You are on page 1of 18

PEMIKIRAN HADIS

MAHMUD ABU RAYYAH

MAKALAH
Diajukan Untuk Memeneuhi Mata Kuliah
Tafsir dan Pemikiran Hadis Kontemporer

DOSEN PEMBIMBING;
DR. FUAD THOHARI, M.A

DISUSUN OLEH;
HASRUL
(NIM: 21150340000010)

PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2016 M/1437 H

A. Pendahuluan
Wacana pemikiran hadis sedikit berbeda dengan al-Quran, Hadis mendapatkan
proporsi lebih besar dalam diskusi keotentikannya dibandingkan dengan al-Quran. Hadits
seringkali dipersoalkan, bahkan ada yang menolaknya sekalipun telah sekian lama
melengkapi sumber ajaran agama Islam (al-Quran). Sebagian masih beranggapan bahwa
hadits sekiranya masih perlu diuji keabsahan dan validitasnya. 1 Diskusi ini menguak
kembali di permukaan di kalangan para akademisi pada beberapa abad terakhir ini.
Diantaranya, muncul di beberapa wilayah India pada abad ke-18 M, kemudian
berkembang pesat di Timur Tengah khsususnya di Mesir pada abad ke-19 M.2
Berdasarkan perjalanan sejarah hadis, penolakan terhadap hadis-hadis Nabi telah
muncul pada masa Sahabat, kemudian berkembang pada abad ke-2 H/7 M, dan akhirnya
lenyap dari peredaran pada akhir abad ke-3 H/8 M. Pada masa-masa tersebut dikenal
sebagai periode awal penolakan Hadis-hadis Nabi yang dikenal dengan Ingkar Sunnah
klasik. Imam Syafii telah memainkan perannya dalam menundukkan kelompok
pengingkar Sunnah klasik. Setelah melalui perdebatan yang panjang, rasional dan
ilmiyah, para pengingkar Sunnah klasik akhirnya tunduk dan menyatakan menerima
Hadis. Karenanya, Imam al-Syafii kemudian diberikan julukan sebagai Nashir al-Sunnah
(pembela Sunnah).3
Diakui atau tidak, pesatnya perkembangan wacana keislaman khususnya dalam
bidang hadis, tidak terlepas dari maraknya gagasan-gagasan para orientalis. Ketika
hampir seluruh bagian dunia Islam terjerat dalam cengkraman kolonialisme bangsa
Eropa, ide dan pemikiran mereka membuka mata dan menggerakkan para cendikiawan
muslim untuk melakukan pembelaan atas fakta sebenarnya yang sering kali disamarkan
oleh para orientalis. Meskipun pada akhirnya tidak dapat dipungkiri pula banyak yang
ikut terjebak dalam keraguan yang mereka tawarkan. 4 Ini merupakan cikal bakal lahirnya
penolakan terhadap hadis di masa sekarang yang biasa disebut ingkar sunnah modern.
Menurut Ali Mustafa Yaqub, Ingkar Sunnah modern muncul dengan bentuk dan
penampilan yang berbeda dari Ingkar Sunnah klasik. Ingkar Sunnah klasik muncul di
bashrah, Irak maka Ingkar Sunnah modern muncul di Kairo, Mesir. Ingkar Sunnah klasik
bersifat perorangan, adapaun Ingkar Sunnah modern banyak yang bersifat kelompok.
Salah satu tokoh yang dianggap pemegang tongkat estafet Ingkar Sunnah di Mesir ialah
Mahmud Abu Rayyah lewat bukunya, Adhwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyah (sorotan
terhadap Sunnah Muhammadiyah).5 Melalui buku tersebut, Abu Rayyah menuliskan
beragam pemikirannya dalam memandang Hadis-hadis Nabawi yang kebanyakan
diarahkan untuk menolak otentisitas dan kedudukannya sebagai sumber hukum Islam.
Studi inilah yang akan menjadi bahasan utama dalam karya ilmiah ini.
1

Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar
Sunanh (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 131-132
2
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern terj. Jaziar R dan Entin S.M dari
judul asli Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought (Bandung: MIzan, 2000), Cet. I, h. 48
3
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 43-44
4
Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli Jawabi fi
Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 63-64; Lihat juga, Isa Ismail
dan Yusof, Anti Hadis jarum Yahudi (Malaysia: Thinkers Library, 1996), Cet. I, h. 5-6
5
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, h. 46-50

B. Biografi Mahmud Abu Rayyah


1. Latar Belakang Pendidikan Mahmud Abu Rayyah
Mahmud Abu Rayyah dilahirkan di Kafr al-Mandara, di sebuah kota yang
bernama Aja, provinsi Dakahlia di Mesir pada tanggal 15 desember tahun 1889 M,
bertepatan 21 rabi al-tsani 1307 H.6 Sebagian mengatakan bahwa Abu Rayyah
dilahirkan pada tahun 1887 M,7 dan dikatakan pula tahun 1889 M. Namun, tahun
kelahirannya yang lebih masyhur adalah tahun 1889 M dan meninggal tahun 1970
dalam usia 81 tahun.8 Ibunya meninggal ketika ia masih dalam buain, kemudian ia
tumbuh dibawah pengasuhan dan pendidikan ayahnya dan saudara-saudaranya.
Perjalanan pendidikannya dimulai di tanah kelahiran sendiri dengan mempelajari
ilmu-ilmu agama dan juga ilmu lainnya sampai akhirnya memperoleh gelar sarjana
pada tahun 1940 M di Mansoura University.9
Pada tahun 1957 M, Abu Rayyah melanjutkan pencarian ilmunya di kota Giza,
sebuah kota tempat berdirinya sphinx dan piramida-piramida di Mesir. Tercatat bahwa
Abu Rayyah pernah belajar di Madrasah Al-Dawah wa al-Irsyad, lembaga dakwah
yang didirikan oleh Rasyid Ridha pada tahun 1912 di Kairo. Ia juga pernah mengikuti
berbagai kursus di sebuah sekolah tinggi teologi di dalam negeri. Kekaguman yang
luar biasa terhadap Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha telah ia simpan sejak masa
mudanya sehubungan dengan gagasan-gagasan Abduh dan Ridha tentang penolakan
terhadap taqlid khususnya taqlid terhadap madzhab. Abu Rayyah tertarik untuk
melakukan penelitian tanpa perlu secara otomatis tunduk kepada teori-teori para ulama
atau sarjana yang lebih senior. Merasa tidak puas atas sikap pasif (jumud) para ulama
atau sarjana masa itu, serta tidak adanya imajinasi atau inspirasi dalam diri mereka,
menjadi tujuan utama Abu Rayyah untuk menerobos rintangan taqlid ini yang dalam
pandangannya merupakan penyebab terjadinya kemunduran dalam Islam.10
Setelah mengabdikan masa mudanya untuk studi kesusastraan Arab, Abu
Rayyah menemukan beberapa hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
yang penafsirannya membuat ia heran.11 Beliau memiliki kesan bahwa Nabi tidak
mungkin pernah mengucapkan kata-kata remeh dan kasar seperti itu, tidak memiliki
6

Murthadho al-Radwa, Bersama Para Pembaharu di Mesir (T,t: T.p., 1232 H), Cet. I, dalam Wikipedia:
https://ar.wikipedia.org/ /w/index.php?title=__
7
Musidul Millah, Mahmud Abu Rayyah (1887-1964) Penggerak Inkar Sunnah? Dalam Yang membela
dan Yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press, 2012), h. 100.
8
Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku Adwa ala al-Sunnah alMuhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, h. 273.
9
Artikel Min Alami al-Fikri al-Hadis; Abu Rayyah, dalam http://www.adawaanews.net
10
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), (Bandung: Mizan, 1999), h. 59.
11
Salah satu redaksi Hadis tersebut ialah;














) ( .


