You are on page 1of 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti Anjing hutan
atau Serigala, merupakan penyakit kelainan pada kulit, di mana di
sekitar pipi dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya
panas dan rasa lelah berkepanjangan, kemudian di bagian bawah wajah
dan lengan terlihat bercak-bercak merah. Tidak hanya itu, penyakit ini
dapat menyerang seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah
menyerang ginjal. Penyakit untuk menggambarkan salah satu ciri paling
menonjol dari penyakit itu yaitu ruam di pipi yang membuat penampilan
seperti serigala. Meskipun demikian, hanya sekitar 30% dari penderita
lupus benar-benar memiliki ruam kupu-kupu klasik tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit yang
diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada
penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru
menyerang tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun.
Penyakit ini akan menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita,
misalnya kulit yang akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga
sendi, paru, ginjal, otak, darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini
dinamakan sistemik, karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita.
Jika lupus hanya mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena,
maka disebut Lupus Kulit (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya
dibandingkan lupus yang sistemik (Sistemik Lupus/SLE). Berbeda dengan
HIV/AIDS, SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan
sistem kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan
untuk melawan bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik
merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa
berbeda antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak

sering berbeda, misalnya akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada


kaki dan perut, anemia berat, dan jumlah trombosit yang sangat rendah
(Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering terlambat diketahui
sehingga berakibat pada pemberian terapi yang inadekuat, penurunan
kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang dihadapi oleh
penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum terpenuhinya
kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi, pendidikan,
dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari SLE
bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit, hematologik,
neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata, trombosis, dan
kematian janin (Hahn, 2005).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep teori penyakit SLE dan konsep teori asuhan
keperawatan SLE?
2. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada klien dengan diagnosa
medis SLE?
1.3 Tujuan
1. Tujuan Penulisan
a)

Tujuan Umum:

Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang


konsep penyakit SLE dan konsep asuhan keperawatan SLE.
b)

Tujuan Khusus:
1)

Mampu

menjelaskan

tentang

defenisi,

etiologi,

klasifikasi/jenis-jenis penyakit lupus, patofisiologi dan pathway,


manifestasi klinis (tanda dan gejala), prognosis, pemeriksaan
penunjang, penatalaksanaan serta komplikasi penyakit SLE.
2)

Mampu membuat asuhan keperawatan pada klien yang

menderita penyakit SLE.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Manfaat Teoritis:
1)

Sebagai

bahan

untuk

menambah

pengetahuan

dan

wawasan dalam mengetahui tentang penyakit lupus.


2)

Sebagai bahan ajar dalam proses belajar-mengajar di kelas.

2. Manfaat Praktis:
Dengan adanya makalah ini dapat berguna bagi pembaca khususnya
seorang perawat maupun mahasiswa calon perawat dalam mengkaji
laporan pendahuluan (defenisi, etiologi, dan lain-lain) serta dalam
menyusun asuhan keperawatan pada klien yang menderita penyakit
SLE.

BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP TEORI SLE


2.1 Pengertian
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik
autoimun

yang

ditandai

adanya

inflamasi

tersebar

luas,

yang

mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini


berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga
mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo Aru,dkk 2009).
SLE (Sistemic

Lupus

Erythematosus)

adalah

penyakti

radang

multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit


yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Penyakit lupus merupakan penyakit sistem daya tahan, atau penyakit
autoimun, dimana tubuh pasien lupus membentuk antibodi yang salah
arah, merusak organ tubuh sendiri, seperti ginjal, hati, sendi, sel darah
merah, leukosit, atau trombosit. Antibodi seharusnya ditujukan untuk
melawan bakteri ataupun virus yang masuk ke dalam tubuh ( Smeltzer,
Suzanne C. 2002). SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus) adalah suatu
penyakit komplek yang bersifat genetis dan di duga lebih dari satu gen
menentukan seseorang akan terkena atau tidak (Sharon moore, 2008).
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun
yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan
gejala dari penyakit ini bisa bermacam- macam, bersifat sementara dan
sulit untuk didiognisis.
Sistemik

Lupus

Eritematosus

(SLE)

adalah

penyakit

radang

multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit


yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi,
disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

2.2 Etiologi
Sampai saat ini penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum
diketahui, diduga ada beberapa paktor yang terlibat seperti faktor genetik,
infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sistemik
Lupus Eritematosus).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi
ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit
inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis
melibatkan gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance
bersama aktifitas sel B, hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa
faktor:
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit
herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang
disebabkan oleh virus varisela, virus yang juga menjadi penyebab dari
penyakit cacar air (variscela atau chiken pox).
2. Sinar ultraviolet
Sinar UV yang mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar
sehingga menyebabkan perubahan sistem imun di daerah tersebut
serta menginduksi apoptosis dari sel keratonosit.
3. Obat-obatan yang tertentu
SLE juga dapat diinduksi oleh obat tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat
menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga
memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh.

Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh
membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang
benda asing tersebut.
4. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita
oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria
maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita.
Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit
lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa
sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan
bahwa hormone (terutama esterogen) mungkin berperan dalam
timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat
menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila
pemakaian obat dihentikan.
2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka
bakar termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid,
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat
senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang
abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan
jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya terjadi
serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu:
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif

2) Pembentukan sitokin yang berlebihan


3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain:
a.

Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks

imun maupun sitokin dalam tubuh


b.

Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

c.

Hilangnya toleransi imun: sel T mengenali molekul tubuh

sebagai antigen karena adanya mimikri molekuler.


Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di
dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodiantibodi yang tersebut membentuk kompleks imun. Kompleks imun
tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan
gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Pathway SLE
Genetik, lingkungan,

, obat-obatan tertentu

Produksi autoimun berlebihan

Autoimun menyerang organ tubuh (sel & jaringan)

Penyakit lupus

Kerusakan jaringan

Produksi antibodi terus - menerus

Kulit

Sendi
Arthritis

Darah
Hb

Perubahan status
kesehatan

Ginjal

Hati

Otak

Emphisema Protein urine Kesalahan Suplai


sintesa zat O2 ke
Suplai O2/
Tubuh
yang dibutuh- otak
Nutrien
protein
kan tubuh
ATP

BB

Paru

2.4 Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul


mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam
tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat
laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun
terdapat

remisi

dan

eksaserbsi.

Remisinya

mungkin

berlangsung

bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi
seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap
serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu
makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang
paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
a) Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal,
berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal,
siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga
terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan
deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid.
Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan
pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi.
Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
b) Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut,
subakut, diskoid, dan livido retikularis. Ruam kulit berbentuk kupu-kupu
berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua pipi. Dengan
pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka.
Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit
yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi
kulit subakut yang khas berbentuk anular.

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis


dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau
sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema
periungual. Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering
ditemui pada SLE.
c) Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling
sering ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik
kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang
urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada
ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis
lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai
dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan
penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu
penyebab kematian SLE kronik.
d) Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya.
Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak
seperti sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar
yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara
klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara
keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan

10

dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid
dinaikkan dan sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk
tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia,
hemiplegia.
e) Mata
Kelainan

mata

dapat

berupa

konjungtivitas,

perdarahan

subkonjungtival dan adanya badan sitoid di retina.


f)

Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis,

endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi


sebagai akibat keadaan tersebut.
g) Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi
pleura (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari
kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.
h) Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual
dan diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan
oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan
usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.
i)

Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal,

dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah
splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan
lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya lupus
antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan
penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun.
2.5 Klasifikasi

11

Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid


lupus, systemic lupus erythematosus, dan lupus yang diinduksi oleh obat.
1. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema
yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi
ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada.
Penyakit

ini

dapat

menimbulkan

kecacatan

karena

lesi

ini

memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta


hilangnya apendiks kulit secara menetap (Hahn, 2005).
2. Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor (Isenberg and Horsfall,1998) dan
dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa
peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan
(Albar, 2003). Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai
macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid
dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Albar, 2003) melalui
mekanime pengaktivan komplemen (Epstein, 1998).
3. Lupus yang diinduksi oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada
asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan
asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh
sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan
protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh
sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA)
untuk menyerang benda asing tersebut (Herfindal et al., 2000).
2.6 Komplikasi
Lupus mungkin terlihat sebagai penyakit yang biasa terjadi pada
kulit. Namun jika tidak segera ditangani, lupus bisa menjadi momok bagi
kehidupan Anda. Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang bisa terjadi
jika penyakit lupus tidak ditangani dengan cepat dan tepat:

12

1. Penyakit ginjal
Jika terjadi pembengkakan pada kaki atau pergelangan kaki setelah
Anda divonis mengidap lupus, maka itu adalah tanda bahwa eksresi
cairan pada tubuh Anda sudah tidak normal. Ada yang salah pada
ginjal Anda. Pada kasus yang lebih parah, gejalanya sampai urin
bercampur darah hingga pasien mengalami gagal ginjal.
2. Penyakit jantung
Komplikasi jantung yang paling umum terjadi pada penderita lupus
adalah terjadinya infeksi pada selaput pembungkus jantung, penebalan
pembuluh darah, dan melemahnya otot-otot jantung.
3. Penyakit paru-paru
1 dari 3 orang penderita lupus akan mengalami infeksi pada selaput
pembungkus paru-paru. Jika ini terjadi maka pasien akan merasakan
sakit saat bernapas hingga batuk berdarah.
4. Gangguan peredaran darah
Untuk penyakit yang satu ini pada penderita lupus, biasanya tidak
ditemukan gejala yang dapat dideteksi secara langsung. Gangguannya
antara lain seperti terganggunya distribusi oksigen dalam darah atau
berkurangnya produksi sel darah putih, dan anemia.
5. Gangguan saraf dan mental
Banyak dari penderita lupus yang mengalami susah konsentrasi, cepat
lupa, sakit kepala yang sangat parah, khawatir berlebihan, dan selalu
gelisah. Hal ini dikarenakan penyakit lupus lama-kelamaan akan
melemahkan kerja saraf dan menyebabkan stres pada pasien.
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorim yang dilakukan terhadap pasien SLE
adalah:

