Professional Documents
Culture Documents
2,3,4
Asidosis adalah keadaan dimana terjadi penambahan yang berlebihan dari ion H
atau kehilangan ion basa,Alkalosis adalah keadaan dimana kehilangan H yang
berlebihan atau penambahan ion basa ke dalam larutan.
Pembacaan BGA terdiri atas:
pH
pH adalah tanda atau simbol yang digunakan untuk menunjukkan konsentrasi H,
pH berhubungan dengan konsentrasi H di dalam larutan dengan rumus:
pH = 6,1 + log
H 2CO3
H 2 CO 2 CO 2
HCO3
pH=6,1 + log
atau
H 2CO3
HCO3
pH=6,1 + log
0,03 PCO 2
Bicarbonat standart adalah indeks dari komponen metabolik yaitu konsentrasi
bicarbonat plasma pada keadaan saturasi Hb jenuh O2,PCO2 40 mmHg dan suhu
37C .
Normal adalah 22-26 meq (mmol)/ L plasma.
Bicarbonat actual,dapat dibaca pada monogram siggard Anderson dan
berhubungan erat dengan kadar bicarbonat standart.
akibat
nekrosis
muskulus
papilaris.
Disfungsi miokardium
Faktor predisposisi infeksi pada kasus adalah asfiksia berat, prosedur tindakan intra
partum, pasca partum (infus tali pusat dan repair hernia diafragmatika).
Infeksi pada kasus ditandai adanya pucat, iktus mulai taupde kasi III, suhu
tidak stabil, frekuensi hepar yang meningkat,. Diperkuat gambaran preparat darah
hapus menunjukkan infeksi bakteriil, hemolisis serta hasil biakan darah didapatkan
Entrobacter
HERNIA DIAFRAGMATIKA
Hernia diagfragmatika adalah herniasi isi rongga perut ke rongga dada akibat
defek kongenital atau trauma dalam diafragma.
Etiologi hernia diafragmatika kongenital (HDK) adalah kegagalan penutupan
kanal/saluran pleuroperitoneal yang memisahkan rongga dada dan perut pada minggu
ke-8 kehamilan.
Ada beberapa jenis HDK menurut letaknya antara lain 1) Hernia
Bochdalek. Posterolateral. 2) Hernia Morgagni/retrosternal. 3) hernia hiatur
esofagus/hiatal. 4) Hernia paraesofegeal (berbatasan dengan hiatus esofagus). 5)
Eventrasio.
Meskipun semua defek di atas kongenital, namun istilah HDK sinonim dengan
hernia Bochdalek.
Dari berbagai lokasi hernia diafragmatika kongenital, yang sering dijumpai
hernia di daerah posterolateral kiri atau lubang Bochdalek 90 %. (8,9,14,15) Bila lubang
hernia cukup besar, maka isi rongga perut seperti lambung, usus, limpa dan lobus kiri
hati masuk ke dalam rongga dada. Sedangkan hernia posterolateral kanan biasanya
berisi hati serta bagian usus kecil dan besar. Adanya desakan organ tersebut
mengakibatkan paru terjepit menjadi kecil dan mengalami hipoplasi sehingga pada
waktu lahir sulit berkembang. Bila hernia organ visera sangat banyak maka sebagian
besar paru mengalami hipoplasi dan mediastinum terdorong sampai jauh. Bayi dapat
meninggal dalam kandungan atau dalam menit pertama setelah lahir. Angka
kematiannya sekitar 40-50 % pada bayi yang menunjukkan adanya sindroma
gangguan napas berat dalam 24 jam pertama.(8,9,15,16)
atau tekanan intra torakal. Locus minores resisitensi hernia hiatal adalah hiatus
esofugus.
Manifestasi klinik yang sering timbul adalah refluks gastroesofugeal,
esofugitis, ulkus esofagus dan stenosis efogus akibat fibrosis berasal dari proses
inflanasi (esofagitis).
Pada kasus hernia hiata besar, voluulus gaster dan strangulasi merupakan komplikasi
mengancam jiwa. Komplikasi lain adalah gangguan pernapasan, insufisiensi, angina,
dispnue dan sianosis, yang sering bermanifestasi pada usia lanjut atau obese.
Foto polos dada hernia hiatal, ditemukan massa jaringan lunak mengandung
air fluid level dan terletak di mediastinum posterior. Gambaran ini hanya tampak pda
hernia hiatal besar. Sedangkan hernia hiatal kecil, diagnosis seringkali sulit
ditegakkan hanya dengan pemeriksaan foto polos dada saja.
