You are on page 1of 10

FILSAFAT ISYRAQIYYAH

Al-SUHRAWARDI

MAKALAH
Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah
Metode Studi Kalam, Filsafat, dan Tasawuf

DOSEN PEMBIMBING;
DR. SRI MULYATI, M.A

DISUSUN OLEH;
HASRUL
(NIM: 21150340000010)

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 M/1437 H

A. Pendahuluan
Upaya untuk mengharmoniskan hubungan filsafat dengan agama diawali oleh
Al-Kindi yang terjadi pada abad ke 3 H/9 M. Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang
benar (knowledge of truth) dan agama juga diwahyukan untuk menyampaikan kebenaran.
Oleh karena filsafat dan agama menjadikan kebenaran sebagai tujuan, maka keduanya tidak
mungkin bertentangan antara satu dengan lainnya. Harmonisasi antara filsafat dan agama
selanjutnya diteruskan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina. Jika Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Aristoteles, lain halnya dengan Al-Farabi dan Ibn Sina yang cenderung
mengikuti aliran Neo-Platonisme.
Kegiatan tersebut sesungguhnya sudah nampak dalam diskusi Islam pada masa-masa
awal. Ada banyak isu-isu rasional dalam berbagai penyataan yang diriwayatkan dari
Rasulullah Saw, sebagaimana juga di dalam al-Quran yang menegaskan pentingnya
kehidupan intelektual serta menggunakan bentuk-bentuk inferensi silogistik dan logis
tertentu. Maka tidak mengherankan jika Teolog-teolog Islam (matakallimun) sudah terlibat
dalam serangkaian diskusi rasional dan deduktif sebelum dilakukan penerjemahan karyakarya filsafat ke dalam bahasa Arab.1 Dalam perkembangan selanjutnya, sebagai bentuk
sintesis terhadap pemikiran ini, sebagian filosof Muslim mencoba memperkenalkan
wacana teosofi (gabungan filsafat dan tasawuf).
Wacana teosofi klasik dalam dunia Islam pertama sekali diperkenalkan oleh Abu
Yazid al-Busthami. Nuansa filsafat yang mewarnai pemikiran sufistiknya terlihat dari
gagasannya mengenai konsep ittihad (penyatuan). Wacana teosofi berikutnya
diperkenalkan oleh Husein ibn Manshur al-Hallaj dengan konsep hulul-nya, yaitu
menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya dan menghadirkan sifat-sifat ketuhanan yang
ada dalam dirinya. Konsep hulul yang diprakarsai oleh al-Hallaj kemudian
disistematisasikan oleh Ibn Arabi dengan kosep wahdat al-wujud (unity of existence), yaitu
Tuhan ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya dan oleh karena itu ia menciptakan alam.
Dalam cermin alam itu diri-Nya kelihatan banyak, tetapi sebenarnya hanya satu.
Usaha untuk mencari relasi filsafat dengan tasawuf ternyata tidak hanya didominasi
tiga tokoh di atas dan para pengikutnya. Tetapi, usaha tersebut juga dirintis oleh para filosof
lain dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Salah satu di antara para filosof itu
adalah Al-Suhrawardi. Ia memperkenalkan filsafat iluminasi (al-ishraqiyat) yang
bersumber dari hasil dialog spritual dan intelektual. Berdasarkan aliran filsafat secara
epistemologi, filsafat Al-Suhrawardi yang dikenal dengan iluminasi (al-ishraqiyat)
mengambil coraknya tersendiri dengan pendekatan intuitif. Murtadha Muththari
menyebutkan, selain filsafat ishraqiyat Suharawardi yang intuitif, terdapat corak filsafat
yang telah mendahului sebelumnya, yaitu peripatetik (masysyai) dengan figur utama Ibnu
Sina dan Ibnu Rusyd yang rasional, dan Wahdat al-Wujud oleh Ibnu Arabi yang sufistik,
termasuk di dalamnya Al-Ghazali dengan corak religious-ortodok.2Adapun dalam tulisan
ini hanya akan memberikan pemaparan mengenai filsafat iluminasi (al-ishraqiyat) yang
dicetuskan oleh Al-Suhrawardi.
1

Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah (Bandung: Mizan, 2002), Cet. I, h. 57.


Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli Three
Muslim Sages : Avicenna-Suhrawardi-Ibn 'Arabi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 11.
2

B. Biografi Al-Suhrawardi Al-Isyraq


1. Pribadi Al-Suhrawardi
Nama lengkapnya adalah Syibab al-Din Abu al Futuh Yahya ibn Habasy ibn
Amirak Al-Suhrawardi al-Kurdi, lahir pada tahun 549 H/1153 M di Suhrawad (sebuah
desa di kawasan Jibal, Iran Barat Laut dekat Zanjan. Saat ini masuk wilayah Aleppo,
Suriah. Ia memiliki sejumlah gelar, di antaranya; syeikh Al-Isyraq (Bapak Pencerahan),
Al-Hakim (Sang Bijak), Al-Syahid (Sang Martir), dan Al-Maqtul (yang terbunuh). 3
Namun, Ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Maqtul, karena terkait dengan proses
meninggalnya secara eksekusi. Disamping itu, gelar Al-Maqtul dipakai untuk
membedakannya dengan dua tokoh Sufi yang memiliki nama yang sama dengan AlSuhrawardi, yaitu Abu Al-Najib Al-Suhrawardi (w. 563 H/1163 M) pengarang kitab
Adab al-Muridin dan Abu Hafs Syihab al-Din Al-Suhrawardi al-Baghdadi (w. 632
H/1234 M) pengarang buku Awarif al-Maarif.4
Al-Suhrawardi wafat pada tahun 587 H/1154 M dengan dihukum mati pada
masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi. Saat itu, ia tinggal di Kota Halb dan Malik
al-Zhahir putra Shalahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa di Halb ketika itu sangat dekat
dengannya. Namun, para fuqaha memberikan kecaman terhadap beberapa pandangan
aqidahnya. Pangeran kemudian melangsungkan suatu pertemuan dengan dihadiri para
teolog maupun fuqaha. Setelah meminta meminta pendapat para fuqaha Halb yang
meman menjatuhkan fatwa bahwa Al-Suhrawardi harus dibunuh, Malik al-Zhahir pun
memutuskan agar Al-Suhrawardi dihukum gantung.5
Dikabarkan bahwa filsafata Al-Suhrawardi begitu mendalam. Bahkan kitab
Thabaqat Al-Athibba menyebutkan Al-Suhrawardi sebagai salah seorang tokoh
zamannya dalam ilmu-ilmu hikmah. Ia begitu menguasai ilmu-ilmu filsafat, begitu
memahami ushul fiqih, begitu cerdas fikirannya, dan begitu fasih ungkapanungkapannya.6
2. Pendidikan AL-Al-Suhrawardi
Al-Suhrawardi menerima pendidikan awalnya dari Majduddin al-Jili, yang juga
guru dari Fakhruddin Al-Razi di Maraghah, kota yang menjadi terkenal ke seluruh dunia
beberapa tahun berikutnya ketika Hulagu, penakluk dari Mongol, membangun
observatorium terkenal di dekatnya dan mengumpulkan para astronom terkemuka saat
itu di bawah pimpinann Nashir al-Din al-Thusi di kota tersebut. 7 Saat ini wilayah
Maraghah berada di kawasan Azerbaijan. Di tempat inilah ia belajar hokum dan teologi.
Setelah itu, ia belajar filsafat dengan Fakhruddin Al Mardini.
Lalu beliau melanjutkan rihlahnya ke Isfahan, Iran Tengah mempelajari logika
dengan Zhahiruddin Al Qari Al Farisi. Dalam bidang filsafat, Ia banyak dipengaruhi
oleh filosof-filosof sebelumnya; Plato, Aristoteles, Plotinus, Al Farabi, Ibn Sina, Ibn
3

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 143.
A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 247.
5
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), Cet. I, h. 248.
6
A. Mustofa, Filsafat Islam, h. 248.
7
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli Three
Muslim Sages : Avicenna-Suhrawardi-Ibn 'Arabi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 103-104.
4

Rusyd, dan Nashiruddin Al-Thusi. Setelah banyak melawat ke daerah-daerah tersebut,


