You are on page 1of 27

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. Sulaiman Soe
Umur
: 54 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Petani
Alamat
: Jl. Mula Baru no. 8 makassar
Agama
: Islam
No. RM
: 00-72-09-10
ANAMNESIS
Autoanamnesis dan alloanamnesis
Keluhan Utama

: Sesak

Anamnesis Terpimpin:
Sesak di alami sejak 8 jam yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Pasien dirawat di RS
Sayang Rakyat sebelum dirujuk ke RS Wahidin Sudirohusodo. sesak disertai batuk yang
bercampur darah dan lendir. Pasien nyaman tidur dengan 2 bantal, tidak nyeri dada, tidak
demam, riwayat keringat pada malam hari ada sejak 1 minggu yang lalu, riwayat penurunan
berat badan dalam 1 bulan terakhir ada.

BAB : biasa
BAK : biasa
Riwayat kontak dengan penderita batuk lama (-)
Riwayat tekanan darah tinggi (-)
Riwayat penyakit jantung (-)
Riwayat Diabetes Mellitus (+)

Riwayat Psikososial
Mulai merokok sejak tahun 1970 dan berhenti pada tahun 2000 rata-rata satu bungkus sehari.

II. STATUS PRESENT


Sakit Sedang / Gizi cukup / Composmentis
BB = 54 kg,
TB = 170 cm,
IMT = 18,68 kg/m2 (normal)

Tanda vital :
Tekanan Darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 90 x/menit

Pernapasan

: 40 x/menit

Suhu

: 36,8 C

III.PEMERIKSAAN FISIS
Kepala

Ekspresi

: biasa

Simetris muka

: simetris kiri = kanan

Deformitas

: (-)

Rambut

: hitam lurus, alopesia (-)

Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus

: (-)

Gerakan

: ke segala arah

Kelopak Mata

: edema (-)

Konjungtiva

: anemis (+)

Sklera

: ikterus (-)

Kornea

: jernih

Pupil

: bulat isokor

Telinga
Pendengaran
Tophi
Nyeri tekan di prosesus mastoideus
Hidung
Perdarahan
Sekret
Mulut
Bibir
Lidah
Tonsil
Faring
Gigi geligi
Gusi
Leher
Kelenjar getah bening
Kelenjar gondok
DVS

: dalam batas normal


: (-)
: (-)
: (-)
: (-)
: pucat (-), kering (-)
: kotor (-),tremor (-), hiperemis (-)
: T1 T1, hiperemis (-)
: hiperemis (-),
: dalam batas normal
: dalam batas normal
: tidak ada pembesaran
: tidak ada pembesaran
: R-2 cmH2O

Pembuluh darah
Kaku kuduk
Tumor
Dada
Inspeksi
:
Bentuk
Pembuluh darah
Buah dada
Sela iga
Paru
Palpasi
:
Fremitus raba
Nyeri tekan
Perkusi
:
Paru kiri
Paru kanan
Batas paru-hepar
Batas paru belakang kanan
Batas paru belakang kiri

: tidak ada kelainan


: (-)
: (-)
: normochest, simetris kiri = kanan
: tidak ada kelainan
: dalam batas normal
: dalam batas normal

: dalam batas normal, kiri = kanan


: (-)
:sonor
:sonor
: ICS VI dekstra anterior,
: CV Th. IX dekstra
: CV Th. X sinistra

Auskultasi
:
Bunyi pernapasan
: bronkhovesikuler
Bunyi tambahan
: Rh+/+(seluruh lapangan paru), Wh -/ Jantung
Inspeksi
: ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: ictus cordis tidak teraba
Perkusi

:pekak, batas jantung dalam batas normal(batas jantung kanan

linea

parasternalis dextra, batas jantung kiri linea midclavicularis sinistrra ICS


V, batas atas jantung ICS II)

Auskultasi
: bunyi jantung I/II murni regular, bunyi tambahan (-)
Perut
Inspeksi
: datar, ikut gerak napas
Palpasi
: Nyeri tekan (-) MT (-)
Hepar tidak teraba
Lien tidak teraba.
Perkusi