Artinya: dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika panggilan
shalat (adzan) dikumandangkan maka setan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar
suara adzan. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan
setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk
kepada hati seseorang seraya berkata, 'Ingatlah ini dan itu'. Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga
seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya. (H.R. Imam AlBukhari)

retorika sebagaimana yang sering dijumpainya dalam berbagai tulisan.12 Berangkat


dari anggapan tersebut, Abu Rayyah kemudian menuangkan pandanganpandangannyanya dalam Ilmu Hadis, walaupun demikian ia banyak menyandarkan
argumen-argumennya dengan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho.
2. Buku dan Karya-karya Ilmiah Mahmud Abu Rayyah
Mahmud Abu Rayyah merupakan salah seorang penulis modern berkebangsaan
Mesir yang banyak mengemukakan pandangannya mengenai ilmu Hadis. Diantara
buku dan karya-karya ilmiah Abu Rayyah ialah:13
a. Hadis Muhammad (artikel)
b. Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difaa al-Hadis (
)
c. Syekh al-Madirah; Abu Hurairah; ( :)
d. Al-Sayyid al-Badawy ()
e. Hayat al-Qurra ()
f. Rasail al-Rafiiy ()
g. Shoihah Jamaluddin al-Afghani ()
h. Jamaluddin al-Afghani; Tarihihi wa Risalatihi
i. Muhammad wa al-Masih Akhawani; Din Allah Wahid ala Alsanah al-Rusul (

) ;
j. Qishshah al-Hadist al-Muhammady ()
k. Wa ma Lakihi min Ashhabi al-Rasul ()
Pada 1945, ia pernah menulis sebuah artikel yang berjudul Hadis Muhammad
yang memuat pemikirannya tentang hadis yang menyalahi kepercayaan para ulama AlAzhar. Maka, terjadilah polemik dengan mereka, di antaranya dengan Abu Syahbah
yang menyarankan agar ia meralat tulisannya. Akan tetapi, dengan keteguhan
pendiriannya, Mahmud Abu Rayyah tidak mengindahkannya, bahkan menolaknya
dengan artikel kedua yang tetap mempertahankan pendiriannya.14
Abu Rayyah terkenal karena dua karya kontroversialnya, yaitu Adwa Ala alSunnah al-Muhammadiyyah Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difaa alHadis dan Syekh al-Madirah; Abu Hurairah yang mendapatkan banyak tanggapan dari
para cendekiawan muslim. Pemikirannya yang terpengaruh oleh orientalis terlihat jelas
dalam buku-bukunya tersebut. Di antara orientalis yang menjadi rujukan Abu Rayyah
adalah Ignaz Goldziher, orientalis yang pertama kali melakukan kajian hadis dengan
karya monumentalnya, Muhammadanische Studien.15 Buku Adwa ala al-Sunnah alMuhammadiyyah inilah yang akan menjadi bahasan utama dalam tulisan ini untuk
mengungkapkan pemikiran Abu Rayyah dalam Hadis.
12

G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 59-60; Lihat juga, Musidul Millah, Mahmud Abu Rayyah (1887-1964) Penggerak Inkar
Sunnah? Dalam yang membela dan yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press, t.t), h. 101.
13
Wikipedia: https://ar.wikipedia.org/ /w/index.php?title=__
14
Zaedmannan, Pemikiran Hadis Kontemporer Mahmud Abu Rayyah, Makalah, Dipostoing tanggal 24
Oktober 2013.
15
Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah, Skripsi; Fakultas Ushuluddin Studi
Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 15.

C. Pemikiran Hadis Abu Rayyah dalam Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah


Pemikiran Abu Rayyah yang banyak mengkritisi hadis sebagaimana yang ia
kemukakan dalam bukunya Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah mengantarkannya
dalam golongan Inkar Sunnah, yaitu golongan yang menginkari Hadis Nabi Saw sebagai
hujjah dan sumber kedua ajaran Islam. Ia termasuk golongan Inkar Sunnah Modern dari
Mesir yang disejajarkan Tawfiq Shidqiy (w. 1920 M), Ahmad Amin (w. 1954 M),
Ahmad Subhi Mansur dan Musthafa Mahmud. Jika mengikuti pembagian Inkar Sunnah
oleh al-Syafii,16 Abu Rayyah masuk dalam kelompok yang menginkari sunnah secara
keseluruhan.17
1. Kitab Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah karya Abu Rayyah
Diantara karyanya yang fenomenal, yaitu Adwa ala al-Sunnah alMuhammadiyyah (Sorotan tentang Sunnah Nabi Mukammad) yang terbit tahun 1958
M, sekitar 395 halaman. Latar belakang penulisan kitab ini dilatar belakangi oleh
semangat modernisasi Abu Rayyah untuk mengubah keadaan umat Islam pada waktu
itu, yang terlelap oleh sikap jumud. Hal inilah yang membuatnya merasa perlu adanya
penelitian terhadap hadis tanpa perlu secara otomatis tunduk atau patuh mengikuti
teori-teori para ulama sebelumnya (mutaqaddimin), dengan menerobos taqlid yang
menurutnya hal inilah yang menyebabkan kemunduran dalam Islam.18
Kitab ini merupakan hasil kajian dan penelitiannya mengenai sejarah Sunnah,
keraguan-raguannya terhadap keshahihannya dan pandangannya yang mengecilkan
arti penting Sunnah di mata umat Islam. 19 Abu Rayyah memang menjadikan sejarah
sebagai pendekatan dan pisau analisis dalam menjelaskan jati diri hadis. Namun pada
akhirnya, buku ini justru menyulut kemarahan para cendekiawan ortodoks karena
pemikiran Abu Rayyah yang tertuang di dalam bukunya dinilai bersebrangan,
terutama pembahasan mengenai Abu Hurairah. Sehingga mereka tergugah untuk
memberikan tanggapan dan sanggahan atas tuduhan-tuduhan di dalamnya.20
Abu Rayyah dalam bukunya tersebut menyajikan satu bab khusus untuk yang
memuat kritikannya terhadap Abu Hurairah yang kemudian menjadi satu buku
tersendiri yang berjudul Syekh al-Madirah; Abu Hurairah ( :) .21
Selain itu, buku ini berisi dari beberapa bab diantaranya; membahas tentang sebagian
16
Ingkar Sunnah menurut Imam Al-Syafii terbagi tiga kelompok; (1) Golongan yang menolak Sunnah
secara keseluruhan, (2) Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnnah itu sesuai dengan petunjuk alQuran, (3) Golongan yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad mereka hanya menerima Sunanh yang berstatu
mutawatir. Imam Al-Syafii, Ikhtilaf al-Hadis (Kairo: Dar al-Maarif, 1393 H), Juz 7, h. 7-12
17
Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar
Sunanh (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132; Lihat juga, Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif
Mahmud Abu Rayyah; Telaah Atas Kitab Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, Skripsi; Fakultas
Ushuluddin Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 20; Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu
Rayyah dalam Buku Adwa Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, UIN
Sunan Kalijaga, Vol. 9, No. 2, h. 274.
18
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960), (Bandung : Mizan, 1999), h. 59.
19
Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli Jawabi fi
Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72
20
Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela Dan Yang Menggugat, h. 102.
21
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), hlm. 91

