You are on page 1of 6

2.

Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan

yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan yaitu area tertentu dari korteks (Partial onset)
atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset). Kategori utama lainnya bergantung pada
pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.5
Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu
versi mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik,
mioklonik, absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).
Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens). Versi ketiga dengan
pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode neonatus, infan dan anakanak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).5,6
2.3

Epidemiologi
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian

kira-kira 60.000 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di
Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang
timbul pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang
didiagnosa epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang
berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada
kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anakanak dan usia tua.3
2.4

Etiologi dan Patofisiologi


Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal. Ada tiga subtipe utama status

epileptikus pada anak: kejang demam lama, status epileptikus idiopatik dimana kejang
berkembang pada ada atau tidaknya lesi atau serangan sistem saraf pusat yang mendasari, dan
status epileptikus bergejala bila kejang terjadi bersama dengan gangguan neurologis atau
kelainan metabolik yang lama.4

Kejang demam yang berlangsung selama lebih dari 30 menit, terutama pada anak yang
berumur kurang dari 3 bulan, merupakan penyebab status epileptikus yang paling lazim.
Kelompok idiopatik termasuk penderita epilepsi yang mengalami penghentian antikonvulsan
mendadak (terutama benzodiazepin dan barbiturate) yang disertai dengan status epileptikus.
Anak epilepsi yang diberi antikonvulsan yang tidak teratur atau yang tidak taat adalah lebih
mungkin berkembang status epileptikus. Kurang tidur dan infeksi yang menyertai cenderung
menjadikan penderita epilepsi lebih rentan terhadap status epileptikus. Mortalitas dan morbiditas
pada penderita dengan kejang lama dan status epileptikus adalah rendah. Status epileptikus
karena penyebab lain mempunyai mortalitas yang jauh lebih tinggi dan penyebab kematian
biasanya secara langsung dapat dianggap berasal dari kelainan yang mendasari. Ensefalopati
anoksik berat datang dengan kejang selama umur beberapa hari, dan prognosis akhir sebagian
berkaitan dengan pengurangan dalam pengendalian kejang. Kelainan elektrolit, hipokalsemia,
hipoglikemia, intoksikasi obat, intoksikasi timah hitam, hiperpireksia ekstrem, dan tumor otak
terutama pada frontalis, merupakan penyebab tambahan status epileptikus.4
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase
pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa serum kembali
normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas kejang berlanjut
mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan pernafasan dan peningkatan
kerusakan syaraf yang irreversibel.3,7
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan
kehilangan otak berlanjut.8
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada
lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat
efek dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. 3,7

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion natrium dan
kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.3
Etiologi status epileptikus antara lain alkohol, anoksia, antikonvulsan-withdrawal, penyakit
cerebrovaskular, epilepsi kronik, infeksi SSP, toksisitas obat-obatan, metabolik, trauma, tumor.1,2
Komplikasi status epileptikus, yaitu :3,4

Otak : Peningkatan Tekanan Intra Kranial, Oedema serebri, Trombosis arteri dan vena
otak, Disfungsi kognitif

Gagal Ginjal : Myoglobinuria, rhabdomiolisis

Gagal Nafas : Apnoe, Pneumonia, Hipoksia, Hiperkapni, Gagal nafas

Pelepasan Katekolamin : Hipertensi, Oedema paru, Aritmia, Glikosuria, dilatasi pupil,


Hipersekresi, hiperpireksia

Jantung : Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme

Metabolik dan Sistemik : Dehidrasi, Asidosis, Hiper/hipoglikemia, Hiperkalemia,


Hiponatremia, Kegagalan multiorgan

2.5

Idiopatik : Fraktur, tromboplebitis, DIC


Diagnosis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah

keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan


bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.
A. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial dalam
mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang parsial yang
cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum, serangan berawal
dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara serangan dan
peningkatan frekuensi.

Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-otot
aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini,
diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.
B. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase tonik dan
diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
C. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran tanpa
diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari LenoxGestaut Syndrome.
D. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari status
epileptikus tidak biasanya pada en selofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk, tetapi
dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
E. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau dewasa.
Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan mimpi
(dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai slow motion movie dan
mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum primer
atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz monotonus
(monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin
intravena didapati.
F. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks, karena
gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan stupor
atau biasanya koma.
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada beberapa
kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave discharges, tidak
seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.
G. Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada satu
tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian
march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan kesadaran tidak
terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform
discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses
destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya
afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik unilateral yang
berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
H. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup untuk
mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara, dan
keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.
2.6
Penatalaksanaan Status Epileptikus
Status epileptikus merupakan salah satu kondisi neurologis yang membutuhkan anamnesa
yang akurat, pemeriksaan fisik, prosedur diagnostik, dan penanganan segera mungkin dan harus
dirawat pada ruang intensif (ICU). Lini pertama dalam penanganan status epileptikus
menggunakan Benzodiazepin. Benzodiazepin yang paling sering digunakan adalah Diazepam
(Valium), Lorazepam (Ativan), dan Midazolam (Versed). Ketiga obat ini bekerja dengan
peningkatan inhibisi dari g-aminobutyric acid (GABA) oleh ikatan pada Benzodiazepin-GABA
dan kompleks Reseptor-Barbiturat.4
Lorazepam memiliki volume distribusi yang rendah dibandingkan dengan Diazepam dan
karenanya memiliki masa kerja yang panjang. Diazepam sangat larut dalam lemak dan akan
terdistribusi pada depot lemak tubuh. Pada 25 menit setelah dosis awal, konsentrasi Diazepam
plasma jatuh ke 20 persen dari konsentrasi maksimal. Mula kerja dan kecepatan depresi
pernafasan dan kardiovaskuler (sekitar 10 %) dari Lorazepam adalah sama.9
Pemberian antikonvulsan masa kerja lama seharusnya dengan

menggunakan

Benzodiazepin. Fenitoin diberikan dengan 18 sampai 20 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih
dari 50 mg dengan infus atau bolus. Dosis selanjutnya 5-10 mg/kg jika kejang berulang. Efek

samping termasuk hipotensi (28-50 %), aritmia jantung (2%). Fenitoin parenteral berisi Propilen
glikol, Alkohol dan Natrium hidroksida dan penyuntikan harus menggunakan jarum suntik yang
besar diikuti dengan NaCl 0,9 % untuk mencegah lokal iritasi : tromboplebitis dan purple glove
syndrome. Larutan dekstrosa tidak digunakan untuk mengencerkan fenitoin, karena akan terjadi
presipitasi yang mengakibatkan terbentuknya mikrokristal.9,10
Status Epileptikus Refrakter
Pasien dengan kejang yang rekuren, atau berlanjut selama lebih dari 60 menit. Walaupun
dengan obat lini pertama pada 9-40 % kasus. Kejang berlanjut dengan alasan yang cukup banyak
seperti, dosisnya di bawah kadar terapi, hipoglikemia rekuren, atau hipokalsemia persisten.
Kesalahan diagnosis kemungkinan lain: tremor, rigor dan serangan psikogenik dapat meniru
kejang epileptik. Mortalitas pada status epileptikus refrakter sangat tinggi dibandingkan dengan
yang berespon terhadap terapi lini pertama.3,5
Dalam mengatasi status epileptikus refrakter, beberapa ahli menyarankan menggunakan
Valproat atau Phenobarbitone secara intravena. Sementara yang lain akan memberikan medikasi
dengan kandungan anestetik seperti Midazolam, Propofol, atau Tiofenton. Penggunaan ini
dimonitor oleh EEG, dan jika tidak ada kativitas kejang, maka dapat ditapering. Dan jika
berlanjut akan diulang dengan dosis awal.10
Protokol Penghentian kejang: 11

You might also like