13

1)

Tes ANA (Anti Nuclear Antibody)

2)

Tes Anti dsDNA (double stranded)

3)

Tes Antibodi anti-S (Smith)

4)

Tes Anti-RNP (Ribonukleoprotein), anti-ro/anti-SS-A, anti-La

(antikoagulan lupus anti SSB, dan antibodi antikardiolipin).


5)

Komplemen C3, C4, dan CH50 (komplemen hemolitik)

6)

Tes sel LE

7)

Tes anti ssDNA (single stranded)

2.8 Penatalaksanaan
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan
dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang
baru terdiagnosis. Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus
diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi
konservatif, atau imunosupresif yang agresif. Bila penyakit ini mengancam
nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan
pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan
imunosupresan lainnya. Tidak ada pengobatan yang permanen untuk
SLE. Tujuan dari terapi adalah mengurangi gejala dan melindungi organ
dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di
tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain (Sukmana,
2004):
a. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya
kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat
sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi,
gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan emotional
stress. Upaya mengurangi kelelahan disamping pemberian obat ialah:
cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.
b. Hindari merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak
wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi,

14

memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan


pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada sigaret/rokok.
c. Cuaca
Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat
berbeda dan hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian
penderita

SLE

khususnya

dengan

keluhan

artritis

sebaiknya

menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses


inflamasi.
d. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan
trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan
respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan
menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu
mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan
tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa
peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik sebaiknya
dikurangi

atau

dihindari

karena

keadaan

yang

prima

akan

memperbaiki penyakitnya.
e. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang
berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa minyak ikan (fish oil) yang mengandung
eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat
agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan
polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol
perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.
f. Sinar matahari (sinar ultra violet)
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga
gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm)
berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama
pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga semua pasien SLE

15

dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktuwaktu tersebut.


g. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan
memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan
membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh
sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang
mengandung estrogen.
2. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang muncul.
Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau
obat antiinflamasi nonsteroid namun tidak memperberat keadaan
umum penderita. Efek samping terhadap sistem gastrointestinal,
hepar dan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala. Pemberian kortikosteroid dosis rendah 15 mg,
setiap pagi. Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas.
Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau
gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan
sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atau steroid
topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan
triamsinolon asetonid.
3. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5
mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat
diberikan

prednison

1-1,5

mg/kgBB/hari.

Pemberian

bolus

metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari


dapat dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis
tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/
hari. Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut:

16

a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan


dipakai bersama kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan
sistemik ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk
fungsi imun.
B. KONSEP TEORI ASUHAN KEPERAWATAN
2.9 Pengkajian
1. Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti,
tergantung kapan dilakukan pengkajian tersebut. Biasanya adalah
demam, kelemahan, nafsu makan menurun dan BB menurun.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau
keluarga memutuskan untuk dibawa ke RS. Yang biasa muncul
adalah riwayat demam, kelemahan sampai intoleransi aktifitas,
penurunan nafsu makan dan penurunan BB.
c. Riwayat Penyakit Terdahulu
Kaji apakah pasien mengalami hipertensi, gangguan pada mata,
dan adanya nyeri sendi.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Kaji adanya keluarga yang memiliki penyakit yang sama.
2. Pemeriksaan fisik
a. Aktivitas
1) Gejala: Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan
2) Tanda: Penurunan semangat bekerja, toleransi terhadap
aktivitas rendah, penurunan rentang gerak sendi, gangguan
gaya berjalan.
b. Sirkuasi
1) Gejala: Nyeri dada

17

2) Tanda
TD: tekanan nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme
anemia)
Warna kulit: pucat/sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat
ruam.
c. Integritas Ego
1) Gejala: Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan
dari orang lain, harga diri buruk, kekuatiran mengenai menjadi
beban bagi yang mendekat
2) Tanda: Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada
diri sendiri
d. Eliminasi
1) Gejala: Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
2) Tanda: Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat
darah atau protein.
e. Makanan/Cairan
1) Gejala: Mual/muntah, anoreksia, haus, kesulitan menelan,
adanya penurunan BB
2) Tanda: Turgor kulit buruk berbentuk ruam, lidah tampak merah
daging, di sudut bibir terdapat luka.
f. Higiene
1) Gejala: kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia
berat), berbagai kesulitan untuk melakukan aktivitas perawatan
pribadi.
2) Tanda: ceroboh, tak rapih, kurang bertenaga.
g. Neurosensori
1) Gejala: sakit kepala, berdenyut pusing, penurunan penglihatan,
bayangan

pada

mata,

kelemahan,

keseimbangan

buruk,

kesemutan pada ekstremitas.