Suhrawadi pergi ke Persia untuk menekuni mistisme Islam. Ia tidak hanya mempelajari
teori-teori dan metode-metode untuk menjadi sufi, akan tetapi ia langsung
memprakteknya sebagai sufi sejati. Dia menjadi asketik, menjalani hidupnya dengan
beribadah, berkontemplasi dan berfilsafat. Sebagai seorang sufi, Al-Suhrawardi banyak
terpengaruh oleh pendahulunya, seperti Abu Yazid al-Bustami (w. 974M), Al-Hallaj
(w.859), Al-Ghazali (w. 1111) dan Al-Mishri (w. 860). Pada akhirnya dalam dirinya
terpadulah dua keahlian sekaligus yakni filsafat dan tasawuf. Sehingga ia berhasil
melahirkan aliran iluminasi (al-ishraqiyat) yang menjadi aliran tandingan terhadap
aliran peripatetis yang mendahuluinya.
Setelah itu, Al-Suhrawardi pergi mengembara ke pelosok Persia untuk menemui
guru-guru sufi dan hidup secara asketis. Menurut Husein Nasr, Al-Suhrawardi
memasuki putaran kehidupannya melalui jalan sufi dan cukup lama berkhalwat untuk
mempelajari dan memikirkannya. Perjalanannya semakin melebar sehingga mencapai
Anatoli dan Syiria. Dari Damaskus ia pergi ke Aleppo untuk berguru pada Syaffir
Iftikhar al-Din, dan di kota ini Al-Suhrawardi menjadi terkenal sehingga para faqih
menjadi iri dan mengecamnya.8
Petualangan hidupnya berakhir di Aleppo. Ia menetap di sana atas undangan
Pangeran Malik al-Zahir (putra Salahuddin al-Ayyubi). Malik adalah tipe pemimpin
yang sangat mencintai ilmu pengetahuan. Atas dasar inilah ia mengundang AlSuhrawardi untuk sharing pemikirannya tentang filsafat dan tasawuf. Akan tetapi, hal
ini tak bertahan lama, kondisi religio-sosial-politik ternyata tidak mendukungnya. Para
fuqaha merasa tersaingi dengan pemikian Al-Suhrawardi yang telah mulai berpengaruh
pada pemimpin mereka. Mereka melihat adanya keanehan dari pemikiran Suhrawadi,
ditambah lagi dengan ajaran-ajaran ruhani yang dibawanya. Para fuqaha menyimpulkan,
bahwa Suhrawadi sebagia tokoh yang berbahaya karena berpotensi merusak aqidah
umat Islam. Akhirnya para fuqaha mendesak Pangeran Malik untuk menghukumi AlSuhrawardi. Mereka berhasil mendesak Pangeran Malik atas dasar pertimbangan andil
yang telah disumbangkan kalangan Fuqaha terhadap Negara. Dengan rasa terpaksa,
Pangeran memasukkan Al-Suhrawardi kedalam penjara dan akhirnya dihukum mati.9
3. Karya-karya Al-Suharawardi
Suhrawadi merupakan sosok Filosof yang sangat produktif, tidak kurang dari 50
karya filsafat dan gnostik dalam bahasa Arab dan Persia. Sayyed Hossein Nasr
mengelompokkan karya Al-Suhrawardi dalam 5 kategori;10
1. Pertama, membahas interpretasi dan modifikasi kembali ajaran peripatetik (bukunya:
Hikmah Isyraqi, Muqawamat, talwihat dan Mutharahat).
2. Kedua,tentang filsafat yang disusun secara singkat (Hayakil al-Nur, Yazdan
Syinakht, fi Itiqad al hukama, al-Lamahat).

Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128, Lihat juga; Haidar Baqir,
Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128-129.
9
Seyyed Husein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis terj. Suharsono dan Djamaluddin
dari judul asli, Theology, Philosophy, and Spirituality (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. II, h. 69.
10
Seyyed Husein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis, h. 116-119.

