Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diare masih menjadi masalah kesehatan dunia sampai saat ini terutama di
negara berkembang. Besarnya masalah tersebut terlihat dari tingginya angka
kesakitan dan kematian akibat diare. World Health Organization (WHO)
memperkirakan 4 milyar kasus terjadi di dunia pada tahun 2000 dan 2,2 juta
diantaranya meninggal, sebagian besar anak-anak dibawah umur 5 tahun
(Parashar et al., 2003). WHO (2007) juga mencatat bahwa diare menyebabkan
dua juta anak di dunia meninggal setiap tahun. Meskipun di negara maju sudah
terjadi perbaikan kesehatan dan ekonomi masyarakat, akan tetapi kasus diare
masih tetap tinggi dan masih menjadi masalah.
Di Indonesia, diare masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat utama. Hal ini terlihat dengan masih tingginya angka kesakitan akibat
penyakit diare. Berdasarkan pola penyebab kematian pada semua umur, diare
merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi 3,5%. Sedangkan
berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat
ketiga setelah Tuberkulosis dan Pneumonia. Selain itu, diare juga merupakan
penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yaitu (31,4%). dan anak balita
usia (1-5 tahun) yaitu (25,2%) (Kemenkes RI, 2009).
Berdasarkan Kemenkes RI (2007) diketahui prevalensi diare nasional adalah
9,0% dengan prevalensi tertinggi di Provinsi NAD (18,9%). Jumlah kasus diare di
Propinsi Aceh tahun 2007 seluruhnya adalah 86.945 dan pada tahun 2008
seluruhnya adalah 77.290. Data penyakit diare di Kota Banda aceh dan Aceh
Besar pada tahun 2007 seluruhnya ada 4.770 kasus diare, dengan umur <1 tahun
adalah sebanyak 578 kasus, umur 1-4 tahun sebanyak 1.337 kasus, sedangkan
pada umur >5 tahun adalah 2.855 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 seluruhnya
sudah mencapai 6.011. Kasus diare dengan umur <1 tahun adalah sebanyak 528
kasus, umur 1-4 tahun sebanyak 1.619 kasus, sedangkan umur >5 tahun adalah
3.864 kasus. Di Kota Banda Aceh jumlah pasien diare pada anak sebanyak 5.875
orang (Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, 2010).
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui Prevalensi Diare Pada Balita Usia 0-5 Tahun di
Puskesmas Langsa Timur Tahun 2014 berdasarkan usia.
2. Untuk mengetahui Prevalensi Diare Pada Balita Usia 0-5 Tahun di
Puskesmas Langsa Timur Tahun 2014 berdasarkan jenis kelamin.
penelitian
selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare Akut
2.1.1 Definisi
Diare adalah buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, bahkan
dapat berupa air saja dengan frekuensi lebih sering dari biasanya (tiga kali atau
lebih) dalam sehari (Kemenkes RI, 2011). Menurut Pusponegoro et al. (2004),
diare akut didefinisikan sebagai buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam
dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 1 minggu.
Diare akut pada anak didefenisikan sebagai perubahan kebiasaan buang air
besar yang normal yakni peningkatan frekuensi (>10mL/kgbb/hari pada bayi dan
anak) dan/atau penurunan konsistensi feses (>3 kali dalam sehari) (Manoppo,
2010).
2.1.2 Etiologi
Diare akut dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut (Mansjoer
et al. 2000) :
1. Infeksi : virus, bakteri, dan parasit.
a. Golongan
virus:
Rotavirus,
Adenovirus,
Virus
Norwalk,
Astrovirus,
jejuni,
Clostridium
difficile,
Clostridium
perfringens,
halus dan akan menyebabkan infeksi dan merusakkan sel-sel epitel tersebut. Selsel epitel yang rusak akan digantikan oleh sel enterosit baru yang berbentuk
kuboid atau sel epitel gepeng yang belum matang sehingga fungsi sel-sel ini
masih belum bagus. Hal ini menyebabkan vili-vili usus halus mengalami atrofi
dan tidak dapat menyerap cairan dan makanan dengan baik. Cairan dan makanan
tadi akan terkumpul di usus halus dan akan meningkatkan tekanan osmotik usus.