2) Tanda: kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang,
pembekakan sendi simetri.
h. Nyeri/Kenyamanan

18

1) Gejala: nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi,


sakit kepala berulang, tajam, sementara, nyeri tekan abdomen,
nyeri dada
2) Tanda: menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas
terhadap palpitasi pada area yang sakit.
i. Penapasan
1) Gejala: riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, napas pendek
pada istirahat dan aktivitas.
2) Tanda:

takipnea,

distres

pernapasan

akut,

bunyi

napas

menurun.
j. Keamanan
1) Gejala: kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam
ringan menetap, lesi kulit, gangguan penglihatan, penyembuhan
luka buruk
2) Tanda: berkeringat, mengigil berulang, gemetar, luka pada
wajah
k. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala: riwayat penyakit hipertensi, hematologi, riwayat adanya
masalah dengan penyembuhan luka/perdarahan, pertimbangan
rencana pemulangan lama perawatan: 4-8 hari, memerlukan
bantuan dalam perawatan diri, pemeliharaan rumah.
2.10

Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan


2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
3. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan defometas skletal
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisik serta psikologis yang di akibatkan penyakit kronik
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit,
rasa nyeri, depresi.

19

2.11

Intervensi

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan
dengan inflamasi dan
kerusakan jaringan

20

Rencana Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC:
Pain Level,
Pain Control,
Comfort Level
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam pasien tidak
mengalami nyeri, dengan kriteria hasil:
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebeb nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan).
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri.
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, dan tanda
nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
5. Tanda vital dalam rentang normal.
6. Tidak mengalami gangguan tidur.

Intervensi
NIC:
Paint
Management
1. Lakukan
pengkajian
nyeri secara
komprehens
if termasuk
lokasi,
karakteristik
, durasi,
frekuensi,
kualitas,
dan faktor
presipitasi.
2. Observasi
reaksi non
verbal dari
ketidaknya
manan.
3. Bantu
pasien dan
keluarga
untuk
mencari dan

4.

5.

6.

7.

21

menemukan
dukungan.
Kontrol
lingkungan
yang dapat
mempengar
uhi nyeri
seperti suhu
ruangan,
pencahayaa
n, dan
kebisingan.
Kurangi
faktor
presipitasi
nyeri.
Kaji tipe dan
sumber
nyeri untuk
menentukan
intervensi.
Ajarkan
tentang
teknik non
farmakologi
: nafas
dalam,
relaksasi,

distraksi,
kompres
hangat/dingi
n.
8. Berikan
analgesik
untuk
mengurangi
nyeri :
9. Tingkatkan
istirahat.
10. Berikan
informasi
tentang
nyeri seperti
penyebab
nyeri,
berapa
lama nyeri
akan
berkurang
dan
antisipasi
ketidaknya
manan dari
prosedur.
11. Monitor vital
sign

22

sebelum
dan
sesudah
pemberian
analgesik
pertama
kali.
2. Kerusakan integritas
kulit berhubungan dengan
lesi pada kulit

23

NOC:
Tissue Integrity: Skin and Mocous Membranes
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam,
kerusakan integritas kulit pasien teratasi dengan kriteria hasil:
1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak ada luka/lesi pada kulit.
3. Perfusi jaringan baik.
4. Menunjukkan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya cedera berulang.
5. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit
dan perawatan alami.

NIC:

Press
ure
Management
1. Anjurkan
pasien
untuk
mengguna
kan
pakaian
yang
longgar.
2. Hindari
kerutan
pada
tempat
tidur.
3. Jaga
kebersihan
kulit agar
etap bersih

dan kering.
4. Mebolisasi
pasien
(ubah
posisi
pasien)
setiap dua
jam sekali.
5. Monitor
kulit akan
adanya
kemeraha
n.
6. Oleskan
lotion/miny
ak/baby oil
pada
daerah
yang
tertekan.
7. Monitor
aktivitas
dan
mobilisasi
pasien.
8. Monitor
status
nutrisi

24

pasien.
9. Memandik
an pasien
dengan
sabun dan
air hangat.
10. Kaji
lingkungan
dan
peralatan
yang
menyebab
kan
tekanan.
3. Hambatan mobilitas
fisik berhubungan
dengan deformitas
skeletal

25

NOC:

Joint Movement: Active.

Mobility Level.

Self care: ADLs.

Transfer Performance
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam gangguan
mobilitas fisik teratasi dengan kriteria hasil:
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik.
2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas.
3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah.
4. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi.

NIC:

Exerc
ise Therapy:
ambulation
1. Monitoring
vital sign
sebelum/s
esudah
latihan dan
lihat
respon
pasien
saat
latihan.

