You are on page 1of 26

A.

DIAGNOSIS DAN PENGELOLAAN


I. Asfiksia Berat
Asfiksia neonatorum ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal
bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir (Hutchinson, 1967).
Keadaan ini disertai dengan hipoksia, hiperkapnia, dan berakhir dengan asidosis.
Hipoksia yang terdapat pada penderita asfiksia ini merupakan faktor terpenting
yang dapat menghambat adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin
(Gabriel Duc, 1971).1
Asfiksia janin atau neonatus terjadi apabila terdapat gangguan pertukaran
gas atau oksigen dari ibu ke janin. Gangguan ini dapat timbul pada masa
kehamilan, persalinan, atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia
bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin
selama masa kehamilan dan persalinan memegang peranan yang sangat penting
untuk keselamatan bayi dan agar dapat dilakukan perawatan yang adekuat dan
maksimal sehingga dapat diharapkan kelangsungan hidup yang sempurna untuk
bayi tanpa gejala sisa.
Faktor predisposisi yang sering menyertai kelahiran bayi asfiksi antara
lain adalah :
1. Faktor Ibu
Hipoksia ibu, kurangnya aliran darah uteroplasenter yang sering
ditemukan pada keadaan gangguan kontraksi uterus (hipertoni,
hipotoni, tetani), hipotensi mendadak karena perdarahan, dan
hipertensi pada eklampsia.
2. Faktor Plasenta
Gangguan mendadak pada plasenta; solusio plasenta, perdarahan
plasenta.
3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus pada keadaan tali pusat menumbung
4. Faktor Neonatus

Diagnosis asfiksia ditegakkan berdasarkan hasil penilaian skor Apgar


menit pertama. Penilaian klinis berdasarkan Apgar yang dinilai antara lain
denyut jantung, usaha napas, tonus otot, reflek dan warna kulit. Skor Apgar
menit pertama 0-3 berarti asfiksia berat, 4-6 menunjukkan keadaan asfiksia
sedang dan nilai 7 menunjukkan asfiksia ringan. Bila Nilai Apgar lebih dari 7
berarti vigorous baby.2,3,4.
Kejadian asfiksia biasanya merupakan dampak dari asfiksia intrauterine
yang berkepanjangan. Asfiksia dapat menimbulkan hipoksia seluruh tubuh dan
retensi CO2 yang mengaktifkan metabolisme anaerob dan menghasilkan asam
laktat. Peningkatan kadar asam laktat akan memperberat keadaan asidosis
metabolik dan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga
mengakibatkan gangguan perfusi dan berakhir dengan disfungsi organ.

2,3,4

Asfiksia dapat disebabkan oleh suatu keadaan hipoksia ibu yang


menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu dapat
disebabkan oleh pemakaian obat analgetika atau anestesi saat persalinan,
gangguan aliran darah dari uterus ke plasenta dan janin akibat penyakit
kehamilan seperti eklamsi atau hipertensi atau karena perdarahan antepartum
yang mengurangi aliran oksigen ke plasenta atau janin.5 Pada kasus ini adanya
pre-eklampsia berat pada ibu yang mungkin berjalan kronis menyebabkan
sirkulasi uteroplasenter yang tidak adekuat, plasenta mengalami infark yang luas
(75%) menyebabkan gangguan oksigenasi pada janin yang menyebabkan
asfiksia dengan nilai Apgar menit pertama adalah 2, sehingga didiagnosis
asfiksia berat
Setelah dilakukan intubasi, pada penderita diberikan O2 100 % VTP
30-40 x/menit pada hari pertama. Karena secara klinis tampak perbaikan,
maka pada hari kedua diberikan O2 Head box 8 L/mnt. Pada hari ketiga
keadaan anak cukup aktif, napas spontan adekuat, dan sianosis (-),
kemudian bayi diekstubasi dan diberikan O2 Head box 7 L/mnt. Selanjutnya
diberikan O2 28 % nasal.

Pada penderita juga dilakukan infus tali pusat untuk memenuhi


kebutuhan cairan, kalori dan untuk jalur obat parenteral. Hari I diberikan
D10%, beberapa saat kemudian diganti dengan D5% karena hiperglikemia,
yang terjadi karena stress perinatal (asfiksia).
Diet ditunda hingga hari ketiga dengan pertimbangan adanya
asfiksia berat mungkin menyebabkan adanya jejas pada saluran cerna akibat
hipoksia sehingga fungsi absorbsi terganggu. Diberikan diet ASI mulai dari
8 x 10 cc yang dinaikkan secara bertahap setelah didapatkan peristaltik usus
baik, anak tidak kembung, dan defekasi lancar.

1. Blood Gas Analysis (BGA)


Penilaian analisis gas darah menurut Saphiro, dkk dilakukan 3 tahapan :
Tahapan 1 : Penilaian keadaan ventilasi (secara otomatis juga menilai
keseimbangan asam basa)
Tahapan 2 : Penilaian keadaan hipoksemia
Tahapan 3 : Penilaian oksigenasi jaringan
Asam adalah senyawa yang di dalam larutannya mampu memberikan ion H + ,
Basa

adalah senyawa yang di dalam larutannya mampu menerima ion H+

Asidosis adalah keadaan dimana terjadi penambahan yang berlebihan dari ion H
atau kehilangan ion basa,Alkalosis adalah keadaan dimana kehilangan H yang
berlebihan atau penambahan ion basa ke dalam larutan.
Pembacaan BGA terdiri atas:
pH
pH adalah tanda atau simbol yang digunakan untuk menunjukkan konsentrasi H,
pH berhubungan dengan konsentrasi H di dalam larutan dengan rumus:
pH = 6,1 + log

H 2CO3
H 2 CO 2 CO 2

pH yang rendah (6,7-7,35 di cairan ekstraseluler), berhubungan dengan tingginya


konsentrasi H, asidosis.

pH yang tinggi (7,45-7,9 di cairan ekstraseluler), berhubungan dengan rendahnya


konsentrasi H, alkalosis.
pH Normal : 7,35-7,45
Mekanisme kompensasi dari sistem ginjal dan respirasi merupakan suatu
buffer,asidosis respiratorik dikompensasi dengan reabsorpsi bikarbonat oleh
ginjal yang merupakan proses metabolik . Keadaan tidak terkompensasi
merupakan kelainan kompleks asam basa dengan pH abnormal dan adanya tandatanda abnormal dari sistem respirasi dan ginjal. Keadaan kompensasi terjadi bila
pH kembali ke normal setelah adanya ketidakseimbangan asam basa.
Base Excess (BE)
Atau defisit basa adalah sejumlah yang diperlukan untuk mempertahankan
pH Normal.Nilai normal adalah 2,5 m Eq /L
PO2
Adalah tekanan parsial O2 dalam darah arteri,dinyatakan dalam mmHg.
Normal :>90 mmHg
PCO2
Adalah tekanan parsial CO2 di dalam darah arteri,dinyatakan dalam mmHg.
Normal:35-48 mmHg
HCO3
Adalah konsentrasi ion H bicarbonat ,rumusnya adalah

HCO3
pH=6,1 + log
atau
H 2CO3

HCO3
pH=6,1 + log
0,03 PCO 2
Bicarbonat standart adalah indeks dari komponen metabolik yaitu konsentrasi
bicarbonat plasma pada keadaan saturasi Hb jenuh O2,PCO2 40 mmHg dan suhu
37C .
Normal adalah 22-26 meq (mmol)/ L plasma.
Bicarbonat actual,dapat dibaca pada monogram siggard Anderson dan
berhubungan erat dengan kadar bicarbonat standart.