: timpani

Auskultasi

: Peristaltik (+), kesan normal

Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas
Edema -/-, peteki (-)
Laboratorium
Jenis Pemeriksaan
WBC
RBC
HGB
DARAH
HCT
RUTIN
PLT
Neutrophil
Monosit
Limfosit
SGOT
SGPT
Ureum
Kreatinin
KIMIA
DARAH
GDS
GDP
GD2PP
HBA 1c
Natrium
Elektrolit Kalium
Chloride
PT
Hematologi APTT
INR

Hasil
7.5 x 103/uL
3.12 x 106/uL
9.3 g/dL
27.9 %
327 x 103/uL
63 %
9.5 %
21.4 %
17 U/L
10 U/L
45 mg/dL
0.86 mg/dL
269 mg/dL
234 mg/dl
230 mg/dl
8.9 %
135
4.7
105
12.9 detik
30.5 detik
1.24

Nilai Normal
4 - 10 x 103/uL
4 6 x 106/uL
12 - 16 g/dL
37 48%
150-400 x 103/uL
51 67 %
6 92 %
20 23 %
0 37 U/L
0 42 U/L
10 50 mg/dL
Lk0.6 1.1 mg/dL
Pr 0.5 0.9 mg/dL
< 140 mg/dL
110 mg/dl
<200 mg/dl
4-6 %
136-145 mEq/L
3.5-5.5 mEq/L
96-106 mEq/L
10-14 detik
22-30 detik
-

Pemeriksaan Penunjang Lainnya:


1. Foto thorax PA(11/8/2015):
- Bercak berawan pada lapangan atas kedua paru terutama kiri disertai garis fibrotik

yang mentraksi kedua hilus


- Cincin-cincin lusan pada paracardial kanan dan kiri
- COR : ukuran normal, aorta normal.
- Sinus costophrenicus kesan tumpul dan diafragma kiri kesan tinggi
- Tulang-tulang intak
Kesan:
- TB paru duplex lama aktif lesi luas
- Infected bronchiectasis
IV. DIAGNOSIS AWAL :
Tuberculosis Paru BTA +
DM tipe 2 non obese
V. PENATALAKSANAAN AWAL

IVFD NaCl 0,9% 20 tpm


O24 lpm
Asam traneksamat inj / 8 jam IV
Codein tab / 8 jam oral
Adona 1 amp drips

Rencana Pemeriksaan
Sputum BTA 3x gram dan jamur
FOLLOW UP
TANGGAL
1/08/2015
T : 120/80

PERJALANAN PENYAKIT
S:

N : 80 x/mnt
P : 24 x/mnt
S : 36,8C

INSTRUKSI DOKTER
P:
- IVFD NaCl 0,9 % 24 tpm
Sesak (+), Batuk (+), lendir (+),
- Adona 1amp / 8jam / IV
- Codein10mg 3dd1
darah (+),
- Ambroxol 30mg 3dd1
Demam (-)
- Asam traneksamat 1amp /
Sakit kepala (-)
Nyeri ulu hati (-), mual (-),
8jam / IV
- Vip albumin 2capsul /
muntah (-)
BAB : biasa, BAK : lancar
8jam / oral
- Cefepirol 1gr / 12jam / IV
- Metronidazol
500mg
/

O:

8jam / intravena
SS / GC / CM
Anemis +/+, ikterus -/-,
MT (-), NT (-), DVS R-2cmH2O Anjuran :
BP : bronkhovesikuler, BT : Rh
Cek sputum BTA 3x
+/+, wh -/BJ : I/II murni regular
Peristaltik (+), kesan N,
Hepatomegali (-)
Splenomegali (-)
Ext : Edema -/-, peteki -/-

A:

Susp. Tb paru
DM tipe 2 non obese

gram dan jamur.


Foto thorax

2/08/2015

S:

T : 110/80

N : 88 x/menit
P : 28 x/menit
S : 36,7C

P:
Sesak (+), Batuk (+), lendir (+),

Pengobatan sebelumnya
Novorapid 8-8-8 / 8jam /

subcutan
Levemir 0-0-10 / 24jam /

darah (+),

subcutan

O:

Anemis +/+, ikterus -/-,


BT : Rh +/+, wh -/Hb 9.3 g/dl
GDP 234 mg/dl
GD2PP 230 mg/dl
HbA1c 8.9 %

Tunggu hasil :

sputum BTA 3x gram


dan jamur.