2. Konsultasi
kan
dengan
terapi fisik
tentang
rencana
ambulasi
sesuai
dengan
kebutuhan.
3. Bantu klien
untuk
mengguna
kan
tongkat
saat
berjalan
dan cegah
terhadap
cedera
4. Ajarkan
pasien
atau
tenaga
kesehatan
lain
tentang
teknik

26

ambulasi.
5. Kaji
kemampua
n pasien
dalam
mobilisasi.
6. Latih
pasien
dalam
pemenuha
n
kebutuhan
ADLs
secara
mandiri
sesuai
kemampua
n.
7. Dampingi
dan bantu
pasien
saat
mobilisasi
dan bantu
penuhi
kebutuhan
ADLs
pasien.

27

8. Berikan
alat bantu
jika klien
memerluka
n
9. Ajarkan
pasien
bagaimana
merubah
posisi dan
berikan
bantuan
jika
diperlukan.
4. Gangguan citra tubuh
berhubungan dengan
perubahan dan
ketergantungan fisik serta
psikologis yang diakibatkan
penyakit kronik

28

NOC:

Body image

Self estrem
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam gangguan
body image pasien teratasi dengan kriteria hasil:
1. Body image positif
2. Mampu mengidentifikasi kekuatan personal.
3. Mendiskripsikan secara faktual perubahan fungsi tubuh.
4. Mempertahankan interaksi sosial.

NIC:

Body
image
enhancement
1. Kaji secara
verbal dan
non verbal
respon
klien
terhadap
tubuhnya.
2. Monitor
frekuensi
mengkritik

dirinya.
3. Jelaskan
tentang
pengobata
n,
perawatan,
kemajuan
dan
prognosis
penyakit.
4. Dorong
klien
mengungk
apkan
perasaann
ya.
5. Identifikasi
arti
pengurang
an melalui
pemakaian
alat bantu.
6. Fasilitasi
kontak
dengan
individu
lain dalam
kelompok

29

kecil.
5. Keletihan berhubungan
dengan peningkatan
aktivitas penyakit, rasa
nyeri, depresi

30

NOC:

Activity Tollerance

Energy Conservation

Nutritional Status: Energy


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam kelelahan
pasien teratasi dengan kriteri hasil:
1. Kemampuan aktivitas adekuat
2. Mempertahankan nutrisi adekuat
3. Keseimbangan aktivitas dan istirahat
4. Menggunakan teknik energi konservasi
5. Mempertahankan interaksi sosial
6. Mengidentifikasi faktorfaktor fisik dan psikologis yang
menyebabkan kelelahan
7. Memepertahankan kemampuan untuk konsentrasi

NIC:

Energ
y
Management
1. Monitor
respon
kardiores
pirasi
terhadap
aktivitas
(takikardi,
disritmia,
dispneu,
diaphore
sis,
pucat,
tekanan
hemodin
amik, dan
jumlah
respirasi)
.
2. Monitor
dan catat
pola dan
jumlah
tidur

pasien.
3. Monitor
lokasi
ketidakny
amanan
atau
nyeri
selama
bergerak
dan
aktivitas.
4. Monitor
intake
nutrisi.
5. Monitor
pemberia
n dan
efek
samping
obat
depresi.
6. Instruksik
an pada
pasien
untuk
mencatat
tandatanda

31

dan
gejala
kelelahan
.
7. Ajarkan
teknik
manajem
en
aktivitas
untuk
mencega
h
kelelahan
.
8. Jelaskan
pada
pasien
hubunga
n
kelelahan
dengan
proses
penyakit.
9. Kolabora
si dengan
ahli gizi
tentang
cara

32

meningka
tkan
intake
makanan
tinggi
energi.
10. Dorong
pasien
dan
keluarga
mengeks
presikan
perasaan
nya.
11. Catat
aktivitas
yang
dapat
meningka
tkan
kelelahan
.
12. Anjurkan
pasien
melakuka
n yang
meningka
tkan

33

relaksasi
(membac
a,
mendeng
arkan
musik).
13. Tingkatka
n
pembata
san
bedrest
dan
aktivitas.
14. Batasi
stimulasi
lingkunga
n untuk
memfasili
tasi
relaksasi.

34

2.12

Evaluasi

1. Mampu

mengontrol

nyeri

(tahu

penyebab

nyeri,

mampu

menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari


bantuan), melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri serta mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,
frekuensi dan tanda nyeri)
2. Kerusakan integritas kulit pada pasien teratasi
3. Gangguan mobilitas fisik pada pasien teratasi
4. Gangguan body image pasien teratasi
5. Pasien tidak mengalami kelelahan

35

BAB III
TINJAUAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN
DENGAN SLE (SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS)

3.1 PENGKAJIAN
1. Biodata
Nama Klien

: Ny. A

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 35 tahun

Suku

: Jawa

Agama

: Islam

Status perkawinan : Menikah


Pekerjaan

: Wiraswasta

Pendidikan terakhir : SLTA


Alamat

: Jl. Kawi No. 30 V Malang

2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama
Pipi dan Leher merah
Demam
Nyeri pada kulit yang memerah
Persendian terasa kaku
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien datang ke UGD dengan keluhan merasa tidak nyaman
dengan kulit memerah pada daerah pipi dan leher, awalnya kecil
setelah 1 minggu bertambah besar, demam nyeri dan terasa kaku
seluruh persendian utamanya pada pagi hari.
c. Riwayat Penyakit Terdahulu
d. Riwayat Kesehatan Keluarga