kitab yang diduga atau menurut Abu Rayyah tidak menyampaikan perkataan dan
perbuatan Nabi Saw, namun merupakan suatu rekayasa orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi dan generasi-generasi sesudahnya untuk menciptakan hadis. Lebih
jauhnya menurutnya, Hadis Ahad22 tidak boleh diberlakukan pada komunitas muslim
sepanjang zaman.23 Materi-materi dua buku karya Abu Rayyah tersebut tidak keluar
dari sumber-sumber berikut:24
a. Pendapat-pendapat imam Mutazilah yang dinukil dari mereka;
b. Pendapat-pendapar radikal dari syiah yang secara terang-terangan dinyatakan
dalam karangan-karangan mereka;
c. Pendapat-pendapat para orientalis yang termuat dalam buku-buku mereka,
khususnya Dairah al-Maarif (ensiklopedia) dan Dirasah al-Islamiyyah karya
Ignaz Goldziher; dan
d. Cerita-cerita yang disebutkan dalam beberapa buku sastra yang penulisnya
diragukan kejujuran dan pengetahuannya akan fakta-fakta
Kitab Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah menurut Shalahuddin Maqbul
Ahmad sangat digemari musuh-musuh Islam, hingga salah satu kedutaan asing di
Kairo membeli sebagian besar naskahnya untuk dikirim ke perpustakaan-perpustakaan
barat. Hal itu supaya buku tersebut sampai kepada orang-orang yang dendam kepada
Islam, Rasul dan para sahabatnya, dan dijadikan sandaran untuk mengeluarkan
kebohongan dan kebatilan.25
2. Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah
Secara umum sebagaimana yang termaktub dalam bukunya, Adwa ala alSunnah al-Muhammadiyyah au Difaa al-Hadis (
), berikut pandangan-pandangan Abu Rayyah terhadap Hadis Nabawi.
a. Al-Sunnah dan Posisinya dalam Islam
Abu Rayyah dalam mendefinisikan al-sunnah tidak jauh beda dengan para
Muhaddisin sebelumnya. Dia mengartikan Sunnah secara etimologi dengan althariqah ( )dan al-sirah ( )yang berarti jalan.26 Adapun secara terminologi
juga mengikuti definisi sebagaimana ulama pada umumnya, menurutnya: 27

.
Artinya: Segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, dan ketetapannya.
22
Hadis Ahad juga popular dengan sebutan khabar wahid, ialah hadis yang tidak sampai ke tingkat
mutawatir.
23
Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku Adwa ala al-Sunnah alMuhammadiyyah dalam Hunafa. h. 278.
24
Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli Jawabi fi
Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72, Lihat juga, Zufran
Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar Sunanh (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132-133.
25
Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah, h. 73; Lihat juga, Abdul Majid Khon,
Pemikiran Modern Dalam Sunah, (Jakarta : Kencana, 2011), h. 89-90.
26
Mahmud Abu Rayyah, Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dr al-Marif, tt.), h. 11
27
Mahmud Abu Rayyah, Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, h. 12

Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua, dibagi oleh Abu Rayyah
menjadi dua, al-Sunnah al-Amaliyyah dan al-Sunnah al-Qauliyyah. Keduanya
memiliki posisi tersendiri, al-Sunnah al-Amaliyyah memiliki otoritas lebih
dibandingkan dengan al-Sunnah al-Qauliyyah, karena yang pertama jelas dilakukan
secara langsung oleh Rasulullah Saw menurut Abu Rayyah.28 Pandangan Abu
Rayyah tidak ada pertentangan dengan ulama pada umumnya mengenai kedudukan
Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Quran. Namun, pemahamannya
yang menempatkan al-sunnah alamaliyah memiliki otoritas lebih dibandingkan
dengan al-sunnah al-qawliyah memiliki konsekuensi dalam pemahaman antara
Sunnah dan Hadis.
Kata Sunnah yang diartikan dengan aqwal (perkataan), afal (perbuatan), dan
taqrir (pengakuan) tidak pernah dikenal oleh seorang pun di masa Rasulullah Saw
atau di abad pertama hijriah. Pengenalan dan penggunaan arti aqwal, afal, dan
taqrir untuk kata Sunnah, dimulai sejak masa pembukuan Hadis. Sehubungan
dengan adanya penggunaan arti secara bahasa bagi kata Sunnah, disamping adanya
ayat al-Quran dan sebagian Hadis yang sesuai dengan arti bahasa itu, maka orang
yang mengingkari Hadis qauliyah yang diriwayatkan oleh seorang perawi,
membuatnya sebagai alasan, bahwa Sunnah yang patut diikuti adalah Sunnah
filiyah saja, bukan Sunnah Qauliyah. Karena penggunaan kata Sunnah atas
perkataan-perkataan Nabi tidak pernah dikenal di masa beliau dan para Sahabatnya,
kata qauliyah ini termasuk baru. Oleh karena itu, mereka tidak mau menerima
aqwalun Nabi (perkataan Nabi). Mereka hanya mau menerima afal (perbuatan)
Nabi. Mereka berangapan bahwa Rasulullah Saw mengajak berpegang pada
Sunnahnya, sedangkan yang dimaksud dengan Sunnah di masa hidup beliau adalah
perbuatannya, bukan perkataannya.29
Sehubungan dengan pandangan Abu Rayyah di atas, maka memahami alSunnah al-Amaliyyah yang dipandang memiliki otoritas lebih daripada al-Sunnah
al-Qauliyyah akan nampak bias. Sebab cara pandang demikian dapat melemahkan
al-Sunnah al-Qauliyyah dan bisa saja berujung pada penolakan kehujjahannya
dalam penetapan hukum. Cara pandang demikian juga akan melahirkan persepsi
bahwa Sunnah telah ada pada zaman Nabi, adapun Hadis (Qauliyah) baru muncul
belakangan karena belum dikenal dalam konsep Sunnah pada zaman Nabi. Ini tentu
sangat berbahaya karena konsep inilah yang digunakan orientalis dalam memaknai
perkembangan Sunnah atau Hadis dalam Islam.
Menurut Ignaz Goldziher, Sunnah lahir sebagai aktivitas umat Islam pada
periode kemapanannya. Untuk itu, Hadis (Sunnah) telah banyak yang dipalsukan
dan diragukan keotentikannya.30 Begitu pun Joseph Schacht menganggap Sunnah
sebagai tradisi yang hidup dalam mazhab-mazhab fiqih klasik, yang berarti

