Professional Documents
Culture Documents
K E P A L A
----
Lebih dari separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata atas outcome. Pada pasien dengan
dera berganda, kepala adalah bagian yang paling
sering
ce-
yang
ditemu-
terha-
1. PENYEBAB
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 1544 tahun. Pada umumnya rata-rata usia adalah sekitar 30
tahun.
Kalsbeek, 1980).
Kecelakaan kendaraan bermotor penyebab paling
se-
dan
da-
Le-
o-
mau-
KLASIFIKASI
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal.
Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi.
Tabel 1
Klasifikasi cedera kepala
------------------------------------------------------A. Berdasarkan mekanisme
1 Tertutup
2 Penetrans
B. Berdasarkan beratnya
1 Skor Skala Koma Glasgow
2 Ringan, sedang, berat
C. Berdasarkan morfologi
1 Fraktura tengkorak
a Kalvaria
1 Linear atau stelata
2 Depressed atau nondepressed
b Basilar
2 Lesi intrakranial
a Fokal
1 Epidural
2 Subdural
3 Intraserebral
b Difusa
1 Konkusi ringan
2 Konkusi klasik
kepala dengan jumlah skor 9 hingga 12 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor SKG 13 hingga 15
sebagai ringan. Williams, Levin dan Eisenberg baru-baru
ini melaporkan defisit neurologis penderita dengan cedera kepala ringan (SKG 12 hingga 15) dengan lesi massa
intrakranial pada CT pertama adalah sesuai dengan
pasien dengan cedera kepala sedang (SKG 9 hingga 11).
Pasien dengan cedera kepala ringan tanpa dengan komplikasi lesi intrakranial pada CT jelas lebih baik.
Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan
sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil tak ekual
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau
adanya jaringan otak yang terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
BERDASAR MORFOLOGI
Hadirnya CT Scanning menimbulkan revolusi dalam klasifikasi dan pengelolaan cedera kepala. Walau pada pasien
tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin
dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat
sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum dioperasi.
Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting
karena gambaran morfologis pada pasien cedera kepala
sering mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam
pertama, beberapa hari, dan bahkan beberapa minggu setelah cedera. Secara morfologi, cedera kepala mungkin
secara umum digolongkan kedalam dua kelompok utama:
fraktura tengkorak dan lesi intrakranial.
Fraktura Tengkorak
Fraktura tengkorak mungkin tampak pada kalvaria atau
basis, mungkin linear atau stelata, mungkin depressed
atau nondepressed. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan
dengan setelan jendela-tulang untuk memperlihatkan lokasinya. Adanya tanda klinis fraktura tengkorak basal
mempertinggi indeks kemungkinan dan membantu identifikasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih
dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi.
Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera.
Mengutip Jennett dan Teasdale, "Untuk mendasari
pemikiran, dan terutama untuk membenarkan pemikiran,
fraktura tengkorak adalah pertanda keparahan yang nyata
setelah cedera kepala. Beribu-ribu kepala disinar-x
diruang gawat darurat, namun hanya dua atau tiga kasus
dari seratus yang memiliki fraktura; mengakibatkan radiologis menulisi kertas berdasarkan pengiriman yang
cedera kepala berat. Terjadi paling sering akibat robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus
draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi
permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang
mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih
berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil
oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif.
Kontusi dan hematoma intraserebral. Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Frekuensinya lebih
nyata sejak kualitas dan jumlah CT scanner meningkat.
Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi dilobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi
pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak.
Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral
traumatika tetap tidak jelas batasannya. Lesi jenis
'salt-and-pepper' klasik jelas suatu kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Bagaimanapun, terdapat
zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun
menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari.
Cedera difusa
Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan oleh meningkatnya
jumlah cedera akselerasi-deselerasi otak. Pada bentuk
murni, cedera otak difusa adalah jenis cedera kepala
yang paling sering.
Konkusi Ringan. Konkusi ringan cedera dimana kesadaran tidak terganggu namun terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Cedera ini sering terjadi
dan karena derajatnya ringan, sering tidak dibawa kepusat medik. Bentuk paling ringan konkusi berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Sindrom ini biasanya pulih sempurna dan tanpa disertai adanya sekuele
major. Cedera kepala yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan baik amnesia retrograd maupun
posttraumatika.
Konkusi Serebral Klasik. Konkusi serebral klasik
adalah keadaan pasca trauma dengan akibat hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai suatu tingkat amnesia retrograd dan posttraumatika, dan lamanya amnesia
posttraumatika adalah pengukur yang baik atas beratnya
cedera. Hilangnya kesadaran adalah sementara dan dapat
pulih. Menurut definisi yang tidak terlalu ketat, pasien kembali sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Kebanyakan pasien setelah konkusi serebral klasik tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia
atas kejadian yang berkaitan dengan cedera, namun beberapa pasien mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau kadang-kadang sangat ringan.
Cedera Aksonal Difusa (CAD). Cedera aksonal difusa
(Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah istilah untuk men-
jelaskan koma pasca traumatika yang lama yang tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Kehilangan kesadaran sejak saat cedera berlanjut diluar enam
jam. Fenomena ini mungkin dipisahkan menjadi kategori
ringan, sedang dan berat. CAD ringan relatif jarang dan
dibatasi pada kelompok dengan koma yang berakhir pada 6
hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD sedang dibatasi pada koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak
yang menonjol. Ini bentuk CAD yang paling sering dan
merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. CAD berat
biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan bentuk
yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua pasien
dengan CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan menetap
untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan sering dengan cacad berat
yang menetap bila penderita tidak mati. Pasien sering
menunjukkan disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. Sekarang dipercaya
bahwa CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.
ENGELOLAAN CEDERA KEPALA
Cedera Kepala Ringan
Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi.
Pengelolaan:
1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala
2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik
7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria rawat
Kriteria Rawat:
1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah
dan
kehilangan ke-
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan neurologis
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat akan memperburuk pasien
4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan bila perlu 1 tahun setelah cedera
Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan
yang tidak begitu akut terhadap urgensi.
Saat masuk UGD, riwayat singkat diambil
dan
stabilitas kardiopulmonal dipastikan sebelum menilai
status neurologisnya. Tes darah termasuk pemeriksaan
rutin, profil koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk
bank darah. Film tulang belakang leher diambil, CT scan
umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan
bahkan bila CT scan normal.
Cedera Kepala Berat
Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan
sederhana karena gangguan kesadaran.
perintah
Pengelolaan:
Di Unit Gawat Darurat
1. Riwayat:
Usia, jenis dan saat kecelakaan
Penggunaan alkohol atau obat-obatan
Perjalanan neurologis
Perjalanan tanda-tanda vital
Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang
Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan
yang dipakai serta alergi
2. Stabilisasi Kardiopulmoner:
Jalan nafas, intubasi dini
Tekanan darah, normalkan segera dengan
Salin
normal atau darah
Foley, tube nasogastrik kateter
Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen,
pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras
3. Pemeriksaan Umum
4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai:
Trakheostomi
Tube dada
Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells
dan traksi
Parasentesis abdominal
5. Pemeriksaan Neurologis:
Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal
Reaksi cahaya pupil
Okulosefalik (dolls)
Okulovestibular (kalorik)
6. Obat-obat Terapeutik:
Bikarbonat sodium
Fenitoin(?)
Steroid (???)
Mannitol
Hiperventilasi
7. Tes Diagnostik: (desenden menurut yang diminati)
CT scan
Ventrikulogram udara
Angiogram
Di Unit Perawatan Intensif (UPI/ICU)
Lihat diagram
Kelompok ini terdiri dari penderita yang tidak mampu
mengikuti perintah sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmonal. Walau definisi tersebut memasukan
cedera otak dalam spektrum yang luas, ia mengidentifikasikan kelompok dari penderita yang berada pada risiko
maksimal atas morbiditas dan mortalitas. Pendekatan
'tunggu dan lihat' sangat mencelakakan dan diagnosis
serta tindakan tepat adalah paling penting. Pengelolaan pasien dibagi lima tingkatan: (1) stabilisasi kardiopulmoner, (2) pemeriksaan umum, (3) pemeriksaan neurologis, (4) prosedur diagnostik, dan (5) indikasi operasi.
Stabilisasi Kardiopulmoner
Cedera otak sering diperburuk oleh kerusakan sekunder.
Miller melaporkan pasien dengan cedera otak berat yang
dinilai saat masuk UGD, 30% dalam hipoksemik (PO2 < 65
mmHg), 13% dengan hipotensif (TD sistolik < 95 mmHg),
dan 12% dengan anemik (hematokrit < 30%). Diperlihatkan
bahwa hipotensi saat masuk (TD sistolik <90 mmHg) adalah satu dari tiga faktor pada pasien dengan cedera kepala berat dengan CT scan normal (dua lainnya adalah usia > 40 tahun dan posturing motor) yang, bila ditemukan saat masuk, berhubungan dengan akan terjadinya peningkatan TIK. TIK tinggi berhubungan dengan outcome
yang lebih buruk. Karenanya wajib untuk menstabilkan
kardiopulmoner segera.
Jalan Nafas
Yang sering bersamaan dengan konkusi adalah terhentinya
nafas untuk sementara. Apnea yang lama sering menjadi
penyebab kematian yang segera pada suatu kecelakaan.
Bila pernafasan buatan segera dilakukan, dapat dicapai
outcome yang baik. Apnea, atelektasis, aspirasi dan
sindroma distres respirasi akuta (ARDS) sering bersamaan dengan cedera kepala berat, dan karenanya satu-satunya aspek yang paling penting dalam pengelolaan segera pasien tersebut adalah mempertahankan jalan nafas
yang baik. Setiap pasien dengan cedera kepala berat harus diintubasi segera. Kecermatan harus diperhatikan
dalam menjamin letak yang benar dari tube endotrakheal,
bukan esofageal. Jarang, bila perlu dilakukan trakheostomi emergensi, terutama pada pasien dengan cedera maksilofasial berat dimana intubasi dihindari karena pembengkakan berat jaringan lunak serta adanya distorsi
anatomi.
Dalam usaha mempertahankan jalan nafas, saluran
mulut dan nasal harus bersih dari semua benda asing,
sekresi, darah dan muntah. Sekali tube endotrakheal pada tempatnya, balon harus digembungkan untuk mencegah
atau mengurangi aspirasi, dan pengisapan seksama saluran trakheal harus dilakukan. Oksigen seratus persen digunakan untuk ventilasi sampai gas darah diperiksa dan
dilakukan pengaturan yang cukup atas FIO2. Terdapat sedikit bahaya toksisitas oksigen 100% bila penggunaannya
kurang dari 48-72 jam.
Tekanan Darah
Hipotensi dan hipoksia adalah musuh yang paling mendasar pada pasien cedera kepala. Sudah diperlihatkan
bahwa adanya hipotensi (TD sistolik < 90 mmHg) pada pasien
cedera
kepala
berat
mempertinggi
tingkat
mortalitas dari 27% ke 50%. Selain itu, ditemukan bahwa
35% pasien yang datang pada rumah sakit besar adalah
hipotensif. Bila jalan nafas sudah diperbaiki, nadi dan
tekanan darah pasien diperiksa dan siapkan jalur vena.
Minimum dua jalur vena (gunakan Jelcos 14 atau 16)
harus terpasang baik. Umumnya digunakan kateter vena
infraklavikular perkutaneus subklavian atau jugular,
walau kadang-kadang pembukaan vena safena atau brakhial
diperlukan untuk mendapat jalur vena yang memadai. Pada
titik ini, darah bisa diambil untuk pemeriksaan rutin,
skrining koagulasi, kadar alkohol serum, contoh untuk
bank darah serta gas darah arterial.
Bila pasien hipotensif, sangat penting untuk memperbaikinya sesegera mungkin. Hipotensi biasanya tidak
karena cedera kepala semata, kecuali pada fase terminal
dimana sudah terjadi kegagalan medullari. Jauh lebih umum, hipotensi adalah pertanda kehilangan darah banyak,
yang mana bisa tampak atau tersembunyi, atau keduanya.
Pada pasien cedera dengan hipotensif, pertama harus dipikirkan cedera cord spinal yang terjadi (dengan
kuadriplegia atau paraplegia) serta kontusi atau tamponade kardiak dan pneumotoraks tension sebagai penyebabnya. Selama upaya mencari penyebab hipotensi, penggantian volume harus dimulai dengan menggunakan salin
normal atau plasmanat. Transfusi darah harus dilakukan
sesegera mungkin bila tekanan darah tidak bereaksi memadai terhadap penggantian cairan atau bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gm% (HCT 30%). Darah kelompok O
Rh negatif mungkin bisa digunakan selama belum tersedianya darah yang telah dibanding silang. Pentingnya
parasentesis abdominal rutin pada pasien koma dengan
hipotensif sudah terbukti.
Harus ditekankan bahwa pemeriksaan neurologis tidak berarti sepanjang pasien dalam hipotensif. Pasien
yang tidak responsif terhadap stimulasi saat hipotensif, sering kembali kepemeriksaan neurologis yang mendekati normal segera setelah tekanan darah diperbaiki.
Kateter
Kateter Foley ( 16-18 French untuk dewasa) diinsersikan dengan hati-hati dan urine dikirimkan untuk pemeriksaan urinalisis dan skrining toksik (bila tersedia).
Hematuria gross mengarah pada cedera renal dan ini
indikasi untuk IVP emergensi. Hematuria ringan mungkin
sekunder atas kateterisasi traumatika, kontusi renal atau jarang-jarang aneurisma aortik dissekting. Perhatian khusus harus diberikan atas catatan masukan dan keluaran cairan, terutama pada anak dan orang tua. Sebagai tambahan untuk menjamin keseimbangan cairan, setiap
catatan membantu penaksiran kehilangan darah serta
pengamatan perfusi renal.
Tabel2. Penyebab umum kehilangan darah pada pasien cedera multipel
------------------------------------------------------Tampak
Laserasi scalp
Cedera maksilofasial
Fraktura compound
Cedera jaringan lunak lain
Tersembunyi
Intraperitoneal atau retroperitoneal
Hemotoraks
Perdarahan pelvik
Perdarahan pada ekstremitas pada sisi fraktura tulang panjang
Hematoma subgaleal atau ekstradural pada bayi
Ruptura traumatika aorta
------------------------------------------------------Tube
kateter
plastik
untuk
mencari
Pemeriksaan Umum
Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara cepat untuk mencari cedera lain.