Bila PCO2 > 40 mmHg , Bicarbonat actual > bicarbonat standart


Bila PCO2 < 40 mmHg , Bicarbonat actual < bicarbonat standart
SaO2
Adalah saturasi oksigen yaitu jumlah oksigen yang terikat pada hemoglobin
di banding yang dapat terikat pada hemoglobin.
AaDO2
Merupakan gambaran pintas fisiologis di dalam paru , yaitu alveoli yang
mengalami perfusi tapi tidak mengalami ventilasi .Perbedaan AaDO 2 lebih dari
Normal, menunjukkan adanya gangguan ventilasi perfusi di dalam paru. Nilai
Normal : 5-25 mmHg.
Pada pasien ini didapat kan hasil BGA :
pH: 7,337
PCO2: 28,7 mmHg
PO2:54 mmHg
HCO 3:15,5 mmHg
T CO2:16,4 mmHg
BE: -8,0 meq/L
SO2:86,1 %
Aa DO2: 341,5 mmHg,pembacaan asidosis metabolik kompensasi sempurna.
Sumber :
Eastham RD, A guide to water,electrolite and acid base metabolisme.Wright
PSG.London 1993:18-68,132-157.
DIAGNOSIS
Asfiksia neonatorum terjadi saat lahir bayi mengalami gangguan pertukaran
gas dan transpor oksigen sehingga bayi kekurangan persediaan oksigen dan kesulitan
mengeluarkan CO2. Pada keadaan ini biasanya bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Sampai sekarang asfiksia masih merupakan
salah satu penyebab penting mortalitas dan morbilitas perinatal

Viktor YU dan Monintja mengatakan asfiksia berat menyebabkan komplikasi


berbagai organ antara lain paru (71 %) berupa Sindroma Aspirasi Menokeum (SAM),
hipertensi pulmonal, ARDS, dan perdarahan paru. Pada ginjal dapat menyebabkan
gagal ginjal akibat pembengkakan dan neokrosis tubulus akut seluruh nefron dan
nekrosis kortikomeduler. Oliguri dengan jumlah urin kurang dari 1 cc/kg BB/jam
dalam 24 jam terjadi pada 40 % bayi dengan asfiksia. Pada sistem kardiovaskuler
dapat menyebabkan renjatan kardiogenik atau gagal jantung dengan regurgitasi katup
atriventrikulare

akibat

nekrosis

muskulus

papilaris.

Disfungsi miokardium

dibuktikan dengan kardiomegali dan gambaran EKG iskemia.hipoksia miokardium.


Komplikasi metabolik berupa hipoglikemia, hipokalsemia, dan asidosis metabolik.
Komplikasi hematologi berupa koagulasi intravaskuler menyeluruh disebabkan
hipoksia dan asidosis ,hipotensi. Enterokolitis merupakan komplikasi organ traktus
gtrointestinal.(5) Kekurangan oksigen berakibat secara langsung pada metabolisme
otak dan tak langsung stress pembuluh darah vena dan penurunan perfusi arterial
menyebabkan kegagaln jantung.(5) Sistem neurologi mengakibatkan : Ensefalopati
Hipoksik-iskemik, perdarahan intraventrikuler, dan perdarahan sub arakhnoid.(7)
Pada kasus terjadi asfiksia berat dengan skor Apgar 3-5-6. Faktor predisposisi
antara lain portus tindakan (vakum berat), lilitan tali pusat. Akibat kejadian tersebut
terjadi perdarahan retina, asidosis metabolik, oliguri dengan diuresis 0,3 cc/kg
bb/jam selama 24 jam pertama.
Akibat asfiksica berat ini dapat terjadi invasi (transloksi) bakterial yang
mengakibatkan terjadinya infeksi
Infeksi heonatus dapat in utso, saat persalinan maupun pasca persalinan.
Tanda dan gejala infeksi neonatus adalah malas minum, pucat, gelisah, latargi,
merintih, diare, muntah, ikterik, suhu tubuh tak stabil serta frekuensi napas yang
meningkat.(15) hasil laboratorium darah didapat leukositosis atau bahkan leukopeni.
Diagnosis pasti berdasarkan biakan darah atau kencing.(10).
Faktor predisposisi terjadinya infeksi neonatus : persalinan kurang bulan,
ketuban pecah dini, riwayat bakteriemi, ibu sepsis, atau korioamnionitis, asfiksia
neonatorum, prosedur tindakan intra partum maupun pasca partum.(5,6)

Faktor predisposisi infeksi pada kasus adalah asfiksia berat, prosedur tindakan intra
partum, pasca partum (infus tali pusat dan repair hernia diafragmatika).
Infeksi pada kasus ditandai adanya pucat, iktus mulai taupde kasi III, suhu
tidak stabil, frekuensi hepar yang meningkat,. Diperkuat gambaran preparat darah
hapus menunjukkan infeksi bakteriil, hemolisis serta hasil biakan darah didapatkan
Entrobacter
HERNIA DIAFRAGMATIKA
Hernia diagfragmatika adalah herniasi isi rongga perut ke rongga dada akibat
defek kongenital atau trauma dalam diafragma.
Etiologi hernia diafragmatika kongenital (HDK) adalah kegagalan penutupan
kanal/saluran pleuroperitoneal yang memisahkan rongga dada dan perut pada minggu
ke-8 kehamilan.
Ada beberapa jenis HDK menurut letaknya antara lain 1) Hernia
Bochdalek. Posterolateral. 2) Hernia Morgagni/retrosternal. 3) hernia hiatur
esofagus/hiatal. 4) Hernia paraesofegeal (berbatasan dengan hiatus esofagus). 5)
Eventrasio.
Meskipun semua defek di atas kongenital, namun istilah HDK sinonim dengan
hernia Bochdalek.
Dari berbagai lokasi hernia diafragmatika kongenital, yang sering dijumpai
hernia di daerah posterolateral kiri atau lubang Bochdalek 90 %. (8,9,14,15) Bila lubang
hernia cukup besar, maka isi rongga perut seperti lambung, usus, limpa dan lobus kiri
hati masuk ke dalam rongga dada. Sedangkan hernia posterolateral kanan biasanya
berisi hati serta bagian usus kecil dan besar. Adanya desakan organ tersebut
mengakibatkan paru terjepit menjadi kecil dan mengalami hipoplasi sehingga pada
waktu lahir sulit berkembang. Bila hernia organ visera sangat banyak maka sebagian
besar paru mengalami hipoplasi dan mediastinum terdorong sampai jauh. Bayi dapat
meninggal dalam kandungan atau dalam menit pertama setelah lahir. Angka
kematiannya sekitar 40-50 % pada bayi yang menunjukkan adanya sindroma
gangguan napas berat dalam 24 jam pertama.(8,9,15,16)