Hal ini menyebabkan banyak cairan ditarik ke dalam lumen usus dan akan
menyebabkan terjadinya hiperperistaltik usus. Cairan dan makanan yang tidak
diserap tadi akan didorong keluar melalui anus dan terjadilah diare (Kliegman et
al., 2006).
2.1.4 Gejala klinis
Mula-mula pasien cengeng, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan
berkurang atau tidak ada, kemudian timbul diare. Tinja cair, mungkin disertai
lendir atau darah. Warna tinja makin lama berubah kehijau-hijauan karena
bercampur dengan empedu. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet karena sering
defekasi dan tinja makin lama makin asam karena makin banyak asam laktat yang
berasal dari laktosa yang tidak diabsorbsi dari usus selama diare. Gejala muntah
dapat timbul sebelum atau sesudah diare dan dapat disebabkan oleh lambung turut
meradang atau akibat gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit. Bila
pasien telah banyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai
tampak yaitu berat badan turun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung (pada bayi), selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak
kering. Berdasarkan banyaknya cairan yang hilang dapat dibagi menjadi dehidrasi
ringan, ringan-sedang dan berat. Bila berdasarkan tonisitas plasma dibagi menjadi
hipotonik, isotonik, dan hipertonik. Pasien diare yang dirawat biasanya sudah
dalam keadaan dehidrasi berat dengan rata-rata kehilangan cairan 12,5%. Pada
dehidrasi berat, volume darah berkurang sehingga dapat terjadi renjatan
hipovolemik dengan gejala denyut jantung menjadi cepat, nadi cepat dan kecil,
tekanan darah menurun, pasien sangat lemah, kesadaran menurun (apatis,
somnolen, kadang sampai stupor) (WHO, 2007).
Normal
Cekung
tidak sadar
Rasa haus
Minum biasa,
Haus, ingin
tidak haus
minum banyak
kering
Malas minum atau
Turgor kulit
Derajat
Tanpa
Dehidrasi
lambat
Dehidrasi berat
dehidrasi
Rencana
dehidrasi
Rencana
ringan / sedang
Rencana terapi
Rencana terapi C
pengobatan
terapi A
B
Sumber : Kementerian Kesehatan RI (2011)
2.1.5 Pemeriksaan penunjang
Menurut Mansjoer et al. (2000) pemeriksaan penunjang pada diare akut
meliputi:
1. Pemeriksaan tinja : makroskopik dan mikroskopik, pH dan kadar gula jika
diduga ada intoleransi gula (sugar intolerance), biakan kuman untuk mencari
kuman penyebab dan uji resistensi terhadap berbagai antibiotika.
2. Pemeriksaan darah : darah perifer lengkap, analisis gas darah dan elektrolit
(terutama Na, K, Ca, dan P serum pada diare yang disertai kejang).
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin darah untuk mengetahui faal ginjal
4. Duodenal intubation, untuk mengetahui kuman penyebab secara kuantitatif
dan kualitatif.
2.1.6 Penatalaksanaan
Kementerian
Kesehatan
RI
(2011)
menyebutkan
bahwa
prinsip
penatatalaksanaan diare terdiri atas lima langkah yang lebih dikenal dengan
LINTAS DIARE ( Lima Langkah Tuntaskan Diare) yaitu :
1. Rehidrasi menggunakan oralit osmoralitas rendah
Oralit adalah campuran garam elektrolit yang terdiri atas Natrium Klorida
(NaCl) Kalium Klorida (KCL), sitrat dan glukosa. Manfaat oralit untuk mencegah
dan mengobati dehidrasi sebagai pengganti cairan dan elektrolit yang terbuang
saat diare. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF merekomendasikan oralit
dengan osmoralitas rendah. Berdasarkan penelitian, oralit dengan osmoralitas
diberikan kepada penderita diare karena akan mengurangi volume tinja hingga 25
%, mengurangi mual muntah hingga 30 % dan mengurangi secara bermakna
pemberian cairan melalui intravena sampai 33 %.
2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut
Zinc baik dan aman untuk pengobatan diare. Berdasarkan hasil penelitian
Departement of Child and Adolescent Health and Depelopment, World Health
Organization manfaat zinc yaitu : lebih cepat sembuh hingga 20 %, mengurangi
resiko diare lebih dari 7 hari hingga 20 %, mengurangi jumlah tinja, mengurangi
resiko diare berikutnya 2-3 bulan ke depan, mengobati serta mencegah diare
berdarah, dan menurunkan pemakaian antibiotik irasional.
