You are on page 1of 9

1

BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
1.1

Definisi
Batuk dalam bahasa latin disebut tussis adalah refleks yang dapat terjadi
secara tiba-tiba dan sering berulang-ulang yang bertujuan untuk membantu
membersihkan saluran pernapasan dari lendir besar, iritasi, partikel asing dan
mikroba. Batuk dapat terjadi secara sukarela maupun tanpa disengaja.
antitusif atau cough suppressant merupakan obat batuk yang menekan batuk,
dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan menekan respirasi. Misalnya
dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan opioid lemah. Terdapat juga analgesik
opioid seperti kodein, diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas antitusif.
Menurut Husein (1998) antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan
derivatnya termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin. Kebanyakannya
berpotensi untuk menghasilkan efek samping termasuk depresi serebral dan
pernafasan. Juga terdapat penyalahgunaan.

1.2

Jenis jenis Batuk


a. Batuk Produktif
Merupakan suatu mekanisme perlindungan dengan fungsi mengeluarkan zat-zat
asing ( kuman, debu dan sebagainya ) dan dahak dari batang tenggorokan. Maka,
jenis batuk ini tidak boleh ditekan.
b. Batuk non Produktif
Bersifat kering tanpa adanya dahak, misalnya pada batuk rejan atau memang
pengeluarannya memang tidak mungkin. Batuk jenis haruslah dihentikan.
Refleks batuk terdiri dari 5 komponen utama:
1.
2.
3.
4.
5.

Reseptor batuk
Serabut saraf aferen
Pusat batuk
Susunan saraf eferen
Efektor
Reseptor Batuk : Batuk bermula dari suatu rangsang pada reseptor batuk.

Reseptor ini berupa serabut saraf non mielin halus yang terletak baik di dalam
maupun di luar rongga toraks. Reseptor yg terletak di dalam rongga toraks antara lain
terdapat di laring, trakea, bronkus dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin
berkurang pada percabangan bronkus yang kecil, dan sejumlah besar reseptor terdapat

di laring, trakea, karina dan daerah percabangan bronkus. Reseptor bahkan juga
ditemui di saluran telinga, lambung, sinus paranasalis, perikardial dan diafragma.
Serabut Saraf Aferen: Serabut aferen terpenting ada pada cabang Nervus
Vagus, yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus, pleura, lambung dan
Juga rangsang dari telinga melalui cabang Arnold dari n. Vagus. Nervus trigeminus
menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis. Nervus glosofaringeus menyalurkan
rangsang dari faring. Nervus frenikus menyalurkan rangsang dari perikardium dan
diafragma. N. Vagus, n. Frenikus, n. Interkostal ,n. Trigeminus, n. Fasialis, n.
hipoglosus dan lain-lain menuju ke efektor.
Pusat batuk: Oleh serabut aferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang
terletak di medula, di dekat pusat pemapasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini
oleh serabut-serabut eferen meneruskan rangsangan yang berupa impuls saraf ke
Efektor .
Efektor: terdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkhus, diafragma, otot- otot
interkostal dan lain-lain. Di daerah efektor inilah akan terjadi mekanisme batuk.

2.1

Mekanisme Batuk

BAB II
PATOFISIOLOGI
Inhalasi udara

Merangsang reseptor batuk


Serabut saraf aferen
Pusat batuk
Serabut saraf eferen
efektor
Mekanisme batuk

Glotis terbuka, esofagus


dan pita suara menutup

Fase Inspirasi

Glotis akan tertutup


Otot perut akan
berkontraksi

Fase Kompresi

Diafragma naik dan menekan paru-paru


kontraksi intercosta internus
Tekanan paru-paru meningkat
Glotis terbuka lagi

Fase Ekspulsi

Udara akan keluar akan menggetarkan pita


suara
Suara
batuk

2.2

Antitusif
Secara umum berdasarkan tempat kerja obat, antitusif dibagi atas antitusif

yang bekerja di perifer dan antitusif yang bekerja di sentral. Antitusif yang bekerja di
sentral dibagi atas golongan narkotik dan non narkotik. Golongan narkotik misalnya
codein
Obat Golongan Non Narkotik:

Obat yang bekerja di perifer : Demulcent, Obat anestesi lokal seperti benzokain,
benzilalkohol, fenol, dan garam fenol digunakan dalam pembuatan lozenges.
Ekspektoran: Gliseril guaiakolat.
Mukolitik: Bromheksin, Ambroksol, Asetilsistein.