Mahmud Abu Rayyah, Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dr al-Marif, tt.), h. 12-15.
Abbas Mutawalli Hammadah, Sunnah Nabi; Kedudukannya menurut al-Quran terj. A. Abdussalam
dari judul asli Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-Tasyri (Bandung: Gema Risalah Press, 1997),
Cet. II, h. 28
30
Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran Ingkar
Sunanh (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I, h. 132;
28
29

kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum. 31 Para ulama pun
memberikan sanggahan atas pendapat para orientalis tersebut, di antaranya M.M.
Azami dalam bukunya On Schachts Origins of Muhammad Jurisprudence yang
secara khusus ditujukan untuk Josep Schacht. Menurut Azami, kata Sunnah telah
digunakan dalam puisi pra-Islam, demikian pula dalam al-Quran dengan arti yang
sama, yaitu jalan, aturan, atau prilaku hidup. Kemudian setelah ilmu Fiqih
terbentuk, kata Sunnah dalam Islam khusus digunakan dalam arti praktek Agama
yang sudah mapan yang sudah tidak menggunakan arti kewajiban. 32 Sehingga,
Islam menyempitkan pengertian Sunnah dengan mengkhususkannya pada jalan dan
prilaku Rasulullah Saw yang berhubungan dengan masalah Agama dan akhlak. Di
sisi lain, ulama Hadis menekankan hubungan organik antara Hadis dan Sunnah,
yaitu satu dan sebangun.33 Bukan terpisah, apalagi hanya rekontruksi para ulama
setelah Nabi sebagaimana pandangan para orientalis.
Konsep Sunnah Abu Rayyah di atas menunjukkan bahwa ia dalam praktiknya
menerima legalitas Sunnah atau Hadis sebagai sumber hukum. Atau paling tidak
menerima beberapa Hadis Nabawi dengan kedudukannya sebagai dalil. Hanya saja,
pandangan beliau yang nampak dalam pemikiran-pemikirannya tentang Hadis yang
akan diuraikan di bawah menunjukkan indikasi kuat, meragukan bahwa menolak
keberadaan Sunnah atau Hadis dalam Islam. Oleh karenanya, sebagaimana telah
dikemukakan di atas bahwa Abu Rayyah ditempatkan sebagai pengingkar Sunnah
secara keseluruhan. Sebagai contoh bahwa Abu Rayyah berpendapat bahwa alQuran sudah membahas seluruh masalah yang dihadapi manusia. Karenanya, Islam
tidak perlu lagi kepada Hadis.34 Pandangan ini memberikan indikasi kuat bahwa
Abu Rayyah dapat diklaim sebagai pengingkar Sunnah secara keseluruhan.
b. Tadwin al-Hadis
Abu Rayyah dalam Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah menegaskan
bahwa Sunnah atau Hadis belum ada yang ditulis pada zaman Nabi. Berbeda
dengan al-Quran yang sudah dan telah selesai ditulis pada zaman Nabi. 35 Abu
Rayyah memperkuat gagasannya dengan menyebutkan beberapa Hadis yang
melarang penulisan Hadis, hadis tersebut di antaranya:



-
-


-

-

) ( .

31

M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins of Muhammad
Jurisprudence Joseph Schacht terj. Asrofi Shodri dari judul asli On Schachts Origins of Muhammad
Jurisprudence (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. I, h. 35
32
M.M. Azami, On Schachts Origins of Muhammad Jurisprudence, h. 40-44
33
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern terj. Jaziar R dan Entin S.M dari
judul asli Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought (Bandung: MIzan, 2000), Cet. I, h. 130
34
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 55.
35
Mahmud Abu Rayyah, Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dr al-Marif, tt.), h. 19

Artinya: Dari Abu Said Al Khudri RA, bahwasanya Rasulullah SAW telah
bersabda, "Janganlah kalian menulis sesuatu dariku! Barang siapa menulis dariku
selain Al Qur'an, maka sebaiknya ia menghapusnya. Sampaikanlah apa-apa yang
telah kalian peroleh dariku dan itu tidak berdosa. Barang siapa berdusta atas
namaku dengan sengaja (Hammam berkata, 'Menurut dugaan saya, beliau
bersabda, dengan sengaja) maka hendaklah ia mendapatkan tempat duduknya di
dalam neraka.36 (H.R. Muslim)
Abu Rayyah pun berpendapat bahwa pencatatan tekstual literatur hadis tidak
valid, sulit dipercaya sebab pencatatan hadis dilakukan pasca Nabi dan
pembukuannya pasca sahabat. Hingga dia juga meragukan kitab al-Shadiqah karya
Abdullah bin Amr, dengan ungkapan bahwa karya tersebut sangat tidak berguna.
Kemudian menuduh Ibnu Shihab al-Zuhri melakukan penulisan hadis karena unsur
paksaan dari Bani Umayyah dengan mengutip ungkapan Ibnu Abd al-Bar bahwa
al-Zuhri menolak untuk mencatatkannya hingga para penguasa mendesaknya.37
Dalam Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, tampaknya Abu Rayyah
hanya menyodorkan Hadis-hadis yang melarang penulisan Hadis saja. Ia tidak
menyebut Hadis-hadis yang justru menyuruh para Sahabat untuk menulis Hadis.
Bahkan jumlah Hadisnya lebih banyak dibandingkan dengan yang melarangnya. Di
antara Hadis yang memerintahkan untuk menulis Hadis ialah:



:

:




:

:



) ( .

Artinya: Dari Rafi ibn Khudaij, bahwa ia berkata, kami bertanya kepada
Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah, kami mendengar banyak hal darimu. Apakah
kami boleh menuliskannya? Beliau menjawab: tulislah dan tak mengapa. 38
(H.R. A-Thabrani)

) ( . -

Artinya: Tuliskanlah untuk Abu Syah.39 (H.R. Al-Bukhari)


Muhammad Ajaj al-Khatib mengkompromikan dua jenis Hadis di atas yang
sama-sama Shahih dengan metode nasikh-mansukh. Larangan penulisan Hadis
terjadi pada awal Islam karena khawatir terjadi percampuran antara al-Quran dan
Hadis. Namun tatkala kaum Muslimin telah mengenal al-Quran dengan baik serta
bisa membedaknnya dengan Hadis, maka hilanglah kekhawatiran itu. Sehingga,
hukum larangan itu terhapus, mejadi dibolehkkan.40

36
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya, t.t), Juz 4, h. 2298, Hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam
Ahmad, Al-Darimi, Al-Nasai, Al-Tirmidzi, dan lain-lain
37
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 59-60; Lihat juga, Mahmud Abu Rayyah, Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo:
Dr al-Marif, tt.), h. 22
38
Al-thabrani, Al-Mujam al-Kabir (T.t.p.: T.p, t.t), Juz 4, h. 373
39
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Darr Ibn Katsir, 1407 H/1987 M), Juz 2, h. 857
40
Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta: Gaya
Media Pratama, 2007), Cet. IV, h. 23.

