Professional Documents
Culture Documents
SCHIZOPHRENIA
Disusun oleh :
Saviar Randy
12100112009
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit skizofrenia telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu, namun baru
kira-kira seratus tahun terakhir uraian penyakit ini dapat ditemui dalam kepustakaan
kedokteran. Menurut catatan sejarah terdapat empat ilmuan (dokter) yang merupakan
tokoh konseptor Skizofrenia, yaitu Hughlings Jackson (1887), Eugen Bleuier (1908),
Emil Kraepelin (1919), dan Kurt Schneider (1959), yang masing-masing
mendefinisikan Skizofrenia ini dari sudut pandang yang berbeda. Tapi dikemudian
hari diketahui bahwa ternyata pandangan mereka merupakan suatu kesatuan1.
1.1. Definisi
Skizofrenia
merupakan
penyakit
kronis
otak
yang
timbul
akibat
ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah
gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau
respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali
diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada
rangsang pancaindra)2,3.
1.2. Insidensi
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association
(APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
(Wikipedia Indonesia). Menurut DSM-IV-TR insiden pertahun dari skizofernia
berkisar 0.5 sampai 5.0 per 10.000 dengan variasi geografis. Ditemukan disemua
tempat di dunia, insiden dan prevalensinya secara kasar sama 4.
Walaupun insidensi pada lelaki dan wanita sama, gejala munculpada lelaki
lebih awal. 75% Penderita skizofrenia lelaki mulai mengidapnya pada usia 16-25
tahun dan wanita biasanya antara 20 -30 tahun. Usia remaja dan dewasa muda
memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita
sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian
dari tahap penyesuaian diri 3.
1.3. Gejala dan Klinis
Pada masa ini, tidak ada pemeriksaan fisik maupun lab yang bisa
mendiagnosa
skizofrenia.
Seorang
dokter
biasanya
mencapai
diagnosanya
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn), tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming)
BAB II
ETIOLOGI dan PATOFISIOLOGI
Skizofrenia kemungkinan merupakan suatu kelompok gangguan dengan
penyebab yang berbeda dan secara pasti memasukkan pasien yang gambaran
klinisnya, respon pengobatannya, dan perjalanan penyakitnya adalah bervariasi.
2.1.
Model Diatesis-Stres
Satu model untuk integrasi faktor biologis dan faktor psikososial dan
khasiat
dan
potensi
antipsikotik
adalah
berhubungan
dengan
Teori dasar juga tidak menyebutkan apakah jalur dopamin di otak mungkin terlibat,
walaupun jalur meoskortikal dan mesolimbik paling sering terlibat. Neuron
dopaminergik di dalam jalur tersebut berjalan dari badan selnya di otak tengah ke
neuron dopaminoseptif di sistem limbik dan korteks serebral.
Hipotesis dopaminergik tentang skizofrenia terus diperbaiki dan diperluas.
Satu bidang spekulasi adalah bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin
memainkan peranan dalam gejala negatif, dan beberapa peneliti tertarik dalam
menggunakan agonis D1 sebagai pendekatan pengobatan untuk gejala tersebut.
Reseptor dopamin tipe 5 (D5) yang baru ditemukan adalah berhubungan dengan
reseptor D1 dan dapat meningkatkan penelitian. Dalam cara yang sama reseptor
dopamin tipe 3 (D3) dan dopamin tipe 4 (D4) adalah berhubungan dengan reseptor D2
dan akan merupakan sasaran penelitian karena agonis dan antagonis spesifik adalah
dikembangkan untuk reseptor tersebut. Sekurangnya satu penelitian telah melaporkan
suatu peningkatan reseptor D4 dalam sampel otak postmortem dari pasien skizofrenik.
Walaupun hipotesis dopamin tentang skizofrenia telah merangsang penelitian
skizofrenia selama lebih dari dua dekade dan masih merupakan hipotesis
neurokimiawi yang utama, hipotesis tersebut memiliki dua masalah. Pertama,
antagonis dopamin adalah efektif dalam mengobati hampir semua pasien psikotik dan
pasien yang teragitasi berat, tidak tergantung pada diagnosis. Dengan demikian,
adalah tidak mungkin untuk menyimpulkan bahwa hiperaktivitas dopaminergik
adalah unik untuk skizofrenia. Sebagai contoh, antagonis dopamin juga digunakan
untuk mania akut. Kedua beberapa data elektrofisiologis menyatakan bahwa neuron
dopaminergik mungkin meningkatkan kecepatan pembakarannya sebagai respon dari
pemaparan jangka panjang dengan obat antipsikotik. Data tersebut menyatakan
bahwa abnormalitas awal pada pasien skizofrenia mungkin melibatkan keadaan
hipodopaminergik.
