You are on page 1of 27

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan pembangunan, terutama di bidang kesehatan, secara tidak
langsung telah menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk, serta
meningkatkan usia harapan hidup. Hal tersebut juga memicu perkembangan
jumlah penduduk Lanjut usia (lansia) yang dari tahun ke tahun cenderung
meningkat. Pada tahun 2005, angka harapan hidup orang Indonesia adalah
70,0 tahun. Tahun 2006 meningkat menjadi 70,2 tahun. Jumlah ini terus
meningkat menjadi 70,4 tahun pada tahun 2007 dan di perkirakan pada tahun
2025 angka harapan hidup penduduk indonesia akan menjadi 73 tahun (BPS,
2007).
Jumlah penduduk lansia Indonesia mencapai 19,32 juta orang atau
8,37% dari total seluruh penduduk Indonesia. Dibandingkan tahun
sebelumnya, terjadi peningkatan jumlah penduduk lansia dimana pada tahun
2005 jumlah penduduk lansia sebesar 16,80 juta orang. Angka ini naik
menjadi 18,96 juta orang pada tahun 2007, dan menjadi 19,32 juta orang pada
tahun 2009 (Komnas Lansia, 2010).
Konstipasi merupakan kesulitan dalam pengeluaran sisa pencernaan,
karena volume feses terlalu kecil sehingga penderita jarang buang air besar.
Kondisi ini akan memperlama waktu transit atau perjalanan makanan dari
mulut sampai dubur (Soelistijani, 2002). Semakin lama tinja tertahan dalam
usus, konsistensinya semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah
dikeluarkan. Hal tersebut berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding usus
akibat penuaan yaitu kegiatan fisik yang mulai berkurang, serta kurangnya
asupan serat dan cairan (Arisman, 2007).
Salah satu cara menjaga kesehatan pada lansia adalah dengan
mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang. Salah satunya dengan
mengkonsumsi cukup serat dan cairan. Konsumsi serat dan cairan dapat
mengurangi resiko konstipasi pada lansia. Bahan makanan yang termasuk
sumber serat diantaranya adalah kacang-kacangan, sayur dan buah. Konsumsi
cairan juga dipengaruhi oleh akses terhadap air bersih. Walaupun konsumsi

cairan bukan hanya berasal dari minuman berupa air, tetapi juga dari buah
dan sayur, bahan makanan maupun proses pernapasan. (Almatsier, 2006).
Intervensi keperawatan dalam mengatasi konstipasi yang telah
dilakukan selama ini lebih banyak mengarah pada intervensi kolaboratif.
Selain itu, pemahaman perawat terhadap konstipasi banyak mengarah pada
frekuensi defekasi saja, sehingga masalah konstipasi kurang terdeteksi.
Penanganan konstipasi merupakan salah satu bentuk tanggung jawab perawat
dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien, sehingga dalam penanganan
konstipasi perawat dapat memberikan terapi secara lebih spesifik.
Latar belakang di atas menjadi dasar bagi penulis untuk mengetahui
asuhan keperawatan pada lansia dengan gangguan sistem pencernaan:
konstipasi.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien lansia dengan gangguan
sistem pencernaan: konstipasi?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada pasien
lansia dengan gangguan sistem pencernaan: konstipasi.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mahasiswa dapat menjelaskan definisi konstipasi.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan epidemiologi lansia
3.
4.
5.
6.

dengan

konstipasi.
Mahasiswa dapat menjelaskan etiologi konstipasi.
Mahasiswa dapat menjelaskan patofisiologi konstipasi.
Mahasiswa dapat menyebutkan manifestasi klinis dari konstipasi.
Mahasiswa dapat menjelaskan penatalaksanaan lansia dengan

konstipasi.
7. Mahasiswa dapat menjelaskan WOC dari lansia dengan konstipasi.
8. Mahasiswa dapat menjelaskan asuhan keperawatan pada lansia
dengan gangguan sistem pencernaan: konstipasi.
1.4 Manfaat
1. Mengetahui perjalanan penyakit yang terjadi sehingga dapat memberikan
asuhan keperawatan yang tepat.
2. Menambah pengetahuan khususnya di bidang keperawatan gerontik
maupun keperawatan pencernaan sebagai referensi dalam memberikan
asuhan keperawatan.

3. Meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada


pasien lansia dengan konstipasi.

BAB 1
PENDAHULUAN
2.1 Anatomi Sistem Pencernaan Bagian Bawah (Kolon-Anus)
Kolon (usus besar) memiliki panjang lebih kurang 1,3 m dan terdiri dari
seikum dengan apendiks, bagian distal ileum masuk ke dalam seikum sebagai
proyeksi papiloform yang bulat atau oval, bentuk ini disebut valvula ileoseal.
Yang bersambung ke kolon asenden, kolon transversum, kolon desenden dan