Lebih dari 50% pasien cedera kepala berat disertai cedera sistemik major lainnya, memerlukan penanganan oleh
spesialis lain. Perhatian khusus diberikan pada:
1. Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea, rhinorrhea, mata racoon (ekkhimosis
periorbital).
2. Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks
atau
hemotoraks, tamponade kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi),
aspirasi, atau ARDS.
3. Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau
ginjal. Perdarahan biasanya berakibat tenderness,
guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda
ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma. Adanya bising usus biasanya
pertanda tenang.
4. Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma
bisa ditetapkan secara klinis. Konfirmasi radiologis
biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah tersembunyi dalam jumlah besar.
5. Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan, dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga
5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang
leher paling sering dikenai.
6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang
atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah).
Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera
untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.
Pemeriksaan Neurologis
Segera setelah status kardiopulmoner distabilkan, pemeriksaan neurologis cepat dan terarah dilaksanakan (Tabel). Walau berbagai faktor dapat menghalangi penilaian
akurat dari status neurologis pasien pada saat tersebut
(hipotensi, hipoksia, atau intoksikasi), data yang berharga dapat diperoleh. Antara alert penuh dan koma dalam, terjadi perubahan kesadaran yang sinambung hingga
sulit untuk melakukan penilaian secara objektif. Sebagai dikemukakan didepan, untuk keperluan ini SKG digunakan secara luas.
Bila pasien menunjukkan respons yang bervariasi
darah
atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada
tingkat yang mengganggu aliran darah serebral. Kembalinya respons pupil mungkin terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat tidak terlalu lama.
Gerakan Mata
Gerakan okular adalah indeks yang penting dari aktifitas fungsional yang berada pada formasi retikular batang otak. Bila pasien cukup alert untuk mengikuti perintah sederhana, pergerakan mata lengkap mudah didapat, dan integritas sistem motor okular keseluruhan didalam batang otak dapat dipastikan. Pada keadaan kesadaran yang tertekan, gerak mata volunter menghilang, ini mungkin disfungsi pengaktifasi struktur neural gerakan mata. Pada keadaan ini respons okulosefalik atau
okulovestibular digunakan untuk menentukan ada atau tidaknya gangguan gerak mata. Untuk melakukan tes ini,
harus mengerti hubungan anatomi respons yang normal.
Anatomi. Klinisi sudah lama mengetahui bahwa pusat conjugate gaze mengatur gerak mata cepat horizontal
(saccades) dan respons vestibular terdapat didalam formasi retikular pontin paramedian bawah. Regio ini termasuk pengatur denyut untuk gerak mata cepat dan integrator saraf yang menentukan posisi diam mata. Penelitian terakhir pada kucing memperlihatkan bagian kaudal
pusat horizontal gaze meluas ke bagian kaudal nukleus
prepositus hipoglossi pada rostral medulla dan ia jelas
berperan-serta pada gerak mata lambat vestibular dan
volunter saccadic. Jadi penelitian klinis dan hewan menunjukkan bahwa jalur bersama akhir dari semua gerak
mata horizontal konjugata ipsilateral terletak pada
tegmentum sambungan pontomedullari paramedian. Dari sini, sinyal untuk gerak mata horizontal dihantarkan ke
nukleus abdusen ipsilateral berdekatan dan menyilang
garis tengah diregio para-abdusen untuk naik di fasikulus longitudinal medial kontralateral ke neuron rektus medial dinukleus okulomotor.
Respons okulosefalik. Pada pasien cedera kepala
tidak sadar, hilangnya gerak mata horizontal menunjukkan perlunya pemeriksaan diagnostik yang mendesak. Bila
fraktura leher sudah disingkirkan, fungsi pusat gaze
pontin harus segera ditentukan dengan manuver okulosefalik. Kepala ditinggikan 30o dari posisi baring dan
dengan cepat diputar to and fro pada bidang horizontal.
Pada respons doll's eye normal, setiap mata cenderung
mempertahankan posisinya terhadap ruangan dengan gerak
berlawanan terhadap rotasi kepala dan secara horizontal
menuju posisi lateral dan medial yang sesuai pada orbita. Ketika manuver ini dilakukan, kelopak mata mungkin
harus diretraksi secara manual untuk melihat gerak bola
mata lebih baik. Impuls aferen dari akar saraf leher
dan kanal semisirkuler berperan pada refleks kompensasi
normal yang menggeser mata pada arah berlawanan dengan
rotasi kepala. Terganggunya atau tiadanya respons oku-
sadaran diduga yang bekerja rostral dari struktur pontin dan otak tengah. Respons antara, yaitu tiadanya
respons okulosefalik namun respons kalorik intak, dapat terjadi pada lesi supratentorial. Tiadanya kedua
respons tersebut menunjukkan proses patologis berat
yang meluas ke pons yang lebih bawah.
Saat tes okulosefalik dan kalorik dilakukan, kelainan motilitas okular infranuklir, internuklir dan supranuklir dapat ditemukan. Lesi destruktif dari baik
frontal maupun pusat gaze pontin berakibat overaksi tonik dari aksis frontal-pontin sisi berlawanan untuk gerak mata horizontal. Deviasi tonik mata terjadi akibat
aksi sistem frontal-pontin yang masih utuh. Overaksi ini berakibat deviasi ipsilateral pada lesi lobus frontal dan deviasi gaze kontralateral pada lesi pontin.
Pada koma dalam, deviasi gaze akibat keseimbangan yang
berlebihan tidak harus terjadi. Untuk membedakan antara
kemungkinan lesi frontal atau pontin pada pasien dengan
atau tanpa deviasi gaze diperlukan tes okulosefalik atau kalorik. Pada deviasi gaze akibat lesi lobus frontal, refleks okulosefalik dan kalorik tetap intak karena input vestibular formasi retikular pontin paramedian
tetap utuh. Lesi pontin memutuskan interaksi formasi
retikular pontin para median okulovestibular dan okulosefalik hingga rotasi kepala menuju mata yang mengalami
deviasi atau irigasi air dingin pada telinga kontralateral deviasi gaze, tidak mengatasi deviasi gaze. Gaze
horizontal konjugata tak lengkap atau paretik setelah
stimulasi kalorik yang memadai menunjukkan kerusakan
partial pusat gaze pontin. Respons okulosefalik dan okulovestibuler diskonjugata diakibatkan baik oleh palsi
saraf kranial ketiga dan keenam atau oftalmoplegia internuklir bila hanya satu otot horizontal yang paretik.
Bila setiap otot horizontal untuk gaze konjugata paretik tapi yang satu melebihi lainnya, tampak palsi gaze
pontin bentuk terbalik.
Deviasi miring adalah divergensi mata pada bidang
vertikal dan adalah tanda adanya lesi dalam batang otak. Penjelasan atas deviasi tonik dan vertikal satu atau kedua mata tidak diketahui. Pada deviasi miring,
lokalisasi neuroanatomik dalam batang otak tidak selalu
bisa ditentukan baik dengan adanya mata yang kebawah atau hipometrik, atau mata yang keatas atau hipermetrik.
Secara umum, palsi saraf ketiga dan keenam tidak
sulit untuk ditemukan pada pasien dengan cedera kepala.
Palsi saraf keempat tak selalu dapat diidentifikasi pada koma karena aksi yang terbatas dari otot oblik superior. Pada pasien alert dan perbaikan, paresis oblik
superior menimbulkan penglihatan ganda yang menyusahkan, terutama dengan gaze kebawah dan kedalam. Peninggian kepala arah berlawanan dengan sisi otot yang paretik mengurangi penglihatan ganda, sedang pengangkatan
kepala ipsilateral menambah diplopia. Oftalmoplegia internuklir ditunjukkan oleh paresis adduksi terbatas
tanpa gangguan tambahan pada pupil, kelopak,, atau otot
vertikal yang dipesarafi saraf ketiga. Oftalmoplegia i-
5
4
3
2
1
0
Prosedur Diagnostik
Segera setelah keadaan kardiorespiratori
distabilkan
dan pemeriksaan neurologis pendahuluan dilengkapkan,
segera ditentukan adanya lesi massa intrakranial. Pasien diintubasi dan diparalisakan memakai pankuronium
(Pavulon) atau obat sejenis dan dipasang ventilasi mekanik. Manuver ini mencegah pasien menggeliat atau bergerak, yang berarti mencegah terjadinya peninggian TIK
dan secara nyata menambah kualitas pemeriksaan diagnostik. CT scanning mengungguli semua tes yang lebih kuno.
Namun tes lain digunakan juga baik sebagai pengganti CT
scanning, atau tes angiografi untuk melengkapi data
tertentu.
Ventrikulografi
Sebelum berkembangnya CT scanning, ventrikulografi udara dan angiografi merupakan tes radiologis emergensi
paling penting untuk menilai pasien cedera kepala dengan koma. Yang pertama disukai karena bisa didapat dalam waktu singkat, bahkan walaupun yang terakhir lebih
banyak memberikan informasi. Ventrikulografi memberi
dua bagian informasi penting: derajat pergeseran otak
supratentorial dan tekanan intrakranial. Bila prosedur
ini dilakukan dalam metoda dan tampilan standar, ventrikel hampir selalu dapat dikanulasi yang akan memberikan pengukuran TIK yang baik serta pemeriksaan udara,
bahkan bila pasien dengan pergeseran ventrikular berat
atau ventrikular dalam slit-like akibat sekunder dari
kompresi.
Tehnik. Bila tak ada tanda fokal yang sering sebagai pertanda lesi massa unilateral, dipilih sisi kanan.
Bila ada alasan adanya massa pada suatu sisi, sisi yang
berlawanan digunakan lebih mudah untuk mengkanulasi
ventrikel yang kurang terkompres. Scalp dicukur luas
pada daerah sutura koronal. Setelah menpersiapkan area
tersebut dengan larutan betadin dan menutup dengan kain
steril, dibuat insisi 1 sm pada scalp tepat didepan sutura koronal pada garis pupil tengah. Dengan mata bor
9/64 pada bor puntir, dibuat lubang kecil melalui tengkorak pada tempat tersebut. Bor diarahkan pada nasion,
dan pada bidang sagittal mengarah telinga berlawanan.
Panjang mata bor diatur 2 hingga 2.5 sm untuk mencegahnya amblas kejaringan otak. Segera setelah bor menembus
tengkorak , yang bisa 'dirasa', bor ditarik. Dura terbaik ditembus dengan mata bor yang dipegang dengan tangan dengan gerakan memuntir. Manometer diisi salin
steril pada tingkat sekitar 300 mm air dan dihubungkan ketube fleksibel menggunakan stopkok. Kanula otak
no. 16 atau tube ventrikulostomi dilewatkan melalui lubang menuju ventrikel lateral. Porosnya seperti dikatakan, mengarah nasion dan telinga seberang. Bila ventrikel tidak tercapai dengan cara ini, aksis dimiringkan
menuju pupil ipsilateral dan kemudian ditujukan pada
pupil kontralateral pada dua tembusan berikutnya. Ventrikel ditembus sekitar 7-8 sm; tidak dianjurkan lebih
dalam. Sekali kanula tembus, stilet dicabut sedikit untuk memastikan masuknya keventrikel. Bila kanul sudah
pada ventrikel, CSS akan tampak mengalir keluar saat
stilet dicabut. Hati-hati jangan sampai lebih dari satu
atau dua tetes CSS terbuang saat mencabut stilet dan
menghubungkannya ketube manometer, hingga didapat bacaan TIK yang paling akurat. Bila ketiga jalur pada satu
sisi gagal mencapai ventrikel, prosedur diulang pada
sisi lainnya. Bila gagal juga, prosedur dibatalkan.
Sekali manometer telah dihubungkan dengan kanula,
stopkok dibuka dan TIK diukur dengan pasien berbaring
datar pada punggungnya. Foramen Monro digunakan sebagai
titik referensi. Harus diingat bahwa hipotensi arterial
mungkin berakibat bacaan TIK yang rendah dan bahwa hiperkarbia dan hipoksia cenderung meninggikan TIK. Sete-
lah mengukur tekanan, sekitar 7 cc udara secara hatihati ditukar dengan CSS, kepala ditinggikan dari sisi
ke sisi, dan sinar-x tengkorak posisi Towne anteroposterior dilakukan setelah kanula diangkat serta insisi scalp dijahit dengan jahitan tunggal.
TIK normal pada pasien relaks atau paralisa yang
tidak dengan hipotensif atau hiperkarbik/hipoksik adalah 10 mmHg (136 mmH2O) atau kurang. Walau tekanan bervariasi antara 10 hingga 20 mmHg (136 hingga 272 mmH2O)
mungkin terjadi dengan gangguan sedang volume intrakranial , tekanan yang lebih tinggi dari ini memperingatkan hematoma intrakranial yang luas, cedera otak diffusa berat, atau keduanya. Perubahan besar dinamika tekanan-volume intrakranial diperlukan untuk meninggikan
TIK hingga taraf tersebut.
Lesi massa intrakranial unilateral paling berbahaya adalah bila menggeser garis tengah sebesar 5 mm atau
lebih.Ini selalu berhubungan dengan peninggian TIK kecuali disertai kebocoran CSS. Lesi lobus temporal yang
nyata mungkin hanya menyebabkan pergeseran garis tengah minimal, namun TIK biasanya menjadi tinggi dan
ventrikel ketiga, bila tampak, sering bergeser melebihi ventrikel lateral. Bila pergeseran garis tengah tidak
ada atau sedikit, TIK meninggi, dan pasien tidak hiperkarbik, maka terdapat baik lesi massa bilateral atau
cedera otak diffusa serius. CT scan akan memecahkan masalah ini, namun bila ini tidak tersedia maka pasien
harus memiliki angiogram untuk menentukan hamatoma bilateral yang balans atau kontusi yang mungkin memerlukan intervensi operatif.
