You are on page 1of 2

BAB I

PENDAHULUAN
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme
patogen yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans. Penyakit ini pertama kali
dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai penyakit yang berbeda dengan penyakit lain
yang juga ditandai oleh ikterus. Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala
klinis penyakit ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji
laboratorium. Dalam dekade belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa
negara, seperti Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Amerika Serikat menjadikan
penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious diseases.
Leptospirosis telah menjadi problem kesehatan yang tersebar luas di seluruh dunia.
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi kuman
leptospira. Kuman leptospira mengenai sedikitnya 160 spesies mamalia, seperti anjing, babi,
lembu, kuda, kucing, marmut, dan sebagainya. Binatang pengerat terutama tikus merupakan
vektor yang paling banyak. Tikus merupakan vektor utama dari L. icterohaemorrhagica
penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan menetap dan
membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubus ginjal tikus dan secara terus
dikeluarkan melalui urin saat berkemih.
Di negara berkembang yang memiliki iklim tropis dan subtropis, leptospirosis
menjadi masalah yang serius dibandingkan dengan di negara-negara lain. Hal ini disebabkan
karena iklim tropis dan subtropis merupakan lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan
leptospira dan juga peluang untuk kontak dengan leptospira lebih besar pada negara tropis
dan subtropis dimana terdapat banyak persawahan dan perkebunan yang dapat menjadi
sumber dari infeksi. International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai
Negara dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas. Di
Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Kalimantan Timur, dan
Kalimantan Barat. Pada Kejadian Banjir Besar Di Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari
100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi akibat
terpapar oleh genangan /luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan yang
terinfeksi6,8,9.

Leptospirosis merupakan masalah yang serius namun masih dapat diatasi dengan
penenganan yang tepat. Gejala klinis dari leptosiprosis mirip dengan infeksi lain seperti
influensa, meningitis, hepatitis, dengue fever. Oleh sebab itu, sangat penting dapat
membedakan infeksi leptospira dengan infeksi lain terutama di negara dimana infeksi-infeksi
ini masih menjadi endemi. Hal ini masih sulit untuk dilakukan namun dengan perkembangan
teknik penegakkan diagnosis dan kewaspadaan serta pengetahuan yang tepat maka dignosis
leptospirosis dapat ditegakkan dengan tepat dan cepat.
Selama beberapa tahun terakhir, teknik penegakkan diagnosis telah dikembangkan
diberbagai negara, hal ini memampukan identifikasi infeksi leptosipra tanpa memerlukan
peralatan yang canggih. Penegakkan diagnosis pasti dari leptospirosis dibuat isolasi
organisme penyebab yang berasala dari darah atau urin, tetapi hal ini memerlukan waktu agar
organisme tersebut dapat berkembang pada media kultur sehingga diagnosis biasanya
ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan tes serologi. Tes serologi yang digunakan adalah
Microscopic Agglutination Test (MAT). Tes ini dilakukan dengan cara titrasi suspensi antigen
dari pasien kemudian diperiksa dengan mikroskop untuk melihat ada tidaknya aglutinasi.
Namun pemeriksaan ini memerlukan tenaga ahli dan perlengkapan laboratorium yang
canggih sehingga dikembangkan pendekatan serologis lain termasuk penggunaan dari ELISA
menilai antibodi IgM dan IgG.

You might also like