Sebagian besar ulama masa kini menolak pendapat Abu Rayyah. Mereka
beranggapan bahwa periwayatan secara lisan, berdasarkan daya ingat orang Arab
yang luar biasa dan pencatatan sebagainya selama berabad-abad lamanya, yang
pada akhirnya terwujudlah al-Bukhari dan Muslim, merupakan metode yang hampir
tidak ada cacatnya untuk melestarikan Sunnah. M. Syuhudi Ismail dalam bukunya
menyebutkan, siapa yang menyatakan bahwa tiada satupun Hadis Nabi yang dicatat
pada zaman Nabi, merupakan pernyataan dari seorang yang sangat awam
pengetahuannya di bidang Hadis dan sejarah penulisan Hadis. Pada zaman Nabi,
cukup banyak Hadis Nabi yang secara resmi ditulis. Dikatakan resmi karena Nabi
sendiri yang menyuruh Sahabat tertentu untuk menulisnya. Sebagian dari Hadis
yang secara resmi dicatat pada zaman Nabi itu adalah surat-surat Nabi ke berbagai
daerah, perjanjian Hudaibiyyah, dan piagam Madinah. 41
Adapun, tuduhan terhadap al-Zuhri sama sekali tidak menggugurkan
otentisitas hadis dan tidak menunjukkan adanya indikasi dorongan untuk
memalsukan hadis, tetapi justru menunjukkan bahwa mata rantai pemeliharaan dan
pelestarian hadis berjalan berkesinambungan tanpa terputus, sehingga tidak
mengizinkan adanya ruang keraguan lagi.42
c. Kritik Konsep Adalah al-Shahabah
Abu Rayyah memandang para sahabat itu tidak lebih dari sekedar manusia
biasa yang tidak luput dari kesalahan. Karenanya mereka juga perlu diteliti
identitasnya, apakah mereka memenuhi persyaratan sebagai rawi yang memiliki
kredibilitas (adalah wa al-Dhabt) atau tidak. Ia pun menuturkan, para ulama
Hadis telah menetapkan keharusan dilakukannya penelitian terhadap identitas para
periwayat Hadis, tetapi keharusan itu berhenti ketika mereka berhadapan dengan
periwayat Hadis yang berasal dari generasi sahabat. Mereka tidak mau menelitinya
dengan alasan bahwa para sahabat itu seluruhnya adil, dan karenanya tidak perlu
diteliti atau dikritik. Aneh benar prinsip mereka ini, padahal para sahabat sendiri
saling kritik-mengkritik di kalangan mereka.43
Abu Rayyah juga memberikan keterangan mengenai hadis man kadzaba 44
bahwa kata mutaammidan ( ) dalam hadis tersebut tidak terdapat dalam
riwayat versi sahabat-sahabat besar, yang di antaranya adalah tiga dari empat
Khalifah Rasyidin. Riwayat Hadis tersebut yang memakai kata ( ) adalah
sahabat-sahabat seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah dan lainnya. Abu Rayyah
mengatakan bahwa kata itu dapat dimasukkan dengan cara idraj 45 (yang membuat
41

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta: Gema Insani
Pers, 1995), Cet. I, h. 31-32
42
Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela dan yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press,
2012), h. 104-106
43
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa an al-Hadis (Mesir: Darr alMaarif, t.t), h. 42-43
44
Salah satu Hadis tersebut sebagaimana yang diriwayatkan Abdullah bin Umar ialah:

.




:
45
Idraj adalah memasukkan kata-kata yang sebenarnya bukan hadis ke dalam susunan hadis. Idraj bisa
terjadi pada matan, bisa juga terjadi pada sanad.

10

hadis menjadi lemah). Menurutnya, idraj dilakukan para ulama dengan alasan untuk
membebaskan para sahabat dari tuduhan, karena dengan tak sengaja telah merekareka Sunnah Nabi, atau mereka yang telah mereka-reka hal-hal tentang Nabi
dengan alasan memajukan jalan Islam. Semua ini ditujukan Abu Rayyah untuk
menyatakan bahwa al-kidzb telah terjadi dikalangan para sahabat.46
Argumen lain yang coba dikemukakan oleh kaum modernis, termaksuk Abu
Rayyah untuk membuat tidak berlakunya tadil kolekstif para Sahabat adalah
sehubungan dengan iktsar al-Hadis atau batas kewajaran dalam meriwayatkan
Hadis. Alasan ini menaroh curiga terhadap adanya kepalsuan yang tidak disengaja,
ketika seorang Sahabat meriwayatkan sedemikian banyak Hadis. Sehingga,
kekeliruan-kekeliruan nyaris tak dapat dihindarkan.47
Menanggapi beberapa pandangan Abu Rayyah yang sangat tajam terhadap
para Sahabat yang merusak integritas moral mereka, para ulama memandangnya
sebagai fitnah yang keji. Bagaimana mungkin orang-orang yang sangat
memperhatikan Nabi Saw, sehingga rela menghitung ubannya, dituduh
menyebarluaskan kebohongan tentang Nabi? Dengan nada yang sama, Al-Sibai
menyatakan bahwa menisbahkan kebohongan kepada Sahabat tidak logis karena
pemalsuan Hadis akan segera dikenali oleh Sahabat lain. Adapun terkait dengan
tuduhan terkait beberapa prilaku Sahabat, seperti saling kritik-mengkritik di
kalangan mereka, maka hal ini dapat dipahami dalam konteksnya masing-masing.
Misalnya, ada sebuah sumber riwayat yang menuturkan bahwa Aisyah pernah
menuduh bohong kepada Abu al-Darda. Suatu ketika Abu al-Darda berkhotbah ia
berkata, apabila sudah masuk waktu shalat Shubuh, maka tidak boleh shalat
Witir. Mendengar ungkapan ini, Aisyah berkomentar, bohong Abu al-Darda,
karena nabi Saw pernah shalat Witir sementara waktu Shubuh sudah masuk.
Namun, komentar Aisyah ini tentulah tidak dimaksudkan untuk menuduh Abu alDarda sebagai orang berbohong, melainkan ia hanya keliru saja dalam memahami
masalah waktu shalat Witir. Jadi, kata bohong dalam dialog tersebut tidak dapat
diartikan secara haqiqi (sebenarnya), melainkan harus diartikan secara majazi
(kiasan), yaitu keliru. 48
Begitupun beberapa Sahabat yang telah dianggap munafik, pendusta, dan
berbuat maksiat, maka harus dipahami perspektifnya masing-masing. Sebagai
contoh terdapat tiga orang Sahabat yang dianggap Munafik karena tidak menyertai
perang Tabuk, yaitu Kaab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin alRabi. Surah al-Taubah ayat 117 menegaskan bahwa Allah telah menerima taubat
mereka. Bahkan bukan hanya itu, Allah telah menerima taubat para sahabat secara
keseluruhan, baik dari kelompok Anshar maupun Muhajirin.49