36

3. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum: Pasien tampak lemah
Kesadaran: Compos Mentis
Vital sign:
Tekanan Darah : 140/80 mmHg

Nadi : 96 x/menit

Respiration Rate: 24 x/menit

Suhu : 36,7 0C

Berat badan

Tinggi badan: 155 cm

: 59 kg

Bentuk kepala: Mesocephal, simetris, venektasi temporal (-)

Rambut

Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata

Mata

Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Telinga

Discharge (-), deformitas (-)

Hidung

Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)

Mulut

Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)


Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi : JVP5+3 cm
Pemeriksaan thorak
Paru

Inspeksi:

Dinding

dada

tampak

simetris,

tidak

tampak

ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan kiri, kelainan


bentuk dada (-).

Palpasi:

Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri


Vokal fremitus lobus inferior kanan

37

= kiri

Perkusi: Perkusi orientasi seluru lapang paru sonor.

Batas paru-hepar SIC V LMCD

Auskultasi:

Suara dasar vesikuler +/+ kanan menurun


Ronki basah halus -/Ronki basah kasar -/Wheezing-/Jantung

Inspeksi: Ictus Cordis tampak di SIV VI 2 jari lateral LMCS

Palpasi: Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral LMCS dan

kuat angkat (-)

Perkusi:

Batas atas kanan

: SIC II LPSD

Batas atas kiri

: SIC II LPSS

Batas bawah kanan

: SIC IV LPSD

Batas bawah kiri

: SIC VI 2 jari lateral LMCS

Auskultasi: S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)

Pemeriksaan abdomen
Inspeksi

: Cembung

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Perkusi

: Timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)

Palpasi

: Nyeri tekan (-), undulasi (-)

Hepar

: Tidak teraba

Lien

: Tidak teraba

Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan
Edema
Sianosis

38

Ekstremitas superior Ekstremit


as inferior
Dextra
Sinistra
Dextra

Ikterik
Reflek fisiologis
Reflek patologis
Nyeri sendi
Lebam

+
+

+
+

+
+

Pemeriksaan Penunjang
Hematologi
Darah Lengkap
Hemoglobin

: 9 g/dl

(14 18 g/dl)

Leukosit

: 23.980 /uL

(4800 10800/ul)

Hematokrit

: 25 %

(42 52 %)

Eritrosit

: 3,1 x106/ul

(4,7 6,1 x 106/ul)

Trombosit

: 62000/ul

(150.000 400.000/ul)

MCV

: 81,7 fL

MCH

: 28.9 pg

(27 31 pg)

MCHC

: 35,4%

(33 37 %)

RDW

: 15,0 %

(11,5 14,5 %)

MPV

: 0,00 fL

(7.2 11.1 fL)

(79 99 fL)

Hitung Jenis
Basofil

: 0.1%

(0.00 1.00 %)

Eosinofil

: 0,0%

(2.00 4.00 %)

Batang

: 1,5%

(2.00 5.00 %)

Segmen

: 94,9%

(40.0 70.0 %)

Limfosit
Monosit

: 2,%
: 1,5%

Penatalaksanaan Terapi
1. O2 3 lpm NK

2. IVFD RL 16 tpm
3. Inj Metil Prednison 3125 mg iv
4. Inj Furosemid 2 x 1 Amp iv
5. Inj Ketorolac 2 x 30 mg iv

39

(25.0 40.0 %)
(2.00 8.00 %)

6. Inj Ranitidin 2 x 1 Amp iv


7. O Asam Folat 2 x 1 tab

40

3.2 ANALISA DATA


3
.
3
N
3
.
7
1

3.4 Data

3.8 DS:
3.9 Paisen merasanyeri pada
kulit di daerah pipi dan leher
3.10
DO:
- Skala nyeri: 4 (Nyeri
sedang)
- Pasien tampak menyeringai
kesakitan
3
3.14
DS:
.
3.15
Klien merasa tidak
1
nyaman
dengan
kulit
3
memerah pada daerah pipi
2
dan leher.
3.16
DO:
Ruam pada pipi dengan
terbatas tegas
Lesi berskuama pada daerah
leher
3.17
3
3.21
DS:
.
3.22
Pasien mengatakan