3. Teruskan pemberian ASI dan makanan
Memberikan makanan kepada balita selama diare akan membantu anak
tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya berat badan. Anak yang
menderita diare jika tidak diberikan asupan makanan yang sesuai umur akan
menyebabkan anak kurang gizi. Bila anak kurang gizi akan meningkatkan resiko
terkena diare kembali, oleh karena itu perlu diperhatikan : (1) berikan ASI lebih
sering dan lebih lama (bayi 0-24 bulan), (2) berikan makanan sesuai umur lebih
sering, sedikit-sedikit, lebih bervariasi, lebih lembut sejak bayi berusia 6 bulan,
(3) petugas kesehatan memberikan edukasi kepada ibu agar kembali menyusui
2.2.1 Usia
Survei diare tahun 1990 di Kecamatan Beringin Kabupaten Semarang
mendapatkan kejadian tertinggi pada golongan umur 6 24 bulan (Karuniawati,
2010). Sementara itu hasil penelitian Palupi et al. (2009), prevalensi diare
tertinggi terjadi pada kelompok umur 12-23 bulan. Tingginya kejadian pada
kelompok umur ini disebabkan kekebalan alami pada anak dibawah umur 24
bulan belum terbentuk, sehingga kemungkinan terjadinya infeksi lebih besar. Hal
ini dapat terjadi karena penyapihan atau pemberian makanan tambahan yang
dimulai ketika umur anak kurang dari 24 bulan, sehingga anak-anak sudah
terpapar pada pengganti air susu ibu dan makanan tambahan yang kemungkinan
pengolahannya kurang higienis.
Pengaruh usia tampak jelas pada manifestasi diare. Komplikasi lebih
banyak terjadi pada umur di bawah 2 bulan secara bermakna dan makin muda usia
bayi makin lama durasi diarenya. Penelitian di Surabaya menunjukkan bahwa
diare persisten terjadi pada 2,73% penderita diare akut, dan terbanyak terjadi pada
usia 0-2 bulan. Penelitian ini menunjukkan bahwa umur merupakan salah satu
faktor determinan yang terkait dengan durasi diare. Kerusakan mukosa usus yang
menimbulkan diare dapat terjadi karena gangguan integritas mukosa usus yang
banyak dipengaruhi dan dipertahankan oleh sistem imunologik intestinal serta
regenerasi epitel usus yang pada masa bayi muda masih terbatas kemampuannya
(Karuniawati, 2010).
Purnamasari (2011) menambahkan bahwa ada beberapa perbedaan antara
saluran pencernaan bayi dengan saluran cerna dewasa, dimana sistem pertahanan
saluran cerna pada bayi masih belum matang, sekresi asam lambung belum
sempurna saat lahir dan membutuhkan waktu hingga beberapa bulan untuk dapat
mencapai kadar bakteriosidal dimana pH < 4. Begitu pula dengan barier mukosa
berkembang sesuai dengan bertambahnya usia. Ada perbedaan ikatan mikrovilus
terhadap bakteri atau toksinnya serta komposisi mukus intestinal pada bayi dan
dewasa. Perbedaan jumlah flora normal terjadi karena saluran pencernaan pada
awalnya steril dan flora normal saluran cerna berkembang beberapa bulan awal
kehidupan. Pada neonatus, produksi beberapa enzim pencernaan belum
berkembang sempurna, misalnya produksi lipase oleh pankreas.
10
Dehidrasi
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air lebih banyak dari pada pemasukan
air. Faktor yang mempengaruhi kejadian dehidrasi lebih sering dijumpai pada
kelompok pasien dengan status gizi kurus sekali dan kurus karena terjadinya atrofi
vilus usus halus yang akan mengakibatkan gangguan penyerapan cairan pada usus
yang akhirnya dapat memperberat dehidrasi. Selain itu, pada anak dengan gizi
buruk terjadi juga atrofi mukosa kolon yang permukaannya berubah menjadi datar
kemudian diinfiltrasi sel plasma dan keadaan kolon seperti ini akan
memperlihatkan gangguan fungsi berupa menurunnya kapasitas reabsorbsi air dan
elektrolit. Semakin berat dehidrasi, maka makin buruk pula kondisi pasien diare
(Palupi et al., 2009).