A:

3/08/2015

S:

T : 100/70

N : 68 x/menit

Susp. Tb paru
DM tipe 2 non obese
Bronkiektasis terinfeksi
P:
Sesak (+), Batuk (+), lendir (+),
darah (+),

Pengobatan sebelumnya
OAT 4FDC 3tab / 24jam /
oral

P : 26 x/menit
S : 37,2C

O:

Anemis +/+, ikterus -/-,


BT : Rh +/+, wh -/-

A:

Tb paru BTA +
DM tipe 2 non obese

RESUME
Seorang laki-laki usia 54 tahun masuk RS dengan keluhan bsesak, dialami sejak 8 jam
sebelum masuk RS, batuk tidak terus menerus, disetai lendir berwarna putih bercak dan darah
berwarna merah segar. Demam tidak ada, keringat malam, nafsu makan menurun disertai
penurunan berat badan dalam 1 bulan terakhir.BAB : biasa, BAK : biasa.

Tanda vital : Tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80x per menit, pernapasan 40x per
menit, suhu axilla 36,80C.pada pemeriksaan auskultasi paru terdengar bunyi ronkhi pada kedua
lapangan paru. Pemeriksaan laboratorium :PT 12.9 detik, APTT 30.5 detik, GDP 234 mg/dl,
GD2PP 230 mg/dl, HbA1c 8.9 % . Pemeriksaan foto thoraks ditemukan kesan : KP Duplex aktif.
Pemeriksaan Sputum BTA 2x positif.
Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan maka diagnosis pasien ini adalah TB Paru BTA (+) dengan DM tipe 2 dan
Bronkiektasis terinfeksi.

TUBERKULOSIS PARU DISERTAI DIABETES MELITUS


PENDAHULUAN
Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat
juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai
oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang

diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang efektif 1,2
Insiden
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini.
Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai
Global Emergency . Laporan WHO tahun2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasusBTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regionalWHO jumlah
terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila
dilihatdari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali
lebih besar dari Asiatenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk. Diperkirakan angka kematian
akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun. Laporan WHO tahun 2004
menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000
orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi
mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.3
Indonesia masih menempati urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan
China. Setiap tahun terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000 kematian akibat TB. Di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan
penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada
seluruh kalangan usia.3
Berikut ini adalah gambaran penyebaran penyakit Tuberkulosis di seluruh dunia

Gambar 1. Penyebaran Penyakit Tuberkulosis di Seluruh Dunia3


Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis.M. tuberculosis adalah
bakteri batang tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 m, tahan asam, bersifat aerob.1,2,3

Gambar 1
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam

Cara penularan
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada waktu batuk
atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak).
Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa
jam dan dapat menginfeksi individu lain bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman

tuberkulosis yang masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru
ke bagian tubuh lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya.3
Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannyayang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non-spesifik.
Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembangbiak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama
kolonikuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN.1,2
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limferegional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan dikelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus,sedangkan jika fokus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara fokus primer,kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis)
dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). 1,2
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanyaberlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh
hingga mencapai jumlah 103-104,yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas
seluler.1,2
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi,

uji tuberkulin masih negatif.Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap
TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik,
begitu sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB
baru yang masuk ke dalam alveoli akan segeradimusnahkan. 1,2
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanyamengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB
dapat tetap hidup danmenetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. 1,2
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadinekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfehilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkanateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksikomplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis
danateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 1,2
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. 1,2
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara
sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB
kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah
organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri,
terutama apeks paru atau

lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan

bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya. 1,2
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dorman. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di
apeks paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ
terkait, misalnya meningitis,TB tulang, dan lain-lain. 1,2
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk
dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul
dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan
virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis
diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi
TB, misalnya pada balita. 1,2
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa
nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secarahistologi merupakan granuloma.1
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenicspread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar kesaluran vaskular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis,
sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan

acute generalized

hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.1


Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, halini biasanya terjadi 3-6 bulan
setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesisegmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalamwaktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru
kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya

terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.1
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25tahun setelah infeksi
primer.1