Hernia di daerah retrostenal terjadi melalui foramen Morgagni sekitar 10 %,


umumnya tidak memberi masalah pada periode neonatus dan jarang menyebabkan
gangguan respirasi yang berarti karena proses herniasi isi rongga perut berlangsung
secara berlahan.(6,8)
Gejala klinis dicurigai suatu HDK bila bayi sejak lahir terdapat distres
respirasi yang berat, disertai sianosis hernia sebagian kecil.
Gejala dapat timbul dalam 24 jam pertama, atau lebih lambat selama masa neonatus.
Hanya sebagian kecil yang timbul setelah oeriode neonatal.
Beratnya gejala klinis tergantung pada banyaknya perpindahan isi abdomen
ke rongga dada. Secara fisik kelainan yang khas adalah perut yang kempis/cekung
berbentuk scaphoid, rongga dada yang besar (barrelshaped chest). Bunyi jantung
bergeser ke arah yang berlawanan dan letak hernia, didapatkan bising usus pada
hemitoraks yang terkena, suara napas berkurang sampai hilang pada sisi defek, pada
perkusi dada didapatkan timpani sampai pekak.(2,3,5,15,17)
Manifestasi klinis lainnya dapat berupa muntah dan konstipasi. Gejala
obstruksi saluran cerna bisa terjadi setiap saat. Gejala muntah seringkali
berhubungan dengan kelainan penyerta seperti malritasi usus atau gejala respirasi
ringan. Kadang-kadang tidak timbul gejala sama sekali dan ditemukan. Secara
kebetulan saat pemeriksaan hidiologis.(2,8,11)
Gejala klinis yang timbul lambat sering akibat infeksi B streptococcus yang
berkembang menjadi sepsis. Hal ini akibat inkarserasi usus menyebabkan iskemia
dan gagal kardiorespirasi HDK yang tidak terdeteksi dapat menyebabkan kematian
mendadak bayi dan anak.
Pada hernia yang kecil, dalam periode neonatus hanya sebagian kecil usus
masuk ke rongga dada secara perlahan. Kejadian ini biasanya tidak memberi gejala
klinis dalam minggu pertama kehidupan bayi, bahkan mungkin sampai beberapa
tahun.(6)
Pada kasus terjadi hernia diafragmatika tipe hiatul (hernia hiatu). Spektrum klnik
hernia hiatul berkisar dari derajat berat (hernia esofagogastrika) yaitu sebagian besar
lambung berada dalam kavum toraks dan menyebabkan voluolus,hingga derajat
paling ringan yaitu herniasi hanya terjadi bila ada perubahan tekanan intra abdominal

atau tekanan intra torakal. Locus minores resisitensi hernia hiatal adalah hiatus
esofugus.
Manifestasi klinik yang sering timbul adalah refluks gastroesofugeal,
esofugitis, ulkus esofagus dan stenosis efogus akibat fibrosis berasal dari proses
inflanasi (esofagitis).
Pada kasus hernia hiata besar, voluulus gaster dan strangulasi merupakan komplikasi
mengancam jiwa. Komplikasi lain adalah gangguan pernapasan, insufisiensi, angina,
dispnue dan sianosis, yang sering bermanifestasi pada usia lanjut atau obese.
Foto polos dada hernia hiatal, ditemukan massa jaringan lunak mengandung
air fluid level dan terletak di mediastinum posterior. Gambaran ini hanya tampak pda
hernia hiatal besar. Sedangkan hernia hiatal kecil, diagnosis seringkali sulit
ditegakkan hanya dengan pemeriksaan foto polos dada saja.
Manifestasi klinik pada kasus adalah gangguan pernapasan, takikardi,
dispnue, sianosis tidak gambaran perut kempis/scaphoid, rongga dada yang besar
berlawanan dengan letak hernia, bising usus pada hemitoraks yang terkena, suara
napas berkurang pada sisi defek, perkusi dada timpani sampai pekak.
Foto polos dada didapatkan massa jaringan lunak mengandung air fluid level,
terletak di mediastinan posterior, paru sudah mengembang.
HERNIA DIFRAGMATIKA
Segera setelah diagnosis hernia diafragmatika ditegakkan maka penderita
dipersiapkan untuk tindakan bedah. Kegawatan bedah ini membutuhkan tindakan
segera untuk menyelamatkan hidupnya. Penderita diberikan posisi kepala dan dada
lebih tinggi daripada perut dan kaki dengan harapan akan memasukkan isi abdomen
yang berada di rongga dada ke dalam rongga abdomen. (2,9,16) Posisi penderita miring
kearah hernia juga akan mengurangi besarnya hernia dan memungkinkan gerakan
pernapasan yang lebih baik.(8) Dekompresi usus penting untukmencegah penekanan
paru oleh usus dalam rongga toraks. Untuk tujuan ini dapat digunakan continous
suction atau penghisapan pipa nasogastrik secara berkala dan sering.(5,8,9)
Bantuan pernapasan dengan balon dan masker sebaiknya dihindarkan
disamping mencegah terjadinya pneumotoraks juga mencegah terisinya saluran

pencernaan dengan udara yang akan makin menekan paru dan jantung sehingga
semakin memperburuk keadaan.(2,5,6,7) Mengingat kepentingan mempertahankan pH
darah, ventilasi dan oksigenasi, disamping risiko pneumotoraks, maka pola bantuan
napas yang paling eideal adalah menggunakan volume tidal yang kecil dengan
frekuensi tinggi.(9)
Ventilator mekanik dipertahankan setidaknya sampai 24 jam pasca bedah
dilakukan penyapihan (weaning). Sebaiknya PaCO2 dipertahankan 30-35 mmHg,
PaO2 antara 80-100 mmHg, sedangkan pH 7,4. Pemantauan oksihemoglobin
preduktal dan postduktal dengan menggunakan oksimeter sangat sangat praktis dan
cukup akurat untuk menilai pirau kanan ke kiri sejauh perfusi perifer baik.(8,9,23)
Adanya pirau kanan ke kiri harus diatasi secara agresif dengan mengatasi hipoksia,
alkalinasi dengan bikarbonat, bila perlu dengan pemberian vasodilator pulmonal.
Untuk mempertahankan curah jantungnya kadang-kadang diperlukan inotropik.(8)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penderita hernia diafragmatika
kongenital paska operasi meliputi : mengurangi tekanan intra abdominal dengan
mencegah batuk, refluks gastrointestinal yang berulang dan pengawasan terhadap
obstruksi esofagus dan atau gaster, perdarahan intra abdomen, perforasi esofagus,
trauma pada saraf vagus dan pneumotoraks sebagai akibat trauma saat pembedahan.
(24)