BAB III
DEKSTROMETROFAN
3.1

Dextromethorphan
Dextromethorphan (d-3-metoksi-N-metilmorfinan) adalah derivate dari morfin

Sintetik yang bekerja sentral dengan meningkatkan ambang rangsang reflek batuk
sama dengan kodein. Potensi antitusifnya lebih kurang sama dengan kodein. Berbeda
dengan kodein dan 1-metorfan, dextromethorphan tidak memiliki efek analgesic, efek
sedasi, efek pada saluran cerna dan tidak mndatangkan adiksi atau ketergantungan.
Dextromethorphan

efektif

untuk

mengontrol

batuk

akut

maupun

kronis.

Dextromethorphan juga memiliki efek pengurangan secret dan efek antiinflamasi


ringan. Mekanisme kerjanya berdasarkan peningkatan ambang pusat batuk diotak.
Pada penyalahgunaan dengan dosis tinggi dapat terjadi efek stimulasi SSP. Dalam
dosis terapi dekstrometrofan tidak menghambat aktifitas silia bronkus dan efek
antitusifnya bertahan 5-6 jam. Toksisitas zat ini rendah sekali tetapi dosis sangat tinggi
mungkin menimbulkan depresi napas. Dekstrometrofan tersedia dalam bentuk tablet
10 mg dan sirup dengan kadar 10 mg dan 15 mg/5 ml. Dosis dewasa 10-30 mg
diberikan 3-4 kali sehari.
Struktur Dextromethorphan

Nama Kimia : 3-Metoksi-17-Metil-9,13, 14,-Morfinan hidrobromida


Rumus Empiris : C18H25NO.HBr.H2O
Berat Molekul : 370,33
Pemerian : Hablur hampir putih atau serbuk hablur, bau lemah. Melebur pada suhu
lebih kurang 1260 disertai peruraian.
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan kloroform, tidak
larut dalam eter.
3.2

Farmakokinetik
Dekstrometorfan diabsorpsi dengan baik setelah pemberian oral dengan kadar

serum maksimal dicapai dalam 2,5 jam. Onset efeknya cepat, sering kali 15-30 menit
setelah

pemberian

oral.

Belum

ada

penelitian

tentang

distribusi

volume

dekstrometorfan pada manusia, akan tetapi penelitian oleh Silvasti et al. (1989) yang
dilakukan pada anjing, distribusi volume dekstrometorfan berkisar antara 5,0-6,4
L/kg. Waktu paruh obat ini adalah 2-4 jam dan lama kerjanya adalah 3-6 jam.
Metabolisme dekstrometorfan telah diketahui dengan baik dan telah diterima secara
luas bahwa aktivitas terapeutik dekstrometorfan ditentukan oleh metabolit aktifnya
yaitu dextrorphan. Dekstrometorfan mengalami metabolisme di hepar oleh enzim
sitokrom P-450 dan diubah menjadi dextrorphan yang mempunyai derivat lebih aktif
dan poten sebagai antagonis NMDA (Schadel et al., 1995).
3.3

Farmakodinamik

Efek analgetik
Efek analgetik dekstrometorfan berdasarkan cara kerja sebagai antagonis
reseptor NMDA. Peranan NMDA dalam fenomena persepsi nyeri ditegaskan lagi pada
binatang percobaan yaitu dengan cara memberikan reseptor antagonis NMDA secara
intraspinal. Pada suatu studi pada manusia pemberian ketamin intravena akan