41

3.5 Etiologi

3.11

Inflamasi dan kerusakan jaringan

3.18

3.24

Lesi pada kulit

Deformitas skletal

3.6 Masalah

3.12

Nyeri akut

3.19

Kerusakan
integritas kulit

3.25

Hambatan
mobilitas fisik

3
.
2
6
4
3
.
3
2
5

42

susah utuk menggerakkan


sendi di pagi hari
3.23
DO:
- Pasien
tampak
dibantu
dalam melakukan aktivitas
3.27
DS:
3.28
Pasien mengatakan
malu dengan penyakit yang
dideritanya saat ini
3.29
DO:
- Pasien tampak malu dan
sering menutupi mukanya
3.33
DS:
3.34
Pasien mengatakan
sering merasa lelah dan
letih
saat
melakukan
aktivitas
3.35
DO:
- Pasien tampak keletihan

3.30
Perubahan dan ketergantungan
fisik serta psikologis yang di akibatkan
penyakit kronik

3.36
Peningkatan
rasa nyeri, depresi

aktivitas

penyakit,

3.31

3.37

Gangguan citra
tubuh

Keletihan

3.38
3.39

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan


2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi pada kulit
3. Hambatan Mobilitas fisik berhubungan dengan defometas skletal
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dan
ketergantungan fisik serta psikologis yang di akibatkan penyakit kronik
5. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit,
rasa nyeri, depresi
3.40
3.41
3.42
3.43
3.44
3.45
3.46
3.47
3.48
3.49
3.50
3.51
3.52
3.53
3.54
3.55
3.56
3.57
3.58
3.59
3.60
3.61
3.62

43

3.63

RENCANA KEPERAWATAN

3.64

Diagnos

a Keperawatan
1. Nyeri akut

3.65

Tujuan dan kriteria hasil

3.68

Setelah

dilakukan
keperawatan

3.66

3.67

1. Observasi TTV

1. Mengetahui

3.69

TTV pasien

Rasional
perubahan

berhubungan

tindakkan

dengan inflamasi

selama 2x24 jam diharapkan

2. Observasi respon

2. Mengetahui respon pasien

dan kerusakan

nyeri

nonverbal

terhadap nyeri

jaringan

kriteria hasil:

berkurang

dengan

2. Kerusakan

dari

ketidaknyamanan

3.70

1. Skala nyeri berkurang

3. Ajarkan

tentang

3. Pasien mampu mengontrol

2. TTV dalam batas normal

teknik

non

nyeri dengan teknik distraksi

3. Kegelisahan berkurang

farmakologi : nafas

dan relaksasi

dalam,

relaksasi,

3.71

kompres

3.72

distraksi,

44

Intervensi

3.74

Setelah dilakukan

hangat/dingin

3.73

4. Kolaborasi

4. Menggunakan

pemberian analgetik

farmakologi untuk meredakan

dan kaji skala nyeri


1. Anjurkan pasien

atau menghilangkan nyeri


1. Memperlancar
sirkulasi

agens

integritas kulit

tindakan keperawatan selama

untuk menggunakan

udara dalam tubuh pasien

berhubungan

2 x 24 jam, kerusakan

pakaian yang

3.75

dengan lesi pada

integritas kulit pasien teratasi

longgar.

3.76

kulit

dengan kriteria hasil:

2. Jaga kebersihan

2. Kebersihan pasien tetap

1. Integritas kulit yang baik bisa

kulit agar tetap

terjaga

dipertahankan (sensasi,

bersih dan kering.

3.77

elastisitas, temperatur, hidrasi,

3. Monitor kulit akan

3. Mengetahui

pigmentasi)

adanya kemerahan.

perkembangan kulit pasien

2. Tidak ada luka/lesi pada kulit.

4. Oleskan

4. Mengurangi

3. Perfusi jaringan baik.

lotion/minyak/baby

daerah tertekan

4. Mampu melindungi kulit dan

oil pada daerah yang

mempertahankan kelembaban

tertekan.

kulit dan perawatan alami.


3.78
Setelah
dilakukan

1. Ukur TTV pasien

1. Mengetahui

saat

TTV pasien saat dan setelah

3. Hambatan
Mobilitas

45

fisik

tindakkan

keperawatan

dan

berhubungan

selama 2x24 jam diharapkan

beraktivitas

dengan defometas

pasien menunjukkan mobilitas

2. Latih

skletal

fisik dengan kriteria hasil:

berpindah

setelah

iritasi

pada

perubahan

pasien beraktivitas
pasien
dari

2. Melatih

pasien

berpindah untuk menghindari

1. Mampu berpindah dari tempat

tempat tidur ke kursi

dissus atrofi.