Dilakukan pengawasan dan tindakan dengan mengurangi tekanan intra


abdomen, refluks gastro intestinal, pedarahan intra abdomen, perforasi esofagus serta
pneumotoraks. Pasca operasi kasus tidak menunjukkan hal tersebut, luka operasi
baik.
PENGELOLAAN KASUS
Asfiksia berat dilakukan pengelolaan jalan napas dengan isap lendir, intubasi,
dilanjutkan ventilasi mekanik modus IPPB dengan RR 40 x/menit, F1O2 80 %, flow
10 L/menit, PEEP 5 PIP 18 Rasio I = E 1 = 1 TI = 1 serta dilakukan koreksi asidosis
metabolik dengan koreksi bikarbonating. Setelah klnis ada perbaikan diperkuat hasil
perbaikan analisis gas adarh, selanjutnya ventilasi mekanik diubah dengan modus
CPAP dengan F102, F102 80 %, Flow 8 L/menit.

Diberikan medikamentosa suntikan CaCl2 0,3 cc/kg bb, serta dopamin 34


gr/kg bb/menit (0,6 cc/jam) untuk pemeliharaan fungsi ginjal, kontraktilitas jantung
dihentikan pada hari ke-8 , karena perfusi ginjal sudah baik.
Hasil studi koagulasi terjadi kenaikan PTT dan PTTK 1 kali, dengan
manifestasi perdarahan, maka diberikan FFP 10 cc/kg bb.
Perdarahan retina yang luas diberikan luminal 3 mg/kg bb/hari untuk menurunkan
konsumsi oksigen, vitamin K 1 x 1 mg (3 hari).
Pada hari ke-5 pasca repair hernia tanpa kasus dalam keadaan apnue, cutis
mormora, sianosis maka diberikan ventilasi mekanik IPPB, RR 40 x/net, F10 2 9 %,
Flow 10 L/menit, I = E rasio I = 1,5 hasil analisis gas darah hipoksemia berat (PO
257 mmHg) acute lung injury (PaO2/F1O2 193,7)
Pada hari ke-6 {hari ke-2 pasca operasi ) hasil foto polos dada dalam batas
normal analisis gas darah perbaikan (tidak hipoksemia) diubah menjadi modus CPAP
dengan F1O2 80 % Flow 10 L/menit. Pada hari ke-7 seiring dengan kemajuan klinis
modus CPAP, diubah menjadi napas spontan headbox dengan F1O2 60 %. Selanjutnya
dilakukan ekstubasi dengan O2 28 % nasal.
Infeksi pada kasus diberikan terapi medikamentosa ampisilin 200 mg/kg
bb/hari, satu cefotaxim 100 mg/kg bb/hari. Pada hari ke-2 cefotaxim dinaikkan
menjadi 200 mg/kg bb/hari. Hari ke-5 antibiotika diganti maxipime sesuai hasil
biakan darah. Hari ke-9 seiring perbaikan klinis, maxipime, diganti cefalosporin
golongan III per oral (cedax 10 gr/kg bb/hari) dosis tunggal.
Diberikan tranfusi sel darah merah atas indikasi anemia normokrom
normositer akibat proses hemolisis dan kebutuhan pada proses pertumbuhan cepat
dengan respirasi compromais dengan O2 content < 17
Pemberian diit minimal dilakukan mulai hari ke-2 dinaikkan secara bertahap.
Pasca operasi hari ke-2 mulai diberikan diit lagi setelah bising usus baik. Dilakukan
perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori, protein maka ditambah protein (asam
amino) parenteral untuk mencukupi kebutuhannya.

PROGNOSIS
Meskipun pengelolaan pascanatal sudah optimal dan bedah koreksi
dilakukan, sebagian besar bayi dengan hernia diafragmatika kongenital meninggal
karena hipoplasi paru.(1) Biasanya 70 % kasus hernia diafragmatika kongenital
meninggal karena hipoplasi paru.(1)

Komplikasi ini merupakan penyebab utama

kegagalan pernapasan pada bayi yang lahir dengan hernia diafragmatika. Harapan
hidup tergantung pada beratnya hipoplasi paru. Hipoplasi paru yang berat dapat
diperkirakan bila PaCO2 prepoperatif lebih dari 40 mmHg meskipun menggunakan
ventilator mekanik.(25) Prognosis neonatus dengan hernia diafragmatika kongenital
tetap ditentukan oleh tingkat hipoplasi paru.(9,26)
Pada hipoplasi paru yang berat tanpa bantuan oksigenasi yang adekuat prognosisinya
jelak.(5,25)
Angka kematian sekitar 50 % pada bayi yang menunjukkan adanya sindroma
gangguan napas berat dalam 24 jam pertama sebagai akibat hernia diafragmatika.
Bila gejalanya tidak berat dan bayi dapat hidup sendiri tanpa bantuan yang berarti
dalam 72 jam pertama, prognosisnya cukup baik.(6,17)
Komplikasi lain yang sering terjadi adalah hipertensi pulmonal reversibel.
Adanya komplikasi ini dapat dikelola dengan menggunakan extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO).(1,25) Akhir-akhir ini penggunaan ECMO banyak
digunakan pada neonatus dengan berbagai gangguan paru dan jantung.(7,8) Pada pusat
rujukan neonatal tingkat III dengan ECMO dilaporkan 70-76 % penderita hernia
diafragmatika kongenital dapat diselamatkan hidupnya. (1,5,26) Penderita hernia
diafragmatika kongenital dengan volume paru minimal 45 % yang mendapat terapi
ECMO dapat bertahan hidup.(25)
Dijumpai morbiditas bermakna pasca nepair hernia diafragmatika. Beberapa
peneliti menyebutkan risiko rekurensi. Irving dkk menemukan rekuensi 7 kasus,
yang terdiagnosis 3 21 bulan pasca repair.
Meskipun sebagian besar kasus dengan repair hernia diafragmatika mempunyai
toleransi latihan yang normal, studi lanjutan menunjukkan adanya persistensi
hipoplasia pulmoner , risiko emfisema lobus bawah pada hipoplasia paru kanan.