kolon sigmoid. Mukosa dinding usu besar permukaannya sangat halus,


berbentuk sebagai lipatan semisirkuler, plika semilunaris. Mukosa terdiri dari
sel epitel kolumnar yang tinggi berlapis tunggal. Tidak ada vili di kolon, tapi
ada kripti-kripti dimana epitel terdiri dari banyak sel goblet yang
memproduksi mukus, seperti di usus halus ada kelenjar limfatik. Dinding otot
dibentuk sebagai lapisan dalam sirkuler dan luar longitudinal, merupakan
lapisan yang tidak sirkumferensial di kolon tapi sebaliknya dibentuk ke dalam
tiga ikatan grup yang disebut taenia coli. Lapisan serosa kolon asendens dan
kolon desendens berada sebagian di bawah peritoneum, menyambung dengan
peritoneum pada bagian depan saja. Kolon transversum dan sigmoid berada di
peritoneum, persyarafan pada kolon yaitu sistem saraf otonom, sistem saraf
enterik dan sistem saraf instrinsik melallui pleksus misentrika dan
submukosa. Tugas utama kolon yaitu absorbsi air dan elektrolit yang masuk
ke dalam usus dengan cairan pencernaan, sebagai transport produksi sisa dan
secara temporer menyimpan produk sisa.
Rektum bersambung dengan kolon sigmoid dan mulai pada tingkat
setinggi vertebra sakrum ketiga, rektum berbentuk S-shaped dan seluruhnya
sepanjang 15 cm mengikuti curvature sacrum dan coccyx. Rektum memiliki
tiga kurva lateral dan bagian dalam dari lipatan transversal ini dinamakan
rectal valves of Houston. Ampula rekti merupakan bagian atas dari rektum,
secara normal bagian ini benar-benar kosong dari bahan fekal, bahan fekal
disimpan di kolon sigmoid tetapi ada juga bahan fekal mencapai ampula rekti
sehingga timbul keinginan untuk defekasi. Rektum berjalan ke bawah melalui
pelvic floor yang terdiri dari lapisan musculotendinous yang terbentuk lebih
predominan dari serat bercorak yang dikenal dengan otot levator ani. Ketika
rektum berjalan melalui pelvis bersatu dengan kanal anus, arahnya tidak lurus
membentuk sudut 90, sudut ini penting sekali untuk mempertahankan fecal
continence.

Gambar 1. Diagram kedudukan kolon dalam perbandingan terhadap kerangka


(Pearce, 2011)
Kanal anus pelvis floor membentuk batas rektum dan kanal anus
memiliki panjang lebih kurang 3-4 cm dan dikelilingi otot sfingter. Dinding
kanal anal dibatasi oleh sel epitel kolumnar, bagian distal dari kanal anus
dibatasi oleh anoderm. Lapisan tipis dari epitel skuamosa berlapis yang
kurang mengandung kelenjar keringat dan folikel rambut. Perbatasan antara
epitel ini dinamakan linea mukokutanea atau linca dentate, beberapa lipatan
mukosa longitudinal (columnaeanales atau clumna morgagni) timbul pada
proksimal kananl anus dan berakhir pada linea dentate, dimana mereka
mengelilingi kipti anus tubular dan kelenjar. Mukosa disini memiliki
gamabaran ungu dibanding warna merah pada mukosa kanal anus lainnya.
Pada lapisan otot ada dua sfingter anus, yaitu sfingter anus interna dan
sfingter anus eksterna, dimana secara bersama pelvic floor bekerja sebagai
tenaga penahan untuk mempertahankan fecal continence. Sfingter interna
ini merupakan lanjutan dari otot polos sirkuler dalam reektum dan
mempertahankan tekanan otot yang kontinyu yang mendemonstrasikan
fluktuasi siklik. Sfingter ini secara total berada dalam kontrol otonom dan
terutama bertanggung jawab dalam tekanan istirahat kanal anus. Sfingter
eksterna biasanya bertanggung jawab dalam tekanan volunter, tetapi juga
berperan pada waktu istirahat. Sfingter eksterna terdiri dari dua tipe berbeda
serat otot merah dan putih. Meskipun serat otot merah tampak volunter, serat
tersebgut dapat mempertahankan kontraksi tonik sama seperti sfingter
interma. Serat putih berkemampuan untuk kontraksi kuat, tetapi hanya dapat

mempertahankan tingkat kontraksi maksimal ini untuk waktu yang pendek.


Otot levator ani di pelvis floor terdiri dari pubococcygeus dengan otot
puborectalis

membentuk

puborectal

sling,

ileococcygeus

dan

ishiococcygeus, akan tetapi tetap ada variasi. Otot puborectalis lebih penting
karena kontraksi otot ini mempertahankan sudut anorektal lebih kurang 90,
sudut ini penting dalam mempertahankan continence.
Persarafan rektum dan bagian atas kanal dipersarafi oleh serat-serat
sistem saraf otonom dan saraf enteric (ENS). Sfingter eksterna dan otot
levator ani dipersarafi oleh saraf somatik, cabang timbul dari saraf sakral
kedua, ketiga dan keempat menyatu dengan saraf udendal dan kanal anal,
distal dari linea deritate, dipengaruhi oleh serat aferen saraf rektal inferior.
Mukosa rektum dan proksimal kanal anus kurang akan persarafan sensori
somatik (Simadibrata, 2011).
2.2 Fisiologi Saluran Pencernaan Bagian Bawah
Dalam 4 jam setelah makan, materi sisa residu melewati ileum terminalis
dan dengan perlahan melewati bagian proksimal kolon melalui katup
ileosekal. Katup ini, yang secara normal tertutup, membantu mencegah isi
kolon mengalir kembali ke usus halus. Pada setiap gelombang peristaltik,
katup terbuka secara singkat dan memungkinkan sebagian isinya masuk ke
dalam kolon.
Populasi bakteri adalah komponen utama dari isi usus besar. Bakteri
membantu menyelesaikan pemecahan materi sisa dan garam empedu. Dua
jenis sekresi kolon ditambahkan materi sisa mukus dan larutan elektrolit.
Larutan elektrolit adalah larutan bikarbonat yang bekerja untuk menetralisasi
produk akhir yang terbentuk melalui kerja bakteri kolonik. Mukus ini
melindungi mukosa kolon dari isi interluminal dan juga memberikan
perlekatan untuk massa fekal.
Aktivitas peristaltik yang lemah menggerakkan isi kolonik dengan
perlahan sepanjang saluran. Transpor lambat ini memungkinkan reabsorbsi
efisien terhadap air dan elektrolit. Gelombang peristaltik kuat intermitten
mendorong isi untuk jarak tertentu. Hal ini terjadi secara umum setelah
makanan lain dimakan, bila hormon perangsang usus dilepaskan. Materi sisa
dari makanan akhirnya mencapai dan mengembangkan anus, biasanya dalam