Trefinasi Bor-puntir
Mahoney melaporkan percobaannya dengan trefinasi borpuntir di UGD pada pasien dengan sindroma herniasi unkal progresif cepat walau setelah terapi medikal progresif. Ini dapat digunakan bila terdapat keterlambatan
dalam mendapatkan hasil CT scan, walau terkadang lebih
disukai menggunakan ventrikulogram udara. Ketepatannya
81% untuk ada atau tidaknya hematoma. Trefinasi dilakukan pada sisi pupil yang melebar, dua jari diatas arkus zigoma dan dua jari anterior telinga, menggunakan
bor tangan bergaris tengah 15/64 inci. Dura dibuka, dan
evakuasi parsial dari hematoma dilakukan dengan penghisap. Andrews juga melakukan eksploratori burr-holes pada pasien dengan tanda klinik herniasi tentorial atau
disfungsi batang otak saat pasien masuk UGD. Pasien
langsung masuk kamar operasi setelah intubasi dan resusitasi, dan dilakukan burr-hole. Eksplorasi lengkap
mencakup lubang di temporal, frontal dan parietal. Massa ekstraserebral ditemukan 56%. Eksplorasi pada 38%
negatif dan dari CT scan tidak didapatkan hematoma yang
bermakna. Pada 6%, hematoma ekstra-aksial yang harus
dioperasi terlalaikan. Pilihan ini perlu dipikirkan bila CT scan tidak segera dapat disediakan atau pasien
jelas dalam herniasi.
Angiografi
Indikasi. Angiografi dilakukan pada pasien cedera
kepala akut bila CT scanning tidak tersedia. Bila tersedia, angiografi kadang-kadang diindikasikan misalnya
bila ada efek massa yang tampak pada CT scan namun tidak ada hematoma yang tampak (diagnosis diferensialnya
adalah hematoma isodens dan pembengkakan parenkhimal akuta), bila cedera vaskuler diduga, atau bila temuan CT
scan tidak sesuai dengan status neurologikal pasien.
Laporan terakhir menyebutkan pada 24 pasien dengan diseksi arteria karotid traumatika didapatkan
tanda
sindroma Horner, disfasia, hemiparesis, obtundasi, dan
monoparesis. Bila diduga hematoma subdural isodens, keberadaannya dapat dipertegas dengan mengubah jendela CT
scan atau menggunakan pemeriksaan dengan penguatan kontras, sebelum melakukan angiografi.
Tehnik. Selain memerlukan waktu untuk mempersiapkannya, pemeriksaan ini memerlukan keahlian tersendiri
dalam usaha agar pelaksanaannya aman dan efektif. Bila
dilakukan oleh ahli, kateterisasi transfemoral adalah
pilihan. Ini memberikan informasi terbanyak, namun karena memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sulit
secara tehnis, tidak banyak digunakan pada pasien cedera kepala. Angiogram yang didapat di UGD biasanya dilakukan dengan suntikan langsung pada arteria karotid
komunis atau internal. Pada setiap kasus, harus hatihati agar tidak menusuk daerah bifurkasio, jadi cegah
sinus carotid dan plak ateroma. Jarum no. 18 digunakan
untuk tindakan ini. Tangan kiri menahan arteri karotid
pada badan vertebral menggunakan telunjuk dan jari tengah. Jarum angiografi diinsersikan antara kedua jari
penahan dan ditujukan miring kedinding arteri. Dinding
pembuluh dapat juga ditembus tegak-lurus dalam mencegah
tergelincirnya jarum dan setelah tembus jarum diarahkan
paralel dinding pembuluh. Siring 20 ml dengan stopkok
dan tube penghubung diisi dengan salin dan dalam keadaan siap. Media kontras iodin larut air nonionik (misal
Omnipaque 300) dimasukkan siring 10 ml dan dihubungkan
kestopkok. Sekali tube penghubung terhubung dengan jarum, aliran darah yang baik dibuktikan dengan siring
salin. Stopkok diputar dan media kontras disuntikkan
secara cepat. Tepat sebelum siring kosong, radiografer
mulai mengambil foto. Angiografi biplane dengan pengganti film otomatis adalah ideal. Namun bila ini tidak
tersedia, tiga film AP dan tiga film lateral biasanya
memberikan data yang lengkap. Pengisian sisi berlawanan
bisa didapat dengan mengkompresi arteria karotid komunis kontralateral saat penyuntikan material kontras.
Tehnik Seldinger mungkin digunakan dalam kateterisasi karotid. Ini adalah penetrasi arteri karotid komunis pada leher bagian bawah dengan jarum no. 18 dan memasukkan penuntun Seldinger panjang 50 sm melalui jarum
tersebut. Jarum kemudian dilepas saat penuntun 3 sm diluar ujungnya. Kateter 30 sm (PE 160) dimasukkan mela-
lui penuntun dan dengan gerak puntir didorong kepembuluh. Penuntun kemudian ditarik. Aliran darah yang baik
harus dipastikan sebelum menyuntikkan kontras. Bila diduga adanya diseksi karotid, pemeriksaan transfemoral
harus dilakukan, karena penyuntikan karotid langsung
membawa risiko arah lumen yang salah.
Interpretasi. Lesi massa supratentorial biasanya
menyebabkan pergeseran kontralateral arteria serebral
anterior dan vena serebral internal. Yang terakhir,
menjadi lebih dekat ke titik tengah kranium, kurang
terpengaruh oleh pemutaran film, yang biasa merupakan
masalah umum akibat pemutaran kepala ke setiap sisi.
Walau pergeseran pembuluh tidak memberikan perbedaan
antara pembengkakan parenkhimal dan hematoma, pemeriksaan pola dapat membantu letaknya lesi. Lesi frontal
menyebabkan lengkungan arteria serebral anterior, hingga disebut 'rounded shift', dengan pergeseran terbatas
dari vena serebral internal. Lesi parietal cenderung
menyebabkan 'square shift' arteria serebral anterior,
primer karena pelebaran falks serebral yang kaku keposterior, dan vena serebral internal tergeser lebih nyata. Lesi lobus temporal berakibat pergeseran medial bifurkasi arteria karotid internal dan pergeseran keatas
yang khas grup arteria serebral media. Ini mungkin juga
tampak pada pandangan lateral, namun kurang dapat dipertanggung-jawabkan karena bahkan rotasi yang ringan
dari kepala dapat memprojeksikan lengkungan keatas yang
jelas. Ini harus diingat bahwa lesi parietal mungkin
tidak menyebabkan pergeseran garis tengah yang nyata
bila lesi massa bilateral dalam keadaan yang seimbang.
Lesi massa infratentorial sulit terdeteksi secara
angiografi, dan penyuntikan vertebral jarang dilakukan
untuk keperluan ini. Massa fossa posterior mungkin diduga bila terbukti adanya hidrosefalus pada film karotid (yaitu pergeseran keatas dari arteria perikalosal
pada film lateral dan pelengkungan kelateral pembuluh
talamostriata pada film anteroposterior).
Herniasi transtentorial tampak pada angiogram karotid anteroposterior dan lateral sebagai peregangan
yang jelas arteria khoroidal anterior sebagai akibat
pergeseran unkal kemedial. Bila arteria komunikating
posterior tampak, ia juga tampak terregang dan terkadang terkompres terhadap prosesus klinoid posterior.
Arteria serebral posterior tergeser keinferior pada
film tampak lateral dan tampak bergeser kemedial bersama kedua arteria serebelar superior pada film anteroposterior karena herniasi girus hipokampal.
Lesi massa sendiri tampak sebagai area avaskular
pada angiogrfi. Tampilan klasik hematoma ekstra-aksial
pada film AP tampak sebagai ruang yang jelas antara tabula interna tengkorak dan pembuluh kecil pada permukaan otak yang tampak pada fase vena. Bila klot terletak
dekat verteks, film oblik diperlukan untuk memperlihatkan keberadaannya, walau pergeseran sinus vena menjauhi
tulang mungkin tampak pada tampilan lateral pada beberapa kasus dimana klot mencapai verteks. Klot subfrontal diduga bila bagian proksimal arteria serebral ante-
-1000
-100
0
4-10
22-36
32-46
50-90
800-1000
ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena perlekatan yang erat antara dura dengan tabula
interna mencegah hematoma mengalami penyebaran. Sekitar
20% pasien dengan hematoma ekstraserebral ditemukan memiliki perdarahan baik pada rongga subdural maupun epidural saat operasi atau otopsi. Terdapat sedikit kemungkinan darah epidural bercampur dengan CSS, hingga
lesi ini menunjukkan koleksi dens uniform dan jarangjarang isodens. Ini mungkin terjadi pada tampilan kemudian waktu, terutama setelah evakuasi lesi balans kontralateral.
Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi
dalam yang konkaf yang mengikuti permukaan otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak
pasti. Namun dari penelitian diklasifikasikan akuta bila simtomatik untuk 0 hingga 7 hari, subakuta bila simtomatik dalam 7 hingga 22 hari dan kronik bila simtomatik lebih dari 20 hari, 100% kelompok akuta mempunyai
lesi hiperdens, 70% kelompok subakuta memiliki lesi isodens dan 76% kelompok kronik memiliki lesi hipodens.
Hilangnya sulsi serebral diatas konveksitas dan distorsi ventrikel ipsilateral mungkin merupakan tanda adanya
hematoma isodens. Selalu, derajat pergeseran garis tengah merupakan kriteria utama dimana perencanaan operasi evakuasi ditentukan.
Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus frontal dan temporal anterior, walau bisa
terjadi dimana saja. Kebanyakan hematoma terbentuk segera setelah cedera, namun lesi tertunda bukannya tidak
jarang, biasanya terbentuk dalam minggu pertama. Adalah lesi densitas tinggi dengan nilai penguatan antara
70 hingga 90 H dan biasanya dikelilingi zona densitas
rendah karena edema. Hematoma traumatika lebih sering
multipel dibanding hematoma akibat sebab lain.
Perdarahan intraventrikular semula dipercaya mempunyai prognosis yang buruk secara uniform. Ini tidak
lagi dianggap benar setelah berkembangnya CT scanning.
Ia sering bersamaan dengan perdarahan parenkhimal. Darah menjadi isodens relatif cepat dan sering menghilang
sempurna dalam seminggu. Ventrikulostomi diletakkan diventrikel yang kurang berdarah, dan tube besar (No. 8
French) digunakan saat perdarahan intraventrikular tampak pada CT.
Hidrosefalus obstruktif akuta mungkin terbentuk
sekunder atas hematoma fossa posterior yang menyumbat
jalur ventrikular. Namun hidrosefalus yang timbul kemudian jauh lebih sering, terjadi pada 3 dari 48 pasien
dengan cedera kepala berat yang diikuti dengan CT scan
serial (Narayan). Hidrosefalus komunikans ini akibat
dari darah dirongga subarakhnoid dan biasanya nyata hari ke 14 pasca cedera.
Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area
densitas rendah dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari onsetnya, dan
lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh. Pemberian kontras memperbaiki hasil diagnostik hingga 15%, dan
lebih
Indikasi Operasi
Sulit untuk memutuskan secara tegas dan cepat dalam mengelola kelainan cedera kepala yang bentuknya sangat
berragam. Ada beberapa petunjuk yang telah terbuktikan
berguna 'disaat dalam keterbatasan'. Beberapa berdasarkan pada data, beberapa atas kelainan klinis, dan beberapa atas keinginan yang besar untuk menyederhanakan
masalah kompleks yang tidak mengandung harapan.
Dalam bentuk yang sederhana, kriteria untuk menyimpulkan suatu lesi massa harus dioperasi adalah
pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau
intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5
mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Kadangkadang dijumpai pasien dengan hematoma kecil dengan
pergeseran ringan yang tetap alert dan tanpa kelainan
neurologi. Pendekatan konservatif dilaksanakan pada pasien tersebut, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perubahan pada status mental, ulangan harus dilakukan segera.
Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih
harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar
pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons
okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat
mengalami perbaikan yang besar. Beberapa yang ditindak
maksimal dapat mencapai kategori 'baik' atau 'cacad sedang', walau dari tanda-tandanya sebelumnya diramalkan
lain.
Pengelolaan kontusi otak agak kurang tegas. Penelitian yeng memberikan tuntunan pada keadaan ini semula
dilakukan Galbraith dan Teasdale. Dari 26 pasien dengan
hematoma intrakranial traumatika yang dikelola non operatif, semua pasien dengan TIK lebih dari 30 mmHg akan
memburuk dan memerlukan operasi. Sebaliknya hanya satu
pasien dengan tingkat TIK kurang dari 20 mmHg memburuk.
Pasien dengan TIK antara 2 hingga 30 mmHg dikelompokkan yang memerlukan dan tidak memerlukan operasi.
Penelitian Narayan akhir-akhir ini terhadap 130
pasien cedera kepala dengan kontusi murni yang dilakukan CT scan dan, bila perlu, pengamatan TIK di unit perawatan intensif bedah saraf (NICU). Tampak bahwa pasien dengan kontusi otak yang dapat mengikuti perintah
saat masuk tidak memerlukan monitoring TIK dan sebagai
pegangan, cukup dengan pengamatan sederhana. Namun yang
tak dapat mengikuti perintah (tanpa adanya lesi fokal
diarea bicara) sering mempunyai hipertensi intrakranial
dan patut mendapatkan monitoring TIK. Sebagian besar
pasien dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi. Diketahui bahwa algoritma ini sangat berguna da-
LEMBAR
PERINGATAN
UNTUK PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN
_________________________________________________________________
PADA SAAT INI KAMI TIDAK MENEMUKAN KELAINAN YANG MENUNJUKKAN BAHWA CEDERA KEPALA YANG ANDA ALAMI ADALAH SERIUS. NAMUN, GEJALA
YANG BARU DAN KOMPLIKASI YANG TIDAK DISANGKA-SANGKA DAPAT TIMBUL
DALAM BEBERAPA JAM HINGGA BEBERAPA HARI SETELAH CEDERA. 24 JAM
PERTAMA ADALAH WAKTU YANG PALING GENTING DAN ANDA HARUS TETAP BERADA DALAM PENGAWASAN KELUARGA ATAU ORANG YANG DAPAT DIPERTANGGUNG-JAWABKAN, PALING TIDAK DALAM PERIODE INI. BILA ADA DARI TANDA-TANDA DIBAWAH INI TERJADI, SEGERA KEMBALI KERUMAH-SAKIT:
1. Mengantuk atau semakin sulit membangunkan pasien (Pasien harus
dibangunkan setiap 2 jam selama masa tidur).