3. Ketiga, karangan pendek yang bermuatan mistis dan berlambang yang sulit dipahami
(Aql-i Surkh, al-Ghurabat Gharbiyyah, Lughat-i Muran dll).
4. Keempat, komentar dan terjamahan dari filasafat terdahulu (Risalah Al-Thair Ibn
Sina), dan
5. Kelima, berupa serangkaian doa yang dikenal dengan al-Waridat wal Taqdisat.
Karya-karya Al-Suhrawardi beberapa ditemukan dalam bahasa Arab, dan ada juga
yang berbagasa Persia. Doktrin-doktrinnya ditulis dalam bahasa Arab, dan karya atau
cerita simboliknya ditulis dalam bahasa Persia.11 Para orientalis dan sejarawan filsafat
telah mengenali Al-Suhrawardi sebagai seorang tokoh penting dalam filsafat Islam
pasca Ibn Sina. Carra de Vaux pada tahun 1902 dan Max Horten pada tahun 1912
masing-masing menulis satu esai tentangnya. Pada tahun 1929, Louis Massignon
memberikan suatu klasifikasi tentang karya-karyanya. Otto Spies menyunting dan
menerjemahkan beberapa alegori filosofis Al-Suhrawardi sepuluh tahun setelah itu.12
C. Pemikiran Filsafat Isyraqiyat Al-Suhrawardi
Al-Suhrawardi termasuk seorang filosof (filsuf) dan teosofi 13 yang cukup terkenal.
Ia hidup ketika filsafat dalam dunia Islam sedang berada pada posisi tidak menentu akibat
serangan dari berbagai kelompok ortodoks. Dalam situasi demikian, ia tampil dengan
filsafat cahaya (isyraqiyah) sebagai wahana pencerahan untuk mengharmonisasikan
pertentangan-pertentangan itu. Ia membangun suatu metodologi pemikiran dari dua tradisi
besar dalam sejarah Islam. Pertama; ia mengadopsi metode diskursif yang bercorak
rasional-filosofis dari filsafat Helenistik, Persia kuno, dan dari dunia Islam sendiri. Kedua;
ia juga mengadopsi tradisi tasawuf sebagai metode eksperiensial yang memiliki corak
spiritualistik sufistik yang merupakan warisan dari tradisi tasawuf sebagaimana yang
terdapat dalam dunia Islam, Zoroastrianisme, dan neo-Platonis.
Al-Suhrawardi menguraikan ajaran filsafatnya dengan sangat unik karena banyak
menggunakan tamsil dan kisah dari kisah perumpamaan. Tidak dapat di elakan karya
filsafatnya bercorak sastra. Ini merupakan ciri khas Timur, sebagaimana tampak dalam
uraian ahli filsafat, seperti konfusius, lao Tze, dan Ibnu Sina. Bahkan Plato khususnya juga
memaparkan ajaran filsafatnya dalam bentuk dialog. Namun, pemikiran Al-Suhrawardi
lebih menarik lagi karena bersumber dari berbagai tradisi budaya serta. Sumber-sumber
klasik pemikirannya meliputi kearifan Persia kuno, Yunani kuno pro Aristoteles, dan Arab
Persia. Dari Persia kuno ia menggali pemikiran Gayamars, Faridun, Kay Khusraw. Dari
tradisi Arab-Persia atau Islam, ia menentukan akar pemikirannya dalam tradisi hikmah
Nabi Syis dan Nabi Idris a.s sampai Zunnun Al- Misri, Abu Sahl At-Tustari atau Mansur
Al-Hallaj. Dari Yunani kuno ia menggali pemikiran tradisional Ordo Hermetiah
(Hermetitisme) sampai Phytagoras dan Plato. 14
11
Seyyed Husein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis ter. Suharsono dan Djamaluddin
dari judul asli, Theology, Philosophy, and Spirituality (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. II, h. 70.
12
Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128, Lihat juga; Haidar Baqir,
Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 129-130.
13
Istilah teosof berasal dari bahasa Yunani Theos artinya Allah, dan Sophia artinya kebijaksanaan. Teosof
adalah orang yang berusaha mencari dan mengolah kecenderungan-kecenderungan dalam diri manusia dengan
tujuan mencapai suatu visi tertentu tentang Allah [Lorens Bagus, Teosofi, dalam Kamus Filsafat, h. 1101.
14
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2009 Cet. 1) hal. 180.