11
2.2.4
Higiene
Higiene lingkungan (air bersih yang dimasak, botol susu, atau alat lain
yang steril) merupakan hal penting yang perlu diperhatikan untuk menghindari
kontaminasi makanan oleh kuman, sehingga dapat dicegah berulangnya infeksi
atau diare dan lama penyembuhannya. Higiene yang buruk dapat berakibat
masuknya bakteri secara berlebihan kedalam usus, sehingga dapat mengalahkan
pertahanan tubuh normal (Palupi et al., 2009).
2.2.5
Penyakit penyerta
Putra (2008) menyebutkan bahwa anak yang menderita diare bisa saja
disertai dengan penyakit lain, sehingga dalam menangani diarenya juga perlu
diperhatikan penyakit penyerta yang ada. Beberapa penyakit penyerta yang sering
terjadi bersamaan dengan diare antara lain : infeksi saluran nafas, infeksi saluran
kemih, infeksi susunan saraf pusat, infeksi sistemik lain (campak, sepsis), kurang
gizi, penyakit jantung dan penyakit ginjal. Meilyana et al. (2010) dalam
penelitiannya yang menemukan bahwa penyakit penyerta merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi lama rawatan pasien anak.
2.2.6
Status gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh akibat konsumsi makanan dan pengunaan
zat-zat gizi (Almatsir, 2004). Menurut pendapat lain status gizi yaitu ekspresi dari
keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu
nutriture dalam bentuk variabel tertentu. Contoh: Gizi kurang merupakan keadaan
tidak seimbangnya konsumsi makanan dalam tubuh seseorang (Supariasa et al.,
2002).
Menentukan klasifikasi status gizi harus ada ukuran baku yang sering
disebut reference. Baku antropometri yang sering digunakan di Indonesia adalah
World Health Organization National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS).
Berdasarkan baku WHO-NCHS status gizi diklasifikasikan menjadi 4 (empat)
tingkatan yaitu:
12
1. Gizi Lebih (over weight), termasuk kegemukan dan obesitas: Yaitu jumlah
asupan (intake) zat gizi lebih banyak dari jumlah gizi yang dibutuhkan.
2. Gizi Baik (well nourished): Yaitu jumlah asupan (intake) zat gizi seimbang
dengan jumlah gizi yang dibutuhkan.
3. Gizi Kurang (under weight): Yaitu jumlah asupan (intake) zat gizi lebih kecil
dari jumlah gizi yang dibutuhkan, yaitu mencakup kekurangan kalori dan
protein (KKP).
4. Gizi Buruk: Yaitu jumlah asupan (intake) zat gizi lebih kecil dari jumlah gizi
yang
dibutuhkan,
termasuk
marasmus,
kwashiorkor
dan
marasmus-
kwashiorkor.
Status gizi ini menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko
untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik bagi seseorang
akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam
proses pemulihan. Status gizi masyarakat dapat diketahui melalui penilaian
konsumsi pangannya berdasarkan data kuantitatif maupun kualitatif (Achadi,
2007).
Status gizi mempengaruhi lama rawatan pasien diare akut pada anak.
Pasien yang termasuk dalam kelompok status gizi kurus sekali dan kurus memiliki
rerata lama diare lebih lama dibandingkan dengan pasien yang berstatus gizi
normal dan gemuk. Makin buruk status gizi pasien, makin lama pula diare yang
diderita pasien (Palupi et al., 2009). Sinthamurniwaty (2006) menambahkan,
semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare yang diderita.
Diduga bahwa mukosa penderita malnutrisi sangat peka terhadap infeksi karena
daya tahan tubuh yang kurang.
Serangan diare pada penderita malnutrisi terjadi lebih sering dan lebih
lama. Semakin buruk keadaan gizi anak, semakin sering dan berat diare yang
dideritanya. Traktus gastrointestinal sangat rentan terhadap malnutrisi. Malnutrisi
mengakibatkan kerusakan barier mukosa sehingga meningkatkan kerentanan
terhadap infeksi. Malnutrisi juga mengganggu produksi dan maturasi dari
enterosit baru sehingga merubah morfologi intestinal (Brewster, 2000).