Mahmud Abu Rayyah, Adwa Ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Kairo: Dr al-Marif, tt.), h. 37-38.
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 84-85; Lihat juga, Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern terj.
Jaziar R dan Entin S.M dari judul asli Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought (Bandung: MIzan,
2000), Cet. I, h. 113
48
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 120.
49
Al-Syaukhani, Fath al-Kadir (t.t.: Darr al-Fikr, 1973), h. 412-414
46
47

11

Kemudian mengenai Idraj dalam Hadis yang dikemukakan Abu Rayyah di


atas mengenai kata mutaammidan () , sama sekali kurang tepat jika
menganggapnya sebagai alasan untuk membebaskan para sahabat dari tuduhan,
karena dengan tak sengaja telah mereka-reka Sunnah Nabi. Alasan pertama yang
dapat dikemukakan bahwa perbedaan semacam ini banyak terjadi dalam Hadis,
khsususnya Hadis-hadis yang diriwayatkan secara bi al-Makna. Dal hal ini tidak
mengurangi sedikit pun akan keotentikannya. Periwayatan semacam ini
diperbolehkan selama tidak menyebabkan perubahan makna dan pergeseran
hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Berbeda dengan konteks Hadis di
atas, kata mutaammidan ( ) jika dianggap sebagai idraj justru dapat menjadi
syarah (penjelas) dari pesan Hadis tersebut. Idraj yang dimaksudkan untuk
menafsiri kata yang gharib dalam Hadis sebagian ulama ada yang
membolehkannya.50
d. Kritik terhadap Abu Hurairah
Dalam bukunya Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, salah satu Sahabat
Nabi yang menjadi fokus kritikan Abu Rayyah, ialah Abu Hurairah. Sebelum Abu
Rayyah, yang pertama kali melakukan kritik atas Sahabat ini ialah seorang Syiah
Lebanon, A. Syarafuddin. Sehingga, Abu Rayyah merupakan penulis kedua yang
melancarkan serangan pribadi terhadap Abu Hurairah. Beliau memaparkan kritikan
atas Abu Hurairah dengan panjang lebar, mengkhususkan satu bab penuh untuk
membahasnya, yaitu halaman 167 sampai dengan halaman 198. Kemudian bab
tersebut dia kembangkan menjadi bab tersendiri, yang berjudul Syekh alMadirah; Abu Hurairah ( :) .51
1) Nama dan Nasab Abu Hurairah
Abu Rayyah memulai kritikannya kepada Abu Hurairah dengan nama
namanya yang berbeda-beda. Namanya tidak dikenal pada masa pra Islam dan
pada masa Islam. Al-Nawawi mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Abu
Rayyah bahwa nama Abu Hurairah adalah Abdur Rahman bin Sakhr. Al-Qatb
al-Halaby mengatakan bahwa Abu Hurairah disatukan dengan nama bapaknya,
Al-Zahabi mengatakan hal sama dan nama itu terkenal dengan nama Abdur
Rahman bin Sakhr. Sebelum masuk Islam Abu Hurairah bernama Abd Syam,
Abd Ghanam. Sementara al-Waqidi mengatakan bahwa nama Abu Hurairah
adalah Abdullah bin Amr, Abd Syam, Umair bin Amir atau Abd
Umar.nDiantara sekian banyak nama Abu Hurairah menurut Umar bin al-Fallas
yang paling shahih adalah Abd. Umar dan Bani Ghanam. Dalam hal ini Abu
Rayyah mencukupkan dengan menyebut kunyah atau julukannya yaitu Abu
Hurairah. Selain perbedaan nama, Abu Hurairah juga tidak diketahui secara jelas
asal muasal serta sejarahnya sebelum masuk Islam.52
50

Lihat, Ali Nayef Syuhud, Al-Mufashashal fi Ulum al-Hadis (T.t.p: T.p, t.t), Juz 1, h. 207.
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 90-91
52
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa an al-Hadis (Mesir: Darr alMaarif, t.t), h. 167-169
51

12

2) Persahabatan Abu Hurairah dengan Nabi


Abu Rayyah menyatakan bahwa ketika Abu Hurairah berusaha mendekati
Nabi, terdapat satu satu misi yang penting dilakukannya yaitu mendapatkan
makanan. Dalam bukunya Syaikh al-Madirah, ia secara tegas menyatakan
bahwa Imam Bukhari meriway atkan hadits yang menyebutkan bi syiba
) ( ) untuk mengenyangkan
bathnihi atau lisyiba bathnihi (

perutnya. Dengan analisa bahasanya, Abu Rayyah memahami bahwa Abu


Hurairah mendekati Nabi karena motivasi materil saja.53 Abu Rayyah juga
berusaha menurunkan nilai Abu Hurairah dengan menguraikan tentang reputasi
Abu Hurairah sebagai orang yang rakus, seperti yang disebutkan oleh AlTsalabi dalam bukunya yang berjudul Tsimar al-Qulub fi al-Mudaf wa alMansub. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa Abu Hurairah rakus kalau
sedang makan, dan terutama menyukai madirah (hidangan yang berupa susu dan
daging). Hal ini membuat Abu Hurairah mendapat julukan Syaikh al-Madirah.54
3) Peran Abu Hurairah dalam Meriwayatkan Hadis
Abu Hurairah adalah sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadit Nabi
Saw, ia meriwayatkan hadits sebanyak 5374 hadits. Abu Hurairah masuk Islam
pada tahun 7 H, tahun terjadinya perang Khaibar, Rasulullah sendiri
memberikan julukan Abu Hurairah, ketika beliau sedang membawa seekor
kucing kecil. Julukan dari Rasulullah Saw Itu semata kecintaan beliau
kepadanya.55 Ia datang kepada Nabi Saw di tahun ke 7 H sewaktu berada di
Khaibar. Data ini diperjelas oleh Ibn Saad dalam kitab al-Thabaqat al-Kubra
yang menyatakan bahwa keturunan Al-Daus termasuk di dalamnya Abu
Hurairah mendatangi Nabi pada saat kampanye menentang Khaibar. Pada saat
itu Nabi memerintahkan kepada sahabat untuk membagi harta rampasan perang
kepada Abu Hurairah karena kemiskinannya, kemudian Abu Hurairah
bergabung dengan ahli suffah.56
Meskipun ada sumber-sumber lain yang menyebutkan bahwa Abu
Hurairah masuk Islam sebelum hijrah atas dorongan Thufail bin Amr. Dalam
kitabnya Syaikh al-Madlirah, Abu Rayyah menggugat laporan Thufail tersebut
dengan menunjukkan bahwa perawi riwayat itu, Hisyam bin al-Sibai al-Kalbi
(w. 206 H/ 821 M) bukanlah sumber yang dapat dipercaya di mata para ahli
biografi klasik. Dan ini telah disebutkan bahwa lebih tepatnya Abu Hurairah
masuk islam pada perang Khaibar, abad ke 7 H. Abu Hurairah memiliki
kedekatan dengan Nabi Saw, sehingga memungkinkan kalau Abu Hurairah lebih
banyak tahu dibandingkan Sahabat lainnya. Apalagi dengan masa yang cukup,
yaitu sekitar 3,5 tahun. Jika dibandingkan dengan Aisyah, walaupun beliau istri
53
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa an al-Hadis (Mesir: Darr alMaarif, t.t), h. 170-172
54
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung: Penerbit
Mizan, 1999), h. 97
55
Ibnu Katsir, Al-Ishabah fi Tamyizi al-Shahabah (Beirut: Darr al-Jil, 1412 H), Juz 7, h. 425.
56
Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku Adwa ala al-Sunnah alMuhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2, h. 290.