Pada kasus termasuk kelompok dengan tingkat risiko I yaitu tanpa pulmoner
hipoplasia bermakna, analisis gas darah mendekati nilai normal, pasca operasi tidak
terdapat pirau kanan ke kiri secara bermakna, tidak diperlukan intervensi
farmokologi. Angka kematiannya hanya 5 %.
Pasca operasi didapatkan foto polos dada normla, secara klinis juga tidak dijumpai
kelainan, maka prognosisnya adalah ad bonam.

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernafas secara spontan dan


teratur segera setelah bayi lahir.(4)
Penyebab kematian yang paling cepat adalah asfiksia dan perdarahan.
Asfiksia perinatal merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas
yang penting. Akibat jangka panjang asfiksia perinatal ini dapat diperbaiki
secara bermakna bila hal ini diketahui SEBELUM kelahiran (misalnya pada
keadaan gawat janin), sehingga dapat diusahakan memperbaiki sirkulasi /
oksigenasi

janin

intrauterin

atau

segera

melahirkan

janin

untuk

mempersingkat masa hipoksemia janin yang terjadi. Setiap bayi yang


dilahirkan di luar kamar bersalin yang memiliki peralatan lengkap hendaknya
dianggap memiliki faktor risiko tambahan.
Proses yang terjadi pada asfiksia perinatal
Proses yang terjadi pada asfiksia perinatal dapat diramalkan meskipun
penyebabnya belum diketahui. Kekurangan oksigen pada janin sering disertai
hiperkapnia dan asidosis campuran metabolik-respiratorik. Pada keadaan
asfiksia / hipoksemia yang terjadi / ditemukan sebelum kelahiran, gejala yang
dapat dideteksi dari luar umumnya berupa fetal bradikardia (sering disebut
dengan istilah umum / generalisasi berupa gawat janin). Jika dilanjutkan
dengan pemeriksaan darah misalnya lewat darah tali pusat, dapat ditemukan
asidosis.
Asfiksia yang terdeteksi sesudah lahir, prosesnya berjalan dalam
beberapa fase / tahapan (Dawes). :
1. janin bernapas megap-megap (gasping), diikuti dengan
2. masa henti napas (fase henti napas primer).

3. Jika asfiksia berlanjut terus, timbul seri pernapasan megap-megap yang


kedua selama 4-5 menit (fase gasping kedua), diikuti lagi dengan
4. masa henti napas kedua (henti napas sekunder)
Bayi yang berada dalam keadaan henti napas primer, biasanya pletorik
(walaupun banyak yang sianotik). Bayi dalam henti napas sekunder, berwarna
biru sampai ungu dan pucat. Bayi yang dilahirkan dalam keadaan henti napas
primer, sering dapat mulai bernapas spontan setelah stimulasi sensorik
(misalnya telapak kaki ditepok, atau punggung diusap-usap dengan agak
cepat dan keras). Bayi yang berada dalam keadaan henti napas sekunder,
tidak akan dapat mulai bernapas spontan, dan harus dibantu dengan ventilasi
tekanan positif dan oksigen (resusitasi pernapasan artifisial / mekanik).
Makin lama selang waktu dari saat mulai henti napas sekunder sampai
dimulainya resusitasi ventilasi tekanan positif, makin lama pula waktu yang
diperlukan bayi untuk mulai bernapas spontan yang adekuat, prognosis makin
buruk.

Selama asfiksia, curah jantung dan tekanan darah menurun. Terjadi


redistribusi curah jantung untuk mempertahankan aliran darah ke otak,
jantung dan adrenal. Pada asfiksia yang terus berlanjut, curah jantung makin
menurun dan aliran darah ke organ-organ vital tidak mencukupi lagi.
Pada bayi dengan asfiksia, secara kasar terdapat korelasi antara
frekuensi jantung dengan curah jantung. Karena itu pemantauan frekuensi
jantung (misalnya dengan stetoskop, atau perabaan nadi tali pusat)
merupakan cara yanng baik untuk memantau efektifitas upaya resusitasi.
Perlengkapan dan obat-obatan resusitasi (tabel)
Resusitasi neonatal yang efektif memerlukan tenaga yang terlatih dan
perlengkapan yang tepat (lihat tabel). Hendaknya disediakan minimum 2 set

perlengkapan resusitasi (untuk menghadapi kemungkinan persalinan kembar)


dan 1 unit resusitasi mobil untuk keperluan transport.
Prinsip-prinsip umum prosedur resusitasi neonatus
Prinsip resusitasi neonatus :
T (temperature), baru kemudian A-B-C-D
Pengaturan suhu
Semua neonatus dalam keadaan apapun mempunyai kesukaran untuk
beradaptasi pada suhu lingkungan yang dingin.
Neonatus yang mengalami asfiksia khususnya, mempunyai sistem
pengaturan suhu yang lebih tidak stabil, dan hipotermia ini dapat
memperberat / memperlambat pemulihan keadaan asidosis yang terjadi.
Segera sesudah lahir, badan dan kepala neonatus hendaknya dikeringkan
seluruhnya dengan kain kering dan hangat, dan diletakkan telanjang di bawah
alat / lampu pemanas radiasi, atau pada tubuh ibunya, untuk mencegah
kehilangan panas. Bila diletakkan dekat ibunya, bayi dan ibu hendaknya
diselimuti dengan baik. Namun harus diperhatikan pula agar tidak terjadi
pemanasan yang berlebihan pada tubuh bayi. Tindakan resusitasi pada bayi
sebaiknya dilakukan pada suatu meja yang telah dilengkapi dengan peralatan
resusitasi.
Penilaian status klinik
Digunakan penilaian Apgar untuk menentukan keadaan bayi pada
menit ke 1 dan ke 5 sesudah lahir. Nilai pada menit pertama : untuk
menentukan seberapa jauh diperlukan tindakan resusitasi. Nilai ini berkaitan
dengan keadaan asidosis dan kelangsungan hidup. Nilai pada menit kelima :
untuk menilai prognosis neurologik. Ada pembatasan dalam penilaian Apgar
ini, yaitu :
1. Resusitasi SEGERA dimulai bila diperlukan, dan tidak menunggu sampai
ada penilaian pada menit pertama.
2. Keputusan perlu-tidaknya resusitasi maupun penilaian respons resusitasi
dapat cukup dengan menggunakan evaluasi frekuensi jantung, aktifitas