Manifestasi klinik pada kasus adalah gangguan pernapasan, takikardi,
dispnue, sianosis tidak gambaran perut kempis/scaphoid, rongga dada yang besar
berlawanan dengan letak hernia, bising usus pada hemitoraks yang terkena, suara
napas berkurang pada sisi defek, perkusi dada timpani sampai pekak.
Foto polos dada didapatkan massa jaringan lunak mengandung air fluid level,
terletak di mediastinan posterior, paru sudah mengembang.
HERNIA DIFRAGMATIKA
Segera setelah diagnosis hernia diafragmatika ditegakkan maka penderita
dipersiapkan untuk tindakan bedah. Kegawatan bedah ini membutuhkan tindakan
segera untuk menyelamatkan hidupnya. Penderita diberikan posisi kepala dan dada
lebih tinggi daripada perut dan kaki dengan harapan akan memasukkan isi abdomen
yang berada di rongga dada ke dalam rongga abdomen. (2,9,16) Posisi penderita miring
kearah hernia juga akan mengurangi besarnya hernia dan memungkinkan gerakan
pernapasan yang lebih baik.(8) Dekompresi usus penting untukmencegah penekanan
paru oleh usus dalam rongga toraks. Untuk tujuan ini dapat digunakan continous
suction atau penghisapan pipa nasogastrik secara berkala dan sering.(5,8,9)
Bantuan pernapasan dengan balon dan masker sebaiknya dihindarkan
disamping mencegah terjadinya pneumotoraks juga mencegah terisinya saluran
pencernaan dengan udara yang akan makin menekan paru dan jantung sehingga
semakin memperburuk keadaan.(2,5,6,7) Mengingat kepentingan mempertahankan pH
darah, ventilasi dan oksigenasi, disamping risiko pneumotoraks, maka pola bantuan
napas yang paling eideal adalah menggunakan volume tidal yang kecil dengan
frekuensi tinggi.(9)
Ventilator mekanik dipertahankan setidaknya sampai 24 jam pasca bedah
dilakukan penyapihan (weaning). Sebaiknya PaCO2 dipertahankan 30-35 mmHg,
PaO2 antara 80-100 mmHg, sedangkan pH 7,4. Pemantauan oksihemoglobin
preduktal dan postduktal dengan menggunakan oksimeter sangat sangat praktis dan
cukup akurat untuk menilai pirau kanan ke kiri sejauh perfusi perifer baik.(8,9,23)
Adanya pirau kanan ke kiri harus diatasi secara agresif dengan mengatasi hipoksia,
alkalinasi dengan bikarbonat, bila perlu dengan pemberian vasodilator pulmonal.
Untuk mempertahankan curah jantungnya kadang-kadang diperlukan inotropik.(8)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada penderita hernia diafragmatika
kongenital paska operasi meliputi : mengurangi tekanan intra abdominal dengan
mencegah batuk, refluks gastrointestinal yang berulang dan pengawasan terhadap
obstruksi esofagus dan atau gaster, perdarahan intra abdomen, perforasi esofagus,
trauma pada saraf vagus dan pneumotoraks sebagai akibat trauma saat pembedahan.
(24)
PROGNOSIS
Meskipun pengelolaan pascanatal sudah optimal dan bedah koreksi
dilakukan, sebagian besar bayi dengan hernia diafragmatika kongenital meninggal
karena hipoplasi paru.(1) Biasanya 70 % kasus hernia diafragmatika kongenital
meninggal karena hipoplasi paru.(1)
kegagalan pernapasan pada bayi yang lahir dengan hernia diafragmatika. Harapan
hidup tergantung pada beratnya hipoplasi paru. Hipoplasi paru yang berat dapat
diperkirakan bila PaCO2 prepoperatif lebih dari 40 mmHg meskipun menggunakan
ventilator mekanik.(25) Prognosis neonatus dengan hernia diafragmatika kongenital
tetap ditentukan oleh tingkat hipoplasi paru.(9,26)
Pada hipoplasi paru yang berat tanpa bantuan oksigenasi yang adekuat prognosisinya
jelak.(5,25)
Angka kematian sekitar 50 % pada bayi yang menunjukkan adanya sindroma
gangguan napas berat dalam 24 jam pertama sebagai akibat hernia diafragmatika.
Bila gejalanya tidak berat dan bayi dapat hidup sendiri tanpa bantuan yang berarti
dalam 72 jam pertama, prognosisnya cukup baik.(6,17)
Komplikasi lain yang sering terjadi adalah hipertensi pulmonal reversibel.