1. Pengertian Isyraqiyat (Iluminasi)


Iluminasi berasal dari kata dalam bahasa Latin yaitu illuminare yang memiliki arti
dalam bahaaa Indonesia yaitu menerangi. 15 Dalam bahasa Arab, iluminasi disebut
berasal dari kata ( - ) yang kemudian dibentuk dengan masdar Sinai
menjadi Isyraqiyyah ( ) , yang berarti terbit, bersinar, menyinari, menerangi. 16
Hikmah Al-Suhrawardi terkenal dengan nama hikmah isyraqiah serta dinisbatkan pada
isyraq, yang bermakna iluminasi (kasyf). Menurutnya, hikmah ini dikenal pula sebagai
hikmah masyriqiah (kebijaksanaan timur), sebagaimana yang disebut-sebut Ibn Sina,
yang dinisbatkan kepada para penduduk kawasan Timur, yaitu orang-orang Persia.
Adapun hikmah orang-orang Persia tersebut didasarkan pada iluminasi, yaitu
terbitnya cahaya rasional, kecemelangannya, dan kelimpahannya pada jiwa sewaktu
jiwa menjadi bebas. Hikmah orang-orang Persia, seperti yang dikemukakan Quthbuddin
al-Syirazi, memang didasarkan pada rasa dan iluminasi. Dan ini seperti halnya dengan
orang-orang Yunani kuno, kecuali Aristoteles dan para pengikutnya, yang hikmahnya
justru didasarkan pada pengkajian serta pembuktian, bukan selainnya. 17
Adapun Al-Suhrawardi mengemukakan bahwa hikmah isyraqnya ini di dasarkan
pada rasa, sebagaimana katanya: apa yang kukemukakan (dalam hikmah al-Isyraqnya)
ini tidak kuperoleh lewat pemikiran, tetapi kuperoleh lewat sumber lain. Dan aku pun
segera mencari argumentasinya. Jika argumentasinya itu benar-benar telah pasti,
sedikitpun aku tidak ragu terhadapnya sekalipun orang meragukannya. Pemikiran
isyraqiyat inilah menjadi ciri khas dalam pemikiran Al-Suhrawardi, dan sekaligus
mewarnai pemikiran corak filsafat secara umum. Oleh karenanya, menurut Seyyed
Hossein Nasr, filsafat Islam dalam makna sejatinya tidak berakhir dengan Ibnu Rusyd,
tapi benar-benar dimulai setelah wafatnya, sebagaumana ajaran-ajaran Al-Suhrawardi
mulai tersebar di kawasan Islam Timur. 18
2. Filsafat Isyraqiyat Al-Suhrawardi
Al-Suhrawardi dan doktrin-doktrinnya tak kelihatan selama satu generasi.
Pemikiran tentang ajaran iluminasi diperlihatkan kembali dalam paruh abad 7 H/13 M,
dalam bentuk komentar ulama oleh Muhammad al-Syahrazuri. Munculnya kembali ke
permukaan atas pemikiran-pemikiran Al-Suhrawardi sebab ia telah mengukuhkan
sesuatu yang baru. Pada saat yang sama dimensi intelektual primordial dalam Islam,
menjadi suatu aspek permanen pada wacana intelektual Islam tetap bertahan sampai hari
ini. Pengaruh pemikirannya dalam periode awal sangat ekstensif di Persia dan anak
benua India.19
Penggunaan kata al-Ishraq (timur) dalam filsafat Al-Suhrawardi mengandung
pengertian bahwa secara empiris cahaya pertama muncul dari matahari yang terbit dari
timur, sedangkan dalam dunia akal (nonempiris) kata al-ishraq dimaksudkan sebagai
15

Lorens Bagus (1996). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia. p. 313-315.


Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 714.
17
A. Mustofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 247.
18
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari judul asli Three
Muslim Sages : Avicenna-Suhrawardi-Ibn 'Arabi, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 103.
19
Seyyed Husein Nasr, Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis ter. Suharsono dan Djamaluddin
dari judul asli, Theology, Philosophy, and Spirituality (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. II, h. 72.
16

saat munculnya pengetahuan sejati (makrifat) atau munculnya cahaya akal yang
menembus jiwa, yang dirasakan ketika jiwa benar-benar terbebas dari pengaruh indrawi.
dengan demikian kata al-ishraq dipergunakan sebagai simbol al-kashf (pancaran batin)
dan al-mushahadah (penglihatan secara mistik). Dalam hal ini Al-Suhrawardi
menggabungkan filsafat yang bersifat rasional dengan tasawuf yang dilakukan melalui
latihan kejiwaan dan kontemplasi. Dengan kata lain, Al-Suhrawardi memadukan daya
rasio (filsafat) dan rasa (tasawuf).20
Berikut beberapa pokok pemikiran Al-Suhrawardi yang menjadi konsep dalam
filsafat iluminasi (isyraqiyat)-nya:
a. Metafisika dan Cahaya
Inti filsafat iluminasi (isyraqiyat) adalah sifat dan penyebaran cahaya.
Beberapa tokoh sufi menyebutkan Allah dengan cahaya, berdasarkan Q.S. Al Nur
ayat 35. Sedangkan Al-Suhrawardi menyebut Allah dengan Nur al-Anwar. Cahaya
merupakan esensi yang paling terang dan paling nyata, sehingga mustahi terdapat
sesutau yang lebih terang dan lebih jelas pada cahaya. Oleh karena itu, cahaya
pertama tidak memerlukan penyebab luar selain diri-Nya. Al-Suhrawardi mengikuti
argumen yang dikemukan oleh Ibn sina dalam menjelaskan wajib al-wujud. Konsep
terang dan gelap Al-Suhrawardi diadopsi dari konsep Tuhan dalam ajaran Zoroaster,
hal itu tidak berarti bahwa prinsip yang dipakainya adalah sama persis, sebab pada
kenyataannya terdapat perbedaaan yang menonjol antara penggunaan konsep terang
dan gelap dalam ajaran Zoroaster dan Al-Suhrawardi. 21
Nur al-Anwar merupakan sumber semua gerak. Akan tetapi gerak cahaya disini
bukan dalam arti perpindahan tempat. Menurut Al-Suhrawardi, gerakan itulah yang
memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala wujud yang ada. Dalam hal ini AlSuhrawardi menegaskan bahwa semua pergerakan adalah atas kehendakNya dan
pergerakan tersebut juga sebagai pangkal bagi terciptanya alam semesta. Proses
penyebaran cahaya yang dikemukakan oleh Al-Suhrawardi tidaklah sama dengan
teori emanasi neo-platonis dan filsuf peripatetik. Menurutnya, pancaran yang
dihasilkan oleh sumber pertama tidak hanya terbatas hanya sepuluh, duapuluh,
seribu, akan tetapi bisa mencapai jumlah yang banyak. 22 Cahaya yang dihasilkan
oleh cahaya yang berada di atasnya melalaui deret tangga vertikal, yang semakin jauh
semakin berkurang. Seperti pada pancaran sinar matahari, semakin jauh semakin
redup. Jadi pancaran cahaya yang dihasilkan melalui Isyraqi sangat tergantung pada
intensitas sinar yang dipancarkan dari sumbernya.
b. Kosmologi
Al-Suhrawardi mengembangkan prinsip emanasi menjadi teori illuminasi
(Isyraqi). Menurutnya, pancaran dari sumber pertama (Nur al-Anwar) akan berjalan
terus sepanjang sumbernya tetap eksis. Konsekuensinya, alam semesta akan selalu
ada selama Tuhan ada, dan prinsip ini akan menimbulkan paham adanya dualisme
keqadiman (alam dan Tuhan). Akan tetapi Al-Suhrawardi menegaskan bahwa antara
20

Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 128, Lihat juga; Haidar Baqir,
Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005), Cet. I, h. 131-132.
21
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 146-148.
22
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 148-150.