Suatu peranan penting bagi dopamin dalam patofisiologi skizofrenia adalah
konsisten dengan penelitian yang telah mengukur konsentrasi plasma metabolit
dopamin utama, yaitu homovanilic acid. Beberapa penelitian sebelumnya telah
dopaminergik dan noradrenergik masih belum jelas, semakin banyak data yang
menyatakan bahwa sistem noradrenergik memodulasi sistem dopamminergik dalam
cara tertentu sehingga kelainan sistem noradrenergik mempredisposisikan pasien
untuk sering relaps.
2.6. Asam Amino
Neurotransmiter asam amino inhibotro gamma-aminobutyric acid (GABA)
juga telah terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia adalah
konsisten dengan hipotesis bahwa beberapa pasien dengan skizofrenia mengalami
kehilangan neuron GABA-ergik di dalam hipokempus. Hilangnya neuron inhibitor
GABA-ergik secara teoritis dapat menyebabkan hiperaktivitas neuron dopaminergik
dan noradrenergik.
Neurotransmiter asam amino eksitasi glutamat telah juga dilaporkan terlibat
dalam dasar biologis untuk skizofrenia. Suatu rentang hipotesis telah diajukan untuk
glutamat,
termasuk
hipotesis
hiperaktivitas,
hipoaktivitas,
dan
hipotesis
2.7. Neuropatologi
2.7.1. Sistem limbik
Sistem limbik, karena peranannya dalam mengendalikan emosi, telah
dihipotesiskan terlibat dalam dasar patofisiologis
kenyataannya, sistem limbik telah terbukti merupakan daerah yang paling subur
dalam penelitian neuropatologis unutk skizofrenia. Lebih dari setengah lusin
penelitian yang terkontrol baik pada sampel otak skizofrenik postmortemtelah
menemukan suatu penurunan ukuran daerah termasuk amigdala, hipokampus, dan
girus parahipokampus. Temuan neuropatologis tersebut mendukung pengamatan
serupa yang dilakukan dengan menggunakan pencitraan resonansi magnetik (MRI)
pada pasien skizofrenik yang hidup.
2.7.2. Ganglia Basalis
Ganglia basalis telah merupakan perhatian teoritis dalam skizofrenia karena
sekurangnya dua alasan. Pertama, banyak pasien skizofrenik yang mempunyai
pergerakan yang aneh, bahkan tanpa adanya gangguan pergerakan akibat medikasi
(sebagai contoh, tardive dyskinesia). Gerakan yang aneh dapat termasuk gaya
berjalan yang kaku, menyeringaikan wajah (facial grimacing), dan stereotipik.
Karena ganglia basalis terlibat dalam mengendalikan pergerakan, dengan demikian
patologi pada ganglia basalis dilibatkan dalam patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari
semua gangguan neurologis yang dapat memiliki psikosis sebagai suatu gejala
penyerta, gangguan pergerakan yang mengenai ganglia basalis (sebagai contoh,
penyakit Huntington) adalah salah satu yang paling sering berhubungan dengan
psikosis pada pasien yang terkena. Faktor lain yang melibatkan ganglia basalis dalam
patofisiologi skizofrenia adalah kenyataan bahwa ganglia basalis berhubungan timbal
balik dengan lobus frontalis, dengan demikian meningkatkan kemungkinan bahwa
kelainan pada fungsi lobus frontalis yang terlihat pada beberapa pemeriksaan
pencitraan otak mungkin disebabkan oleh patologi di dalam ganglia basalis, bukan di
dalam lobus frontalis itu sendiri.
Penelitian neuropatologis pada ganglia basalis telah menghasilkan berbagai
laporan yang tidak meyakinkan tentang hilangnya sel atau penuruan volume globus
palidus dan substansia nigra. Sebaliknya, banyak penelitian telah menunjukkan suatu
peningkatan jumlah reseptor D2 di dalam kaudatus, putamen, dan nukleus akumbens;
tetapi, pertanyaan adalah apakah peningkatan tersebut sekunder karena pasien telah
mendapatkan medikasi antipsikotik. Beberapa peneliti telah mulai mempelajari sistem
serotonergik dalam ganglia basalis, karena peranan serotonin dalam gangguan
psikologis dinyatakan oleh manfaat klinis obat antipsikotik dengan aktivitas
serotonergik (sebagai contoh, clozapine, risperidone).