kira-kira 12 jam. Sebanyak seperempat dari materi sida makanan mungkin


tetap berada di rektum 3 hari setelah makanan dicerna (Smeltzer, 2002).
Proses terjadinya defekasi (buang air besar-BAB) adalah didahuluinya
proses transportasi feses ke rektum yang mengakibatkan ketegangan dinding
rektum dan merangsang terjadinya refleks defekasi (Priyanto, 2009).
Distensi rektum secara relatif menimbulkan kontraksi otot-ototnya dan
merilekskan sfingter anal internal, yang biasanya tertutup. Sfingter internal
dikontrol oleh sistem saraf otonom, sfingter eksternal di bawah kontrol sadar
korteks serebri. Selama defekasi, sfingter anal eksternal secara volunter
rileks, untuk memungkinkan isi kolon keluar. Secara normal, sfingter anal
eksternal dipertahankan pada status kontraksi tonus. Oleh karena itu, defekasi
terlihat menjadi refleks spinal yang dapat secara volunter dihambat dengan
mempertahankan sfingter anal eksternal tertututup. Kontraksi otot abdomen
(peregangan) memudahkan pengosongan kolon.
Rata-rata frekuensi defekasi pada manusia adalah sekali sehari, tetapi
frekuensi bervariasi di antara individu. Populasi lansia cenderung mengalami
perubahan frekuensi defekasi.
Feses terdiri dari makanan yang tidak dicerna, materi anorganik, air dan
bakteri. Bahan fekal kira0kira 75% materi cair dan 2% materi padat.
Komposisi ini relatif tidak dipengaruhi oleh perubahan diet, karena bagian
terbesar dari massa fekal adalah berasal dari nondiet, diturunkan dari sekresi
saluran GI. Warna coklat dari feses dihubungkan dengan pemecahan empedu
oleh bakteri usus.
Kimiawi dibentuk oleh bakteri usus (khususnya indol dan skatol)
berperan besar dalam menimbulkan bau feses. Gas-gas yang dibentuk antara
lain terdiri dari metan, sulfida hidrogen dan amonia. Saluran GI secara normal
mengandung kira-kira 150 ml gas-gas ini. Gas-gas ini diabsorbsi di dalam
sirkulasi portal dan didetoksifikasi oleh hepar atau dikeluarkan dari rektum
(flatus) (Smeltzer, 2002).
2.3 Konsep Lansia
2.3.1 Definisi
Dari beberapa referensi yang ada menjelaskan bahwa pengertian
lanjut usia menurut undang-undang No. 4 tahun 1965 adalah seseorang
yang mencapai 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari
nafkah untuk keperluan hidupnya sehari-hari (Darmojo dan Martono,

2006). Sedangkan menurut undang-undang No. 13 tahun dinyatakan


bahwa usia 60 tahun keatas disebut sebagai lanjut usia (Noorkasiani,
2009).
Lanjut usia ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu usia kronologis
yang dihitung berdasarkan tahun kalender, usia biologis yang
diterapkan berdasarkan pematangan jaringan dan usia psikologis yang
dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk dapat mengadakan
penyesuaian terhadap setiap situasi yang dihadapinya (Noorkasiani,
2009).
Usia lanjut menurut WHO (1997) dibedakan dalam tiga
kelompok, yaitu lanjut usia (elderly): 60-74 tahun, usia tua (old): 75-90
tahun, dan sangat tua (very old): >90 tahun (Notoatmodjo, 2007).
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan
kemampuan jaringan untuk mengganti diri/memperbaiki diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita (Darmojo,1994 dalam Nugroho, 2008).
Pada seorang usia lanjut mengalami perubahan-perubahan
komposisi tubuh, sistem pencernaan, sistem jantung, sistem pernapasan,
otak dan sistem saraf, sistem metabolisme dan hormon, sistem ekskresi,
massa tulang dan mengalami perubahan mental (Wirakusumah, 2002).
2.3.2 Perubahan Fisiologis Sistem Pencernaan pada Lansia
Pada lansia terjadi perubahan dalam usus besar termasuk
penurunan sekresi mukus, elastisitas dinding rektum, peristaltik kolon
yang melemah gagal mengosongkan rektum yang dapat menyebabkan
konstipasi

(Leueckenotte, 2000). Pada usus besar kelokan-kelokan

pembuluh darah meningkat sehingga motilitas

kolon menjadi

berkurang. Keadaan ini akan menyebabkan absorpsi air dan elektrolit


meningkat (pada kolon sudah tidak terjadi absorpsi makanan), feses
menjadi lebih keras, sehingga keluhan sulit buang air besar merupakan
keluhan yang sering didapat pada lansia. Proses defekasi yang
seharusnya dibantu oleh kontraksi dinding abdomen juga seringkali

tidak efektif karena dinding abdomen sudah melemah (Darmojo dan


Martono, 2006).
2.4 Konsep Lansia dengan Gangguan Sistem Pencernaan: Konstipasi
2.4.1 Definisi
Konstipasi secara klinis adalah ditemukannya sejumlah besar
feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan
feses pada kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos
perut (Sudoyo, 2010).
Konstipasi merupakan defekasi tidak teratur yang abnromal dan
juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan
kadang menimbulkan nyeri (Smeltzer, 2002).
Konstipasi adalah kondisi sulit atau jarang untuk defekasi. Karena
frekuensi defekasi berbeda pada setiap individu, definisi ini bersifat
subjektif dan dianggap sebagai penurunan relatif jumlah buang air besar
pada individu. Pada umumnya, pengeluaran defekasi kurang dari satu
setiap 3 hari yang dianggap mengindikasikan konstipasi (Setiati, 2008).
Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi BAB,
biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil
dan keras dan kadang-kadang disertai kesulitan sampai rasa sakit saat
BAB (NIDDK, 2000 dalam Martono, 2010).
Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 per
minggu. Secara umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan
mengeras dan ada kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Konstipasi
sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang
dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta
kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB.
Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BABnya. Hal ini mungkin karena kelanjutan dari pola hidup selama masa
kanak-kanak dan saat masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan
untuk BAB teratur setiap hari, kalau perlu menggunakan pencahar
untuk mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada anggapan umum yang
salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar akan diserap lagi,
berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada pula
yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalam
jangka waktu tertentu tidak dikeluarkan.

