Professional Documents
Culture Documents
PEMBAHASAN
A.
Defenisi
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya
non imunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan
atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
B.
Etiologi
Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :
1. Faktor Internal
a.
Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam lambung, enzymenzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi imunologis (misalnya : IgA sekretorik)
memudahkan penetrasi alergen makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus
mentoleransi makanan tertentu.
b.
Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai janin sampai masa
bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan norma kehidupan setempat.
c.
Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan penyerapan alergen
bertambah.
2. Fakor Eksternal
a.
Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih, stress) atau beban
latihan (lari, olah raga).
b.
Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya: ikan 15,4%;
telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.
c.
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi
alergi.
C.
tipe
hemolitik,
1.
2.
Demam
3.
4.
Limfadenopati
5.
6.
neuritis optic
7.
glomerulonefritis
8.
9.
1.
2.
3.
4.
D.
Patofisiologi
Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang
mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika untuk kedua
kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah tampak gejala-gejala
timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda itu muncul maka antigen akan
mengenali alergen yang masuk yang akan memicu aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang
akan merangsang sel B untuk mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan
melekatnya antibodi pada sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami
paparan untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:
1.
Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek terhadap
berbagai sel terutama dalam menarik sel sel radang misalnya netrofil dan eosinofil, sehingga
menimbulkan reaksi peradangan yang menyebabkan panas.
2.
Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang merangsang sel mast
kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang banyak, kemudian histamin tersebut beredar
di dalam tubuh melalui pembuluh darah.
menyebabkan terjadinya gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan
dermatitis. Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya asma.
Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik syok. Gejala ini ditandai
dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran menurun, dan bila tidak ditangani segera
dapat menyebabkan kematian
E.
Pathway
Allergen
Sel-sel radang
Reaksi
Sel aktif
radang
sitoksin
Demam
Merangsal sel B
Histamin bertambah
Pembuluh darah
kemerahan
pada kulit, dan dermatitis.
Seluruh tubuh
Paru-paru : asma
F.
Klasifikasi
1. Hipersensitifitas tipe I
Hipersensitifitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas langsung atau anafilaktik.
Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran
gastrointestinal. Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari
ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara 15-30 menit setelah
terpapar antigen, namun terkadang juga dapat mengalami keterlambatan awal hingga 10-12
jam. Hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler utama
pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat dan dipengaruhi oleh keping
darah, neutrofil, dan eosinofil.
Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes
kulit (tusukan dan intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik
untuk melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai. Peningkatan kadar
IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi akibat hipersensitivitas pada bagian yang
tidak terpapar langsung oleh alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan
beberapa penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan yang dapat
ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah menggunakan anti-histamin untuk
memblokir reseptor histamin, penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization
(imunoterapi atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.
2. Hipersensitifitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa imunoglobulin G (IgG) dan
imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler.
Kerusakan akan terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung berhubungan
dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang langsung berinteraksi dengan antigen
permukaan sel akan bersifat patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.
Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi silang) yang berikatan
dengan antibodi sel sehingga dapat pula menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari
hipersensitivitas tipe II adalah:
a.
b.
Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin yang dapat menempel pada
permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian
berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah), dan
c.
4. Hipersensitifitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang diperantarai sel atau tipe
lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan
makrofag. Waktu cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi sel T,
sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang
terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas
pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe
lambat kronis (delayed type hipersensitivity, DTH).
Hipersensitivitas tipe IV dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori berdasarkan waktu
awal timbulnya gejala, serta penampakan klinis dan histologis. Ketiga kategori tersebut dapat
dilihat pada tabel di bawah ini.
Wakt
Tipe
u
reaksi
Kontak
jam
jam
Granulo 21-28
ma
klinis
Tuberkuli 48-72
n
Penampakan
hari
a)
Pengerasan
(indurasi)
lokal
Histologi
Limfosit,
diikuti
makrofag;
edema
epidermidis
(senyawa
Limfosit,
makrofag
lepromin, dll.)
Makrofag, epitheloid
Pengerasan
Epidermal
dan
sel
fibrosis
raksaksa,
asing
dalam
tubuh
(tuberkulosis, kusta, etc.)