2.12. Genetika
Prevalensi Skizofrenia pada Populasi Spesifik
Populasi
Prevalensi (%)
Populasi umum
1,0
Bukan saudara kembar pasien skizofrenik
8,0
Anak dengan satu orang tua skizofrenik
12,0
Kembar dizigotik pasien skizofrenik
12,0
Anak dari kedua orangtua skizofrenik
40,0
Kembar monozigotik pasien skizofrenik
47,0
Kembar monozigotik memiliki angka kesesuaian yang tertinggi. Penelitian pada
kembar monozigotik yang diadopsi menunjukkan bahwa kembar yang diasuh oleh
orang tuaangkat mempunyai skizofrenia dengan kemungkinan yang sama besarnya
seperti saudara kembarnya yang dibesarkan oleh orang tua kandungnya. Temuan
tersebut menyatakan bahwa pengaruh genetik melebihi pengaruh lingkungan. Untuk
mendukung lebih lanjut dasar genetika adalah pengamatan bahwa semakin parah
skizofrenia, semakin mungkin kembar adalah sama-sama menderita gangguan. Satu
penelitian yang mendukung model diatesis-stres menunjukkan bahwa kembar
BAB III
DIAGNOSA
Episode tunggal dalam remisi parsial; juga sebutkan jika : dengan gejala
negatif yang menonjol
belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri, menutup telinga,
sering mengamuk tanpa sebab.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor
predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan
berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid
yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta
selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan
diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang
berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif
tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau
stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang
menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala
skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang
normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga
tak mampu mengatasi3.
3.3. Kepribadian Pramorbid Skizofrenia
Faktor predisposisi dan beresiko tinggi bagi terjadinya gangguan jiwa
Skizofrenia, yaitu Kepribadian Paranoid, Skizoid, Skizotipal dan Ambang
(Borderline) yang kriterianya sebagai berikut:
3.3.1 Kepribadian Paranoid
Seseorang yang berkepribadian paranoid menunjukkan gejala-gejala sebagai
berikut :
A.
1. Merasa akan ditipu atau dirugikan, berprasangka buruk dan sukar untuk bisa
percaya terhadap maksud baik dari orang lain.
2. Kewaspadaan yang berlebihan, yang bermanifestasi sebagai usaha meneliti
secara terus-menerus terhadap tanda-tanda ancaman dari lingkungannya atau
mengadakan tindakan-tindakan pencegahan yang sebenarnya tidak perlu.
3. Sikap berjaga jaga atau menutup-nutupi, melakukan pengamanan fisik dan
tempat tinggalnya.
4. Tidak mau menerima kritik atau kesalahan, walaupun ada buktinya. Alam
perasaan (afek) sensitif, reaktif dan mudah tersinggung.
5. Meragukan' kesetiaan orang lain, selalu curiga akan dikhianati dan karenanya
sukar untuk mendapatkan kawan ataupun pasangan.
6. Secara intensif dan picik mencari-cari kesalahan dan bukti tentang
prasangkanya, tanpa berusaha melihat secara keseluruhan dari konteks yang
ada.
7. Perhatian yang berlebihan terhadap motifmotif tersembunyi dan arti-arti
khusus; penuh kecurigaan terhadap peristiwa atau kejadian di sekitarnya yang
diartikan salah dan dianggap ditujukan pada dirinya.
8. Cemburu yang patologik, tidak beralasan dan tidak rasional, dengan dalih
yang dicari-cari untuk pembenaran dari rasa cemburunya itu.
B. Hipersensitivitas, seperti yang ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya 2 dari 4 hal
berikut ini :
1. Kecenderungan untuk mudah merasa dihina atau diremehkan dan cepat
mengambil sikap menyerang (offensive).
2. Membesar-besarkan
kesulitan
yang
kecil,
tidak
proporsional
dan
4. Tidak dapat santai, tidak tenang, selalu gelisah dan tegang karena tidak ada
rasa aman dan terlindung (security feeling).
C.
2.
3.
Tidak ada rasa humor yang wajar terkesan "serius" tidak suka
bercanda, tidak ada sense of humor.
4.