alam dan Tuhan adalah dua hal yang berbeda sama sekali. Dalam hal ini, ia
mengumpamakan hubungan antara matahari dan sinarnya, matahari sebagai sumber
cahaya jelas berbeda dengan sinar yang dihasilkannya. 23
Proses illuminasi akan tetap berlangsung terus-menerus. Dalam proses itu
menunjukkan adanya suatu garis vertical yang tak putus, yang sekaligus
menghubungan seluruh rangkaian besar emansi dengan prinsip pertamanya dalam
suatu kesatuan wujud yang ketat, yang kemudian memunculkan garing penghubung
horizontal. Pada garis horizontal ini muncul keragaman, esensi, spesies dan individu.
Garis vertical melambangkan tatanan batin, sedangkan garis horizontal
melambangkan tatanan lahirnya. Alur perkembangan konsep kosmologi AlSuhrawardi tebagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dalam kitab Hayakil Al Nur,
ia mengemukakan 3 jenis alam yaitu Alam Aql, Alam Jiwa dan Alam Materi. Tahap
kedua, pemikirannya dituangkan dalam Hikmah Al Isyraq, Ia menambahkan alam
yang keempat yaitu Alam Mitsal.24
c. Jiwa
Konsep jiwa Suhrawadi tidak jauh berbeda dengan pandangan para filosof
peripatetik. Ia lebih cenderung mengikuti konsep yang telah disempurnakan oleh
para filosof muslim. Seperi konsep jiwa Ibn Sina semakin lengkap dan sempurna. AlSuhrawardi menuangkan pemikirannya tentang jiwa dalam magnum opusnya
Hikmah Al Isyraq, misalnya tentang barzakh, mimpi, maad dan kenabian. Kedua
dalam kitab Hayakil al-Nur, misalnya argument-argument yang membuktikan
adanya jiwa, daya-daya jiwa, karakter-karakternya, sumber-sumber jiwa dan nasib
jiwa setelah terlepas dari jasad.
Menurut Al-Suhrawardi, jiwa manusia melimpah dari pemberinya dalam satu
waktu yang bersamaan dengan jasad yang menampungnya. Jika alam semesta
merupakan hasil rentetan illuminasi dari Allah dan emansi dari-Nya, jiwa juga akan
sampai pada kesempurnaan melalui perantaraan illuminasi. Dalam hal ini AlSuhrawardi menegaskan bahwa jiwa individual tak dapat dipandang sudah ada
sebelum keberadaan fisiknya.25
d. Teosofi
Dalam kaitannya dengan Suhrawadi adalah Hikmah al-Isyraq (oriental
theosophy). Teosofi merupakan bentuk final dari pemikiran falsafi Al-Suhrawardi.
Konsep ini serat dengan bahasa simbolik, seperti malaikat, barzakh, maghrib (barat)
dan masyriq (timur). Sejumlah terminology yang tampak familiar dalam teosofinya,
tidak boleh dipahami secara konvensional, akan tetapi harus dipahami secara
simbolik pula. Isyraqiyyah merupakan hasil perpaduan antara rasio dan intuisi. Istilah
Isyraqi sendiri sebagai symbol geografis, mengandung makna timur sebagai dunia
cahaya. Sementara masyriq yang berarti tempat terbit matahari yang merefleksikan
sumber cahaya.

23

Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis (Bandung: Mizan, 2001), Cet. I, h. 131-

24

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 161-162.
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, h. 162.

132.
25

Dalam filosofi Al-Suhrawardi, istilah cahaya menggantikan penamaan akal.