respirasi dan tonus neuromuskular, daripada dengan nilai Apgar total. Hal
ini untuk menghemat waktu.
Perencanaan berdasarkan perhitungan nilai Apgar
1. Nilai Apgar menit pertama 7 - 10 : biasanya bayi hanya memerlukan
tindakan pertolongan berupa penghisapan lendir / cairan dari orofaring
dengan menggunakan bulb syringe atau suction unit tekanan rendah. Hatihati, pengisapan yang terlalu kuat / traumatik dapat menyebabkan
stimulasi vagal dan bradikardia sampai henti jantung.
2. Nilai Apgar menit pertama 4 - 6 : hendaknya orofaring cepat diisap dan
diberikan O2 100%. Dilakukan stimulasi sensorik dengan tepokan atau
sentilan pada telapak kaki dan gosokan selimut kering pada punggung.
Frekuensi jantung dan respirasi terus dipantau ketat. Bila frekuensi
jantung menurun atau ventilasi tidak adekuat, harus diberikan ventilasi
tekanan positif dengan kantong resusitasi dan sungkup muka. Jika tidak
ada alat bantu ventilasi, gunakan teknik pernapasan buatan dari mulut ke
hidung-mulut.
3. Nilai Apgar menit pertama 3 atau kurang : bayi mengalami depresi
pernapasan yang berat dan orofaring harus cepat diisap. Ventilasi dengan
tekanan positif dengan O2 100% sebanyak 40-50 kali per menit harus
segera dilakukan. Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan
gerakan dinding dada dan auskultasi bunyi napas. Jika frekuensi jantung
tidak meningkat sesudah 5-10 kali napas, kompresi jantung harus dimulai.

4. Frekuensi : 100 sampai 120 kali per menit, dengan 1 kali ventilasi setiap
5 kali kompresi (5:1).
JIKA frekuensi jantung tetap di bawah 100 kali per menit setelah 2-3
menit, usahakan melakukan intubasi endotrakea. Gunakan laringoskop
dengan daun lurus (Magill). Gunakan stilet untuk menuntun jalan pipa.
Stilet jangan sampai keluar dari ujung pipa. Posisi pipa diperiksa dengan
auskultasi.
Kalau frekuensi jantung tetap kurang dari 100 setelah intubasi,
berikan 0.5 - 1 ml adrenalin (1:10.000). Dapat juga secara intrakardial atau
intratrakeal, tapi lebih dianjurkan secara intravena.
Jika tidak ada ahli yang berpengalaman untuk memasang infus pada vena
perifer bayi, lakukan kateterisasi vena atau arteri umbilikalis pada tali pusat,
dengan kateter umbilikalis. Sebelum penyuntikan obat, harus dipastikan ada
aliran darah yang bebas hambatan. Dengan demikian pembuluh tali pusat
dibuat menjadi drug/fluid transport line.
JANGAN memasukkan larutan hipertonik seperti glukosa 50% atau
natrium bikarbonat yang tidak diencerkan melalui vena umbilikalis, karena
dapat merusak parenkim hati.
Bayi dengan asfiksia berat yang tidak responsif terhadap terapi atau
mempunyai frekuensi jantung yang adekuat tetapi perfusinya buruk,
hendaknya diberikan cairan ekspansi volume darah (plasma volume
expander) : 10 ml/kgBB Plasmanate atau albumin 5% secara infus selama 10
menit. Kalau diduga banyak terjadi perdarahan, berikan transfusi 10 ml/kgBB
darah lengkap (wholeblood). Bila bradikardia menetap : ulangi dosis
adrenalin.
Dapat juga diberikan kalsium glukonat 10% untuk efek inotropik 50100 mg/kgBB intravena perlahan-lahan, atau sulfas atropin untuk
antikolinergik / terapi bradikardia 0.01 mg/kgBB.
Asidosis respiratorik : dikoreksi dengan memperbaiki ventilasi

Asidosis metabolik : dikoreksi dengan infus natrium bikarbonat dan cairan


ekspansi volume darah.
Ada 3 masalah penting berkaitan dengan pemberian natrium bikarbonat pada
bayi :
1. zat ini sangat hipertonik. Bila diberikan dengan cepat dan dalam jumlah
besar akan mengekspansi volume intravaskular.
2. jika diberikan dalam keadaan ventilasi tidak adekuat, PaCO2 akan
meningkat nyata, pH akan turun, asidosis makin berat dan dapat terjadi
kematian. Hendaknya natrium bikarbonat HANYA diberikan jika ventilasi
adekuat, atau telah terpasang ventilasi mekanik yang baik.
3. Pemberian bikarbonat dapat pula menyebabkan hipotensi.
Untuk monitoring : periksa darah arteri umbilikalis untuk analisis gas darah.
Bila perlu lakukan kanulasi vena sentral untuk membantu menentukan balans
cairan.
Penyulit yang mungkin terjadi selama resusitasi
Hipotermia
Dapat memperberat keadaan asidosis metabolik, sianosis, gawat napas,
depresi susunan saraf pusat, hipoglikemia.
Pneumotoraks
Pemberian ventilasi tekanan positif dengan inflasi yang terlalu cepat dan
tekanan

yang

terlalu

besar

dapat

menyebabkan

komplikasi

ini.

Jika bayi mengalami kelainan membran hialin atau aspirasi mekonium, risiko
pneumotoraks lebih besar karena komplians jaringan paru lebih lemah.
Trombosis vena
Pemasangan infus / kateter intravena dapat menimbulkan lesi trauma pada
dinding pembuluh darah, potensial membentuk trombus. Selain itu, infus
larutan hipertonik melalui pembuluh darah tali pusat juga dapat
mengakibatkan nekrosis hati dan trombosis vena.

INTRODUKSI TENTANG PERAWATAN INTENSIF NEONATUS


(NEONATAL INTENSIVE CARE)
Transfer ke unit perawatan intensif neonatus
Transfer ke unit perawatan intensif neonatus (NICU - neonatal intensive care
unit) dipertimbangkan pada keadaan / kasus :
1. Gawat napas (sianosis, takipnea, retraksi dinding dada, pernapasan cuping
hidung, atau henti napas) yang memerlukan O2 40% atau lebih untuk
mencegah sianosis sentral
2. Bayi prematur kurang dari 2000 gram atau usia gestasi (jika diketahui)
kurang dari 37 minggu
3. Bayi yang sedang mengalami pemulihan dari upaya resusitasi besar
4. Bayi yang sangat mungkin memerlukan bantuan respirasi atau bantuan
medis besar lainnya.
Neonatus risiko tinggi, terutama bayi prematur, memerlukan suatu
LINGKUNGAN KHUSUS, dengan kombinasi khusus cairan dan nutrisi,
serta sarana-sarana pendukung lainnya untuk mempertahankan kehidupannya.
Masalah pada neonatus risiko tinggi
1. khusus pada bayi prematur : hiperbilirubinemia akibat organ hati belum
matang, volume darah rendah, hipoglikemia, defisiensi faktor-faktor
imunologik, defisiensi surfaktan.
2. pada neonatus risiko tinggi umumnya : rentan terhadap infeksi.
Hal yang diperhatikan pada perawatan intensif neonatus
Pengendalian infeksi
Infeksi nosokomial merupakan penyebab infeksi yang sering
menyerang neonatus dalam perawatan. Penularan dapat melalui petugas
medis maupun peralatan yang digunakan. Keadaan neonatus risiko tinggi
sangat lemah, dapat segera memburuk jika terserang infeksi, lebih cepat dan