Tidak ada kehangatan emosional, lembut dan sentimental, seolaholah tidak mempunyai perasaan, hambar dan tidak bereaksi terhadap
rangsangan atau hal yang bagi orang lain sesuatu yang membuat lucu atau
gembira.
Pihak keluarga hendaknya mewaspadai manakala diantara anggota keluarga
kosong
atau
rasa
bosan
(jenuh)
yang
berkepanjangan
(menahun/kronik)4.
3.4. Kriteria Diagnosis Subtipe Skizofernia
Kriteria diagnostik subtipe skizofrenia berdasarkan DSM-IV-TR Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders DSM-IV-TR) :
3.4.1. Tipe Paranoid
Bila ditemui kriteria sebagai berikut:
a. Preokupasi dengan satu atau lebih delusi atau halusinasi suara yang sering
b. Tidak ada satu pun dari gejala berikut yang menonjol: bicara kacau, tingkah
laku katatonik, atau tingkah laku yang kacau, afek tumpul atau tidak sesuai.
3.4.2. Tipe terdisorganisasi (hebefrenik)
a. Bila semua gejala ini menonjol
1. Bicara kacau
Psikosis atipikal
Gangguan autistic
Ganguan delusional
Berpura-pura
Gangguan obsesif-kompulsif
Gangguan keperibadian
BAB IV
PENATALAKSANAAN SKIZOFRENIA
psikofarmaka
yang
akan
diberikan
ditujukan
pada
gangguan
fungsi
Nama Generik
Chlorpromazine
Haloperidol
3
4
5
Perphenazine
Fluphenazine
Fluphenazinedecanoate
Levomepromazine
6
7
8
Trifluoperazine
Thioridazine
Sulpiride
9
10
Pimozide
Risperidone
11
12
Clozapine
Quetiapine
Nama Dagang
LARGACTIL
PROMACTIL
MEPROSETIL
ETHIBERNAL
SERENACE
HALDOL
GOVOTIL
LODOMER
HALDOL DECANOAS
TRILAFON
ANATENSOL
MODECATE
NOZINAN
STELAZINE
MELLERIL
DOGMATIL
FORTE
ORAP FORTE
RISPERDAL
NERIPROS
NOPRENIA
PERSIDAL-2
RIZODAL
CLOZARIL
SEROQUEL
Sediaan
Tab. 25 mg, 100 mg
Amp.25 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 1,5&5 mg
Liq. 2 mg/ml
Amp. 5 mg/ml
Tab. 0,5 mg, 2 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Tab. 2 mg, 5 mg
Amp. 50 mg/ml
Dosis Anjuran
150-600 mg/h
5-15 mg/h
50 mg / 2-4 minggu
12-24 mg/h
10-15 mg/h
25 mg / 2-4 minggu
Tab.25 mg
Amp. 25 mg/ml
Tab. 1 mg, 5 mg
Tab. 50 mg, 100 mg
Tab. 200 mg
Amp. 50 mg/ml
Tab. 4 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 2 mg
Tab. 1,2,3 mg
Tab. 25 mg, 100 mg
Tab. 25 mg, 100 mg, 200
25-50 mg/h
10-15 mg/h
150-600 mg/h
300-600 mg/h
2-4 mg/h
Tab 2-6 mg/h
25-100 mg/h
50-400 mg/h
13
Olanzapine
mg
Tab. 5 mg, 10 mg
ZYPREXA
10-20 mg/h
merupakan
obat
utama
yang
digunakan
dalam
terapi
juga untuk mengurangi efek samping yang mungkin timbul akibat penggunaan obat
utama.
4.1.1.1. Neuroleptik (Antipsikotik)
Golongan obat ini biasanya sangat esensial untuk mengendalikan gejala-gejala
skizofrenia. Beberapa gejala yang sangat berespon terhadap obat golongan
antipsikotik antara lain, gangguan pikiran, halusinasi, waham (waham hubungan,
waham kejar, dan lain sebagainya).
Beberapa antipsikotik yang ada di pasaran misalnya, trifluoperazine
(Stelazine), pimozide (Orap), flupenthixol (Fluanxol), and chlorpromazine (Largactil)
dalam sediaan oral dan sediaan injeksi short-acting . Obat-obat lain dalam golongan
ini yang termasuk long-acting injection (depot) diantaranya, flupenthixol (Fluanxol),
fluphenazine decanoate (Modecate), pipotiazine (Piportil L4), dan haloperidol
decanoate (Haldol LA).