Tipe
1
Tipe
Mekanisme Imun
Alergen
mengikat
Anafilaksis
antibody
IgE
amino
silang
Gangguan Prototipe
Anafilaksis, beberapa
pelepasan bentuk
vasoaktif
asma
dan bronchial
Antibodi
lain
IgG atau IgM berikatan dengan Anemia
terhadap
autoimun,
antigen
eritroblastosis fetalis,
jaringan
penyakit
tertentu
Goodpasture,
oleh
3
sel
yang
Penyakit
antibodi
Kompleks
Kompleks
mengaktifkan
Imun
menarik
Hipersensivita
s
perhatian
nenutrofil
pelepasan
sickness,
lupus
eritematosus sistemik,
enzim bentuk
tertentu
glumerulonefritis
dll
Limfisit
akut
Tuberkulosis,
tersensitisasi
sitokin
dan dermatitis
kontak,
G.
komplemen
Selular pelepasan
(Lambat)
antigen-antibodi
menjadikan
hemolitik
Pemeriksaan Penunjang
1. Uji kulit: sebagai pemerikasaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti
tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan
seperti susu, telur, kacang, ikan).
2. Darah tepi: bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit
5000/ml disertai neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
3. IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun.
Kadar IgE lebih dari 30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah
atopi, atau mengalami infeksi parasit atau keadaan depresi imun seluler.
4. Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
5. Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
6. Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan food chalenge
didapatkan inflamasi / atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM.
IgE ( dengan mikroskop imunofluoresen ).
7. Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
8. Diit coba buta ganda ( Double blind food chalenge ) untuk diagnosa pasti
H.
Diagnostik
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah, misalnya : stenosis
pilorik, Hirschsprung, defisiensi enzim, galaktosemia, keganasan dengan obstruksi,
cystic fibrosis, peptic disease dan sebagainya.
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif, misalnya : bahan pewarna dan
pengawet, sodium metabisulfite, monosodium glutamate, nitrit, tartrazine, toksin, fungi
(aflatoxin), fish related (scombroid, ciguatera), bakteri (Salmonella, Escherichia coli,
Shigella), virus (rotavirus, enterovirus), parasit (Giardia, Akis simplex), logam berat,
pestisida, kafein, glycosidal alkaloid solanine, histamin (pada ikan), serotonin (pisang,
tomat), triptamin (tomat), tiramin (keju) dan sebagainya.
3. Reaksi psikologi
I.
Terapi
Penanganan gangguan alergi berlandaskan pada empat dasar:
1. Menghindari allergen
2. Terapi farmakologis
a.
Adrenergik
Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin ( epinefrin, isoetarin, isoproterenol,
bitolterol ) dan nonkatelomin ( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin,
pributerol, prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat menimbulkan
bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap
alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam.
b.
Antihistamin
Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin pada reseptor di berbagai
jaringan. Karena antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam
mencegah daripada melawan kerja histamine.
c.
Kromolin Sodium
Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog
kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai
sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin
paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik.
d.
Kortikosteroid
Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Beberapa
pengaruh prednison nyata dalam 2 jam sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu
penurunan eosinofil serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung
yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar
Ig E mukosa.
3. Imunoterapi
Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang diperantarai Ig E
atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil
pada tantangan dengan antigen E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan
pemaparan terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan histamin
dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum terapi. Preparat leukosit dari
beberapa penderita yang diobati bereaksi seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara
sempurna dan tidak melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada
kadar berapapun
4. Profilaksis
Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali
sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.
BAB III
ASKEP HIPERSENSITIFITAS
A.
Pengkajian
1.
Data Demografi
2.
a)
b)
Keluhan utama
c)
Kronologis keluhan
3.
4.
5.
1.
Data Subjektif
a.
Sesak nafas
b.
Mual, muntah
c.
Meringis, gelisah
d.
e.
Gatal gatal
f.
Batuk
2.
Data objektif
a.
Penggunaan O2
b.
c.
Terlihat pucat
d.
e.
B.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
2.
3.
4.
5.
Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi (allergen, ex: makanan)
C.