Menurut Harianto (2004), status gizi buruk yang sudah terjadi sebelumnya
membuat keadaan menjadi kurang menguntungkan, seperti jumlah masukan
13
rusak
maupun
penyembuhan
luka.
Adanya
defisiensi
seng
14
gizi.
Antropometri
secara
umum
digunakan
untuk
melihat
15
kejadian buta senja epidemic (epidemic of night blindnes), cara yang digunakan
adalah tes adaptasi gelap.
b. Penilaian satus gizi secara langsung
Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu survei
konsumsi pangan, statistik vital, dan faktor ekologi.
1) Survei konsumsi pangan
Survei konsumsi pangan adalah metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi.
Pengumpulan data konsumsi makanan dapat memberikan gambaran tentang
konsumsi berbagai zat gizi pada masyarakat, keluarga dan individu. Survei ini
dapat mengidentifikasikan kelebihan dan kekurangan zat gizi.
2) Statistik vital
Pengukuran status gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis
data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka
kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang
berhubungan dengan gizi. Penggunaannya dipertimbangkan sebagai bagian dari
indikator tidak langsung pengukuran status gizi masyarakat.
3) Faktor Ekologi
Bengoa mengungkapkan bahwa malnutrisi merupakan masalah ekologi
sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya.
Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti
iklim, tanah, irigasi dan lain lain. Pengukuran faktor ekologi dipandang sangat
penting untuk mengetahui penyebab malnutrisi di suatu masyarakat sebagai dasar
untuk melakukan program intervensi gizi.
2. Antropometri Gizi
Menurut Supariasa et al. (2002), Antropometri berasal dari kata antropos
dan metros. Antropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri
adalah ukuran dari tubuh. Antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai
macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat
umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi
16
badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit. Antropometri sangat
umum di gunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan
antar asupan protein dan energi yang biasanya gangguan ini terlihat dari pola
pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah
cairan dalam tubuh.
Beberapa keunggulan antropometri gizi meliputi:
a. Prosedur sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam sampel yang besar.
b. Relatif tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga
yang sudah dilatih dalam waktu singkat.
c. Alatnya murah, mudah dibawa, tahan lama, dapat dipesan dan dibuat di daerah
setempat. Untuk Skin Fold Caliper, alat yang digunakan untuk mengukur tebal
lemak dibawah kulit merupakan alat antropometri yang mahal dan harus
diimpor dari luar negeri.
d. Metode yang tepat dan akurat karena dapat dibakukan.
e. Dapat mendeteksi atau menggambarkan riwayat gizi di masa lampau.
f. Umumnya dapat mengidentifikasi status gizi sedang, kurang dan gizi buruk
karena sudah ada ambang batas yang jelas.
g. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
h. Dapat digunakan untuk penapisan kelompok yang rawan terhadap gizi.
Disamping keunggulan metode penentuan status secara antropometri,
terdapat pula beberapa kelemahan yang meliputi:
a. Tidak sensitif: Metode ini tidak dapat mendeteksi status gizi dalam waktu
singkat. Disamping itu tidak dapat membedakan kekurangan zat gizi tertentu
seperti Zink dan Fe.
b. Faktor diluar gizi (penyakit, genetik, dan penuruna penggunaan energi) dapat
menurunkan spesifikasi dan sensitivitas pengukuran antropometri.
c. Kesalahan yang terjadi pada saat pengukuran dapat mempengaruhi presisi,
akurasi, dan validitas pengukuran antropometri.
3. Jenis Parameter Antropometri Gizi
17
banyak digunakan baik dalam program maupun penelitian adalah berat badan dan
tinggi badan yang menjadi objek pengukuran antropometri bagi anak-anak balita.
Untuk penilaian status gizi, antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang
terkait dengan variabel lain, seperti :
a. Berat Badan Menurut Umur (BB/U)
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran
massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan
atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Berat badan adalah
parameter antropometri yang sangat labil. Dalam keadaan normal, dimana
keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat
gizi terjamin, maka berat badan berkembang mengikuti pertambahan umur.
Sebaliknya
dalam
keadaan
yang
abnormal,
terdapat
kemungkinan
perkembangan berat badan, yaitu dapat berkembang cepat atau lebih lambat dari
keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks berat
badan menurut umur digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.
Mengingat karakteristik berat badan yang labil, maka indeks BB/U lebih
menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).