2. Mual atau muntah.
3. Kejang-kejang atau sawan.
4. Mengalirnya darah atau cairan dari hidung atau telinga.
5. Nyeri kepala hebat.
6. Kelemahan atau kehilangan rasa dari tungkai atau lengan.
7. Bingung atau berkelakuan asing.
8. Satu pupil (bagian hitam dari mata) lebih lebar dari sisi lainnya; gerakan yang tidak biasa dari bola mata, penglihatan
ganda atau gangguan penglihatan lainnya.
9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat, atau pola
pernafasan yang tidak biasa.
Bila terdapat pembengkakan pada sisi cedera, gunakan bungkusan es, pastikan bahwa terdapat kain atau handuk antara bungkusan es dan kulit. Bila pembengkakan membesar dengan cepat walaupun menggunakan bungkusan es, kembali kerumah-sakit.
Anda dapat makan atau minum seperti apa yang anda inginkan.
Namun anda tidak diperkenankan meminum minuman beralkohol paling
tidak selama tiga hari sejak cedera.
Jangan makan sedatif atau penghilang nyeri jenis apapun yang
lebih kuat dari parasetamol, paling tidak dalam 24 jam pertama.
Jangan gunakan obat-obat yang mengandung asetosal (aspirin).
MAAF Gangguan program, segera akan diperbaiki.......
/---------------------------------------------------------------------------------------------------------/
|
PADA CT SCAN, VENTRIKULOGRAM ATAU ANGIOGRAM, TEMUAN YANG
TERPENTING ADALAH ADANYA
|
|
LESI MASSA DAN PERGESERAN GARIS TENGAH.
|
/---------------------------------------------------------------------------------------------------------/
!
!
/--------------------------------/
|
/--------------------------------/
| LESI MASSA DENGAN
|----------------------------------------| PERGESERAN GARIS TENGAH < 5 MM |
/--------------------------------------------/
|
respirator.
Hematoma Epidural
Hematoma epidural yang khas berlokasi diregio temporal
dan sering akibat dari robeknya pembuluh meningea media
sekunder atas fraktura tulang tengkorak atau berhubungan dengan cedera sinus vena. Umumnya cenderung lebih
kecil dan dengan perjalanan yang lebih ringan. Ini
mungkin untuk kasus sangat jarang, terutama bila datang
keahli bedah saraf setelah beberapa jam sejak cedera,
lebih aman ditindak non operatif. Namun kebanyakan hematoma epidural merupakan gawat darurat bedah dan harus
dievakuasi sesegera mungkin. Karena otak dibawah hematoma epidural umumnya cukup normal, setiap usaha untuk
mengurangi tekanan dilakukan sesegera mungkin untuk
mencegah kerusakan otak. Outcome dari operasi untuk hematoma epidural sangat tergantung pada keadaan klinis
pasien sebelum evakuasi operatif. Bila klotnya besar,
atau terdapat keraguan atas luasnya kerusakan otak dibawahnya, dianjurkan membuat flap kraniotomi luas standar. Pada keadaan dimana hematoma epidural jelas terbatas pada satu regio dan dimana tidak disertai adanya
perdarahan subdural tampak pada CT scan, flap kraniotomi modifikasi yang lebih kecil dapat digunakan.
Hematoma Intraserebral
Cedera otak sering merupakan fenomena yang terjadi lambat. CT scan saat masuk sering menjadi buruk setelah
beberapa hari, akibat dari apa yang disebut hematoma
intraserebral traumatika yang tertunda (DTICH/delayed
traumatic intracerebral hematomas). Fenomena klinis
yang menarik ini patogenesisnya tidak jelas dan prognosisnya diperdebatkan. Kontusi paling sering berlokasi
pada permukaan anterior dan inferior lobus frontal dan
temporal. Kontusi yang berukuran sekitar 2 sm harus segera didebridemen bila menyebabkan efek massa yang nyata. Harus tetap bekerja didaerah yang nekrotik secara
hati-hati dan cegah kerusakan jaringan normal sekitarnya. Hal ini tak selalu mudah dilakukan dan memerlukan
ketelitian atas pertimbangan klinis. Sebagai patokan umum, debridemen lobus temporal kiri dilakukan lebih
konservatif dibanding debridemen sisi kanan, terutama
pada pasien tidak kidal.
Hematoma Fossa Posterior
Untungnya kurang umum terjadi dibanding lesi supratentorial. Umumnya, pendekatan operatif agresif diambil
dalam mengelola lesi ini, karena pasien dapat memburuk
secara cepat. Pasien dengan hematoma fossa posterior
dapat memburuk dari keadaan resposif ke keadaan koma
dalam hitungan menit. Selanjutnya, karena umumnya memerlukan waktu lebih lama untuk mengevakuasi setiap lesi dan karena struktur otak yang terletak difossa posterior yang sangat kritis untuk fungsi vital, operator
tidak boleh berlalai-lalai dengan waktu. Posisi telungkup atau tiga perempat telungkup dengan penyangga kepala Mayfield lazim digunakan.
Fraktura depressed
Fraktura tengkorak dianggap nyata depressed bila tabula
luar dari tengkorak terletak dibawah tingkat tabula dalam tulang sekitarnya. Kadang-kadang depresi tidak tampak pada sinar-x polos, namun biasanya jelas pada CT
scan. Fraktura tengkorak depressed dapat tertutup atau
terbuka. Kebanyakan fraktura depressed tertutup terjadi
pada anak-anak kecil dan mungkin dengan jenis bola ping
pong. Indikasi operasi yang paling umum pada setiap kasus adalah kosmetik, terutama pada fraktura frontal.
Pada fraktura depressed terbuka, luka sering kotor dan
terkontaminasi. Sering kulit, rambut atau debris asing
lainnya terdapat diantara fragmen tulang yang depressed, bahkan bila luka tampak relatif bersih dari luar.
Karenanya, kecuali pada cedera yang sangat sederhana,
diharuskan merawat setiap fraktura dalam kamar operasi.
Sering laserasi dural terjadi dibawah fraktura, dan dengan sangat hati-hati harus ditutup secara primer. Bagaimanapun, dura yang utuh tidak berarti tiadanya kontusi otak dibawahnya. CT scan pra bedah karenanya sangat berguna dalam menentukan luasnya operasi yang harus dilakukan. Secara umum dapat diterima untuk mengganti fragmen tulang pada daerah kraniektomi. Infeksi
pasca bedah dilaporkan kurang dari 5 persen. Fraktura
depressed yang terletak diatas sinus vena utama sulit
untuk ditindak.
Cedera Kepala Penetrasi
Bila disebabkan peluru, beratnya cedera kepala tergantung kaliber senjata, jarak tembak, dan trajek peluru.
Sinar-x polos tengkorak dan CT scan tidak ternilai dalam merencanakan pengelolaan setiap kasus. Pada kasus
militer dapat dijumpai cedera kecepatan tinggi dari senapan, dan ini lebih mematikan. Luka militer bisa juga
akibat peluru tabur, yang biasanya berkecepatan rendah
karena bentuknya yang tak beraturan. Cedera penetrasi
juga bisa sekunder atas berbagai objek nonmissil, seperti pisau atau gunting, yang menyebabkan kerusakan otak fokal namun dengan sedikit cedera 'shock' diffusa.
Pendekatan operatif terhadap cedera kepala penetrans agak berbeda dengan cedera kepala tertutup. Bila
objek yang mengalami penetrasi tetap pada tempatnya dan
direncanakan untuk dikeluarkan dari tengkorak, dibiarkan tetap ditempatnya hingga pasien betul-betul siap
untuk intervensi operatif. Ini untuk mencegah perdarahan yang tidak terkontrol, yang mungkin terjadi setelah
pengangkatan setiap objek. Berbeda dengan operasi terhadap cedera kepala tertutup, operasi untuk cedera kepala penetrating biasanya termasuk diantaranya membuat
bukaan kranial yang terbatas. Bukaan scalp mungkin hanya berupa ekstensi linear atau bentuk S dari luka masuk atau flap bentuk U terbatas. Bukaan kedalam kranium
mungkin via kraniektomi, atau bila operator menyukai,
melalui kraniotomi kecil. Kegunaan utama operasi adalah
untuk mendebridemen otak yang nekrotik, membuang fragmen tulang dan benda asing lainnya dari parenkhima otak, menghentikan perdarahan, mengevakuasi semua hematoma, serta akhirnya memastikan penutupan dura yang kedap air serta scalp. Sering fragmen peluru mengalami
penetrasi kesisi lain dari otak. Kecuali bila mudah dicapai, operasi tidak harus dilakukan pada sisi lainnya
dalam usaha mengangkat peluru. Kebijaksanaan standard
tentara adalah melakukan reoperasi pasien yang luka
tembak pelurunya telah ditutup dirumah-sakit garis depan, untuk mengambil semua fragmen tulang. Namun Vietnam Head Injury Study mendemonstrasikan dengan CT scan
bahwa hampir semua pasien masih mempunyai sisa fragmen
tulang walau telah dengan operasi kedua dan tampaknya
tidak menunjukkan peningkatan insidens
komplikasi.
Pengangkatan lengkap setiap fragmen tulang tidak mungkin dilakukan tanpa merusak otak normal. Karenanya saat
ini dipercaya bahwa debridemen dalam tingkat yang dapat
dipertanggung-jawabkan dibawah perlindungan antibiotik
adalah pilihan yang aman dan dapat dipertanggung-jawabkan. Ini juga terbukti dari pengalaman tentara dipeperangan Lebanon.
Cedera Sinus Venosus
Cedera sinus vena termasuk cedera yang paling sulit
yang dihadapi ahli bedah saraf. Sinus utama bisa diligasi atau direkonstruksi. Umumnya dibenarkan bahwa sepertiga anterior sinus sagittal superior aman untuk diligasi, namun ligasi sepertiga posterior paling memungkinkan untuk menyebabkan infark venosa massif otak. Ligasi sepertiga tengah efeknya agak tidak bisa diduga,
dan ligasi sinus transversus dominan juga dapat mencelakakan. Bila akan dilakukan reparasi sinus utama,
shunt Kapp-Gielchinsky merupakan alat yang sangat berguna. Ini suatu shunt vaskular yang khas, namun memiliki balon yang dapat dikembangkan pada kedua ujungnya.
Ia bisa digunakan untuk mempertahankan aliran darah
vena saat rekonstruksi direncanakan atau dilangsungkan.
Seringkali secara tehnik lebih mudah menggunakan flap
dural untuk menjahit cedera sinus. Manuver bedah saraf
standar lainnya menggunakan penekanan, gelfoam, Surgicel dan sarana hemostatik lainnya mungkin tidak ternilai dalam mengontrol perdarahan. Penggunaan unit autotransfusi cepat dapat mengurangi jumlah
kebutuhan
transfusi darah, jadi mengurangi beban bank darah dan
menekan risiko transfusi darah terhadap pasien.
5. OBAT-OBAT TERAPEUTIK
Kemajuan dalam pendekatan 'intensivist' terhadap kelainan akut berakibat tampilnya metoda yang lebih ilmiah
dan sempurna terhadap pasien cedera kepala, dengan masalah berganda yang menyertainya. Pengelolaan agresif
setiap masalah, diharapkan, dapat mengurangi insidens
kerusakan sekunder. Pertama dapat diharapkan bahwa setiap pendekatan dapat mengurangi kematian disebabkan oleh komplikasi medikal, dan ini telah dikerjakan dalam
serial prospektif yang terdokumentasi baik. Penelitian
juga memperlihatkan bahwa kebanyakan pasien yang 'diselamatkan' oleh pengelolaan agresif tidak berhubungan
dengan derajat beratnya kelainan atau vegetatif, namun
nyatanya berjalan menjadi hanya kelainan yang sedang atau membuat pemulihan yang baik. Jadi pendekatan sistematik atau intensif terhadap pengelolaan cedera kepala
berat adalah efektif, cukup untuk membenarkan pernyataan sumber-sumber lain dalam tujuan ini.
Sayangnya pengalaman dengan terapi obat-obatan sejauh ini kurang memuaskan.Disebabkan oleh keirreversibelan dari beberapa kerusakan dan kerumitan patogenesis
cedera kepala, tampaknya tak mungkin akan ditemukan obat ajaib bagaikan penisilin. Tampaknya lebih mungkin
bahwa kombinasi beberapa obat serta intervensi, masingmasing dengan efek menguntungkan yang kecil, akan membentuk impak kumulatif yang nyata terhadap outcome. Efek kecil dari masing-masing obat ini sulit untuk diperlihatkan secara tegas ketidakhomogenannya pada pasien cedera kepala, jumlah yang besar dari pasien yang
diperlukan untuk melengkapi trial klinik, dan hambatan
biaya. Dengan dasar pemikiran ini, kita dapat segera
menilai obat-obatan yang umum digunakan dan merenungkan kemungkinan lain yang lebih baik.
Antikonvulsan
Penggunaan antikonvulsan profilaktik pada pasien dengan
cedera kepala berat tetap kontroversial. Penelitian bedah saraf tahun 1972 menunjukkan 40 persen dari mereka
tidak menggunakan obatnya secara teratur baik karena
ketidak-pastian indikasi atau karena risikonya, sangat
tidak mendukung pertimbangan untuk membenarkan pemakaiannya. Janet memelopori penelitian epilepsi pasca cedera dan menemukan bahwa komplikasi ini terjadi sekitar 5
persen dari pasien yang masuk karena cedera kepala non
misil dan 15 persen darinya merupakan pasien cedera kepala berat. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan insidens yang tinggi dari epilepsi yang muncul kemudian:
(1) kejang dini, terjadi dalam minggu pertama; (2) hematoma intrakranial; dan (3) fraktura tengkorak depressed. Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang
dimulai sesegera mungkin (dalam 24 jam) mungkin mencegah terbentuknya fokus epileptogenik. Young mengadakan
penelitian yang memperlihatkan pemberian fenytoin profilaktik tidak mencegah kejang pasca cedera baik dini
maupun tunda. Pada penelitian ini konsentrasi plasma
dipertahankan antara 10 dan 20 ug/ml. Walau diperingatkan bahwa mempertahankan kadar obat yang tinggi dapat
mempengaruhi hasil penelitian, dianjurkan menggunakan
antikonvulsan hanya setelah pasien mendapat serangan
kejang. McQueen menentukan bahwa karena insidens yang
rendah dari kejang pasca cedera (7 % dalam satu tahun;
10 % pada dua tahun), penelitian klinis acak harus mencakup 1200 pasien untuk bisa disimpulkan. Karenanya semua penelitian yang dilaporkan adalah terlalu kecil
(dengan faktor dari paling tidak enam). Bobot dari pembuktian karenanya terus didukung dengan pemberian rutin
antikonvulsan pada kelompok risiko tinggi, namun tidak
perlu pada semua pasien dengan cedera kepala. Akhir-akhir ini Temkin melaporkan pada pasien cedera kepala
berat yang mendapatkan fenytoin atau plasebo yang dimulai 24 jam dari cedera dan diteruskan untuk satu tahun, akan mengurangi insidens kejang selama minggu pertama setelah cedera, namun tidak setelahnya.