lebih berat dibandingkan bayi normal lainnya. Sterilisasi dan kebersihan


merupakan syarat utama suatu unit perawatan intensif pada umumnya,
termasuk pada unit perawatan intensif neonatus.
WASPADA : gejala-gejala mencurigakan sepsis neonatorum :
1. gejala umum : bayi tidak kelihatan sehat, tidak mau minum, suhu badan
naik (febris) atau turun (hipotermia) padahal berada dalam kontrol suhu
ruangan yang benar.
2. gejala gastrointestinal : muntah, diare, hepatomegali, perut kembung,
warna kemerahan
3. gejala respiratorik : dispneu, takipneu, sianosis
4. gejala kardiovaskular : takikardia, edema, dehidrasi, produksi urine
kurang
5. gejala susunan saraf pusat : letargi, iritabel, kejang, tidak sadar
6. gejala hematologik : ikterus, splenomegali, petekiae, perdarahan lain,
hitung leukosit dan/atau trombosit menurun.
Pengendalian suhu
Neonatus TIDAK mampu mempertahankan suhu tubuhnya dalam
lingkungan yang terlalu panas atau dingin. Hal ini karena luas permukaan
tubuhnya relatif besar perbandingannya terhadap berat badan, sehingga heat
loss lebih tinggi. Jika terdapat keadaan hipoksia dan stabilitas kardiovaskular
yang rendah, daya tahan terhadap suhu lingkungan akan semakin menurun.
Sekedar suatu pengaturan suhu ruangan yang sesuai saja telah terbukti
berhasil
Monitoring

menurunkan

mortalitas

perinatal

secara

bermakna.

Keadaan umum, tanda vital, gejala-gejala patologik, peningkatan /


penurunan berat badan, balans cairan, kadar elektrolit dan osmolalitas serum,
pemeriksaan urine, dilakukan rutin.
Jika memungkinkan, sebaiknya digunakan peralatan monitoring
elektronik / digital yang lengkap dengan kemampuan fungsi merekam
sehingga dapat dilakukan analisis yang kontinyu.
Cairan, elektrolit dan nutrisi
Semua neonatus dalam unit perawatan intensif HARUS menerima cairan /
nutrisi / obat melalui infus intravena. Jumlah cairan tergantung pada usia
gestasi, usia pascakelahiran, ukuran / berat badan, status klinis dan fisiologis,
serta keadaan patologik yang mungkin menyertai (misalnya diare, ikterus,
anemia, dan sebagainya).
Kebutuhan cairan basal umumnya 50-100 cc/kgbb pada hari pertama,
kemudian turun sampai 60-70 cc/kgbb pada hari ketiga. Jika bayi memiliki
berat badan lebih rendah atau usia gestasi lebih prematur, kebutuhan cairan
menjadi lebih tinggi.
Infus cairan dimonitor setiap 6-8 jam, dengan input / output balans yang
ketat. Tiap 24 jam dibuat rekapitulasi meliputi keseimbangan cairan dan
elektrolit, input/output termasuk insensible water loss, fungsi injal, dan
pemeriksaan elektrolit serum.
Elektrolit Na+ diberikan 3 mEq/dl cairan, dan K+ 2 mEq/dl.
Nutrisi maksimum diberikan 75 kalori per 100 cc cairan, dalam bentuk asam
amino dan larutan glukosa, melalui infus intravena.
JIKA BAYI DAPAT MINUM DAN IBU DAPAT MENGELUARKAN ASI,
BAYI HARUS DIBERIKAN ASI.
Obat-obatan
Untuk

asidosis,

digunakan

natrium

bikarbonat.

Untuk

stimulasi

kardiovaskular dan vasopresor, digunakan epinefrin. Kalsium glukonas


meningkatkan kontraktilitas miokardium, hati-hai, pemberian terlalu cepat
dapat menyebabkan aritmia. Glukosa untuk sumber energi. Hati-hati dalam
perhitungan, dapat terjadi hipo/hiperglikemia atau hiper/hipoosmolalitas.

Albumin dipakai sebagai plasma volume expander jika ada hipovolemia,


terutama jika tidak ada transfusi darah. Naloxon dapat digunakan jika terjadi
depresi kardiovaskular dan/atau pernapasan akibat anastesia atau analgesia
yang diberikan pada ibu sebelum persalinan. Furosemide dapat dipakai jika
dicurigai ada edema paru atau gagal jantung akibat overload cairan.
Antibiotik umum dipakai golongan penicillin atau aminoglikosid, dipilih
yang berspektrum luas, dapat menembus sawar darah otak, tidak toksik, dapat
diberikan secara parenteral. PRINSIP : dosis dan interval pemberian
disesuaikan pada keadaan masing-masing kasus (tailored / titration dose).
Transfusi darah
Bayi prematur sering mengalami anemia. Anemia pada neonatus JANGAN
hanya berdasarkan pemeriksaan kadar hemoglobin atau hematokrit, karena
nilai itu tidak representatif terhadap status oksigenasi jaringan oleh sel-sel
darah merah. Anemia pada neonatus seharusnya mempertimbangkan :
1. jumlah absolut hemoglobin dalam sirkulasi yang menentukan transport
oksigen di dalam darah.
2. fungsi yang menentukan kemampuan melepaskan oksigen ke dalam
jaringan
Sehingga pada neonatus, massa eritrositlah yang menjadi variabel
yang menentukan kapasitas angkut oksigen dalam sirkulasi, bukan nilai Hb
atau Ht. Perlu dipertimbangkan bahwa dalam masa-masa neonatal awal
terjadi penurunan massa eritrosit yang bermakna, selain itu terjadi konversi
dari hemoglobin fetal (HbF) menjadi hemoglobin dewasa (HbA) yang
memiliki karakteristik afinitas terhadap oksigen dan disosiasi Hb-oksigen
yang berbeda. Dengan kata lain, sistem hemopoietik neonatus memang
sedang berada dalam masa adaptasi dari tipe fetal ke tipe dewasa.
Berdasarkan prinsip itu, karena masalah utama adalah oksigenasi
jaringan dan bukan semata-mata nilai Hb atau Ht, maka terapi dengan
oksigenasi lebih banyak diberikan pada neonatus dibandingkan transfusi