Gambar 3. Skema Perkembangan Sarang Tuberkulosis Post Primer dan Perjalanan


Penyembuhannya
Diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.3,4
- Diagnosis klinis
Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah batuk terus menerus dan berdahak selama
3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas
dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak
badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari
sebulan.3
-

Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata

atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan
menurun. Pada pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada
kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan
fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai

pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam
pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru
dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji
tuberkulin yang positif.1,4
-

Pemeriksaan radiologis
Lokasi lesi TB umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah

atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih menyerupai sarangsarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batasbatas yang tidak tegas. Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas yang tegas dan disebut tuberkuloma.3
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi.
Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan penciutan yang dapat terjadi pada
sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada
TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan sekaligus
seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema.4

Gambar 2
Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada
-

Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum

riksa Dahak Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS)

Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan ditemukannya BTA

Periksa
Rontgendinyatakan
Dada
positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Hasil
pemeriksaan
positif
Beri Antibiotik
Spektrum Lua

apabila sedikitnya dua dari tiga pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA
Hasil BTA

hasilnya positif.3
+-Hasil
TB diadakan pemeriksaan lebih lanjut yaitu foto
Hasil
Tidak Mendukung
TB
Bila hanya
1 spesimen
yangMendukung
positif
perlu
Tidak Ada Perbaikan
Ada Perbaikan

rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil rontgen mendukung
Hasil BTA
++
tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau+hasil
++-

rontgen tidak mendukung TB,Ulangi


maka pemeriksaan
dahak
SPS diulangi.3
Periksa Dahak
SPS
Tersangka Pen
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas (misalnya,
Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila tidak ada perubahan, namun gejala
Penderita Tuberkulosis
BTA Positif
klinis mencurigakan

didiagnosis sebagai

BTA
Hasil BTA
TB, ulangi
pemeriksaanHasil
dahak
SPS. 1). Kalau hasil SPS positif,

+++
+penderita +tuberkulosis

---

BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif,

lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.3


a. Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif rontgen
Periksa Rontgen Dada

positif
b. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan TB.
Hasil Mendukung TB

Hasil Rontgen Negatif

Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006), sebagaimana bisa
dilihat di bawah ini :

Bukan TBC,
Penyakit Lain
TB BTA Negatif Rontgen
Positif

Gambar 3
Alur Diagnosis TB paru
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan
b. Darah

pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED)
mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah
limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga
didapatkan: anemia ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin meningkat,
dan kadar natrium darah menurun.3
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis TB terutama pada
anak-anak (balita). Sedangkan pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah
seorang individu sedang atau pernah mengalami infeksi M. tuberculosis atau Mycobacterium
patogen 3
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc tuberkulin P.P.D (Purified
Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat.
Setelah 48-72 jam tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan yang
terdiri dari infiltrat limfosit yakni reaksi persenyawaan antara antibodi seluler dan antigen
tuberkulin.3

Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam (Bahar, 2007): a). Indurasi 0-5
mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no sensitivity. Di sini peran antibodi humoral
paling menonjol. b). Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral masih menonjol. c). Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan
low grade sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15 mm : Mantoux
positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran antibodi seluler paling menonjol.3
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi mantoux yang positif (99,8%).
Kelemahan tes ini adalah adanya positif palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan
Mycobacterium lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan tuberkulosis,
anergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit eksantematous dengan panas yang
akut (morbili, cacar air, poliomielitis), reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin,
pemberian obat imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk pasien
dengan HIV positif, tes mantoux 5 mm, dinilai positif.1
Klasifikasi TB
Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :3,4
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat
dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan
tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB. 09).
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang sudah
berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang

kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pada akhir
pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan
kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan resistensi
terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes RI, 2006).

Pengobatan
Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu obat lapis pertama dan
obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan ke penghentian pertumbuhan basil,
pengurangan basil dormant dan pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari
Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis dua
mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic acid, Clofazimine,
Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones. Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk
pengobatan kasus-kasus multi drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada
perempuan hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol 1,3,5
Tabel 1 Jenis dan Sifat OAT
Jenis OAT
Isoniazid

Sifat
Bakterisid

Keterangan
Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam

(H)

Terkuat

keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang

Rifampisin

Bakterisid

sedang

berkembang.