1.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan terpajan allergen
Tujuan : setelah diberikan askep selama 1.x15 menit. diharapkan pasien menunjukkan pola
nafas efektif dengan frekuensi dan kedalaman rentang normal.
Kriteria hasil :
a.Frekuensi pernapasan pasien normal (16-20 kali per menit)
b.
1.
Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan dan ekspansi paru. Catat upaya pernapasan, termasuk
pengguanaan otot bantu/ pelebaran masal.
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat. Dispenea dan terjadi peningakatan kerja napas.
Kedalaman pernapasan berpariasi tergantung derajat gagal napas. Ekspansi dada terbatas
yang berhubungan dengan atelektasis atau nyeri dada pleuritik.
2.
Auskultasi bunyi napas dan catat adanya bunyi napas adventisius seperti krekels, mengi,
gesekan pleura.
Rasional : Bunyi napas menurun/ tak ada bila jalan napas obstruksi sekunder terhadap
pendarahan, bekuan/ kolaps jalan napas kecil (atelektasis). Ronci dan mengi menyertai
obstruksi jalan napas/ kegagalan pernapasan.
3.
Tinggikan kepala dan bantu mengubah posisi. Bangunkan pasien turun dari tempat tidur dan
ambulansi sesegera mungkin.
Rasional : Duduk tinggi memungkinkan ekspansi paru dan memudahkan pernapasan.
Pengubahan posisi dan ambulansi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda
sehingga memperbaiki difusi gas.
4.
Rasional : Kongesti alveolar mengakibatkan batuk kering atau iritasi. Sputum berdarah dapat
diakibatkan oleh kerusakan jaringan atau antikoagulan berlebihan.
5.
6.
2.
a.
b.
1.
2.
Pantau suhu lingkungan, batasi atau tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
Rasional : Suhu ruangan/jumlah selimut harus diubah untuk mempertahankan mendekati
normal
3.
a.
b.
c.
1.
2.
4.
b.
1.
Ukur dan pantau TTV, contoh peningakatan suhu/ demam memanjang, takikardia, hipotensi
ortostatik.
Rasional : Peningkatan suhu atau memanjangnya demam meningkatkan laju metabolic dan
kehilangan cairan melalui evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia
menunjukkan kekurangan cairan sistemik.
2.
3.
4.
5.
5.
a.
b.
c.
Skala nyeri 0
d.
1)
Tekanan darah
: 140-90/90-60 mmHg
2)
Nadi
: 60-100 kali/menit
3)
Pernapasan
4)
Suhu
: 16-20 kali/menit
: Oral (36,1-37,50C)
Rektal (36,7-38,10C)
Axilla (35,5-36,40C)
Intervensi :
1.
Ukur TTV
Rasional : untuk mengetahui kondisi umum pasien
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hipersensitivitas merupakan suatu reaksi hipersensitivitas biasanya tidak akan terjadi
sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kotak-ulang sesudah
seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi . Anafilaksis merupakan respon
klinis terhadap suatu reaksi imunologi cepat (hipersensitivitas tipe 1). Anafilaksis adalah repon
berlebihan system imun yang melibatkan seluruh tubuh. Tipe anfilaksia ada beberapa yaitu :
Local, reaksi anafilaksis local biasanya meliputi urtikaria serta angioedema pada tempat kontak
dengan antigen dan dapat merupakan reaksi yang berat tetapi jarang fatal. Sistemik, reaksi
sistemik terjadi dalam tempo kurang lebih 30 menit sesudah kontak dalam system organ berikut
ini : kardiovaskuler, respiratorius, gastrointestinal dan integument .
B.
Saran
Hal hal yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya hipersensitivitas.
1.
2.
Melakukan tes alergi dan melihat riwayat keluarga serta riwayat frekuensi serangan terjadi.
3.
4.
5.
Konsultasi dengan dokter dan melakukan tes alergi untuk mengetahui allergen-allergen yang
harus dihindari
DAFTAR PUSTAKA
a.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 3, Jakarta:EGC..
b.
c.
d.
Emirzanur
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/hipersensitivitas/.
2013
e.
http://id.wikipedia.org/wiki/Hipersensitivitas
Wicaksono
Hipersensitivitas.