Sebagian besar pasien rawat inap diberikan terapi inisial dengan sediaan oral
dalam bentuk tablet maupun liquid. Bagi pasien-pasien yang sangat terganggu, dapat
diberikan sediaan injeksi agen psikotropika yang memiliki efek cepat dengan durasi
pendek. Pasien rawat jalan dapat diobati dengan sediaan tablet maupun depot /
sediaan long-acting. Injeksi digunakan pada kondisi dimana terjadi compliance, pada
pasien dengan gangguan absorpsi atau terkadang untuk tujuan kenyamanan pasien.
Pada umumnya agen antipsikotik tidak menyebabkan alergi, sehingga hanya
pasien skizofrenia dengan kecenderungan terjadinya efek samping yang berat yang
tidak dapat menerima terapi antipsikotik (kondisi ini sangat jarang terjadi). Terdapat
beberapa pasien yang dilaporkan bahwa penggunaan obat-obat antipsikotik sebagai
terapi mereka membuat mereka merasa sangat tidak nyaman, sehingga mereka akan
merasa jauh lebih berbahagia jika tidak meminum obat tersebut. Pada pasien-pasien
seperti ini sangat perlu ditekankan mengenai pertimbangan keuntungan dan kerugian
penggunaan obat antipsikotik tersebut.
Terkadang suatu obat tertentu tidak cocok untuk pasien tertentu, pada kondisi
ini antipsikotik alternatif mungkin berguna.. Sebagai contoh, terdapat dua golongan
antipsikotik berdasarkan potensi yang dimiliki obat tersebut (antipsikotik potensi
rendah dan potensi tinggi). Pemilihan obat subtype mana yang akan digunakan lebih
dipertimbangkan berdasarkan efek samping yang mungkin muncul selama
penggunaan obat tersebut, daripa potensi obat itu sendiri. Obat-obat dengan potensi
tinggi cenderung menyebabkan efek samping muscular dan resah, gelisah (akhatisia).
Dimana obat-obat dengan potensi yang rendah dapat menyebabkan efek mengantuk
dan penurunan tekanan darah.
Efek samping yang paling umum dari obat-obat antipsikotik adalah gangguan otot.
Pada tahap awal, dapat terjadi dystonia akut (spasme otot- terutama otot mata, leher
maupun batang tubuh). Kondisi ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada
pasien, tetapi berespon cukup cepat terhadap terapi.
penggunaan obat ini mengalami, kekakuan, perlambatan gerak, gemetaran dan atau
gelisah.
Efek samping lain yang juga sering terjadi akibat penggunaan antipsikotik
yaitu, mengantuk, faintness, mulut kering, pengelihatan kabur, sensitivitas meningkat
terhadap sinar matahari, dan konstipasi. Beberapa pria mengeluh mengalami kesulitan
ejakulasi, sementara beberapa wanita mengalami gangguan siklus haid, dan pada
kedua kelompok jenis kelamin pernah didapatkan laporan bahwa beberapa dari
mereka mengalami galacthorrea. Kondisi-kondisi ini biasanya reversibel dengan
dikuranginya dosis antipsikotik yang digunakan, atau dengan mengganti antipsikotik
yang sedang digunakan atau dengan menambahkan obat tambahan lain yang
berfungsi sebagai penekan gejala efek samping yang terjadi. Antipsikotik mungkin
dipergunakan dalam jangka waktu yang lama, dan pada beberapa kasus, seumur
hidup pasien. Dosis terapeutik mungkin dapat dikurangi secara bertahap seiring
kemajuan penyakit pasien. Pengurangan dosis dapat dipertimbangkan, setelah pasien
tetap berada dalam keadaan gejala terkendali selama beberapa bulan sampai beberapa
tahun. Jika pasien mengalami efek samping yang membuatnya tidak nyaman, klinisi
mungkin dapat mengurangi dosis obat lebih cepat, meskipun dengan resiko
meningkatnya kemungkinan relapse. Jika terjadi relapse peningkatan dosis sesaat
dari obat tersebut mungkin diperlukan. Ketika gejala penyakit telah kembali
terkendali, pengurangan dosis harus dipertahankan pada level sedikit lebih tinggi dari
pada pemberian dosis rendah sebelumnya. Pengurangan dosis lebih lanjut sebelum
satu tahun terapi, adalah tidak dianjurkan.
Efek samping jangka panjang yang umum terjadi yaitu tardive dyskinesia.