Batasan konstipasi oleh Holson, meliputi paling sedikit 2 keluhan


di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a). Konsistensi feses
yang keras; b). Mengejan dengan keras saat BAB; c). Rasa tidak tuntas
saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB; d). Frekuensi BABA 2
kali seminggu atau kurang.
Berdasarkan International Workshop on Constipation, konstipasi
dikategorikan dalam dua golongan: 1). Konstipasi fungsional, 2).
Konstipasi karena penundaaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perjalanan yang
lambat dari feses, sedangkan penundaaan pada muararektosigmoid
menunjukkan adanya disfungsi anorektal. Yang terakhir ini ditandai
adanya perasaan sumbatan pada anus (Sudoyo, 2010).
Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai International Workshop on
Constipation (Sudoyo, 2010)
Tipe
Kriteria
1. Konstipasi
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling
fungsional
sedikit dalam 12 bulan :
a. Mengedan keras 25 % dari BAB
b. Feses yang keras 25 % dari BAB
c. Rasa tidak tuntas 25 % dari BAB
d. BAB kurang dari 2 kali per minggu
2. Penundaan pada
muara rektum

a. Hambatan pada anus lenig adari 25 % dari


BAB
b. Waktu untuk BAB lebih lama
c. Perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan
feses

2.4.2 Etiologi dan Klasifikasi


Menurut Simadibrata (2008), berdasakan penyebab, konstipasi
dapat dibagi atas:
1. Konstipasi primer
Konstipasi transit normal, konstipasi transit lambat dan
disfungsi anorektal. Konstipasi transit normal, dikenal juga sebagai
konstipasi fungsional adalah yang paling sering. Disfungsi anorektal
nmerupakan tidak efektifnya koordinasi muskulus pelvik pada
mekanisme evakuasi. Pasien-pasien ini lebih sering mengeluh
perasaan evakuasi tidak komplit. Disfungsi anorektal dapat

merupakan gangguan behavioral didapat atau proses defekasi yang


tidak dipelajari sewaktu anak-anak.
2. Konstipasi sekunder
1) Penyakit endokrin dan metabolik
Diabetes mellitus
Hiperkalsemia
Hiperparatiroidisme
Uremia
2) Kondisi miopatik
Amiloidosis
Distrofi miotonik
Skleroderma
3) Penyakit neurologik
Neuropati otonom
Penyakit serebrovaskuler
Penyakit Hirschsprung
Sklerosis multiple
Penyakit Parkinson
Tumor dari spinal cord
4) Kondisi psikologis
Anxietas
Depresi
Somatisasi
5) Gangguan struktural
Fisura ani, striktur ani, hemoroid
Striktur kolon
Penyakit usus inflamatorik
Lesi masa kolon obstruktif
Prolaps rektum atau rectocele
6) Lain-lain
Sindrom usus iritabel (IBS)
Kehamilan
7) Obat-obat yang berhubungan dengan konstipasi sekunder
Antikolinergik
Antihistamin
Penghambat channel
Kalsium
Clonidine (catapres)
Diuretika
Besi

Levodopa (larodopa)
Narkotik
Obat antiinflamasi non steroid
Opiat
Psikotropika
Simpatomimetik
Antasida
yang
mengandung
alumunium atau kalsium

2.4.3 Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih dalah suatu proses fisiologis
yang menyertakan kerja otot-otot polos dan kerja serat lintang,

persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran


yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB.
Kesukaran diagnosis dan pengelolaan konstipasi adalah karena
banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal.
Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi.
Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang
menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan
meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi dari sfingter anus
interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi
refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar
pelvis yang dipersrafi oleh otot pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk
relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan
kontraksi otot dinding perut. Kotraksi ini akan meningkatkan tekanan
dalam perut, relaksasi sfingter dan otot elevator ani. Baik persarafan
simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB.
Patogenesis dari konstipasi bervariasi, perubahan patofisiologi
yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia
tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.
Penelitian pada orang lanjut usia yang menderita konstipasi
menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4 sampai 9 hari
dari total waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak
yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Pada
mereka yang terbaring di tempat tidur dapat lebih panjang lagi sampai
14 hari, terutama lambat jalannya pada kolon sebelah kiri dan paling
lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.
Pemeriksaan eletrofisiologis untuk mengukur aktifitas motorik
dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respon
motorik dari sigmoid akibat berkurangnyainervasi intrinsik karena
degenerasi

pleksus

mienterikus.

Ditemukan

juga

berkurangnya

rangsangan saraf pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan


memanjangnya waktu gerakan usus.