Saat ini digunakan fenytoin (500 mg intravena dalam 10 menit) pada ruang gawat darurat pada semua pasien dengan cedera kepala berat. Dosis disesuaikan kadar
darah terapeutik yang dicapai. Menurut Young, pencapaian kadar darah lebih dari 15-20 ug/ml bisa dipegang.
Kebutuhan keseluruhan mungkin diberikan sebagai dosis
tunggal perhari. Tak ada ketentuan yang ketat dan cepat
untuk bila menghentikan antikonvulsan, walau Temkin akhir-akhir ini memberi batasan untuk menghentikan pengobatan setelah minggu pertama pada kebanyakan kasus.
EEG secara umum tak berperan dalam menentukan kebijaksanaan ini. Obat ini harus tapered off bertahap. Terdapat bukti serupa bahwa karbamazepin (Tegretol) lebih
disukai untuk pemakaian jangka panjang karena memperbaiki tampilan dalam tes fungsi kognisi.
Steroid
Walau kortikosteroid tidak terbukti memperlihatkan manfaat pada cedera kepala, beberapa ahli bedah saraf
menggunakannya untuk kasus berat. Dua penelitian membuktikan bahwa dosis steroid sangat besar mungkin mengurangi tingkat mortalitas pada cedera kepala berat.
Namun pemeriksaan yang lebih ketat oleh Faupel melaporkan penurunan kematian dicapai sebagai akibat peningkatan yang besar dari pasien yang hidup dengan vegetatif. Bila kelompok outcome dibagi kedalam baik (pemulihan baik dan cacad sedang) dan buruk (cacad berat,
vegetatif dan mati), tidak ada perbadaan yang bermakna
secara statistik antara kelompok yang diberi steroid
dan yang diberi plasebo. Gobiet membandingkan kelompok
yang diberi deksametason dosis tinggi (96 mg/hari) dengan kelompok dosis konvensional (16 mg/hari), dan kelompok plasebo. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik angka kematian antara kelompok dosis tinggi dan plasebo, namun penelitian ini terbatas karena
menjadi non blinded dan sekuensial (semua pasien mendapat pengobatan yang serupa dalam satu tahun).
Bagaimanapun harus waspada terhadap kesalahan bentuIk II dan kesalahan efek keuntungan aktual karena
jumlah sampel yang tidak adekuat. Saul, Ducker, Salcman
dan Carro mengira bahwa steroid mungkin menolong sub
kelompok tertentu pasien dengan cedera kepala. Pustaka
menyajikan beberapa artikel yang mendukung pandangan
bahwa kerusakan otak karena cedera, kontras dengan tumor otak, tidak berreaksi baik terhadap steroid, baik
dalam arti mengontrol TIK ataupun adalam arti memperbaiki outcome. Terakhir penelitian NASCIS II, memperlihatkan keuntungan efek dari metilprednisolon dosis sangat tinggi pada cedera cord spinal, mungkin memacu lagi
perhatian terhadap penggunaan steroid untuk cedera kepala (dosis lihat bab cedera cord tulang belakang).
Mannitol
Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Umumnya sediaan yang digunakan adalah larutan 20 persen mannitol (bm 180). Umumnya dipercaya bahwa mannitol mempertahankan gradien osmotik antara plasma dan otak, dengan akibat pergeseran cairan
keluar dari otak dan, karenanya, menurunkan TIK. Pembuktiannya agak sulit, dan tentu mungkin ada mekanisme
lain dimana mannitol menurunkan TIK. Osmolalitas serum
tidak diperbolehkan diatas 320 osmol/liter, bila mungkin, dalam usaha mencegah asidosis sistemik dan gagal
ginjal. Dosis tepat mannitol berragam. Lazimnya digunakan 1-2 g/kg diberikan intravena secepat mungkin. Bila
pasien memperlihatkan perburukan neurologis atau herniasi tentorial, mannitol diberikan sesegera mungkin dalam perjalanan keruang CT scanner. Pasien harus dalam
kateter Foley terpasang, karena diharapkan terjadi diuresis. Dengan penggunaan yang sinambung, mannitol intravaskuler akan seimbang dengan diotak dan kadar darah
lebih tinggi yang progresif diperlukan untuk menimbulkan respons.
Urea 30 persen (bm 60) dan gliserol 10 persen sebelumnya digunakan bergantian dengan mannitol pada pemakaian kronik. Obat-obat ini mempunyai berat molekul
lebih kecil dan cenderung lebih cepat mencapai keseimbangan dengan otak. Urea juga berhubungan dengan insidens yang tinggi dari hemoglobinuria dan pengelupasan
kulit yang berat bila ia terinfiltrasi. Wald dan McLaurin melaporkan pemakaian gliserol per oral pada pasien
cedera kepala, namun obat-obat oral tidak dipertimbangkan pemakaiannya dalam cedera kepala akut karena beberapa alasan.
Lasix
Telah dilaporkan penggunaan furosemid, baik sendiri maupun bersama-sama mannitol pada cedera kepala dan dalam
berbagai situasi. Schettini, Stahurski dan Young memperlihatkan bahwa diuresis dapat ditingkatkan dengan
mengkombinasikan mannitol dan furosemid pada pasien bedah saraf, dengan pengerutan otak yang lebih konsisten
dan pasti. Puncak diuresis 17 ml/menit dicapai dalam 30
menit pemberian mannitol, dan penurunan ke 4 ml/menit
selama 70 menit berikutnya. Sebaliknya, selama perjalanan waktu yang identik, kombinasi infus mannitol-furosemid menghasilkan tingkat ekskresi air permulaan sebesar 30 ml/menit, diikuti peninggian hingga 42 ml/menit, dan kemudian menurun ke 17 ml/menit. Pasien menerima 1.4 g/kg mannitol + 0.3 mg/kg furosemid. Efek merugikan yang ditemukan pada pemberian kombinasi terjadi
hanya berupa peninggian kecepatan kehilangan elektrolit
yang bisa dikoreksi. Penemuan ini diperkuat oleh Wilkinson dan Rosenfeld.
Bikarbonat Sodium
Selama dengan hipoksemia, pH arterial yang rendah saat
masuk, menunjukkan asidosis sistemik, tidaklah jarang.
Bila pasien dalam keadaan shok, biasanya karena asidosis laktik. Bila tekanan CO2 arterial (PaCO2) tinggi,
menunjukkan kombinasi asidosis respiratori dan metabolik. Asidosis harus dikoreksi, dan bikarbonat sodium
mungkin diberikan dengan dosis 1 mEk/kg setiap 10 menit
atau hingga pulih. Harus diingat bahwa pemulihan asidosis ringan dapat terjadi cepat dan spontan bila ventilasi dan perfusi diperbaiki dengan intubasi dan pemulihan tekanan arterial sistemik. Sebagai pegangan umum,
pH darah arterial dibawah 7.1 menunjukkan asidosis metabolik berat dan diharuskan pemakaian bikarbonat sodium. Pada tahap ini, fungsi kardiak dirugikan oleh asidosis. Dosis secara kasar dihitung berdasar formula:
dosis bikarbonat sodium (mEk) ekual dengan 0,2 kali berat badan (kg) dikali 27 mEk/menit dikurangi tingkat
bikarbonat serum pasien. Setengah dari dosis yang dihitung diberikan pertama-kali, dan dosis berikutnya diberikan setelah pengulangan pemeriksaan pH.
Tris-hidroksi-metil-aminometan (THAM)
Sudah dibuktikan bahwa cedera kepala berhubungan dengan
asidosis metabolik seperti ditunjukkan tingkat laktat
CSS yang tinggi. Juga telah diperlihatkan bahwa pasien
dengan laktat CSS yang tinggi memiliki outcome yang lebih buruk dan bahwa ini dengan perjalanan yang memburuk
umumnya memperlihatkan penurunan progresif pH CSS dari
7.3 hingga 7.2 karena asidosis laktik. Beberapa kelompok telah memeriksa peran asidosis dalam patogenesis
kerusakan neuronal. DeSalles, Kontos dan Becker akhirakhir ini mempelajari kebermaknaan prognostik laktat
CSS ventrikular pada cedera kepala berat dan menemukan
nilai pH yang lebih rendah pada otak pasien yang mendapatkan operasi atas hematoma subdural akuta. THAM adalah agen penyangga yang mempenetrasi CSS dan karenanya
secara teoritis lebih superior dari bikarbonat sodium
dalam mengobati asidosis CSS. Akioka menggunakan dog epidural balloon model memperlihatkan manfaat THAM terhadap TIK. Diperkuat oleh Gaab dengan menggunakan coldlession edema model pada tikus. Diikuti Rosner dan
Becker yang melaporkan manfaat THAM pada cat fluid percussion model. Mereka menemukan bahwa THAM berhubungan
dengan pengurangan morbiditas dan mortalitas seperti
juga penurunan TIK setelah cedera perkusi. Penelitian
klinis atas obat ini sekarang dipelopori Medical College of Virginia.
Barbiturat
Penelitian menunjukkan adanya efek protektif barbiturat
terhadap otak pada anoksia dan iskemia serebral. Juga
telah dicatat bahwa barbiturat efektif dalam mengurangi tekanan intrakranial. Penelitian Richmond dan Tolonto menunjukkan bahwa tak ada manfaat yang dapat diambil dari pemberian barbiturat dosis tinggi dalam
pengendalian TIK maupun outcome. Dalam kedua penelitian
barbiturat diberikan sebagai terapi inisial. Pada penelitian mutakhir memakai pentobarbital dosis tinggi yang
diberikan setelah semua pengontrol TIK konvensional gagal, didapatkan efek yang nyata bermanfaat terhadap
TIK. Karena penelitiannya bersifat silang, tak bisa
didapat efek pentobarbital terhadap outcome. Bagaimanapun terbukti bahwa barbiturat harus dicadangkan untuk
pasien yang gagal terhadap semua bentuk terapi hipertensi intrakranial.
Protokol pemberian pentobarbital adalah memberikan
dosis loading 10 mg/kg dalam 30 menit dan 5 mg/kg setiap jam selama tiga jam, diikuti dosis pemeliharaan 1
mg/kg/jam diatur hingga dicapai kadar serum 3 hingga 4
mg%. Hipotensi adalah faktor penimbul keterbatasan.
Nalokson
Nalokson adalah antagonis narkotik, terbukti memulihkan
hipotensi akibat cedera kepala pada kucing. Diperkirakan bahwa pelepasan opiat endogen bertanggung-jawab atas hipotensi pasca konkusi. Beberapa data ada yang
mendukung dan membantah nilai obat ini pada cedera kepala. Penelitian terakhir NASCIS II memperlihatkan tidak ada manfaat nalokson pada cedera cord spinal.
Hipnotik Aksi Singkat
Karena barbiturat cenderung menimbulkan hipotensi dan
lamanya pemulihan setelah penghentian, diteliti obat
anestetik yang memiliki aksi lebih singkat untuk mengontrol hipertensi intrakranial. Althesin, suatu obat
anestetik steroid intravena, walau tidak pernah diizinkan penggunaannya di USA, sangat populer di Britania
Raya sebelum produksinya dihentikan karena hubungan-
lam pecahan es. Ada beberapa pilihan merancang flap kulit untuk menutup defek scalp. Umumnya, makin besar
flap, makin kurang kemungkinan untuk hidup. Dasar harus
paling tidak seluas atau lebih luas dari ujung.
Cedera Maksilofasial
Jumlah yang besar pasien dengan cedera ganda mempunyai
cedera maksilofasial. Secara umum, kebanyakan cedera
fasial dapat ditangani semi elektif, beberapa hari setelah masuk. Bahkan cedera jaringan lunak dapat diperbaiki 24 jam setelah masuk pada kebanyakan kasus. Kekecualian atas patokan ini adalah obstruksi jalan nafas
sekunder terhadap perpindahan kebelakang dari lidah pada fraktura mandibular bilateral dan perdarahan nasofarings yang tidak terkontrol. Walau tindakan terhadap
cedera fasial definitif relatif prioritas rendah, penilaian di UGD, baik klinis maupun radiologis, tidak boleh dikesampingkan. Ini memungkinkan untuk melengkapi
penilaian pendahuluan baik sebelum atau selama operasi
emergensi lainnya dan untuk memilih apakah perlu dilakukan stabilisasi atau tindakan operasi ketika pasien
dalam anestesia.
Tampilan Water (oksipitomental) adalah pemeriksaan
sinar-x paling bernilai untuk maksila, zigoma, dan sinus frontal. Tampilan oblik mandibula memberikan informasi terbanyak untuk fraktura sepertiga bawah muka.
Tampilan panoreks mandibula bisa dilakukan namun jarang dilakukan pada keadaan akut. Bersamaan dengan foto
tengkorak anteroposterior dan lateral rutin, foto-foto
ini harus diperhatikan baik-baik atas adanya fraktura
maksilofasial. CT scan dengan setelan jendela tulang
(bone window) merupakan pemeriksaan terpilih.
