeriksaan rasa raba, Pemeriksaan rasa nyeri, Pemeriksaan rasa
suhu
2. Pemeriksaan rasa gerak dan rasa sikap
3. Pemeriksaan rasa getar
4. Pemeriksaan rasa tekan
5. Pemeriksaan rasa interoseptif : perasaan tentang organ dalam
6. Nyeri rujukan
F. PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS
1. Pemeriksaan N. I : Olfaktorius
Fungsi : Sensorik khusus (menghidu, membau)
Cara Pemeriksaan :
a. Periksa lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, misalnya ingus atau
polip, karena dapat mengurangi ketajaman penciuman.
b. Gunakan zat pengetes yang dikenal sehari-hari seperti kopi, teh, tembakau dan jeruk.
c. Jangan gunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N V) seperti mentol, amoniak,
alkohol dan cuka.
d. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh pasien menciumnya
e. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lobang hidung yang lainnya
dengan tangan.
2. Pemeriksaan N. II : Optikus
Fungsi : Sensorik khusus melihat
Tujuan pemeriksaan :
a. Mengukur ketajaman penglihatan / visus dan menentukan apakah kelaianan pada visus
disebabkan oleh kelaianan okuler lokal atau kelaianan syaraf.
b. Mempelajari lapangan pandangan
c. Memeriksa keadaan papil optik
Cara Pemeriksaan :
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan pemeriksa juga
tidak mencurigai adanya gangguan, maka biasanya dilakukan pemeriksaan nervus II , yaitu :
a. Ketajaman penglihatan
b. Lapangan pandangan
Bila ditemukan kelainan, dilakuakn pemeriksaan yang lebih teliti. Perlu dilakukan pemeriksaan
oftalmoskopik.
Pemeriksaan Ketajaman Penglihatan :

1. Dilakukan dengan cara memandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan pemeriksa yang
normal.
2. Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh, misalnya jam dinding dan ditanyakan
pukul berapa.
3. Pasien disuruh membaca huruf-huruf yang ada di koran atau di buku.
4. Bila ketajaman penglihatan pasien sama dengan pemeriksa, maka dianggap normal.
5. Pemeriksaan ketajaman penglihatan yang lebih teliti dengan pemeriksaan visus dengan
menggunakan gambar snellen.
6. Pemeriksaan snellen chart
a. Pasien disuruh membaca gambar snellen dari jarak 6 m
b. Tentukan sampai barisan mana ia dapat membacanya.
c. Bila pasien dapat membaca sampai barisan paling bawah, maka ketajaman penglihatannya
norma (6/6)
d. Bila tidak normal :
i. Misal 6/20, berarti huruf yang seharusnya dibaca pada jarak 20 m, pasien hanya dapat memaca
pada jaral 6 m, namun bila pasien dapat melihat melalui lubang kecil (kertas yang berluang,
lubang peniti), huruf bertambah jelas, maka pasien mengalami kelainan refraksi.
ii. 1/300 = Pasien dapat melihat gerakan tangan / membedakan adanya gerakan atau tidak
iii. 1/~ = pasien hanya dapat membedakan gelap dan terang
Pemeriksaan Lapangan Pandangan :
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan penglihatan pemeriksa yang dianggap normal.,
dengan menggunakan metode konfrontasi dari donder.
1. Pasien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-kira 1 m.
2. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri pasien harus ditutup, misalnya
dengan tangan atau kertas, sedangkan pemeriksa harus menutup mata kanannya.
3. Kemudian pasien disuruh melihat terus pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu
melihat mata kanan pasien.
4. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa
dan pasien.
5. Lakukan gerakan dari arah luar ke dalam
6. Jika pasien mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, ia harus memberi tahu dan
dibandingkan dengan pemeriksa, apakah pemeriksa juga melihatnya
7. Bila sekiranya ada gangguan kampus penglihatan, maka pemeriksa akan lebih dahulu melihat
gerakan tersebut.
8. Lakukan pemeriksaan pada masing-masing mata pasien.
3. Pemeriksaan N. III Okulomotorius
Fungsi : Sematomotorik, visero motorik
Meninervasi m. Rektus internus (medialis), m. Rektus superior dan m. Rektus inferior, m levator
palpebra, serabut visero motorik mengurus m. Sfingter pupil dan m. Siliare (lensa mata).
4. Pemeriksaan N. IV Trokhlearis
Fungsi : Somatomotorik
Menginervasi m. Obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat dilirikkan ke bawah
dan nasal.