13

Nabi, namun tidak menutup kemungkinan periwayatan Hadis Abu Hurairah


dibandingkan Aisyah dengan beberapa pertimbangan; 57 yaitu:
a. Aisyah adalah salah satu dari istri dari Nabi Saw, sehingga bisa dipastikan
kegiatan di luar rumah sangat terbatas, Abu Hurairah justru lebih
memungkinkan untuk mendengar hadis,
b. Jika melihat kedudukan dan status sosial keduanya, Abu Hurairah lebih
memungkinkan untuk meriwayatkan banyak hadis, karena statusnya sebagai
Sahabat pada umumnya, berbeda dengan Aisyah yang lebih sulit ditemui
karena statusnya sebagai ummu al-muminin. Di antaranya harus
komunikasi dari belakang hijab bagi yang bukan mahram, dan
c. Abu Hurairah memiliki majelis resmi dan tetap, sedangkan Aisyah tidak.
Keistimewaan Abu Hurairah dibandingkan sahabat Nabi yang lain, juga
menjadi objek kajian Abu Rayyah. Ia mengatakan bahwa tidak mungkin Abu
Hurairah mempunyai kedudukan yang lebih dari pada sahabat yang lain, ambilah
contoh Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr. Abu Hurairah pernah
menyatakan bahwa tidak ada sahabat Nabi yang meriwayatkan lebih banyak dari
dia kecuali Abdullah bin Amr. Akan tetapi kenyataannya Abdullah bin Amr
hanya meriwayatkan sedikit dibanding Abu Hurairah. Abu Rayyah menduga
keras bahwa Abu Hurairah mungkin tidak berani meriwayatkan hadits sebanyak
yang diinginkannya, karena sahabat-sahabat besar masih hidup pada saat ia
membuat pernyataan ini. Mereka mungkin tidak setuju dengan kegiatannya.58
Di sisi lain, terdapat riwayat yang dikutip Abu Rayyah dari Syarh Nahj alBalaghah karya Ibn Abil Hadid dari seorang yang bernama Abu Jafar Al-Iskafi
bahwa Umar bin Khattab pernah menyerang Abu Hurairah dengan cambukannya
seraya berkata; Engkau telah meriwayatkan sedemikian banyak hadits, mana
mampu engkau berdusta atas nama Nabi.59 Mustafa Yaqub menegaskan
bahwa riwayat tersebut setelah diteliti ternyata palsu. Riwayat tersebut
bersumber dari seorang Syiah yang justru anti Sahabat, khususnya Umar.
Karenanya, riwayat semacam ini gugur dari pertimbangan. Pengutipan dalil
palsu di atas oleh Abu Rayyah menunjukkan bahwa beliau kurang teliti dan hatihati dalam menggunakan dalil. Nampak penggunaan dalilnya tidak selektif
bahkan terkadang kurang lengkap, karena hanya berorientasi mencari penguat
atas landasan pemikirannya. 60
Demikianlah beberapa kritikan Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah yang
cenderung mengikuti pandangan-pandangan orientalis dan menukil dalil-dalil
secara parsial, tidak selektif, dan kurang hati-hati sebagaimana yang ia tuangkan
dalam Adwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa an al-Hadis.

57

Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela dan yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press,
2012), h. 107-108
58
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa an al-Hadis (Mesir: Darr alMaarif, t.t), h. 173-174
59
Mahmud Abu Rayyah, Adlwa al Sunnah al-Muhammadiyyah au difa an al-Hadis, h. 174
60
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI, h. 43-44

14

3. Kritikan Ulama atas Kitab Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah


Kitab Abu Rayyah, Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah (Sorotan tentang
Sunnah Nabi Mukammad) yang terbit tahun 1958 M tidak lepas dari sorotan dan
kritikan para ulama. Tercatat bahwa setelah buku tersebut terbit, bermunculan kurang
lebih sembilan buku yang terbit untuk menanggapi kitab Adwa tersebut. Di
antaranya:61
a. Majallat al-Azhar ditulis oleh seorang profesor di Fakultas Ushuluddin al-Azhar,
Muhammad Abu Syuhbah. Namun, Abu Syuhbah tidak menjelaskan alasannya
kenapa ia menolak atas pernyataan Abu Rayyah;
b. Abu Hurayrah fi al-Mizan (1958), ditulis oleh Muhammad al-Samahi dari Fakultas
yang sama;
c. Difa an al-Hadits al-Nabawi wa Tafnid Syubuhat Khushumih (1958), ditulis oleh
Tim beberapa teolog non-Mesir;
d. Zhulumat Abi Rayyah Imam Adlqa al-Sunah al-Muhammadiyah (1959), ditulis
oleh seorang profesor teologi di Mekkah Abd. Al-Razzaq Hamzah;
e. Al-Anwar al-Kasyifah lima fi Kitab Adlwa ala al-Sunnah min al-Dalalah wa alTadllil wa al-Mujazafah (1959), ditulis oleh seorang sarjana di Mekkah, Abd. AlRahman al-Yamaniy;
f. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri al-Islamiy (1961), ditulis oleh Musthafa alSibaiy. Isinya mengkritik semua pendapat Abu Rayyah terhadap Abu Hurairah
tidaklah diterima karena Abu Rayyah mengutip pendapat dari al-Salabi dan
Hamzani yang karyanya tidak dianggap sebagai sumber yang valid untuk
mendapatkan data historis;
g. Abu Hurayrah Rawiyat al-Islam (1962);
h. Al-Sunnah Qabla al-Tadwin (1963), ditulis oleh Muhammad Ajaj al-Khathib, dan
i. Abu Hurairah dalam berbagai tulisan oleh Muhammad Abu Zahrah.
Berbagai macam kritikan yang menghujat terhadap pemikiran Abu Rayyah.
Menunjukkan bahwa para ulama sangat menjunjung tinggi hadis Nabi dan sangat tidak
benci serta menolak terhadap pendapat-pendapat yang tidak menerima dan mencela
hadis Nabi Saw (ingkar Sunnah). Menurut Shalahuddin Maqbul Ahmad, isi dari kedua
buku Abu Rayyah tersebut, yaitu Adwa ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah au Difaa
al-Hadis dan Syekh al-Madirah; Abu Hurairah menunjukkan seluruh
ketidaktahuannya akan hakikat-hakikat tradisi Islam, keterpedayaannya oleh metode
ilmiah yang diasumsikannya, kecintaannya akan popularitas murahan, klaim tentang
kebebasan berfikir, dan jebakan hawa nafsu orientalis yang menjeratnya. 62