Pada usia diatas 60 tahun juga terbukti mempunyai kadar plasma


beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatan pada reseptor
opiat endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif pada
sediaan opiat yang dapat meyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas
berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon.
Terdapat kecenderungan menurunnya otot sfingter dan kekuatan
otot-otot polos berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan.
Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk
mengeluarkan feses yang kecil dan keras, sehingga upaya mengejan
lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakobat penekanan pada
saraf pudendus sehingga menyebabkan kelemahan lebih lanjut.
Sensasi dan tonus pada rektum tidak banyak berubah pda usia
lanjut. Sebaliknya mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami
tiga perubahan patologis pada rektum, yaitu:
1. Diskesia rektum
Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum,
gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas.
Dibutuhkan regangan rektum yang lebih besar untuk menginduksi
refleks dari sfingter eksterna dan interna. Pada colok dubur pasien
dengan diskesia rektumsering didapatkan impaksi feses yang tidak
disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia
rektum juga dapat diakibatkan kurang tanggapnya atau penekanan
pada dorongan BAB seperti dijumpai pada penderita demensia,
imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum.
2. Dis-sinergia pelvis
Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan
sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik
menunjukkan peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
3. Peningkatan tonus rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil.
Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit
irritabble bowel syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang
dominan.
(Sudoyo, 2010)

2.4.4 Manifestasi klinik


Anamnesa yang terperinci merupakan hal yang terpenting untuk
mengungkapkan adakah konstipasi dam faktor risiko penyebabnua.
Konstipasi merupakan suatu keluhan klinik yang umum dengan
berbagai tanda dan keluhan lain yang berhubungan.
Penderita yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan
patokan-paatokan yang obyektif, misalnya bila dalam 24 jam belum
BAB, atau ada kesulitan harus mengejan dan perasaan tidak tuntas dari
BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi. Beberapa keluhan
yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah (ASCRS, 2002
dalam Martono, 2010):
1. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
2. Mengejan keras saat BAB
3. Massa fese yang keras dan sulit serta perasaan tidak tuntas saat BAB
4. Sakit pada daerah rektum saat BAB
5. Rasa sakit pada perut saat BAB
6. Adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam
7. Menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
8. Menggunakan obat-obat pencahar untuk bisa BAB
Pemeriksaan fisik pada konstipasi sebagian besar tidak
didapatkan kelainan yang jelas. Walaupun demikian pemeriksaan fisik
yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainankelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi usus besar.
Diawali dengan pemeriksaan rongga mulut meliputi gigi-geligi, adanya
lesi selaput lendir dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap
dan proses menelan.
Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah
pembesaran abdomen, peregangan atau tonjolan. Selanjutnya palpasi
pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi
lebih dalam dapat meraba feses di kolon, adanya tumor atau aneurisma
dari aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan,
pembesaran organ, ascites atau adanya massa feses. Auskultasi antara
lain untuk mendengarkan suara usus besar, normal atau berlebihan
misalnya pada obstruksi usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan
petunjuk penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisura, fistula dan

massa tumor di daerah anus yang dapat mengganggu proses BAB


(Martono, 2010).
2.4.5 Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk
mengetahui ukuran dan kondisi rektum serta besar dan konsistensi
feses. Colok dubur dapat memberikan informasi tentang tonus rektum,
tonus dan kekuatan sfingter, kekuatan otot puborektalis dan otot-otot
dasar pelvis, adanya timbunan massa feses dan adanya darah.
Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi
faktor-faktor risiko penyebab konstipasi, misalnya gula darah, kadar
hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya
darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya anoskopi
dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua penderita dengan
konstipasi untuk menemukan adanya fisura, ulkus, wasir dan
keganasan.
Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi,
terutama yang terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi
adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang dapat
menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada
sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium enema untuk
memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan yang intensif ini
dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi
kurang berhasil dan dilakukan pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi
tertentu.
Tes

yang

dikerjakan

dapat

bersifat

anatomik

(enema,

proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologik (waktu singgah di


kolon,

sinedefekografi,

manometri

dan

elektromiografi).

Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru


terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum atau
adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan
kolonoskopi.
Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat
diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologik setelah menelan
bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum

menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon


menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
Sinedefekografi adakah pemeriksaan radiologik daerah ano-rektal
untuk menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan
anorektal dan mengevaluasi kontraksi dan relaksasi otot rektum. Tes ini
memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan
ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang
diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk
mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses
berlangsung.
Tes manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum
dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk
menilai fungsi anorektal.
Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan
sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan
dengan respon sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak
didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional dan penyebab dari
konstipasi disebut sebagai non-spesifik (Martono, 2010).
2.4.6 Penatalaksanaan
Bila penyebabnya obat atau penyakit, maka harus dihentikan obat
tersebut dan obati penyakit dasarnya. Meskipun terapi opioid hampir
selalu menimbulkan konstipasi, opiat tertentu menimbulkan konstipasi
berbagai tahap. Jika tidak ditemukan penyebab sekunder konstipasi,
pengobatan empirik harus diusahakan lebih dahulu untuk konstipasi
fungsional. Penatalaksanaan harus dimulai dengan non-farmakologis
untuk menormalkan keteraturan BAB, jika non-farmakologis gagal,
gunakan laksatif (Simadibrata, 2010).
1. Pengobatan Non Farmakologis
1) Edukasi
Edukasi mengenai buang air besar yang normal (frekuensi,
konsistensi, ukuran dan derajat mengedan) (Simadibrata, 2010).
2) Latihan usus besar
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur tiap
hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan
waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat
memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan

kebiasaan ini dapat menyebabkanpenderita tanggap terhadap


tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini (Sudoyo, 2010).
3) Diet
Diet yang mengandung banyak serat mengurangi angka
kejadian konstipasi dan macam-macam penyakit gastrointestinal
lainnya. Serat meningkatkan massa dan berat feses serta
mempersingkat waktu transit feses (Sudoyo, 2010). Rekomendasi
asupan serat perhari yaitu 20-35 g. Jika asupan serat kurang dari
ini, pasien dianjurkan untuk meningkatkan asupan makanan tinggi
serat seperti bran, buah-buahan, sayuran dan kacang-kacangan.
Rekomendasi yaitu meningkatkan serat 5 g perhari tiap minggu
sampai mendekati daily recommended intake. Menambahkan
serat pada makanan terlalu cepat dapat menyebabkan peningkatan
gas dan kembung (Simadibrata, 2010).
Diharapkan cukup cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak
ada kontraindikasi untuk asupan cairan (Sudoyo, 2010).
4) Olahraga
Jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai umur
dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan
meningkatkan tonus otot usus. Dianjurkan juga melakukan senam
perut untuk memperkuat otot-otot dinding perut terutama
penderita dengan atonia perut (Sudoyo, 2010).
2. Pengobatan Farmakologis
Jika modifikasi perilaku berhasil ditambah terapi farmakologis
dan bisanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe
golongan pencahar:
1) Memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain: cereal,
methyl selulose, psilium.
2) Melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan
menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah
penyerapan air. Contoh: minyak kastor, golongan docusate.
3) Golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman
untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara
lain: sorbitol, lactulose, gliserin.

4) Merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus


besar. Golongan ini banyak dipakai. Bila dipakai jangka panjang
dapat merusak pleksus mesenterikus dan berakibat dismotilitas
kolon. Contoh : bisakodil, fenolptalein.
Bila dijumpai konstipasi krinis yang berat dan tidak dapat
diatasi dengan cara cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan
tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan
anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat
dengan massa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya
serta tidak ada respons dengan pengobatan yang diberikan. Pada
umumnya bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau adanya
volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan (Sudoyo, 2010).
3. Pembedahan
Hanya dilakukan pada pasien yang telah dievaluasi dengan tes
fisiologik dan menunjukkan konstipasi transit kolon lambat.
Kolektomi subtotal dengan ileorektostomi merupakan pilihan pasien
konstipasi transit lambat persisten dan intraktabel. Komplikasi
operasi antara lain obstruksi usus halus, konstipasi rekurens ayau
persisten,

diare

dan

inkontinesia.

Operasi

biasanya

tidak

direkomendasikan untuk konstipasi karena disfungsi anorektal


(Simadibrata, 2010).
2.4.7 Komplikasi
Konstipasi

pada kebanyakan orang usia lanjut hanya sekedar

mengganggu. Tetapi untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi


yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat
terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang
berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%),
sigmoid (20%) dan bagian proksimal (10%).
Impaksi feses merupakan penyebab penting dari morbiditas pada
usia lanjut, meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan
mempunyai potensi untuk komplikasi yang fatal. Penampilannya sering
hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesifik. Kadang-kadang
didapatkan demam sampi 39,5 C, delirium, perut tegang, suara usus
melemah, aritmia serta takipnea karena peregangan dari diafragma,

leukositosis. Peristiwa ini bisa disebabkan ulserasi sterkoraseus dari


suatu fecaloma yang keras menyebabkan ulkus

dengan tepi yang

nekrotik dan meradang. Dapat terjadi perforasi dan penderita datang


dengan sakit perut berat yang mendadak.
Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat
menekan

leher

kandung

kemih

menyebabkan

retensio

urin,

hidronefrosis bilateral, dan kadang-kadang gagal ginjal yang membaik


setelah impaksi dihilangkan. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan,
karena impaksi feses pada daerah kolorektal.
Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi
dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam waktu lama pada penderita
dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum (Sudoyo, 2010).

2.5 Konsep Asuhan Keperawatan pada Lansia dengan Gangguan Sistem


Pencernaan: Konstipasi
2.5.1 Pengkajian
1. Identitas
Pada lansia sering terjadi pada usia lanjut 60 tahun ke atas
2. Keluhan utama
Kesulitan saat BAB
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat gangguan usus, status pencernaan meliputi mual dan
muntah, kebiasaan defekasi biasa, tenesmus, distensi, flatulensi,
status oral meliputi inspeksi rongga mulut (gusi, lidah, geligi),
nyeri, salivasi, status aktivitas meliputi tipe, durasi, dan frekuensi
latihan fisik.
4. Riwayat kesehatan dahulu
Pola defeksi, gaya hidup, akses ke fasilitas toilet selama
bekerja dan rekreasi, pekerjaan, asupan nutrisi dan cairan, riwayat
pengonsumsian obat serta stress dan riwayat pembedahan masa
lalu.
5. Pola nutrisi

Pola nutrisi hal ini berkaitan dengan kebiasan makan dari


pasien, apakah punya kebiasaan memiliki pola makan yang tidak
teratur, makan makanan rendah serat dan sebagainya.
6. Pola aktifitas
Pola aktifitas ini berkaitan erat dengan gaya hidup, dimana
seseorang yang cenderung pasif atau mengalami penurunan
aktifitas akan secara langsung berpengaruh pada peristaltik usus
yang menyebabkan terjadinya konstipasi.
7. Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing) : Terjadi peningkatan frekuensi pernafasan.
2) B2 (Blood) : Emosi cepat meningkat, dada sering berdebardebar , hipertermi.
3) B3 (Brain) : Sakit kepala, ansietas, gelisah, kadang-kadang
sering mengantuk.
4) B4 (Bladder) : Terjadi penekanan kandung kencing.
5) B5 (Bowel) : Anoreksia, mual, muntah, peningkatan tekanan
abdomen, terasa penuh pada perut dan nyeri abdomen terutama
saat defekasi, bising usus hipoaktif atau hiperaktif, feses yang
kering, keras, dan berbentuk.
6) B6 (Bone) : Keletihan umum, tubuh tidak fit, tidak nyaman,
lesu, cepat lelah, dan terasa berat sehingga malas mengerjakan
sesuatu.
2.5.2 Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan pola eliminasi alvi berhubungan dengan defek stimulasi
saraf, otot dasar pelvik lemah, imobilisasi, sekunder terhadap
proses menua.
2. Nyeri akut berhubungan dengan kram abdomen, rasa begah, dan
kesulitan saat defekasi.
3. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi sekunder akibat
pengikatan kuman patogen pada saluran pencernaan.
4. Risiko perubahan pola eliminasi uri berhubungan dengan obstruksi
kandung kemih sekunder akibat impaksi fekal/ kostipasi kronis.
5. Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan penurunan asupan oral ( mual, rasa penuh di abdomen dan
begah).
6. Ansietas berhubungan dengan ancaman actual, dan penurunan
konsep diri sekunder terhadap perubahan status pola defikasi.