Tabel
Klasifikasi cedera maksilofasial
------------------------------------------------------Cedera jaringan lunak
a. Abrasi kulit, tusukan, laserasi,tatu
b. Cedera saraf, cabang saraf fasial
c. Cedera kelenjar parotid atau duktus Stensen
d. Cedera kelopak mata
e. Cedera telinga
f. Cedera hidung
Cedera tulang
a. Fraktura sepertiga atas muka
b. Fraktura sepertiga tengah muka
1. Fraktura hidung
2. Fraktura maksilari
LeFort I, fraktura maksilari transversa
LeFort II, fraktura piramidal
LeFort III, disjunksi kraniofasial
3. Fraktura zigomatika
4. Fraktura orbital
c. Fraktura sepertiga bawah muka
(fraktura mandibular)
------------------------------------------------------Cedera Jaringan Lunak
Setelah melakukan hemostasis dan pembersihan luka, tindakan definitif terhadap jaringan lunak dapat dilakukan
hingga 24 jam, walau idealnya harus dilakukan sesegera
mungkin. Hematoma jaringan lunak luas harus dievakuasi,
tidak mungkin untuk diabsorpsi. Terutama bila hematoma
terletak sekitar tulang rawan nasal atau telinga. Kegagalan mengalirkan hematoma berakibat 'saddle nose' atau
'cabbage ear'.
Terkadang cabang-cabang saraf fasial (temporal,
zigomatika, bukal, mandibular dan servikal) terpotong. Lesi cabang temporal berakibat gangguan fungsional yang paling berat karena paralisis kelopak mata umum terjadi. Sebagai patokan, lesi yang terletak medial
dari garis midpupil tak memerlukan pebaikan. Bila lesi
lebih proksimal, saraf harus ditampilkan dan epineurium
direaproksimasi dalam magnifikasi.
Hal serupa, laserasi duktus parotid (Stensen) diperbaiki dengan anastomosis end-to-end diatas kateter
silastik kecil. Laserasi glandula sendiri tidak perlu
dijahit. Luka kulit sekitarnya harus dijahit, dan fistula salivari yang sering terjadi menutup spontan dalam
sekitar tiga minggu.
Perbaikan anatomi sederhana dari kelopak cedera
mata adalah pendekatan terbaik. Laserasi sistema lakrimal harus diperbaiki baik dengan jahitan sederhana atau
dengan dakriorinosistostomi.
Laserasi telinga (full tickness) terbaik diperbaiki dengan jahitan kutan-perikhondrial. Hematoma harus
dievakuasi. Laserasi nostril diperbaiki dengan jahitan
membran mukosa dengan benang absorbable dan kulit dengan nilon monofilamen.
Cedera Tulang
Fraktura sepertiga atas muka relatif kurang sering dibanding duapertiga bawah, namun lebih mungkin bersamaan
dengan cedera otak. Fragmen tulang harus direposisi dari pada dibuang, dan ekstirpasi sinus frontal harus dicegah sedapat mungkin.
Fraktura sepertiga tengah muka sering akibat cedera dashboard pada penderita yang tanpa pengaman pada
mobil. Fraktura nasal paling sering dari semua fraktura
fasial dan terbaik dideteksi secara klinis, tampilan
foto sinar-x kurang layak pada cedera ini. Gambaran
klinik antaranya perdarahan hidung, deviasi piramid nasal dan krepitasi pada palpasi. Walau fraktura nasal
tanpa geseran tidak memerlukan reduksi, fraktura yang
bergeser harus mendapatkan reduksi dan immobilisasi dengan bidai plester untuk seminggu. Kebanyakan kasus bereaksi atas reduksi tertutup, yang dilakukan satu hing-
ga tiga minggu setelah cedera bila edema sudah berkurang dan besarnya pergeseran dapat ditaksir lebih tepat.
Fraktura maksilari klasifikasinya dibagi tiga pola
oleh ahli Perancis LeFort 1901. Biasanya fraktura maksilari merupakan modifikasi atau kombinasi pola klasik.
LeFort I adalah fraktura maksilari transversa yang sering akibat dari pukulan pada daerah diatas bibir. Bagian yang lepas terdiri dari proses alveolar, palatum,
proses pterigoid. LeFort II adalah fraktura piramid akibat impak sedikit diatas tengah muka. Segmen maksila
yang terisolasi berbentuk piramid. Gerakan dapat diperiksa pada medial lantai orbital dengan menggerakkan
gigi atas kebelakang dan kedepan. LeFort III, atau disjunksi kraniofasial, merupakan separasi yang lengkap
tulang fasial dari basis tengkorak. Fraktura maksilari ditindak dengan reduksi dan immobilisasi batang
lengkung dan pemegang kawat dari arkus zigomatik atau
tulang frontal. LeFort III memerlukan juga pengikatan
pada sutura zigomatikofrontal.
Fraktura zigomatika urutan insidennya kedua setelah fraktura nasal. Fraktura zigomatika paling sering
adalah depresi eminens malar dan disebut fraktura tripod. Fraktura biasanya ditemukan pada garis sutura
zigomatikotemporal dan zigomatikofrontal serta pada foramen infraorbital. Tindakan berupa reduksi terbuka dan
fiksasi interoseus internal pada dua dari tiga sisi
fraktura. Cedera saraf infraorbital dengan baal diatas
daerah pipi kadang-kadang terdapat pada fraktura ini.
Fraktura orbital dapat mengenai semua tulang yang
membentuk dinding orbital, yaitu zigoma, maksilla,
frontal, sfenoid dan ethmoid. Cedera paling sering adalah mengenai baik lantai maupun atap orbit. Mereka setipis kertas dan merupakan bagian paling rapuh dari orbit. Fraktura lantai orbital dapat bersamaan dengan
fraktura depressed zigoma atau setelah suatu benturan
pada bola mata, suatu fraktura 'blow-out' yang khas.
Intervensi bedah segera dianjurkan, dan lantai orbit
sering diperkuat dengan lembaran silastik saat operasi.
Elevasi akut TIK, seperti yang terjadi pada pukulan
yang hebat terhadap atap tengkorak, dapat berakibat robeknya atap orbital yang setipis kertas, baik uni maupn
bilateral, suatu fraktura 'blow-in' yang khas.
Fraktura sepertiga bawah muka (fraktura mandibuler) menduduki frekuensi ketiga setelah hidung dan zigoma. Ia agak diperrumit oleh tarikan otot yang melekat
padanya. Fraktura mandibular unilateral yang tak bergeser biasanya ditindak dengan fiksasi intermaksillari
dengan gigi dioklusi memakai batang lengkung. Fraktura
yang lebih rumit memerlukan reduksi terbuka dan fiksasi
interosseus.
Cedera Tulang Belakang
Kecelakaan mobil merupakan penyebab tersering, sekitar
30 hingga 70 persen dari semua cedera. Sebab lain anta-
ranya jatuh, pukulan dan olah raga air. Rogers 1957 melaporkan bahwa 10 persen pasien paraplegik terjadi bukan saat kejadian, namun beberapa waktu setelahnya. Dengan perbaikan keterampilan petugas gawat darurat dan
P3K, dipercaya angka kejadiannya nyata berkurang. Terakhir ini, sejumlah besar pusat mencatat insidens sebesar 4.9 persen perburukan neurologis setelah perawatan.
Sebagian besar perburukan terjadi berhubungan dengan
tindakan pengelolaan spesifik. Sebaliknya dipastikan
bahwa sebagian besar pasien dengan gangguan motor parsial dan 15 persen pasien yang semula dengan kehilangan
motor lengkap memperlihatkan perbaikan motor. Akhir-akhir ini NASCIS II membuktikan pemulihan motor dan sensori pada cedera cord tulang belakang bila diberikan
metilprednisolon saat delapan jam pertama sejak cedera.
Dosisnya 30 mg/kg sebagai bolus, diikuti infus 5.4 mg/
kg/jam untuk 23 jam.
Tulang Belakang Leher
Tulang belakang leher mudah terkena pada cedera multipel. Cedera fleksi merupakan bentuk yang paling sering
terjadi, dan terjadi misalnya pada kecelakaan olah-raga
selam saat kepala secara keras terdorong kedepan. Bentuk paling sederhana berakibat fraktura keping pada badan tulang belakang sebelah depan. Bila kekuatan penyebab lebih besar, mungkin terjadi disrupsi elemen posterior, fraktura atau 'locking' faset-faset, serta robeknya ligamen dengan akibat subluksasi serta cedera cord
tulang belakang. Kadang-kadang materi diskus terdorong
keposterior kakanal melalui ligamen longitudinal posterior. Ini mengakibatkan sindroma cord anterior, dimana
pasien kehilangan semua fungsi cord tulang belakang,
kecuali yang berhubungan dengan kolumna posterior. Sindroma ini juga bisa terjadi pada fraktura 'burst' badan
ruas tulang belakang, dimana kekuatan lebih terarah pada aksis panjang dari tulang belakang. Contoh klasik
fraktura burst adalah fraktura Jefferson dari C1, yang
terjadi saat sebuah benturan terhadap verteks kepala
dan mendorong kondilus oksipital menentang cincin C1,
berakibat burst dan bergesernya fragmen kelateral.
Cedera fleksi yang memiliki komponen rotatori dapat menimbulkan 'locking' faset atau fraktura. Locking unilateral biasanya terjadi pada tulang belakang
servikal bawah. Kerusakan ligamen dan diskus kurang parah, namun cedera tulang lebih sering dari pada locking
bilateral. Faset yang terkunci bilateral disebabkan oleh fleksi hebat dan rotasi yang bersamaan, menyebabkan
robekan luas dan regangan pada semua ligamen serta robeknya diskus. Ini biasanya jelas mengganggu kanal;
cord tulang belakang dan cedera akar saraf servikal karenanya lebih sering.
Cedera ekstensi terjadi bila kepala terdorong dengan kuat kebelakang. Cedera ini sering bersamaan dengan sindroma cord sentral dan sering tampak pada orang
tua dengan kanal servikal yang menyempit. Dalam posisi
dale-
chest'. Pada keadaan ini dinding dada mungkin tidak lagi kaku, dan tampak pergerakan paradoksik. Akibat hilangnya tekanan negatif intratorasik selama inspirasi
akan mengurangi ventilasi, dan mungkin atelektasis.
Dipercaya bahwa dibanding gerakan paradoksik, kontusi
pulmoner dan 'wet lung' yang mendasarinya mungkin merupakan penyebab utama distres respirasi. Karena alasan
ini, pembatasan cairan hingga 1000 hingga 1200 ml/hari,
albumin rendah garam serta penggantian darah yang hilang dengan koloid (darah lengkap, plasmanat) dianjurkan. Bila PO2 dan PCO2 tak dapat dipertahankan dalam
batas yang memadai dengan tindakan sederhana tersebut,
pada sekitar 10 hingga 20 persen pasien, intubasi serta
ventilasi tekanan positif berkesinambungan (PEEP) dianjurkan. Edema paru-paru neurogenik akhir-akhir ini banyak dibahas.
Pneumonitis aspirasi sering merupakan komplikasi
cedera kepala berat dan harus dicegah sekuat mungkin.
Dianjurkan menempatkan selang Salem pada lambung (dengan kuf digembungkan) dan mengosongkan lambung. Lebih
disukai dan lebih mudah untuk memasukkan selang nasogastrik sebelum intubasi endotrakheal, namun refleks
gag yang aktif mungkin merangsang muntah saat mengusahakan memasukkan selang; ini berakibat aspirasi, dan
petugas tidak dapat mengatasi keadaan ini.
Indikasi aortografi pada cedera tumpul toraks ditetapkan kembali oleh Gundry yang menyimpulkan bahwa
semua korban trauma dengan pelebaran mediastinum harus
mendapatkan tindakan aortografi. Tidak ditemukan tandatanda lain seperti obskurasi knob aortik atau hilangnya
ketajaman batas aorta yang mempunyai nilai. Namun pada
pasien setelah pubertas, setiap bukti terjadinya cedera
deselerasi kecepatan tinggi seperti kontusi paru-paru
dan fraktura iga berganda (terutama iga 1 dan 2), cukup
beralasan untuk melakukan aortografi.
Cedera Kardiak
Cedera kardiak bisa tumpul atau penetrans. Yang pertama biasanya terjadi akibat benturan roda setir pada anterior dada pada kecelakaan mobil. Elektrokardiogram
menunjukkan perubahan ST-T, yang biasanya kembali normal dalam beberapa hari. Mungkin disertai takhikardia.
Walau prognosis pasien dengan kontusi jantung umumnya
buruk, setiap operasi harus ditunda bila mungkin. Isoenzim kardiak dilakukan untuk memastikan diagnosis, walau fraksi enzim mungkin meninggi sekunder atas cedera
lain yang menyertai.
Cedera penetrans dari jantung sering terjadi, walau tidak selalu fatal. Cedera misil yang berat atau
luka tusuk dapat berakibat kehilangan darah yang cepat,
namun cedera kaliber kecil dan bahkan pecahnya jantung
akibat trauma tumpul dapat berhasil diatasi. Jelas waktu adalah esensial. Pasien dengan setiap cedera yang
dengan cepat memperlihatkan tanda tamponade kardiak:
distensi vena leher, tampilan plethoric, hipotensi (te-
kanan sistolik menurun lebih berat dari penurunan tekanan diastolik dengan akibat penurunan tekanan nadi),
denyut nadi paradoksikal, bunyi jantung redup, dan pelebaran mediastinum pada perkusi dan sinar-x dada.
Tamponade perikardial didiagnosis dengan aspirasi
memakai jarum ukuran 16 atau 18 yang ditusukkan tepat
pada proses xifoid kiri pada sudut 45o sefalad dan 45o
kekanan. Tanpa menggerakkan jarum, sebanyak mungkin darah diaspirasi. Walau tindakan ini terkadang terapeutik, torakotomi terbuka mungkin diperlukan bila jelas
ada defek kardiak. Peralatan autotransfusi mungkin tak
ternilai dalam pengelolaan kasus ini.
Arrest kardiak
Setelah trauma, penyebab tersering arrest kardiak adalah hipoksia dan retensi CO2 sekunder karena ventilasi
yang tak adekuat. Hal penting lainnya adalah hipotensi
karena hipovolemi dengan konsekuensi hipoperfusi koroner. Sebab lain adalah overdosis obat atau hipersensitivitas, serta hiperkalemia atau hipotermi kardiak akibat infus yang cepat darah dingin dari bank darah. Ditekankan bahwa kebanyakan penyebab yang mempresipitasi
arrest kardiak pada pasien trauma adalah dapat dicegah.