Mekanisme

adalah

menghambat

cell-wall

kerjanya

biosynthesis

pathway
Rifampisin dapat membunuh kuman semi-

(R)

dormant (persistent) yang tidak dapat dibunuh


oleh Isoniazid. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat

polimerase

DNA-dependent

ribonucleic acid (RNA) M. Tuberculosis


Pirazinamid

Bakterisid

(Z)

Pirazinamid dapat membunuh kuman yang


berada dalam sel dengan suasana asam. Obat ini
hanya diberikan dalam 2 bulan pertama

Streptomisin

Bakterisid

pengobatan.
obat ini adalah suatu antibiotik golongan

(S)

aminoglikosida

Etambutol

pertumbuhan organisme ekstraselular.


-

Bakteriostatik

dan

bekerja

mencegah

(E)

(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).


Regimen pengobatan (metode DOTS)
Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar dapat mencegah
perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah menerapkan strategi DOTS dimana
petugas kesehatan tambahan yang berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk
memastikan kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen pengobatan
standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda menurut definisi kasus tersebut, seperti
bisa dilihat pada tabel di bawah ini.1,3,5
Tabel 2 Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Kategori
pengobatan

Paduan
Pasien TB

pengobatan

TB

TB

alternatif
Fase awal

Fase lanjutan

Kasus baru TB paru

setiap hari
2
EHRZ

3 x seminggu
6 HE

dahak positif; kasus baru

(SHRZ)

4 HR

TB paru dahak negatif

dengan kelainan luas di

(SHRZ)

paru; kasus baru TB

ekstra-pulmonal berat

(SHRZ)

EHRZ
EHRZ

4 H3 R3

II

III

Kambuh, dahak positif;

2 SHRZE / 1

5 H3R3E3

pengobatan

gagal;

HRZE

5 HRE

pengobatan

setelah

terputus

HRZE

Kasus baru TB paru

dahak

2H3R3Z3

negatif

(selain

dari

kategoriI);

kasus

baru

TB

ekstra-

pulmonal
IV

2 SHRZE / 1

yang

tidak

HRZ
HRZ

atau

6 HE

atau

2 HR/4H

atau

2 H3R3/4H

2H3R3Z3
2

HRZ

berat
Kasus

kronis

(dahak

2H3R3Z3
TIDAK DIPERGUNAKAN

masih

positif

setelah

(merujuk ke penuntun WHO

menjalankan pengobatan

guna pemakaian obat lini kedua

ulang)

yang diawasi pada pusat-pusat


spesialis)

Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program penanggulangan
tuberkulosis di Indonesia adalah 1,5
Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari selama 2 bulan obat
H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan
kemudian dilanjutkan ke fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih
positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi tanpa melihat apakah
sputum sudah negatif atau tidak.
Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan H, Z, E, setiap hari
selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan pertama. Apabila sputum BTA menjadi

negatif fase lanjutan bisa segera dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12,
fase inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2 sputum BTA masih
positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan,
obat dilanjutkan memakai fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H 3R3, yang dilanjutkan dengan fase lanjutan
2HR atau 2 H3R3.
Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda, sputumnya harus dikultur dan
dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau
menggunakan pengobatan TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE).
Obat sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada tahap
akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2 minggu), hasil pemeriksaan
dahak/sputum masih BTA positif.
Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara harian maupun
berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.1,5
Tabel 3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia
Jenis

Dosis

harian : 5mg/kg BB
intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
harian = intermiten : 10 mg/kgBB

harian : 25mg/kg BB
intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu

Streptomisin (S)

Etambutol (E)

harian = intermiten : 15 mg/kgBB


usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
usia > 60 th : 0,50 gr/hari
harian : 15mg/kg BB
intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu

Isoniazid (H)
Rifampisin (R)
Pirazinamid (Z)

Efek samping pengobatan


Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang mempersulit sasaran
pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin OAT masih dapat diberikan dalam dosis
terapeutik yang kecil, tapi bila efek samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan
harus dihentikan dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain.1,3,5

Tabel 4 Efek Samping Pengobatan dengan OAT


Jenis Obat
Isoniazid (H)

Ringan
tanda-tanda keracunan pada

Berat
Hepatitis, ikhterus

syaraf tepi, kesemutan, nyeri


otot

dan

gangguan

kesadaran. Kelainan yang


lain menyerupai defisiensi
piridoksin
kelainan

(pellagra)
kulit

dan
yang

bervariasi antara lain gatalgatal.