Menurut
standar
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
nomor.
18
standar
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
nomor.
19
diperlukan dua orang untuk melakukannya serta ketepatan umur sulit didapat
(Supariasa et al., 2002).
c. Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam
keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan
berat badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan indikator yang
baik untuk menilai status gizi saat kini.
Menurut
standar
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
nomor.
20
Gizi Lebih
Panjang badan menurut umur Sangat pendek
Pendek
(PB/U) atau
Tinggi badan menurut umur Normal
Tinggi
(TB/U)
Anak umur 0-60 bulan
Berat badan menurut panjang Sangat kurus
Kurus
badan (BB/PB) atau
Berat badan menurut tinggi Normal
Gemuk
badan (BB/TB)
Anak umur 0-60 bulan
Indeks massa tubuh menurut Sangat kurus
Kurus
Umur (IMT/U)
Normal
Anak umur 0-60 bulan
Gemuk
Indeks massa tubuh menurut Sangat kurus
Kurus
Umur (IMT/U)
Normal
Anak umur 5-18 tahun
Gemuk
Obesitas
Sumber : Menkes RI, 2011
>2 SD
< -3 SD
-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
< -3 SD
-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
< -3 SD
-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
< -3 SD
-3 SD sampai dengan <-2 SD
-2 SD sampai dengan 1 SD
>1 SD sampai dengan 2 SD
>2 SD
BAB III
METODE PENELITIAN
populasi yang
POPULASI PROJECT
22
SAMPEL PROJECT
PENGOLAHAN DATA
PELAPORAN HASIL
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Profil Komunitas Umum
Puskesmas Langsa Timur merupakan puskesmas yang berdomilisi di
kecamatan Langsa Timur Kota Langsa dengan jumlah penduduk 14.512 jiwa,
dengan jumlah penduduk laki-laki 7.451 jiwa dan perempuan 7.061 jiwa. Jumlah
penduduk ini tersebar dalam 16 desa.
Tabel 4.1. Karakteristik kunjungan pasien berdasarkan umur Tahun 2014.
23
No
Umur (tahun)
Jumlah
Persentase (%)
01
388
2.97
14
1653
12.68
59
1337
10.25
10 14
739
5.66
15 19
604
4.63
20 44
3480
26.69
45 54
1547
11.86
55 59
1200
9.20
60 69
1358
10.42
10
70
730
5.60
13036
100
Total
30.00%
25.00%
20.00%
15.00%
10.00%
5.00%
0.00%
Gambar 4.1: Grafik karakteristik kunjungan pasien berdasarkan umur Tahun 2014
24
Penyakit
ISPA
Reumatik
Gastritis
Hipertensi
Common Cold
Dermatitis
Diare
Hipotensi
Diabetes Mellitus
Asma Bronkial
Penyakit Lain
Total
Jumlah
2453
1280
1242
1069
989
711
544
483
478
262
3525
13036
Persentase
18.82%
9.82 %
9.53 %
8.20 %
7.59 %
5.45 %
4.17 %
3.71 %
3.67 %
2.01 %
27.04 %
100 %
Askes
Lk
Pr
Total
140 197 337
137 210 347
169 212 381
130 190 320
127 203 330
136 174 310
138 148 286
111 148 259
102 148
Total
2570
95
2
Lk: Laki-laki, Pr: Perempuan
Lk
1575
586
593
485
456
390
409
498
JKA
Pr
969
818
779
708
623
420
535
451
Total
2544
1404
1372
1193
1079
1477
1167
949
4992
5303
10295
Jamkesmas
Lk
LPr Total
1272 1641 2913
708 1539 2247
714 1268 1982
687 1129 1816
574 1010 1584
498 835 1333
603 1092 1695
544 984 1528
1509
5600 9498
8
25
c. Polindes 13 unit
d. Rumah dinas paramedis 3 unit
Jumlah penduduk di wilayah kerja puskesmas kembang tanjung, yaitu
14.512 jiwa yang.
4.4 Sumber daya Kesehatan yang ada
4.4.1 Tenaga Kesehatan
Puskesmas Kembang Tanjung memiliki tenaga kesehatan sebanyak 159
orang, yang terdiri dari:
Tabel 4.4 Jenis Pegawai Kesehatan Puskesmas Langsa Timur Tahun 2011
No.