Dalam penjabarannya mengenai cahaya dan gelap, ia menyamakan keduanya dengan
ruh dan materi. Menurut Al-Suhrawardi, cahaya dan gelap memiliki 2 jenis. Cahaya
terbagi menjadi cahaya dalam realitas dirinya dan untuk dirinya sendiri, dan cahaya
dalam dirinya sendiri sendiri tetapi untuk sesuatu yang lain. Kegelapan juga ada 2
jenis: pertama, kegelapan murni, yang disebut dengan substansi kabur. Kedua,
kegelapan yang terdapat pada sesuatu yang lain. Disamping itu, Al-Suhrawardi
memperkenalkan istilah barzakh (pembatas) merupakan symbol perantara dan
penghubung antara yang nyata dan yang ghaib.26
D. Kesimpulan Filsafat Isyraqiyat Al-Suhrawardi
Secara singkat dari uraian di atas, disimpulkan bahwa prinsip filsafat Isyraqiyyah
adalah mendapat kebenaran lewat pengalaman intuitif, kemudian mengelaborasi dan
memverifikasinya secara logis rasional. Dengan kata lain, prinsif dasar isyraqiyyah adalah
mengetahui sama dengan memperoleh suatu pengalaman tentangnya, yang berarti intuisi
langsung atas tabiat-tabiat apa yang diketahui. Lalu dinalisis secara diskursif
demonstrasional setelah diraih secara total, intuitif, dan langsung.
Adapun, inti dari filsafat Ishraqiyat (iluminasi) adalah berangkat dari konsep cahaya,
yang disebut Nur Al-Anwar oleh Al-Suhrawardi. Nur Al-Anwar dalam aliran filsafat ini
merupakan sumber semua gerak yang memiliki peran sentral bagi terbentuknya segala
wujud yang ada. Selanjutnya, Al-Suhrawardi mengembangkannya dengan memakai
konsep emanasi. Menurut Al-Suhrawardi, emanasi tidak terbatas pada akal aktual (akal
kesepuluh), tetapi terus beremanasi pada akal yang lebih banyak dan tidak bisa
terhitung, selama cahaya dari cahaya-cahaya (Nur al-Anwar) terus menerus memancarkan
cahaya murni kepada segala sesuatu yang ada dibawahnya.
Dengan demikian, dalam isyraqiyyah wujud mempunyai hierarki-hierarki, dari yang
paling atas sampai yang terbawa. Hanya saja kalau dalam filsafat emanasi setiap tingkat
diidentikkan dengan intelek, maka dalam filsafat isyraqiyyah tingkatan-tingkatan tersebut
diidentikkan dengan nur (cahaya). Konsep filsafat Ishraq yang digagasnya memberikan
kesimpulan akhir bahwa semua makhluk merupakan bagian dari cahaya Tuhan yang
melimpah yang menembus semua celah segala yang ada. Sehingga menimbulkan persepsi
bahwa Tuhan dengan segala makhluk itu satu (wihdatul wujud).
Nampak bahwa gagasan-gagasan filsafat Al-Suhrawardi dipengaruhi oleh beberapa
aliran pemikiran. Di antara aliran-aliran tersebut ialah pertama; tasawuf, khususnya
tasawuf Al-Ghazali dan tasawuf Al-Hallaj, kedua; peripatetisme, khususnya pemikiran ibn
Sina, ketiga; Neoplatonisme dan Phytagoreanisme, yaitu paham filsafat Yunani yang lebih
bersifat mistis, keempat; Hermenisme, yakni pemikiran-pemikiran yang biasa disandarkan
kepada naskah-naskah Corpus Hermeticus yang dikembangkan oleh Hermes; kelima;
kepercayaan Zoroasterian Persia, karena Zoroasterianisme mengembangkan suatu sistem
pemikiran yang berbasis pertentangan antara cahaya dan kegelapan, sementara filsafat
wujud Al-Suhrawardi juga berbasis kepada hal yang sama, atau pencerahan
(isyraqiyah/iluminasi).
26

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 148-149.

DAFTAR PUSTAKA

A. Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.


Baqir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam, Cet. I, Bandung: Mizan, 2005.
Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, Cet. I, Bandung:
Mizan, 2001.
Haidar Baqir, Buku Saku Filsafat Islam, Cet. I, Bandung: Mizan, 2005.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 1996.
Mustofa, A. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia, 1997.
Muthahhari, Murtadha Filsafat Hikmah, Cet. I, Bandung: Mizan, 2002.
Nasr, Seyyed Hossein. Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam terj. Ach. Maimun S dari
judul asli Three Muslim Sages : Avicenna-Al-Suhrawardi-Ibn 'Arabi, Yogyakarta: IRCiSoD,
2006.
Nasr, Seyyed Husein. Intelektual Islam; Teologi, Filsafat dan Gnosis ter. Suharsono dan
Djamaluddin dari judul asli, Theology, Philosophy, and Spirituality, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.
Supriyadi, Dedi. Pengantar Filsafat Islam, Cet. 1, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
Warson, Ahmad. Kamus Al-Munawwir, Surabaya: Pustaka Progresif, 1997.

10

You might also like