5. Pemeriksaan N. V Trigeminus
Fungsi : Somatomotorik, somatosensorik
Bagian motorik mengurus otot-otot untuk mengunyah, ayitu menutup mulut, menggerakkan
rahang ke bahwa dan samping dan membuka mulut.
Bagian sensorik cabang Oftalmik mengurus sensibilitas dahi, mata, hidung, kening, selaput otak,
sinus paranasal dan sebagian mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang maksilaris mengurus sensibilitas rahang atas, gigi atas, bibir atas, pipi,
palatum durum, sinus maksilaris dan mukosa hidung.
Bagian sensorik cabang mandibularis mengurus sensibilitas rahang bawah, bibir bawah, mukosa
pipi, 2/3 bagian depan lidah dan sebagian telinga, meatus dan selaput otak.
Cara pemeriksaan fungsi motorik :
a. Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kita raba m. Masseter dan m.
Temporalis, perhatikan besarnya, tonus serta bentuknya.
b. Kemudian pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah.
c. Bila ada parise, maka rahang bawah akan berdeviasi ke arah yang lumpuh
Cara pemeriksaan fungsi sensorik :
a. Diperiksa dengan menyelidiki rasa raba, rasa nyeri dan suhu daerah yang dipersyarafi.
b. Periksa reflek kornea
6. Pemeriksaan N. VI Abdusen
Fungsi : Somatomotorik
Meninervasi m. Rektus eksternus (lateralis). Kerja mata ini menyebabkan lirik mata ke arah
temporal
Untuk N. III, IV dan VI fungsinya saling berkaitan. Fungsinya ialah menggerakkan otot mata
ekstra okuler dan mengangkat kelopak mata. Searbut otonom N III, mengatur otot pupil. Cara
pemeriksaannya bersamaan, yaitu :
1. Pemeriksa melakukan wawancara dengan pasien
2. Selama wawancara, pemeriksa memperhatikan celah matanya, apakah ada ptosis, eksoftalmus
dan strabismus/ juling dan apakah ia cendrung memejamka matanya karena diplopia.
3. Setelah itu lakukan pemeriksaan yang lebih teliti mengenai ptosis, besar pupil, reaksi cahaya
pupil, reaksi akomodasi, kedudukan bola mata, gerakan bola mata dan nistagmus.
4. Untuk menilai m. Levator palpebra, pasien disuruh memejamkan matanya, kemudia disuruh ia
membuka matanya.
5. Waktu pasien membuka matanya, kita tahan gerakan ini dengan jalan memegang / menekan
ringan pada kelopak mata.
6. Dengan demikian dapat dinilai kekuatan kelopak mata.
7. Untuk menilai pupil, perhatikan besarnya pupil pada kiri dan kanan, apakah sama ukurannya,
apakah bentuknya bundar atau tidak rata tepinya. Miosis = pupil mengecil, midriasis = pupil
membesar
8. Reflek cahaya pupil terdiri dari reaksi cahaya langsung atau tidak langsung., caranya :
i. Pasien disuruh melihat jauh.
ii. Setelah itu pemeriksa mata pasien di senter/ diberi cahaya dan lihat apakah ada reaksi pada

pupil. Normal akan mengecil


iii. Perhatikan pupil mata yang satunya lagi, apakah ikut mengecil karena penyinaran pupil mata
tadi disebut dengan reaksi cahaya tak langsung
iv. Cegah reflek akomodasi dengan pasien disuruh tetap melihat jauh.
7. Pemeriksaan N. VII Fasialis
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
Cara Pemeriksaan fungsi motorik :
a. Perhatikan muka pasien, apakah simetris atau tidak, perhatikan kerutan dahi, pejaman mata,
plika nasolabialis dan sudut mulut.
b. Bila asimetris muka jelas disebabkan kelumpuhan jenis perifer.
c. Pada kelumpuhan jenis sentral, kelumpuhan nyata bila pasien disuruh melakukan gerakan
seperti menyeringai dan pada waktu istirahat, muka simetris.
d. Suruh pasien mengangkat alis dan mengkerutkan dahi
e. Suruh pasien memejamkan mata
f. Suruh pasien menyeringai (menunjukkan gigi geligi)
g. Gejala chvostek, dengan mengetuk N. VII di bagian depan telinga. (+) bila ketokan
menyebabkan kontraksi otot mata yang di persyarafi.
Fungsi pengecapan :
a. Pasien disuruh menjulurkan lidah
b. Taruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam secara bergiliran
c. Pasien tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut.
d. Pasien disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dengan isyarat.
8. Pemeriksaan N. VIII Akustikus
Fungsi : Sensorik khusus pendengaran dan keseimbangan
Cara Pemeriksaan syaraf kokhlerais :
a. Ketajaman pendengaran
b. Tes swabach
c. Tes Rinne
d. Tes weber
Cara untuk menilai keseimbangan :
a. Tes romberg yang dipertajam :
- Pasien berdiri dengan kaki yang satu di depan kaki yang lain, tumit kaki yang satu berada di
depan jari-jari kaki yang lain
- Lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup
- Orang normal mampu berdiri dalam sikap romberg yang dipertajam selama 30 detik atau lebih
b. Tes melangkah di tempat
- Pasien disuruh berjalan di tempat dengan mata ditutup, sebanyak 50 langkah dengan kecepatan
berjalan seperti biasa
- Suruh pasien untuk tetap di tempat