Rifampisin (R)

gatal-gatal kemerahan kulit,

Hepatitis, sindrom respirasi

sindrom flu, sindrom perut.

yang ditandai dengan sesak


nafas,

kadang

disertai

dengan kolaps atau renjatan


(syok),

purpura,

anemia

hemolitik yang akut, gagal


ginjal

Pirazinamid (Z)

Reaksi

hipersensitifitas :

demam, mual dan kemerahan

Hepatitis,

nyeri

serangan arthritis gout

sendi,

Streptomisin (S)

Reaksi

hipersensitifitas

Kerusakan saraf VIII yang

demam, sakit kepala, muntah

berkaitan

dan eritema pada kulit

keseimbangan

dengan
dan

pendengaran
Etambutol (E)

Gangguan
berupa

penglihatan
berkurangnya

Buta warna untuk warna


merah dan hijau

ketajaman penglihatan

Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan pemeriksaan kontrol,
seperti: 1,6
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin, darah perifer dan
asam urat (untuk pasien yang menggunakan Pirazinamid)
Hasil pengobatan
World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan penderita
tuberkulosis paru dibedakan menjadi :5
a. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif 2 kali atau
lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir pengobatannya.
b. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai jadwal yaitu
selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya 1 kali follow up dengan
hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir pengobatan.
c. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan seterusnya
sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA terkhir masih
positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-2 dari
pengobatan.
d. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari 2 bulan
sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
e. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa melihat sebab
kematiannya.

Resistensi Ganda (Multi Drug Resisten)3


Terdapat empat jenis kategori resistensi terhadap obatTB :
Mono-resistance: kekebalan terhadap salah satu OAT
Poly-resistance: kekebalan terhadap lebih dari satu OAT, selain kombinasi
isoniazid dan rifampisin
Multidrug-resistance (MDR) :kekebalan terhadap sekurang-kurangnya isoniazid
dan rifampicin
Extensive drug-resistance (XDR) : TB- MDR ditambah kekebalan terhadap salah
salah satu obat golongan fluorokuinolon, dan sedikitnya salah satu dari OAT
injeksi lini kedua (kapreomisin, kanamisin, dan amikasin).
Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu3 :

Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis


Penggunaan paduan obat yang tidaka dekuat, yaitu karena jenis obatnya yang kurang
atau karena dilingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang
digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi

terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi


Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu
stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali

selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga

mengganggu bioavailabilityi obat


Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat dating kesuatu daerah kadang terhenti

pengirimannya sampai berbulan-bulan.


Pemakaian obat anti tuberculosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB

Secara invitrofluorokuinolon dapat digunakan untuk kuman TB yang resistenterhadap lini-1


yaitu moksifloksasin konsentrasi hambat minimal paling rendah dibandingkan fluorokuinolon
lainnya dengan urutan berikutnya gatifloksasin, sparfloksasin, levofloksasin, ofloksasin dan
siprofloksasin. Siprofloksasin harus dihin dari pemakainnya Karena efek samping pada kulit yang
berat (fotosensitif)3.
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada paduan pengobatan yang distandarisasi.
Pemberian pengobatan pada dasarnya bergantung dari hasil uji resistensi dengan menggunakan
minimal 2-3 OAT yang masih sensitive dan obat tambahan lain. Obat tambahan yang dapat

digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan siprofloksasin), aminoglikosida


(amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid, sikloserin, klofazimin, amoksilin+
as.klavulanat. Saat ini paduan yang dianjurkan ialah OAT yang masih sensitif minimal 2 3 OAT
lini 1 ditambah dengan obat lini 2, yaitu ciprofloksasin dengan dosis 1000 1500 mg atau
ofloksasin 600 800 mg (obat dapat diberikan single dose atau 2 kali sehari). Pengobatan
terhadap

tuberculosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang lama yaitu

minimal 12 bulan, bahkan bias sampai 24 bulan3.