7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi


terhadap penyakit dan proses penyembuhan.

2.5.3 Intervensi keperawatan


1) Perubahan pola eliminasi alvi berhubungan dengan defek stimulasi
saraf, otot dasar pelviks lemah, imobilisasi, sekunder terhadap
proses menua.
NOC : konstipasi tidak ada yang di indikasikan dengan gangguan
eliminasi defekasi, pola eliminasi dalam rentang yang diharapkan
feses lembut dan berbentuk, mengeluarkan feses tanpa bantuan,
mengonsumsi cairan dan serat dengan adekuat, latihan dalam
jumlah yang adekuat.
Kriteria Hasil : kemampuan saluran gastrointestinal untuk
membentuk dan mengeluarkan feses secara efektif.
NIC :
Intervensi
1. Kaji kebiasaan defekasi
dan gaya hidup
sebelumnya

Rasional
1. Pengeluaran yang kurang dari
kebiasan dan karekteristik
yang tidak sesuai dari normal
menandakan adanya masalah
dalam eliminasi alvi

2. Pantau dan asupan


keluaran

2. Mengindikasikan
keseimbangan dalam proses
eliminasi

3. Dorong pasien untuk


menggerakkan tubuh
bagian atas untuk
membantu eliminasi

3. Pergerakan yang baik


diharapkan membatu proses
motilitas pergerakan feses

4. Kolaborasi dengan tim


medis untuk penggunaan
laksatif atau enema

4. Rujukan akhir dalam


penanganan masalah
konstipasi.

5. Pantau frekuensi dan


karakteristik feses

5. Sebagai bahan rujukan


masalah yang mendasar
timbulnya keluhan

6. Pantau dan asupan


keluaran

6. Mengindikasikan
keseimbangan dalam proses
eliminasi

7. Pantau dan asupan


keluaran

7. Pengeluaran yang kurang dari


kebiasan dan karekteristik
yang tidak sesuai dari normal
menandakan adanya masalah
dalam eliminasi alvi

5. Dorong pasien untuk


menggerakkan tubuh
bagian atas untuk
membantu eliminasi

8. Meningkatkan pasase feses

2) Nyeri akut berhubungan dengan kaku abdomen rasa begah, dan


kesulitan saat defekasi.
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
menyatakan nyerinya terkontrol dan menunjukkan keterampilan
relaksasi dan kenyamanan umum sesuai indikasi situasi individu
Kriteria Hasil : Pada saat proses defekasi tidak ditemukan keluhan
nyeri.
NIC:
Intervensi
1. Kaji
nyeri,
lokasi
karakteristik, intensitas
2. Berikan
tindakan
kenyamanan
misalnya
pijat punggung atau
mengubah posisi secara
teratur
3. Dorong
penggunaan
teknik distraksi dan
teknik relaksasi
4. Selidiki adanya kekakuan
abdomen dan adanya

Rasional
1. Menentukan intervensi terbaik
dan sesuai untuk penanganan
nyeri
2. Tindakan kenyamanan di
harapkan sebagai pengalihan
dan mengurangi nyeri yang
berlangsung
3. Metode yang mudah dan dapat
lansung di lakukan pasien
untung mengurangi nyari
4. Monitor awal terhadap adanya
keluhan
tambahan
dan

nyeri tekan
5. Kolaborasi dengan tim
medis
untuk
pertimbangan pemberian
farmokologi (analgesik)

penanganan lebih lanjut


5. Pemberian
analgesik
merupakan penatalaksanaan
yang di anjurkan untuk
manajemen nyeri

3) Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi sekunder akibat


pengikatan kuman patogen pada saluran pencernaan
NOC: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu
tubuh dalam batas normal dan tidak terjadi proses inflamasi
Kriteria Hasil: suhu tubuh dalam batas normal, keseimbangan
cairan dalam batas stabil dan komplikasi dapat dihindari
NIC :
1.

2.

3.

4.

5.

Intervensi
Pantau secara teratur
suhu tubuh perhatikan
mengigil/ diaforesis
Pantau dan catat denyut
dan irama nadi, tekanan
vena sentral, tekanan
darah dan frekuensi
pernafasan
Anjurkan pasien untuk
pemasukan
cairan
(minum) jika tidak ada
kontra indikasi
Modifikasi lingkungan
dan pertahankan tirah
baring
Observasi
adanya/
terjadinya
konfusi
disorientasi

6. Pertimbangkan
untuk
tindakan
kolaborasi
dengan tim medis dalam
pemberian antipiretik

Rasional
1. Perubahan termoregulasi tubuh
indikator tingkat keparahan dan
adanya kelainan pada tubuh
2. Mengetahui
tanda-tanda
kelainan lebih lanjut

3. Rehedrasi yang baik bertujuan


untuk mengurangi panas lewat
epaporasi
4. Mengurang
metabolisme
berlebih dan kenyamanan
5. Perubahan tingkat kesadaran
merupakan respon otak untuk
pemenuhan oksigenisasi yang
tidak
adekuat
akibat
peningkatan
suhu
tubuh
berlebih
6. Farmakologi bermanfaat untuk
menekan kenaikan suhu tubuh
secara bertahap