Jenis Pegawai
Jumlah
1.
PNS
73 orang
2.
PTT
15 orang
Honor
8 orang
Bakti
6 orang
Total
159 orang
27
a. Laboratorium sederhana
b. Pencegahan infeksi
c. SP2TP
4.6 Hasil Penelitian
Setelah penelitian dilakukan, ditemukan 544 penderita Diare di Puskesmas
Langsa Timur Kota Langsa pada Tahun 2014. Data yang telah dikumpulkan,
diolah dan dianalisa berdasarkan laporan hasil medical record Puskesmas Langsa
Timur Tahun 2014 yaitu sebagai berikut :
4.6.1 Prevalensi Diare pada balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Langsa Timur
2014
Jumlah kunjungan pasien balita dengan diagnosa Diare pada Tahun 2014
yaitu sebesar 4,17% atau 544 balita dari total seluruh pasien di Puskesmas
Langsa Timur sebanyak 13036. Lihat di table 4.1.
Balita dengan
diagnosa Diare
Total pasien tahun
2014
Tabel 4.1. Persentase balita dengan diagnose Diare pada Tahun 2014
4.6.2. Prevalensi Diare pada balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Langsa
Timur 2014 berdasarkan usia
Kategori
Usia 0 - <2 tahun
Usia 2- 5 tahun
Total
Frekuensi
Persentase
356
188
544
(%)
65,40 %
34,60 %
100,00 %
29
0 - <2 tahun
2 - 5 tahun
Kategori
1
2
Laki-laki
Perempuan
Total
Frekuensi
Persentase
279
265
544
(%)
51.29 %
48.71 %
100,00 %
Total kunjungan pasien balita dengan diagnosa Diare tertinggi pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 279 balita dari total kunjungan pasien
Diare pada usia balita Tahun 2014 atau sebesar 21.29%. (Lihat ditabel
4.2.2).
30
52%
51%
50%
49%
48%
47%
perempuan
laki-laki
4.7 Pembahasan
4.7.1 Berdasarkan Usia
Dari penelitian yang dilakukan tentang Prevalensi Diare pada Balita Usia
0-5 Tahun di Puskesmas Langsa Timur Tahun 2014 diperoleh sebanyak 544 balita
penderita diare.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa
penderita diare pada balita usia 0-5 tahun di Puskesmas Langsa Timur Tahun 2014
mayoritas terjadi pada usia 0 - <2 tahun yaitu sebanyak 356 orang (65.40%) dan
minoritas tejadi pada usia 2 5 tahun yaitu sebanyak 188 orang (34.60%).
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yusuf (2011), bahwa sebagian besar
penderita diare akut berusia 1 bulan - < 2 tahun yaitu 76 balita (73,1%). Hasil ini
juga sejalan dengan hasil yang didapatkan oleh Sinthamurniwaty (2006) dalam
peneliriannya di Kabupaten Semarang, dimana kasus diare pada balita terbanyak
31
32
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari pelaksanaan mini projek dapat disimpulkan bahwa :
1. Jumlah kunjungan pasien balita dengan diagnosa Diare pada Tahun 2014
yaitu sebesar 4,17% atau 544 balita dari total seluruh pasien di Puskesmas
Langsa Timur sebanyak 130362.
2. Total kunjungan pasien balita dengan diagnosa Diare tertinggi pada
rentang usia 0 - <2 tahun yaitu sebanyak 356 balita dari total kunjungan
pasien Diare pada usia balita Tahun 2014 atau sebesar 65,40%.
3. Total kunjungan pasien balita dengan diagnosa Diare tertinggi pada jenis
kelamin perempuan yaitu sebanyak 279 balita dari total kunjungan pasien
Diare pada usia balita Tahun 2014 atau sebesar 21.29%
5.2 Saran
1. Diharapkan
kepada
peneliti
untuk
dapat
menambah
wawasan,
33
4. Diharapkan bagi orang tua penderita diare agar dapat saling bekerja sama
dengan tenaga kesehatan dan berobat secara teratur untuk lebih
berhasilnya dalam pelaksanaan terapi.
5. Diharapkan kepada pihak Puskesmas Langsa Timur agar dapat
melengkapi data pasien dalam melakukan rekam medik (medical record)
agar semua data pasien dapat diketahui secara lengkap.
34