Adanya komplikasi ini dapat dikelola dengan menggunakan extracorporeal
membrane oxygenation (ECMO).(1,25) Akhir-akhir ini penggunaan ECMO banyak
digunakan pada neonatus dengan berbagai gangguan paru dan jantung.(7,8) Pada pusat
rujukan neonatal tingkat III dengan ECMO dilaporkan 70-76 % penderita hernia
diafragmatika kongenital dapat diselamatkan hidupnya. (1,5,26) Penderita hernia
diafragmatika kongenital dengan volume paru minimal 45 % yang mendapat terapi
ECMO dapat bertahan hidup.(25)
Dijumpai morbiditas bermakna pasca nepair hernia diafragmatika. Beberapa
peneliti menyebutkan risiko rekurensi. Irving dkk menemukan rekuensi 7 kasus,
yang terdiagnosis 3 21 bulan pasca repair.
Meskipun sebagian besar kasus dengan repair hernia diafragmatika mempunyai
toleransi latihan yang normal, studi lanjutan menunjukkan adanya persistensi
hipoplasia pulmoner , risiko emfisema lobus bawah pada hipoplasia paru kanan.
Pada kasus termasuk kelompok dengan tingkat risiko I yaitu tanpa pulmoner
hipoplasia bermakna, analisis gas darah mendekati nilai normal, pasca operasi tidak
terdapat pirau kanan ke kiri secara bermakna, tidak diperlukan intervensi
farmokologi. Angka kematiannya hanya 5 %.
Pasca operasi didapatkan foto polos dada normla, secara klinis juga tidak dijumpai
kelainan, maka prognosisnya adalah ad bonam.
janin
intrauterin
atau
segera
melahirkan
janin
untuk
respirasi dan tonus neuromuskular, daripada dengan nilai Apgar total. Hal
ini untuk menghemat waktu.
Perencanaan berdasarkan perhitungan nilai Apgar
1. Nilai Apgar menit pertama 7 - 10 : biasanya bayi hanya memerlukan
tindakan pertolongan berupa penghisapan lendir / cairan dari orofaring
dengan menggunakan bulb syringe atau suction unit tekanan rendah. Hatihati, pengisapan yang terlalu kuat / traumatik dapat menyebabkan
stimulasi vagal dan bradikardia sampai henti jantung.
2. Nilai Apgar menit pertama 4 - 6 : hendaknya orofaring cepat diisap dan
diberikan O2 100%. Dilakukan stimulasi sensorik dengan tepokan atau
sentilan pada telapak kaki dan gosokan selimut kering pada punggung.
Frekuensi jantung dan respirasi terus dipantau ketat. Bila frekuensi
jantung menurun atau ventilasi tidak adekuat, harus diberikan ventilasi
tekanan positif dengan kantong resusitasi dan sungkup muka. Jika tidak
ada alat bantu ventilasi, gunakan teknik pernapasan buatan dari mulut ke
hidung-mulut.
3. Nilai Apgar menit pertama 3 atau kurang : bayi mengalami depresi
pernapasan yang berat dan orofaring harus cepat diisap. Ventilasi dengan
tekanan positif dengan O2 100% sebanyak 40-50 kali per menit harus
segera dilakukan. Kecukupan ventilasi dinilai dengan memperhatikan
gerakan dinding dada dan auskultasi bunyi napas. Jika frekuensi jantung
tidak meningkat sesudah 5-10 kali napas, kompresi jantung harus dimulai.
4. Frekuensi : 100 sampai 120 kali per menit, dengan 1 kali ventilasi setiap
5 kali kompresi (5:1).
JIKA frekuensi jantung tetap di bawah 100 kali per menit setelah 2-3
menit, usahakan melakukan intubasi endotrakea. Gunakan laringoskop
dengan daun lurus (Magill). Gunakan stilet untuk menuntun jalan pipa.
Stilet jangan sampai keluar dari ujung pipa. Posisi pipa diperiksa dengan
auskultasi.
Kalau frekuensi jantung tetap kurang dari 100 setelah intubasi,
berikan 0.5 - 1 ml adrenalin (1:10.000). Dapat juga secara intrakardial atau
intratrakeal, tapi lebih dianjurkan secara intravena.
Jika tidak ada ahli yang berpengalaman untuk memasang infus pada vena
perifer bayi, lakukan kateterisasi vena atau arteri umbilikalis pada tali pusat,
dengan kateter umbilikalis. Sebelum penyuntikan obat, harus dipastikan ada
aliran darah yang bebas hambatan. Dengan demikian pembuluh tali pusat
dibuat menjadi drug/fluid transport line.