4) Risiko perubahan pola eliminasi uri berhubungan dengan obstruksi


kandung kemih sekunder akibat impaksi fekal/ kostipasi kronis

NOC : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak


ditemukan adanya perubahan pola eliminasi uri.
Kriteria Hasil : menunjukkan haluaran urine adekuat dan tidak
terjadi hambatan pada saat miksi.
NIC:
Intervensi
1. Catat keluaran, selidiki
penurunan / penghentian
aliran urin tiba- tiba
2. Observasi dan catat
karakteristik warna urin
3. Dorong

peningkatan

cairan dan pertahankan


pemasukan adekuat
4. Awasi tanda vital

Rasional
1. Mengetahui masalah
menyebabkan

yang

masalah

pengeluran urin
2. Perubahan warna urin salah
satu indikator adanya masalah
pada fungsi sistem perkemihan
3. Keseimbangan balance cairan
bermanfaat

untuk

stabilitas

cairan tubuh
4. Setiap perubahan pada tandatanda vital akan menunjukan
adanya

5. Ajarkan
pengosongan

teknik

kelainan

fisiologis

tubuh
5. Mengurangi resiko retensi urin

kandung

kencing secara bertahap


6. Dorong
untuk
perencanan

6. Keteraturan

untuk

dapat

pengaturan jadwal proses

yang

miksi kalau masih ada

kemudian

jadwal

mengurangi
akan

miksi
masalah

ditimbulkan

hambatan
5) Resiko pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan penurunaan asupan oral (mual, rasa penuh di abdomen dan
begah).
NOC: setelah dilakukan tindakan keperawatan pemenuhan nutrisi
pasien dapat terpenuhi dan seimbang.
Kriteria Hasil: asupan adekuat dan pemenuhan kebutuhan nutrisi
dapat

terpenuhi

gastrointestinal

dan

tidak

terjadi

gangguan

pada

sistem

NIC:
Intervensi
1. Lakukan
pengkajian
nutrisi dengan seksama
2. Auskultasi bising usus
3. Berikan
kesempatan
pasien
untuk
dapat
mengungkapkan
alasan
untuk tidak mau makan
4. Observasi dan catat asupan
pasien
( padat, cair )
5. Sajikan makanan yang
mudah dicerna
6. Modifikasi lingkungan dan
faktor pendukung agar
proses pemasukan dapat
adekuat
7. Timbang berat badan
sesuai kebutuhan
8. Kolaborasi dengan ahli
nutrisi dalam pemberian
diet yang sesuai

Rasional
1. Gambaran awal penetapan
kecukupan asupan nutrisi
2. Kelainan bising usus tanda
awal masalah pencernaan
3. Diskusi yang terstruktur
dapat
digunakan
untuk
intervensi selanjutnya
4. Mengetahui pemasukan yang
sesuai kebutuhan pasien
5. Mengurangi beban kerja
saluran pencernaan saat sakit
6. Factor pendukung dapat
memberikan stimulus yang
baik untuk perbaikan nutrisi
7. Indicator kekurangan nutrisi
8. Diet yang sesuai dapat
memberikan hasil perbaikan
nutrisi dan kenyamanan bagi
pasien

6) Ansietas berhubungan dengan ancaman actual, dan penurunan


konsep diri sekunder terhadap perubahan status pola defekasi.
NOC : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tingkat kecemasan
klien dapat teratasi.
Kriteria Hasil : Klien dapat rileks dan ekspresi muka tampak
tenang.
NIC:
1. Kaji

Intervensi
faktor
pencetus

timbulnya

ketakutan/

kecemasan
2. Kurangi tindakan paliatif
yang dapat menimbulkan

1. Dapat

Rasional
digunakan

sebagai

tindakan lebih lanjut


2. Mengurangi beban mental
dan

tingkat

strees

yang

stressor
3. Ajarkan untuk tindakan
relaksasi

ditimbulkan saat sakit


3. Pengalihan
perhatian
diperlukan

4. Berikan kesempatan dan


dengarkan

dengan

seksama keluhan pasien


5. Kaji
support
sistem
pendukung pasien

saat

terjadinya

strees
4. Memberikan respon positif
buat pasien
5. Dukungan yang diperlukan
saat sakit dan mengurangi
stres pasien

7) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi


terhadap penyakit dan proses penyembuhan
NOC: Setelah dlakukan tindakan keperawatan pasien dapat
memahami dan mengerti tentang penyakit dan proses penyembuhan
Kriteria Hasil : Dapat menerima dan memahami penjelasan/
informasi yang diberikan

NIC:
Intervensi
1. Kaji tingkat pengetahuan
dan kesiapan penerimaan
pasien
2. Kaji ulang proses penyakit

Rasional
1. Menentukan tindakan dan
intervensi

yang sesuai dan

tepat
2. Evaluasi

yang

dan prognosis dan harapan

untuk

yang akan datang

perencanann

bertujuan

mengukur
lebih

dan
lanjut

terhadap edukasi yang akan


diberikan
3. Memberikan

3. Pertimbangkan
penggunaan

alat

bantu

dalam

idukasi

terhadap

pasien
4. Kaji

ulang

sistem

pencernaan

terhadap

kemudahan

bagi perawat

4. Memudahkan
penanganan

untuk
lebih

lanjut

evaluasi
akan

sekarang
datang

keluarga
5. Berikan
bertahap
respon

dan

dengan
penjelasan

dan

berikan

positif

terhadap

keluarga dan pasien

terhadap pengetahuan yang


telah diberikan
5. Penghargaan
yang

dan

positif

respon
dapat

memberikan semangat dan


kepercayaan pasien

You might also like