- Tes abnormal jika kedudukan pasien beranjak lebih dari 1 m dari tempat semula atau badan
berputar lebih 30 o
c. Tes salah tunjuk
- Pasien disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya menyentuh telunjuk pemeriksa
- Kemudian pasien disuruh menutup mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi dan kemudian
kembali ke posisi semula
- Gangguan (+) bila didapatkan salah tunjuk
9. Pemeriksaan N. IX Glossofaringeus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, pengecapan, somatosensorik
10. Pemeriksaan N. X Vagus
Fungsi : Somatomotorik, viseromotorik, viserosensorik, somatosensorik
N IX dan N X diperiksa bersamaan. Cara Pemeriksaan Fungsi motorik :
- Pasien disuruh menyebutkan aaaaaa
- Perhatikan kualitas suara pasien, apakah suaranya normal, berkurang, serak atau tidak sama
sekali.
- Pasien disuruh memakan makanan padat, lunak dan menelan air
- Perhatikan apakah ada kesalahan telan / tidak bisa menelan / disfagia
- Pasien disuruh membuka mulut
- Perhatikan palatum mole dan faring, perhatikan sikap palatum mole, arkus faring dan uvula
dalam keadaan istirahat dan bagaimana pula waktu bergerak, misalnya waktu bernafas atau
bersuara. Abnormal bila letaknya lebih rendah terhadap yang sehat.
11. Pemeriksaan N. XI aksesorius
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :
a. Untuk mengukur kekuatan otot sternocleidomastoideus dilakukan dengan cara :
- pasien disuruh menggerakkan bagian badan yang digerakkan oleh otot ini dan kita tahan
gerakannya.
- Kita gerakkan bagian badan pasien dan disuruh ia menahannya.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
b. Lihat otot trapezius
- apakah ada atropi atau fasikulasi,
- apakah bahu lebih rendah,
- apakah skapula menonjol
- Letakkan tangan pemeriksa diatas bahu pasien
- Suruh pasien mengangkat bahunya dan kita tahan.
- Dapat dinilai kekuatan ototnya.
12. Pemeriksaan N. XII Hipoglosus
Fungsi : Somatomotorik
Cara Pemeriksaan :

a. Suruh pasien membuka mulut dan perhatikan lidah dalam keadaan istirahat dan bergerak
b. Dalam keadaan istirahat kita perhatikan :
- besarnya lidah,
- kesamaan bagian kiri dan kanan
- adanya atrofi
- apakah lidah berkerut
c. Apakah lidahnya mencong bila digerakkan atau di julurkan
G. PEMERIKSAAN REFLEK FISIOLOGIS
1. Reflek tendon dalam (bisep dan trisep)
Derajatnya : 0 = absen reflek
1=Menurun
2 = Normal
3 = Hiperreflek
4 = Hiperreflek dengan klonus
2. Reflek superficial
a. Reflek kulit perut :
epigastrium T 6-9, abdomen tengah T 9-11, Hiogastrium T 11-L1. Abdomen digores dari arah
luar menuju umbilikus --- kontraksi dinding perut
b. Kremaster ( L 1-2)
Paha bagian dalam digoreskontraksi kremaster dan penarikan testis ke atas
c. Reflek anus ( S3-4-5)
Pakai sarung tangan ujung jari dimaasukkan kedalam cincin anus terasa kontraksi spingter ani
d. Reflek bulbokavernosus
Kulit penis atau glan dicubit terlihat kontraksi bulbokavernosus
5. Reflek Plantar ( L 5, S 1-5)
Telapak kaki dirangsang akan timbul fleksi jari kaki seperti pemeriksaan Babinski

H. PEMERIKSAAN REFLEK PATOLOGIS


1. Babinski
Telapak kaki digores dari tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari, timbul dorso
fleksi ibu jari dan pemekaran jari-jari lainnya.
2. Chadock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores punggung kaki dari arah lateral ke depan
3. Openheim
Mengurut tibia dengan ibu jari, jario telunjuk, jari tengah dari lutut menyusur kebawah (+ =
babinski)
4. Gordon
Otot gastroknemius ditekan (+ sama dengan Babinski)
5. Scahaefer
Tanda babinski timbul dengan memijit tendon Achiles
6. Rosollimo
Mengetok bagian basis telapak jari kaki (+) fleksi jari-jari kaki

7. Mendel Rechterew
Mengetok bagian dorsal basis jari kaki. (+) fleksi jari kaki
8. Hoffman Trommer
Positif timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari telunjuk atau jari tengah

You might also like