Pasien harus cepat diintubasi dan diventilasi baik pada
tempat kecelakaan maupun segera setelah sampai di UGD,
dan hipovolemia cepat dikoreksi. Obat-obatan harus digunakan dengan hati-hati, terutama pada pasien mabuk,
yang terutama sensitif terhadap barbiturat dan anestetik umum.
Sekali arrest kardiak terjadi, aliran darah keorgan vital harus dipulihkan dalam tiga menit. Bila keadaan ventilasi dan volume belum terkoreksi, hal ini merupakan prioritas.
Pneumotoraks
Sering terjadi akibat laserasi paru-paru oleh fraktura
iga, cedera penetrans, atau ruptura 'pohon' trakheobronkhial. Sering menyebabkan kolapsnya paru-paru serta
penurunan kapasitas vital. Tanda-tanda klinis pneumotoraks antaranya dispnea, perkusi hiperresonans, dan hilangnya bunyi nafas diatas paru-paru. Pneumotoraks yang
luas dapat dideteksi dengan mudah dengan sinar-x paruparu, namun diperlukan film ekspiratori berkualitas baik untuk mencari abnormalitas yang lebih ringan. Walau
pasien dapat mentolerasi kolapsnya satu paru-paru dengan cukup baik, udara dapat terjebak dirongga pleural
oleh mekanisme serupa katup, berakibat pneumotoraks
tension. Ini berakibat pergeseran mediasdtinum kesisi
seberangnya, hingga mengurangi kapasitas ventilatori
paru-paru yang 'normal'. Kecuali dikoreksi, keadaan ini
dapat menjadi fatal. Walau jarum besar pelubang yang
sederhana untuk sementara dapat membantu menghilangkan
katup, selang dada harus diinsersikan sesegera mungkin.
Selang dada diinsersikan melalui insisi 1.5 sm pada garis puting, dimana ia memotong garis midaksiler,
dengan skalpel serta jari dibanding dengan trokar. Dua jahitan sutra kuat berbentuk U untuk memantek selang
serta menutup lubang. Selang dada dihubungkan dengan
perangkat botol pengalir atau sitema Pleurevac, dengan
tekanan negatif sinambung 5 hingga 20 sm H2O.
Trauma dapat mengakibatkan hemotoraks sejati, walau hemopneumotoraks jauh lebih sering. Hemotoraks kurang dari 300 ml sering tak dapat ditampilkan oleh film
dada tegak. Hemotoraks luas biasanya bersamaan dengan
syok sekunder atas kehilangan darah dibanding dengan
karena kesulitan paru-paru. Keadaan ini juga dikoreksi dengan pengaliran melalui selang dada. Torakotomi
mungkin diperlukan untuk mengatasi perdarahan vaskuler
berat seperti dari pembuluh mammari internal, interkostal, atau pembuluh paru-paru, namun ini tidak sering
terjadi.
Cedera Vaskuler
Pembuluh perifer kadang-kadang rusak pada pasien cedera
multipel, berakibat perdarahan, fistula arteriovenosa,
dan aneurisma. Perawatan perdarahan harus dilakukan sesegera mungkin dengan kompresi. Tornike sering berakibat cedera iskemik karena pemakaian yang terlalu lama
dan sirkulasi kolateral juga terbendung. Ligasi atau
pengkleman lama dari pembuluh juga tidak dipikirkan karena menyebabkan rekonstruksi menjadi lebih sulit serta
membahayakan kehidupan anggota tubuh.
Semua cedera didaerah pembuluh darah utama harus
dianggap mengenai pembuluh hingga dibuktikan tidak. Adanya denyut distal tidak menyingkirkan adanya cedera
vaskuler. Arteriogram harus dilakukan pada setiap kasus
walau bahkan pemeriksaan ini terkadang tidak benar.
Cedera tumpul leher bisa mengakibatkan spasme arteria karotid ekstrakranial yang berat atau diseksi intimal. Ini bisa mengakibatkan strok, hingga mengacaukan
gambaran kompleks yang sudah ada sekunder karena cedera
kepala.
Cedera Abdominal
Seperti halnya cedera dada, bisa penetrans atau tumpul.
Yang pertama lebih letal secara akut, dan yang kedua
lebih sulit didiagnosis dan dapat merupakan penyebab
kematian kemudian, yang tidak diharapkan. Syok yang tak
bisa dijelaskan, yang berhubungan dengan cedera abdominal, adalah akibat cedera abdominal, kecuali dibuktikan lain. Indikasi laparotomi segera adalah adanya
peritonitis, syok yang tak dapat dijelaskan, perdarahan gastrointestinal, dan tap atau lavase peritoneal diagnostik yang positif. Tap abdominal pertama dikerjakan. Bila lebih dari 20 ml darah didapatkan atau bila
pertikel makanan atau feses ditemukan pada rongga pe-
ritoneal, tap dianggap positif. Bila tidak, seliter larutan Ringer laktat atau salin normal diinfuskan kedalam abdomen. Pasien kemudian dimiringkan dari sisi
kesisi untuk mendapatkan pencampuran yang baik, dan cairan dibiarkan mengalir keluar. Bila 200 atau 300 ml
cairan sudah keluar, dilakukan pemeriksaan hitung jenis
sel. Jumlah lebih dari 100.000 sel darah merah atau 500
sel darah putih per sm kubik dianggap positif. Butterworth menganjurkan lavase peritoneal rutin pada pasien
dengan cedera kepala berat "dengan atau tanpa tandatanda klinis syok, cedera abdominal, atau adanya perdarahan tersembunyi". Lavase peritoneal juga bernilai dalam mendeteksi perdarahan pada pasien dengan cedera
cord tulang belakang, dimana tanda-tanda klinis yang
biasa menjadi tersembunyi. Penelitian terakhir ternyata CT scan abdominal lebih baik dari lavase peritoneal
dalam menilai trauma tumbul abdominal. Namun pemeriksaan ini akan mengambil waktu setengah jam untuk melengkapinya, jadi membatasi kegunaannya pada pasien dengan
massa intrakranial atau ketidakstabilan yang jelas.
Cedera Renal
Cedera ginjal terdiri dari tiga jenis: (1) kontusi renal; (2) laserasi renal; dan (3) cedera pedikel. Hematuri merupakan temuan primer pada cedera traktus urinarius. Ia sering gross, namun mungkin mikroskopik atau
negatif. Biasanya terdapat nyeri abdominal pada pasien
yang sadar. Pemeriksaan mungkin menunjukkan tanda-tanda
syok, tenderness lokal, pembengkakan dan ekhimosis. Biasanya jelas spasme otot daerah pinggang dan kuadran
atas abdomen.
Pielogram intravena diikuti nefrotomografi, bila
perlu, harus dilakukan bila diduga adanya suatu cedera
ginjal. Ini tidak hanya membuktikan distorsi ginjal atau sistem ureteral, namun juga memastikan ada dan berfungsi baiknya ginjal kontralateral. CT scan abdomen adalah pemeriksaan terpilih bila anatomi tidak dapat
tergambarkan dengan baik melalui pemeriksaan tersebut,
sedang aortografi dilakukan untuk kasus terpilih. Kebanyakan cedera ginjal (85 persen) adalah kontusi dan dapat dikelola konservatif. 15 persen lainnya adalah laserasi major. Kebanyakan dari padanya (95 persen) terbungkus dengan baik dan dapat dirawat konservatif. Sekitar 5 persen dari kasus, memerlukan tindakan operatif. Cedera pedikel juga memerlukan eksplorasi segera.
Cedera ureteral merupakan komplikasi trauma yang jarang, lebih sering iatrogenik. Drainase urine serta rekonstruksi ureter merupakan tindakan terpilih. Ekstravasasi saluran urinari atas lebih mudah diketahui dibanding saluran bawah karena yang terakhir ini sering
bersamaan dengan cedera kandung kemih dan saluran cerna
bawah.
Cedera Oftalmologis
Insidens disfungsi olfaktori setelah cedera kepala bervariasi antara 2 hingga 38 persen. Kerusakan sistem olfaktori terjadi dalam frekuensi yang besar pada benturan oksipital, namun insidens sering lebih tinggi setelah cedera frontal. Ia adalah saraf kranial yang paling
sering terganggu setelah cedera kepala minor. Temuan
olfaktori yang terganggu ini mungkin akibat cedera lokal atau diffus terhadap regio orbitofrontal dan temporal. Penelitian binatang digunakan sebagai patokan olfaksi pada lobus temporal. Anosmia terjadi pada hampir
50 persen pasien yang disertai rinore akibat fraktura
fossa anterior dan pada sekitar 50 persen darinya memerlukan perbaikan secara operatif. Pemulihan spontan
fungsi olfaksi mungkin terjadi pada lebih dari sepertiga pasien pada periode beberapa hari hingga lima tahun
setelah cedera.
Saraf Kranial II
Cedera sistem visual terjadi pada 5 persen dari semua
pasien yang mengalami cedera kepala, tidak peduli beratnya. Kehilangan penglihatan setelah trauma mungkin
terjadi tanpa jelas adanya cedera pada mata. Ini tipikal akibat benturan pada daerah ipsilateral, biasanya
frontal, terkadang temporal, dan jarang-jarang oksipital. Ia mungkin terjadi setelah cedera kepala minor.
Reaksi pupil direk terhadap cahaya adalah indikator awal yang dapat dipertanggung-jawabkan atas beratnya cedera saraf optik. Pemeriksaan oftalmoskopik dan
sinar-x jelas tidak beguna. Cedera mata unilateral dapat diidentifikasikan dengan adanya penurunan hingga
tiadanya reaktifitas pupilari terhadap stimulasi cahaya, dengan bertahannya reaksi konsensual (pupil Marcus
Gunn). Mata yang tidak terkena mempertahankan refleks
cahaya normal namun respons konsensualnya terganggu.
Reaksi ini menunjukkan lesi aferen, biasanya pada saraf
optik, pada jalur refleks cahaya pupilari.
Visual evoked potentials bisa memberikan informasi
objektif yang bernilai bahkan selama koma, karena kooperasi pasien tidak diperlukan. Prosedur ini lebih akurat dari pemeriksaan klinik pada diagosis dini disfungsi visual retrobulber. CT scan terutama bernilai pada
pendugaan integritas kanal optik.
Ketika koma berlalu, pasien harus dinilai persepsi
cahayanya. Evaluasi serial harus dilakukan terhadap adanya fiksasi visual seperti juga untuk reaksi lokalisasi dan penarikan terhadap rangsangan. Respon optokinetik mungkin membuktikan tersisanya tingkat akuitas
20/200 pada paling sedikit disebagian lapang pandang.
Istilah 'kebutaan kortikal' hanya diberikan pada
pasien yang memperlihatkan amaurosis dengan pupil yang
reaktif, tidak untuk pasien yang mengalami hilangnya
sebagian lapang pandang. Kebanyakan pasien dengan kebutaan kortikal akan mengalami sedikit perbaikan kemampuan visual melalui sistem jalur visual sekunder. Respons
pasien terhadap stimuli bergerak berintensitas tinggi
harus dinilai. Pasien dengan buta kortikal yang menyangkal kehilangan visual (Sindroma Anton) biasanya
diderita penderita infarksi lobus oksipital bilateral
sekunder atas kompresi arteria serebral posterior pada
tepi tentorial disebabkan oleh herniasi.
Saraf Kranial III,IV, dan VI
Disfungsi otot ekstra-okuler menyebabkan diplopia dan
mungkin akibat dari disfungsi motor sentral atau periferal. Diplopia mungkin menimbulkan kebingungan pada
pasien yang bangun dari koma. Pembebatan mata mungkin
menghilangkan citra ganda, namun bila pasien mampu mensupres citra kedua, bebat mata harus dihentikan. Yang
umum dilakukan adalah penggunaan bebat secara bergantian antara mata yang terkena dan yang tidak adalah dalam
usaha mencegah ambliopia. Namun, walau ambliopia tidak
terjadi pada populasi dewasa, beralasan untuk membebat
mata yang sehat untuk merangsang aktivitas motor yang
maksimal dari mata yang rusak.
Postur kepala abnormal mungkin berguna untuk mengkompensasi fungsi motor ekstra-okuler yang paretik. Ini
umumnya terjadi pada paresis saraf kranial IV. Saraf
kranial keempat tidak hanya depresor namun juga intorter mata; pasien cenderung mengkompensasi dengan mengangkat kepala. Usaha menormalkan posisi kepala mungkin
mencegah pasien terhadap penglihatan binokuler. Pengangkatan kepala mungkin juga akibat dari nistagmus, karena stabilisasi kepala pada bahu mungkin menghilangkan
nistagmus. Gangguan lapang pandang juga sering menyebabkan pemutaran kepala dalam usaha menyesuaikan lapang
pandang yang tersisa sebaik mungkin.
Resolusi spontan parese gerak mata terjadi dengan
frekuensi yang cukup banyak. Parese saraf kranial III,
kelemahan rektus superior residual mungkin menetap, dan
pasien mungkin kadang-kadang mengeluh diplopia. Lesi
saraf kranial IV membaik spontan pada 65 persen pada
kasus unilateral dan 25 persen pada kasus bilateral.
Walau beberapa memberikan alasan atas koreksi operatif
pada paralisis yang permanen semata-mata kosmetik,
Fells dan Waddell memperlihatkan bahwa restorasi binokularitas dapat terjadi pada kebanyakan kasus.
Saraf Kranial V
Cedera saraf trigeminal relatif jarang. Pasien yang
memperlihatkan kornea yang tidak sensitif, yang ditunjukkan oleh tidak adanya refleks korneal, dan adanya
paresis saraf fasial (terutama bila cabang lakrimal
terkena) mempunyai risiko yang besar terhadap ulserasi korneal neurotropik dan kemungkinan kehilangan penglihatan. Pasien ini harus dipikirkan untuk segera mendapatkan tarsorafi protektif. Lubrikan protektif digunakan sebagai bagian perawatan rutin. Produksi air mata, yang diatur cabang lakrimal saraf fasial, bisa di-
Sindroma Locked-in
Istilah ini serta 'mutisme akinetik' digunakan secara
sinonim. Kerusakan jalur kortikobulber dan kortikospinal diventral pons mengakibatkan
keadaan de-eferen
yang khas dengan tetraplegia dan mutisme. Pasien tetap
waspada dan responsif, dan fungsi kortikal tinggi tetap
tidak terganggu.