Setelah beberapa bulan atau biasanya beberapa tahun, beberapa pasien dapat
mengalami gerakan-gerakan otot yang sifatnya involunter, yang biasanya terjadi pada
otot wajah juga otot otot anggota gerak. Penetalaksanaan terbaik untuk kondisi ini
adalah pencegahan, dan oleh karena itu pasien harus mempertahankan dosis terendah
yang paling mungkin untuk memberikan efek terapeutik. Karena terdapat
kemungkinan pengurangan dosis yang dilakukan secara cepat dapat menyebabkan
gangguan tersebut semakin jelas, sehingga sangat disarankan untuk mengurangi dosis
secara bertahap dengan selisih penurunan relative kecil. Akan tetapi efek samping
tardive dyskinesia ini meskipun tidak ringan, umumnya tidak sampai membuat pasien
merasa tidak nyaman menggunakan obat ini.
4.1.1. 2. Antiparkinson
Terpisah dari antipsikotik, obat-obat antiparkinson merupakan obat lain yang
paling sering diresepkan dalam terapi skizofrenia, meskipun obat-obat golongan ini
tidak bersifat causative. Beberapa obat antiparkinson antikolinergik yang sering
digunakan antara lain, benztropine mesylate (Cogentin), trihexyphenidyl (Artane),
procyclidine (Kemadrin), amantadine (Symmetrel).
Obat golongan in juga sering disebut terapi efek samping. Antiparkinson
diindikasikan pada kondisi dimana efek samping gangguan otot yang timbul akibat
penggunaan antipsikotik sudah sampai membuat pasien merasa tidak nyaman. Dosis
pemberian bergantung pada derajat ketidaknyaman pasien. Jika dibutuhkan,
pemberian dalam dosis tunggal lebih dianjurkan dan paling baik diminum saat pasien
terjaga, agar pasien dapat benar-benar merasakan kerja obat tersebut. Obat golongan
ini sangat efektif untuk mengatasi kekauan otot dan tremor serta dapat juga
membantu mengatasi gelisah. Bagaimana pun, obat-obat ini mungkin dapat
memperburuk gejala lainnya seperti pengelihatan kabur, dan mulut kering. Suatu
keadaan toxic confusional state dapat terjadi pada pemberian dosis yang berlebih, dan
dapat menyebabkan klinisi menetapakan diagnosa yang salah, karena keadaan ini
sangat mirip dengan keadaan dimana terjadi kekambuhan penyakit utama.
Beberapa psikiater menyarankan pemberian antiparkinson sebagai terapi
profilaksis untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi, sementara beberapa
psikiater lain menyarankan agar antiparkinson baru diberikan pada saat efek samping
gangguan otot telah muncul, pada kelompok yang terakhir, mereka berpegang pada
prinsip dimana sebenarnya tidak ada satupun obat yang tidak mempunyai efek
samping sama sekali. Bagaimanapun, ketika seorang pasien harus menerima terapi
antipsikotik dosis tinggi, adalah penting untuk mencegah berkembangnya efek
samping yang menakutkan atau yang dapat membuat pasien tidak nyaman.
Sebaliknya, pada saat tercapai keadaan dimana gejala penyakit utama telah terkontrol
dan dosis terapi antipsikotik mulai diperkecil, dosis terapi antiparkinson yang
diberikan dapat dikurangi atau dihentikan.
2.
Monoaminoksidase
(phenelzine
(Nardil)
dan
tranylcypromine
(Parnate)). Obat obat ini digunakan untuk mengatasi gangguan mood, tetapi
jarang digunakan dalam penatalaksanaan skizofrenia.
3. Tetrasiklik (maprotiline (Ludiomil)).
4. Lain-lain (trazodone (Desyrel) and fluoxetine (Prozac)).
Keempat kelompok utama golongan ini digunakan untuk gangguan depresif
yang disebabkan oleh perubahan biokimiawi. Obat-obat ini tidak menolong untuk
pasien yang mengalami depresi karena kondisi dasar yang tidak menyenangkan.
Karena sebagian besar pasien-pasien skizofrenia sering mengalami depresi karena
kondisi yang memang tidak menyenagkan (bukan karena perubahan biokimiawi),
DAFTAR PUSTAKA
1. Hawari, H. Dadang,dr. Pendekatan holistic pada gangguan jiwa SKIZOFRENIA.
Edisi 2. Cetakan I. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2001.
2. Berrnheim, Kayla F., Lewine, Richard R.J., Beale, Caroline T.