duduk ke kursi

3. Latih

3. Memandirikan

2. TTV normal saat dan setelah

dalam

pasien
pemenuhan

untuk

pasien

dalam memenuhi kebutuhan

beraktivitas

kebutuhan

ADL

3. Mampu melakukan kebutuhan

secara mandiri

ADL secara mandiri

4. Dampingi

dan

3.80

bantu

saat

4. Membantu

pasien

3.79

mobilisasi dan bantu

pasien

penuhi

3.81

kebutuhan

ADLs pasien.
5. Berikan
bantu

jika

6. Ajarkan

alat

3.83

klien

3.84

46

Setelah

dilakukan
keperawatan

dalam latihan mobilisasi


6. Pasien dapat mengubah

posisi

posisi dalam mobilisasi

dan

berikan
jika

diperlukan.
1. Kaji secara verbal

tindakkan

berhubungan

selama 2x24 jam diharapkan

respon

dengan perubahan

pasien

terhadap

menerima

pasien

bagaimana merubah

tubuh

dapat

5. Memudahkan
pasien

bantuan
3.85

mobilisasi

3.82

memerlukan

5. Gangguan citra

ADL

dan

nonverbal
klien

1. Mengetahui apakah body


image pasien positif atau tidak
3.86
3.87

dan

keadaan

tubuhnya

ketergantungan

kriteria hasil:

dengan

tubuhnya

3.88

2. Jelaskan tentang

fisik serta

1. Body image positif

psikologis yang di

2. Mempertahankan

akibatkan penyakit

sosial

kronik

3. Mendeskripsikan

interaksi
secara

faktual perubahan fungsi tubuh

perawatan,

yang dideritanya.

kemajuan dan

3.89

prognosis

3.90

penyakit.

3.91

lain

kontak
individu
dalam

kelompok kecil
4. Dorong

47

Setelah

dilakukan
keperawatan

mempertahankan

interaksi

sosialnya
4. Mendorong pasien untuk
mengungkapkan

secara

faktual tentang perasaannya

perasaannya

terhadap

1. Monitor

tindakkan

dengan

selama 2x24 jam diharapkan

energi

peningkatan

keletihan

adekuat

dengan

klien

3. Membantu pasien untuk

mengungkapkan

berhubungan

teratasi

dan

mengetahui tentang penyakit

dengan

3.94

paham

pengobatan,

3. Fasilitasi

5. Keletihan

2. Pasien

dan

nutrisi
sumber
yang

perubahan

fungsi

tubuh
1. Mengontrol asupan nutrisi
pasien

untuk

mengurangi

keletihan
2. Mengetahui apakah pasien

aktivitas penyakit,

kriteria hasil:

3.96

cemas

3.92

2. Kecemasan menurun

kecemasan

3. Mengetahui

3. Istirahat cukup

pasien

istirahat/ tidur pasien cukup

3.95

3. Monitoring

keletihan

pola

3.97

tidur dan lamanya

3.98

tidur/

4. Paien

istirahat

pasien
4. Ajarkan teknik

dapat

memanajemen aktifitas untuk


mengatasi kelelahan

manajemen

3.99

aktivitas untuk

3.100

mencegah

5. Pasien paham mengenai

kelelahan.

hubunga

5. Jelaskan pada

kelelahan

dengan

proses penyakit

pasien hubungan

3.101

kelelahan dengan

6. Meningkatkan

proses penyakit.

nutrisi pasien untuk mencegah

6. Kolaborasi

dengan ahli gizi

48

apakah

1. Glukosa darah adekuat

tingkat

mengurangi

rasa nyeri, depresi


3.93

2. Kaji

untuk

keletihan
3.102

intake

tentang cara

3.103

meningkatkan

3.104

intake makanan

7. Mengalihkan

tinggi energi.

pasien

7. Anjurkan pasien
melakukan yang
meningkatkan
relaksasi
(membaca,
mendengarkan
musik).
3.105
3.106
3.107

49

relaksasi

dengan

keletihan
aktifitas

3.108 BAB IV
3.109 PENUTUP
3.110
3.111
3.112
3.113

3.1 Kesimpulan

3.114

Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat

menyimpulkan sebagai berikut :


1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS
dan kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun,
dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini
lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang
menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah
factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan
tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada
kaitannya dengan hormon estrogen.
3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap
sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari
penyebarannya sampai ke organ-organ.
3.115
3.116

3.2 Saran

3.117

Oleh karena itu, tim penulis memberikan beberapa saran:

1) Perlu mengenali gejala-gejala pada penyakit lupus ini agar dapat


ditangani dengan baik sejak awal untuk mempercepat proses
penyembuhan dan atau merawat penyakit ini untuk menghindari
penyebarannya keseluruh organ tubuh.
2) Perlu mengetahui tindakan-tindakan untuk proses penyembuhan
penyakit ini.
3) Perlu mendapatkan informasi yang lebih dalam makalah ini tentang
penyakit ini.
3.118

50

3.119

DAFTAR PUSTAKA

3.120
3.121

Carpenito and Moyet. 2007. Buku Saku Diagnosis

Keperawatan. Edisi 10.


3.122
3.123

Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan.

Jakarta:EGC
3.124

Kowalak. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC

3.125

Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan:

Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan

3.126

Pasien. Jakarta:
3.127
3.128

EGC
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Buku

Kedokteran
3.129

Lumenta, Nico A. dkk. 2006. Manajemen Hidup Sehat:

Kenali Jenis
3.130

Penyakit dan Cara Penyembuhannya. Jakarta: PT. Elex

Media
3.131
3.132

Komputindo
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah
3.133

51

Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC

You might also like