Jalur okuler supranuklir tetap utuh hingga kontrol
gerak mata paling tidak untuk sebagian tetap terjaga,
biasanya pada bidang vertikal dan terkadang horizontal.
Komunikasi non oral karenanya tetap memungkinkan, baik
dengan gerak mata maupun kedipan, dan penggunaan sistem
interface yang memadai dapat memberikan komunikasi yang
memadai untuk menunjukkan kemampuan kognitif yang tersisa. Sindroma ini sebagian besar diakibatkan oleh infarksi vaskuler hingga karenanya tidak sering ditemukan
sebagai akibat trauma. Sindroma locked-in harus betulbetul dibedakan dari keadaan vegetatif dimana tidak dapat lagi melihat dan merasa, walau pulihnya siklus tidur-bangun dan tampilan deseptif dari pemulihan neurologis ('koma vigil') sering memberi keluarga pasien perasaan optimis yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan.
Neuropati Periferal
Polineuropati dilaporkan sebagai komplikasi dini dari
sepsis dan kelainan kritis lainnya hingga pada 50 persen pasien di ICU. Komplikasi ini terkadang ditemukan
secara klinis pada pasien cedera kepala. Polineuropati
biasanya berkurang bila kelainan kritis terkontrol. Neuropati yang berkaitan dengan fraktura dapat terjadi
pada daerah fraktura. Neuropati kompresi dapat diakibatkan immobilitass dan tekanan terlokalisasi pada saraf diatas tonjolan tulang. Setiap kompresi paling sering mengenai saraf ulnar dan peroneal. Bila anggota
tetap flaksid, ada kemungkinan neuropati. Pada pasien
tidak sadar, penilaian fisik dapat sangat terbatas, dan
tes konduksi saraf mungkin bernilai.
Pleksopati mengenai beberapa kelompok otot, hingga
tonus lebih kecil dari yang diharapkan. Cedera langsung
pada bahu atau pelvis mungkin berakibat cedera regang,
kontusi, kompresi, atau laserasi pleksus brakhial atau
lumbosakral. Pola flaksiditas anggota tubuh harus diwaspadai untuk menilai kembali kekuatan mekanis cedera
semula dan untuk memikirkan tes elektrofisiologik yang
pantas. Bila fraktura tulang terjadi, pembentukan kalus
yang hebat mungkin menekan saraf berdekatan, dengan
timbulnya cedera saraf yang terlambat.
Hidrosefalus Pasca Trauma
Definisi
Sindroma hidrosefalus pasca trauma (Posttraumatik hydrocephalus, PTH) harus ditentukan baik dengan kriteria
radiologis maupun neurologis, karena setiap kelainan
harus ada untuk menegakkan diagnosis. Dalam istilah
yang sederhana, PTH mungkin dijelaskan sebagai dilatasi
ventrikuler tanpa pembesaran sulkal, berkaitan dengan
sindroma klinis yang mungkin berragam dari koma dalam
hingga gambaran yang khas dari hidrosefalus tekanan
normal: demensia, ataksia, dan inkontinensia urinari.
Insidens
Walau dilatasi ventrikuler adalah temuan yang umum
dijumpai setelah cedera kepala, terutama bila cederanya
berat, PTH yang murni relatif jarang. Insidens dilatasi
ventrikuler pasca trauma bervariasi dari 29 hingga 72
persen. Nyatanya, berbeda dalam metoda diagnostik, definisi pembesaran ventrikuler, dan karakteristik pasien
harus diperhitungkan atas perbedaan yang luas ini. Kishore menentukan ventrikulomegali yang bermakna sebagai
tampilan distensi tanduk anterior ventrikel lateral,
pembesaran tanduk temporal serta ventrikel ketiga, dan
sulsi normal atau tidak ada. Ia dari CT scan menemukan
29 persen pasien dengan cedera kepala berat ventrikulomegali timbul dalam tahun pertama, dan hampir semuanya
terbentuk dalam dua minggu pertama.
Cardoso dan Galbraith melaporkan 0.7 persen dari
pasien dengan cedera kepala berat mendapatkan hidrosefalus simtomatik, dimana 47 persen diantaranya sangat
menbaik dan 24 persen sedikit membaik setelah operasi
pintas.
Pemeriksaan CT scan selama tiga bulan setelah cedera kepala , Gardeur mendapatkan pembesaran ventrikuler pada 78 persen pasien. Dongen dan Braakman melaporkan bukti atrofi serebral dari CT scan sebanyak 86 persen pada pasien yang diamati satu hingga empat tahun
setelah cedera kepala tertutup yang berakibat koma paling tidak enam minggu. Levin mempelajari area ventrikel lateral pada CT scan, dan mendapatkan pembesaran
pada 72 persen kasus.
PTH harus dibedakan dari atrofi serebral pasca
trauma. Yang pertama adalah istilah yang mempunyai arti
keadaan yang aktif dan dapat diobati, sedang yang terakhir menggambarkan resorpsi parenkhim otak sekunder
terhadap cedera jaringan yang difus. Sayangnya perbedaan ini tidak selalu tampak jelas. CT scan membuat diagnosis lebih mudah dan menurunkan insidens PTH hingga
antara 1 hingga 8 persen, dibanding 21 hingga 36 persen
pada era pneumoensefalogram.
Patofisiologi
Umumnya dipercaya bahwa PTH diakibatkan gangguan aliran
Diskusi
Cedera penetrasi leher mengharuskan angiografi dan eksplorasi operatif bila platisma tertembus. Oklusi arterial sekunder atas trauma tumpul leher jarang terjadi,
perkiraan sekitar 0.5 persen. Cedera ini lebih sering
terjadi pada tingkat C2, terhadap baik arteria karotid
maupun vertebral. Diagnosis klinis sering sulit, dan
mungkin memiliki periode bebas gejala, biasanya kurang
dari 24 jam. Pasien bisa mengalami serangan iskemik
transien (TIA), adanya hematoma leher, atau tampilnya
sindroma Horner. Sekali oklusi terjadi, defisit neurologis fokal bisa menjadi nyata. Pada kasus cedera kepala berat, mungkin sulit untuk memisahkannya dari efek
cedera otak primer. Tingkat mortalitas trombosis karotid traumatika leher dilaporkan antara 40 hingga 90
persen. Oklusi arteria vertebral lebih jarang: 19 persen bila oklusi terjadi pada satu arteria vertebral dan
46 persen bila oklusi pada keduanya. Medikasi antikoagulasi bisa diberikan pada pasien terpilih yang dengan
cedera kepala ringan dan risiko perdarahan intrakranial
rendah; namun nilai pengobatan antikoagulasi ini belum
pasti.
Aneurisma intrakranial pasca trauma sangat jarang.
El Gindi menemukan 7 kasus dari 2000 pasien cedera kepala. Hanya dua dari 3000 luka kepala penetrasi menimbulkan aneurisma dari perang Korea dan Vietnam. Tidak
seperti aneurisma 'berry' kongenital, aneurisma pasca
trauma lebih mungkin terjadi dekat permukaan korteks
dibanding dengan bifurkasi arterial utama. Ia sering
tidak memiliki leher untuk clipping, namun operasi dan
clipping atau wrapping tetap merupakan tindakan terpilih.
Fistula arteriovenosa traumatika intrakranial juga
jarang. Terjadi lebih sering antara arteria meningeal
media dan vena meningeal. Biasanya berhubungan dengan
cedera kepala penetrating atau fraktura tengkorak depressed. Risiko perdarahan dari lesi ini tidak tentu.
Ia dapat ditindak dengan embolisasi melalui arteria karotid eksternal atau operasi eksisi direk.
Fistula karotid-kavernosa (KK) adalah temuan terbaik dari semua cedera vaskuler pasca trauma. Walau relatif jarang, gambaran khasnya membuatnya mudah dikenal
diklinik. 60 hingga 80 persen fistula KK adalah karena
trauma; sisanya mungkin timbul spontan. Fistula KK
spontan terjadi lebih sering pada wanita tua, sedang
karena trauma lebih sering pada lelaki muda. Gambaran
klinis mungkin berupa proptosis, khemosis, bruit, oftalmoplegia, perburukan penglihatan, serta nyeri kepala. Bruit mungkin teraba, murmur bisa didengar dengan
stetoskop konvensional atau Doppler. Arteriografi adalah tindakan diagnostik terpilih. Riwayat penyebab fistula KK mengharuskan intervensi: penutupan spontan jarang, dan perjalanan yang umum adalah kehilangan penglihatan progresif (40 hingga 50 persen akan mengalami
kebutaan), bruit yang tidak dapat ditolerasi, atau pro-
[G]
Kategori ini secara bersama dikelompokkan sebagai outcome yang baik (G,MD) atau outcome yang buruk (SD,V, atau D). Berdasarkan regresi logistik, metoda ini dijelaskan untuk menentukan pasien kedalam dua kategori
tersebut. Metoda yang lebih sederhana berdasarkan pada
analisis perbedaan dan meletakkan pasien kedalam satu
dari empat kategori outcome (G, MD, SD, atau V/D). Hanya usia, respons pupil, dan nilai motor yang diperlukan. Model ini berdasarkan pada koleksi data pasien dengan cedera kepala berat. Bila prediksi jatuh kedalam
kelompok outcome yang benar, disebut sebagai akurat secara spesifik. Bila kelompok outcome mendekati outcome
aktual yang didapatkan, prediksi disebut sebagai akurat
secara kasar. Dengan model ini tingkat prediksi spesifik secara keseluruhan adalah 78 persen dan prediksi
akurat kasar adalah 90.4 persen. Ditekankan bahwa prediksi polar, good recovery and death, lebih mudah untuk
diprediksi dengan tepat dibanding kategori intermediet
dari moderately or severely disabled. Harus juga disadari bahwa model prediksi ini berdasarkan hanya kepada fungsi neurologis, dimana mortalitas sering mengakibatkan komplikasi medikal yang tidak diduga. Nilai setiap prediksi terletak pada kemampuan dokter untuk menasehati keluarga pasien dan kemungkinan untuk membandingkan efek dari terapi yang lebih baru pada kelompok
pasien yang lebih kecil, dengan prediksi outcome berdasarkan pada pengalaman sebelumnya.
Sayangnya, sumber yang tersedia untuk tindakan medis sering terbatas, dan keputusan sulit kadang-kadang
harus diambil mengingat alokasi yang maksimal dari usaha. Analisis terakhir dari Gibson dan Stephenson memperlihatkan bahwa mortalitas setelah cedera kepala berat dapat diprediksi dengan ketepatan 100 persen pada
sekitar 15 persen pasien yang mencapai ICU. Skala bedside yang sederhana mungkin berguna dalam menentukan
subgrup pasien yang jelas sekali termasuk kedalam outcome yang fatal tanpa peduli akan keagresifan terapeutik maksimal.
10. KONKLUSI
Walau terdapat kontroversi sekitar keuntungan
dan
risiko, pemantauan TIK yang sinambung sudah mendapat
tempat yang pasti dalam perawatan intensif bedah saraf
diberbagai negara.
INDIKASI PEMANTAUAN T.I.K
Indikasi paling sering digunakan adalah:
1 pengelolaan pasien koma pada cedera kepala
2 pasien dengan CT scanning menunjukkan bahwa TIK meninggi. Tanda ini termasuk tiadanya sisterna perimesensefalik, pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm,
dilatasi ventrikel kontralateral dan kontusi otak bilateral
3 sindroma Reye
4 hidrosefalus 'tekanan normal'
5 hidrosefalus dan koma setelah perdarahan subarakhnoid, hematoma intraserebral atau infark iskemik
6 pasien tidak sadar yang diselamatkan dari tenggelam
dan episoda hipoksik berat lainnya
7 penurunan tingkat kesadaran pada meningitis atau ensefalitis
Mempertahankan dan menginterpretasikan pemantauan TIK
membutuhkan skill dan kesabaran. Harus dibatasi dalam
melengkapi unit perawatan intensif dengan petugas yang
telah berpengalaman dalam merawat pasien koma dengan
kelainan neurologis.
MASA YANG AKAN DATANG
Metodologi
Kelemahan utama metoda pengukuran TIK saat ini adalah
perlunya penetrasi pada tengkorak. Tujuan jangka panjang haruslah untuk mengembangkan metoda yang non-invasif, yang akurat, murah dan dapat dipercaya.
Sementara itu, mungkin transduser miniatur yang
diimplantasikan akan menjadi lebih populer namun saat
ini terdapat kebingungan atas kemampuannya untuk mengatasi ketidak-telitian dan kesulitan dalam penggunaan
di-
Pressure-volume relationship: Hubungan yang mana menjelaskan perubahan tekanan didalam sistem tertentu disebabkan oleh perubahan volume yang dikandungnya atau sebaliknya, misalnya perubahan tekanan intrakranial disebabkan oleh perubahan isi intrakranial. Pada diagram
tekanan-volume, tekanan secara konvensional ditampilkan
sebagai aksis y (ordinat) dan volume sebagai aksis x
(absisa).
Pulse pressure: Amplituda
lus kardiak.
sikpembe-
suhu
dan
tekanan
Transducer: Alat yang mengkonversikan satu bentuk energi kebentuk lainnya. Transduser tekanan fisiologis
menggunakan energi yang ditimbulkan oleh tekanan untuk
menghantarkannya sebagai sinyal elektrik yang kemudian
diperkuat dan dapat dicatat pada alat pencatat.
Vasopressor responce to raised ICP: Peningkatan TD arterial akibat peningkatan TIK (Sering disebut sebagai
'Cushing response'.
Vasopressor treshold: Tingkat TIK dimana respons
presor bekerja.
vaso-
Volume-pressure respons (VPR): Peninggian tekanan ventrikuler yang didapat bila 1 sm salin disuntikkan melalui kanula ventrikuler dalam 1 detik.
REFERENSI
Lihat bab terakhir, khusus daftar rujukan.
http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Konklusi.html