darah. Umumnya transfusi darah JARANG diberikan pada neonatus kecuali


terjadi hipovolemia yang bermakna.
Ventilasi mekanik
Pada bayi dengan fungsi respiratorik yang tidak adekuat, alat bantu
pernapasan (ventilasi mekanik) memegang peranan yang sangat penting.
Ventilasi diatur dengan alat bertekanan positif, dengan beberapa cara yang
mungkin misalnya tekanan positif kontinyu (CPPV - continuous positive
pressure ventilation), tekanan positif intermiten (IPPV / IMV - intermittent
positive pressure ventilation / intermittent mandatory ventilation) dan
sebagainya.
Dalam penggunaan ventilasi mekanik di mana frekuensi pernapasan
diatur oleh alat, diperlukan relaksasi otot pasien yang baik, serta depresi
pernapasan spontan pasien, karena jika terjadi pola pernapasan spontan
pasien yang tidak sesuai dengan pola yang diatur oleh alat, dapat terjadi
pneumotoraks sampai perdarahan intrakranial. Untuk keperluan ini dapat
digunakan misalnya pelumpuh otot pancuronium, atau obat golongan morfin
atau barbiturat yang juga memiliki efek sedasi.
Penting juga diperhatikan suhu, kelembaban, tekanan dan volume
aliran oksigen yang digunakan.
Aspek sosio-ekonomi perawatan intensif neonatus
Perawatan intensif neonatus di satu pihak adalah sarana yang
memerlukan banyak peralatan, prosedur dan tenaga medis yang selalu siap
menangani berbagai masalah yang terjadi. Hal ini akan menyebabkan biaya
perawatan dan obat-obatan menjadi sangat mahal.
Di lain pihak, pasien sendiri merupakan seorang neonatus dengan
risiko tinggi yang sangat lemah keadaannya, sehingga peluang untuk tetap
hidup

dengan

kualitas

yang

baik

tentu

juga

sangat

terbatas.

Hal ini PERLU dijelaskan kepada orangtua pasien, karena orangtua tentu
sangat mengharapkan hasil perawatan yang sebaik-baiknya dengan biaya
yang mahal tersebut, sementara pada kenyataannya output yang maksimal
merupakan suatu hal yang cukup sulit diperoleh. Apalagi jika keluarga pasien

berasal dari golongan ekonomi lemah / kurang mampu. Selain itu juga,
mungkin ibu pasien masih juga berada dalam perawatan pascapersalinan di
rumahsakit tersebut, sehingga menjadi tambahan beban biaya bagi keluarga
pasien.
Jika memungkinkan, sebaiknya diusahakan subsidi dana rumahsakit
sebagai sumber yang potensial untuk pengembangan dan pemeliharaan unit
perawatan intensif neonatus, sehingga pelayanan pada unit perawatan intensif
neonatus ini dapat tetap maksimal dan tidak semata-mata bergantung hanya
kepada pembayaran pasien.
Cara menegakkan diagnosis asfiksia :
1. Pada saat persalinan ditegakkan dengan memeriksa pH darah kulit kepala
yang kurang dari 7,2. Kewaspadaan harus ditingkatkan pada bayi letak
kepala dengan air ketuban mengandung mekoneum.
2. Setelah bayi lahir :
Pada kasus emergensi, asfiksia berat ditegakkan bila saat lahir bayi
mengalami sianosis, bradikardi dan hipotoni.
Penilaian menggunakan skor APGAR pada menit pertama, setelah diberi
lingkungan yang baik dan diisap lendirnya, sekaligus untuk menentukan
cara resusitasi.Penilaian dilakukan terhadap denyut jantung, usaha napas,
tonus otot, reflek dan warna kulit, yang masing-masing diberi skor antara
0-2 dan kemudian ditotal.
Diagnosis vigorous baby, bayi sehat, tidak perlu tindakan istimewa bila
skor Apgar 8-10
Asfiksia ringan bila skor Apgar 7
Asfiksia sedang bila skor Apgar 4-6
Asfiksia berat bila skor Apgar 0-3
Penyebab terjadinya asfiksia adalah : (2)
1.I.1.1. Faktor ibu,
a. Terjadinya insufisiensi uteroplasental akibat perdarahan pada ibu,
hipotensi mendadak, hipertensi seperti pada preeklampsi dan

eklampsi, gangguan mikrosirkulasi pada ibu dengan Diabetes


Mellitus.
b. Terjadinya hipoksia ibu yang berakibat pada hipoksia janin akibat
hipoventilasi karena penggunaan obat anastesi selama persalinan.
1.I.1.2. Faktor Plasenta,
Terjadi perubahan mendadak pada plasenta akibat plasenta previa,
solusio plasenta, atau dapat juga karena kelainan dalam luas dan
kondisi plasenta.
1.I.1.3. Faktor Fetus,
Terjadinya penekanan tali pusat antara janin dan jalan lahir pada tali
pusat menumbung, lilitan tali pusat, trauma persalinan akibat fetopelvic disproporsion , kelainan letak dan kelainan kongenital.
Diagnosis asfiksia derajat sedang pada neonatus ini ditegakkan
berdasarkan :
1.I.1.3.1.1.1.

Anamnesis

Ibu mengeluh anak lahir merintih dan dokter penolong persalinan


menyatakan skor Apgar menit pertama bayi lahir setelah diberi
lingkungan yang baik dan diisap lendirnya adalah 6.
Tanda

Skor

Frekuensi jantung : > 100x/menit

Usaha bernafas : menangis lemah

Tonus otot : ekstremitas sedikit fleksi

Refleksi : sedikit gerakan

Warna : tubuh kemerahan

Total

1.I.1.3.1.1.2. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi laki-laki, menangis


kurang kuat, frekuensi napas 46 x/menit, dengan dijumpai napas cuping
hidung dan retraksi suprasternal.
Neonatus ini lahir secara secti transperitoneal profunda atas indikasi
ibu ruptura uteri iminnens dan janin fetal distress.Penyebab terjadinya
asfiksia pada neonatus ini adalah faktor ibu mengalami ruptura uteri iminnens

beberapa saat sebelum persalinan. Pada kasus ini ibu seorang primi gravida
dengan tinggi badan 142 cm, ternyata ibu memiliki pintu atas panggul yang
sempit, akibatnya

terjadi CPD (cefalo pelvik disproporsion) yang

menyebabkan gangguan sirkulasi uteroplasenter pada saat penurunan kepala


janin, sehingga janin mengalami hipoksia intrauterine berlanjut sebagai gawat
janin dan asfiksia neonatorum.

You might also like