mengurangi hiperalgesia primer dan sekunder dan mengurangi nyeri yang ditimbulkan
oleh stimulasi panas. Dektrometorfan menunjukkan hal yang sama (Ilkjaer et al.,
1996). Ikatan obat-obat antagonis pada reseptor NMDA menimbulkan terjadinya
perubahan pada calsium channel. Perubahan pada ca-channel akan menyebabkan
aktivitas neuron yang dirangsang NMDA, jika itu menetap, akan diikuti dengan
peningkatan intensitas stimulus nosiseptik primer, misalnya fenomena wind-up dan
pencetusan dari nyeri sekunder. Dekstrometorfan mempunyai kemampuan untuk
mengurangi influks ion Ca2+melalui channel reseptor NMDA dan mengatur channel
voltase Ca yang pada keadaan normal diatur oleh konsentrasi K+ ekstrasel yang tinggi
(Weinbroum et al., 2000). Dengan berkurangnya influks ion Ca+, maka eksitabilitas
neuron di kornudorsalis medula spinalis menurun, sehingga sensitisasi menurun dan
terjadi pengurangan nyeri. Pada penelitian dekstrometorfan sebagai efek analgetik,
obat tersebut memberikan hasil yang cukup baik, yaitu dapat mengurangi intensitas
nyeri sebanyak 33,4% dibanding pada pemberian memantin maupun lorazepam,
dimana masing-masing hanya mengurangi nyeri sebanyak 17,4% dan 16,1%. Hal ini
menunjukkan perbedaan yang bermakna antara pemberian ketiga obat tersebut.
Sebagai antitusif
Empat puluh tahun yang lalu dekstrometorfan dibuat sebagai obat alternatif
dari morfin. Pada awalnya pemakaian klinis terbatas pada obat antitusif, pada orang
dewasa dosisnya adalah 10 30 mg, 3 4 kali sehari. Tempat spesifik sentral dimana
dekstrometorfan mempunyai efek antitusif belum jelas, tetapi dekstrometorfan
berbeda dengan golongan opioid, sehingga efek dekstrometorfan tidak ditekan oleh
nalokson. Dekstrometorfan juga mempunyai catatan keamanan yang baik, sebagai
contoh dosis terapetik untuk batuk 1 mg/kg /hr tidak mempunyai side efek yang
berarti, dan tidak menimbulkan komplikasi akibat pelepasan histamine.
Efek anti kejang dan parkinson
Pada manusia dekstrometorfan juga mampu mengurangi keluhan yang
berhubungan dengan gangguan neurologis oleh karena eksitotoksisitas, seperti kejang
dan penyakit parkinson jika diberikan pada dosis 30 atau 60 mg (Albers et al., 1987)
yang diberikan 4 kali sehari, 45 180 mg single dose (Bonuccelli et al., 1992) atau
120 mg single dose (Fisher et al., 1990) selama 3 minggu sampai 3 bulan. Tidak
didapati adanya efek samping neurologis yang berat pada penelitian ini dan juga pada

penelitian lain dengan sampel 8 orang yang sehat dimana eksitabilitas korteks motorik
berkurang setelah pemberian secara oral dengan dosis tinggi (150 mg).
Dosis
Dosis dewasa: 10-20 mg secara oral setiap 4 jam atau 30 mg secara oral setiap 6-8
jam. Dosis max 120 mg/hari.
Dosis anak-anak : Usia 6-12 tahun, 5-10 mg secara oral setiap 4 jam atau 15 mg
secara oral setiap 6-8 jam, dosis maksimum : 60 mg/hari.
Usia 2-6 tahun, 2.5-5 mg secara oral setiap 4 jam atau 7.5 mg secara oral setiap 6-8
jam, dosis maksimum 30 mg/hari.
Efek samping:
Efek penekanan aktifitas silia bronkus hanya terjadi pada dosis tinggi. Toksisitasnya
rendah sekali. Dosis berlebih menimbulkan diplopia, sakit kepala, mual dan muntah.
Dalam dosis yang sangat besar ditemukan depresi saraf pernafasan secara bermakna,
dan dapat terjadi kematian.

DAFTAR PUSTAKA
Estuningtyas, Ari, dan Azalea Arif. Obat Lokal. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Gunawan,
Sulistia Gan, dkk. Ed. Ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi FKUI, 2008: 531-2.
Setiawati, Arini, dan Sulistia Gan. Obat Adrenergik. Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Gunawan, Sulistia Gan, dkk. Ed. Ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi FKUI, 2008:
81.
Departemen Farmakologi FKUI. Farmakologi Obat-Obat Simtomatik Saluran Napas. Slide
kuliah modul respirasi tahun 2007.
Setiabudy, Rianto. Golongan Kuinolon dan Fluorokuinolom Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Gunawan, Sulistia Gan, dkk. Ed. Ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi FKUI, 2008:
720.
Setiabudy, Rianto dan Bahroelim Bahry. Obat Jamur. Dalam: Farmakologi dan Terapi.
Gunawan, Sulistia Gan, dkk. Ed. Ke-5. Jakarta: Departemen Farmakologi FKUI, 2008:
571-5.
Fisher RS, Cysyk BJ, Lesser RP, et al., 1990. Dextromethorphan for treatment of omplex
partial seizure. Neurology; 40; 547-549
IIkjaer S, Dirks J, Brennum M, Wernberg M, Dahl JB, 1997, Effect of systemic N-methyl-Daspartate receptor antagonist (dextromethorphan) on primary and secondary
hyperalgesia in humas, Br J Anaesth; 79; 600-5

You might also like