Tuberkulosis Paru pada Penderita Diabetes melitus
Cahyadi (2011) menyatakan bahwa DM merupakan faktor resiko paling penting dalam
perburukan TB. Sejak abad 20 para klinisi menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara TB dengan DM walaupun penyebabnya sampai sekarang belum jelas, namun
kemungkinan besar DM berdampak terhadap imunitas pasien TB.
DM menyebabkan defek fungsi sel-sel imun dan mekanisme pertahanan penjamu. Sampai
sekarang patogenesisnya masih belum jelas. Namun dari beberapa penelitian tingkat bakteriosidal
leukosit pada pasien TB dengan DM lebih rendah dibanding non DM, terutama bagi pasienpasien dengan kontrol gula yang buruk. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Wang et all.,
meningkatnya resiko TB pada pasien DM disebabkan oleh defek pada makrofag alveolar atau
limfosit T. Wang menemukan pada pasien TB dengan DM terdapat peningkatan jumlah makrofag
alveolar mature yang dianggap bertanggung jawab terhadap perluasan TB dan jumlah bakteri
dalam sputum pasien TB.
Kemudian Cahyadi (2011) juga menyatakan prevalensi TB meningkat seiring dengan
meningkatnya prevalensi DM. Frekuensi DM pada pasien TB dilaporkan sebanyak 10-15% dan
penyakit ini dilaporkan 2-5% lebih banyak dibanding pasien TB tanpa DM. Penelitian di taiwan
(dalam cahyadi, 2011) juga menyatakan DM merupakan faktor komorbid TB sebesar 21,5%.
DM tidak berpengaruh pada manifestasi, hasil bakteriologi, reaksi tuberkulin, dan
lokalisasi infiltrat gambaran radiografi. Namun, ada penelitian yang menyatakan bahwa pada
pasien wanita dengan usia lebih dari 40 tahun didapatkan adanya keterlibatan lapang paru bawah
yang secara statisktik berbeda secara bermakna dibandingkan dengan yang bukan DM.
(Cahyadi,2011).
Kemudian pada penelitian Wang et all.,(dalam Cahyadi 2011), menyatakan bahwa DM
dengan TB paru menunjukkan frekuensi lebih tinggi terhadap demam, hemoptitsis, pewarnaan

sputum BTA ulang positif, lesi konsodilasi, kavitasi dan lapang paru bawah pada gambaran
radiologi serta angka kematian yang lebih tinggi.
Kemudian Ali syahbana (dalam Cahyadi, 2011) juga menyatakan pasien TB dengan DM
mempunyai gejala klinis yang lebih banyak dan keadaan klinis yang lebih buruk.
Pengobatan TB dengan DM
Prinsip pengobatan pasien TB dengan DM serupa dengan penobatan pada pasien non DM
dengan syarat gula darah terkontrol. Yang menjadi perhatian pada pasien ini adalah efek samping
dari obat-obatan TB yang seharusnya dapat dicegah. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pada
pasien dengan pengobatan anti-diabetes sulfonilurea, karena obat-obatan TB dapat meningkatkan
metabolisme sulfonilurea sehingga apabila diberikan golongan sulfonilurea dosisnya dapat
ditingkatkan.
Kemudiaan perlu diketahui bahwa kadar rifampisin dalam plasma pasien TB dengan DM
hanya 50% dibandingkan dengan non DM sehingga dapat mendeskripsikan bahwa respon
pengobatan pasien TB dengan DM lebih rendah dibanding pasien non DM.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bahar A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi
IV. Jakarta : BPFKUI;988-994.
2. Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi 13
Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.

4. Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.


5. World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for National
programmes. Geneva : 3-15
6. Cahyadi A. Tuberkulosis Paru pada Pasien Diabetes Melitus. J Indon Med Assoc. 61(4) ;
173-178

You might also like