JANGAN memasukkan larutan hipertonik seperti glukosa 50% atau
natrium bikarbonat yang tidak diencerkan melalui vena umbilikalis, karena
dapat merusak parenkim hati.
Bayi dengan asfiksia berat yang tidak responsif terhadap terapi atau
mempunyai frekuensi jantung yang adekuat tetapi perfusinya buruk,
hendaknya diberikan cairan ekspansi volume darah (plasma volume
expander) : 10 ml/kgBB Plasmanate atau albumin 5% secara infus selama 10
menit. Kalau diduga banyak terjadi perdarahan, berikan transfusi 10 ml/kgBB
darah lengkap (wholeblood). Bila bradikardia menetap : ulangi dosis
adrenalin.
Dapat juga diberikan kalsium glukonat 10% untuk efek inotropik 50100 mg/kgBB intravena perlahan-lahan, atau sulfas atropin untuk
antikolinergik / terapi bradikardia 0.01 mg/kgBB.
Asidosis respiratorik : dikoreksi dengan memperbaiki ventilasi
yang
terlalu
besar
dapat
menyebabkan
komplikasi
ini.
Jika bayi mengalami kelainan membran hialin atau aspirasi mekonium, risiko
pneumotoraks lebih besar karena komplians jaringan paru lebih lemah.
Trombosis vena
Pemasangan infus / kateter intravena dapat menimbulkan lesi trauma pada
dinding pembuluh darah, potensial membentuk trombus. Selain itu, infus
larutan hipertonik melalui pembuluh darah tali pusat juga dapat
mengakibatkan nekrosis hati dan trombosis vena.
menurunkan
mortalitas
perinatal
secara
bermakna.
asidosis,
digunakan
natrium
bikarbonat.
Untuk
stimulasi
dengan
kualitas
yang
baik
tentu
juga
sangat
terbatas.
Hal ini PERLU dijelaskan kepada orangtua pasien, karena orangtua tentu
sangat mengharapkan hasil perawatan yang sebaik-baiknya dengan biaya
yang mahal tersebut, sementara pada kenyataannya output yang maksimal
merupakan suatu hal yang cukup sulit diperoleh. Apalagi jika keluarga pasien
berasal dari golongan ekonomi lemah / kurang mampu. Selain itu juga,
mungkin ibu pasien masih juga berada dalam perawatan pascapersalinan di
rumahsakit tersebut, sehingga menjadi tambahan beban biaya bagi keluarga
pasien.
Jika memungkinkan, sebaiknya diusahakan subsidi dana rumahsakit
sebagai sumber yang potensial untuk pengembangan dan pemeliharaan unit
perawatan intensif neonatus, sehingga pelayanan pada unit perawatan intensif
neonatus ini dapat tetap maksimal dan tidak semata-mata bergantung hanya
kepada pembayaran pasien.
Cara menegakkan diagnosis asfiksia :
1. Pada saat persalinan ditegakkan dengan memeriksa pH darah kulit kepala
yang kurang dari 7,2. Kewaspadaan harus ditingkatkan pada bayi letak
kepala dengan air ketuban mengandung mekoneum.
2. Setelah bayi lahir :
Pada kasus emergensi, asfiksia berat ditegakkan bila saat lahir bayi
mengalami sianosis, bradikardi dan hipotoni.
Penilaian menggunakan skor APGAR pada menit pertama, setelah diberi
lingkungan yang baik dan diisap lendirnya, sekaligus untuk menentukan
cara resusitasi.Penilaian dilakukan terhadap denyut jantung, usaha napas,
tonus otot, reflek dan warna kulit, yang masing-masing diberi skor antara
0-2 dan kemudian ditotal.
Diagnosis vigorous baby, bayi sehat, tidak perlu tindakan istimewa bila
skor Apgar 8-10
Asfiksia ringan bila skor Apgar 7
Asfiksia sedang bila skor Apgar 4-6
Asfiksia berat bila skor Apgar 0-3
Penyebab terjadinya asfiksia adalah : (2)
1.I.1.1. Faktor ibu,
a. Terjadinya insufisiensi uteroplasental akibat perdarahan pada ibu,
hipotensi mendadak, hipertensi seperti pada preeklampsi dan
Anamnesis
Skor
Total
beberapa saat sebelum persalinan. Pada kasus ini ibu seorang primi gravida
dengan tinggi badan 142 cm, ternyata ibu memiliki pintu atas panggul yang
sempit, akibatnya