61

Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah, Skripsi; Fakultas Ushuluddin Studi
Agama dan Pemikiran Islam, 2012, h. 22.
62
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunah (Jakarta: Kencana, 2011), h. 90. Lihat juga,
Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli Jawabi fi Wajhi alSunah Qadiman wa Haditsan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), Cet. I, h. 72

15

E. Analisis
Mahmud Abu Rayyah adalah tokoh Muslim yang kontroversial dari Mesir yang
pemikirannya dikategorikan inkar al-Sunnah modern. Secara spesifiknya pemikiran Abu
Rayyah sebagai berikut:
1. Al-Sunnah dan posisinya dalam ajaran agama, menurut Abu Rayyah, al-Sunnah
sebagai pedoman hidup manusia yang menempati posisi kedua setelah Al-Quran, Abu
Rayyah membagi al-Sunnah kepada dua bagian: Pertama, al-Sunnah al-amaliyyah.
Kedua, al-Sunnah al-qauliyyah. Adapun al-Sunnah al-qauliyyah, Abu Rayyah
menjadikannya pada derajat ketiga dari agama, berada dibawah al-Sunnah alamaliyyah;
2. Tadwin Hadis, Abu Rayyah menyatakan bahwa pencatatan tekstual literatur hadis
tidak dapat dipercaya, dengan menekankan bahwa pencatatan itu dilakukan jauh
setelah hadis muncul.
3. Adalah al-sahabah, menurut pandangan Abu Rayyah yang harus diteliti tidak hanya
level bawah sahabat tetapi di semua tingkatan, sahabat juga tidak bisa terlepas dari
tarjih.
4. Salah satu sahabat yang terkena tarjih atau yang banyak dikritik oleh Abu Rayyah
dalam bukunya adalah Abu Hurairah, menurut Abu Rayyah: Abu Hurairah namanya
banyak dan tidak jelas asal muasalnya, motivasi kedekatannya dengan Nabi adalah
hanya untuk mengenyangkan perutnya, rakus, terlambat masuk Islam, dan banyak
meriwayatkan hadis dari pada sahabat Nabi lainnya dengan waktu yang sangat singkat.
Pada masa Muawiyyah, ia menulis hadis dengan tujuan politik dan ia seorang
mudallis. Hal ini menyebabkan menurut Abu Rayyah, hadis yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah harus diteliti kembali.
Tolok ukur kritik kesejarahan hadis yang dilakukan oleh Abu Rayyah paling tidak
bisa dijadikan acuan atau contoh dalam mengkritik hadis, beserta data sejarah yang telah
dikritik oleh Abu Rayyah. Sedikit atau banyak data sejarah yang telah dikritik oleh Abu
Rayyah akan memberikan sumbangan berharga bagi studi hadis yang memfokuskan pada
historiografi hadis, sebab banyak data sejarah hadis yang belum mendapatkan kritik dari
ulama Islam sebelumnya.

SEKIAN

16

DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mutawalli Hammadah, Sunnah Nabi; Kedudukannya menurut al-Quran terj. A.
Abdussalam dari judul asli Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-Tasyri
(Bandung: Gema Risalah Press, 1997)
Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunah (Jakarta: Kencana, 2011)
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Darr Ibn Katsir, 1407 H/1987 M)
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), Cet. VI
Ali Nayef Syuhud, Al-Mufashashal fi Ulum al-Hadis (T.t.p: T.p, t.t), Juz 1
Al-Syaukhani, Fath al-Kadir (t.t.: Darr al-Fikr, 1973)
Al-thabrani, Al-Mujam al-Kabir (T.t.p.: T.p, t.t)
Artikel Min Alami al-Fikri al-Hadis; Abu Rayyah, dalam http://www.adawaanews.net.
Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah dalam Islam Modern terj. Jaziar R dan Entin
S.M dari judul asli Rethinking Traditions in Modern Islamic Thought (Bandung:
MIzan, 2000).
G.H.A. Juynboll, Kontroversi Hadis Di Mesir (1890-1960), terj. Ilyas Hasan (Bandung:
Penerbit Mizan, 1999).
Ibnu Katsir, Al-Ishabah fi Tamyizi al-Shahabah (Beirut: Darr al-Jil, 1412 H), Juz 7
Isa Ismail dan Yusof, Anti Hadis jarum Yahudi (Malaysia: Thinkers Library, 1996), Cet. I.
Juynboll. 1999. Kontroversi Hadis di Mesir (1890-1960). Terj. Ilyas Hasan. Bandung:
Penerbit MIZAN.
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (Jakarta:
Gema Insani Pers, 1995), Cet. I
M.M. Azami, Menguji Keaslian Hadis-hadis Hukum; Sanggahan atas The Origins of
Muhammad Jurisprudence Joseph Schacht terj. Asrofi Shodri dari judul asli On
Schachts Origins of Muhammad Jurisprudence (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet.
I
Muh. Munib, Kodifikasi Hadis Perspektif Mahmud Abu Rayyah, Skripsi; Fakultas Ushuluddin
Studi Agama dan Pemikiran Islam, 2012.
Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul Hadis terj. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007), Cet. IV
Muhammad Makmun Abha (ed), Yang Membela dan yang Menggugat (Yogyakarta: CSS
SUKA Press, 2012)

17

Murthadho al-Radwa, Bersama Para Pembaharu di Mesir (T,t: T.p., 1232 H), Cet. I, dalam
Wikipedia: https://ar.wikipedia.org/ /w/index.php?title= __
Musidul Millah, Mahmud Abu Rayyah (1887-1964) Penggerak Inkar Sunnah? Dalam Yang
membela dan Yang Menggugat (Yogyakarta: CSS SUKA Press, 2012).
Muslim, Shahih Muslim (Beirut: Darr Ihya, t.t)
Rayyah, Mahmud Abu, Adwa Ala Al-Sunnah Al-Muhammadiyyah. Kairo: Dar al-Maarif, tt.
Cet. VI.
Shalahuddin Maqbul Ahmad, Bahaya Mengingkari Sunnah terj. M. Misbah dari judul asli
Jawabi fi Wajhi al-Sunah Qadiman wa Haditsan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002),
Cet. I.
Sochimin, Telaah Pemikiran Hadis Mahmud Abu Rayyah dalam Buku Adwa ala al-Sunnah
al-Muhammadiyyah dalam Hunafa, Jurnal Studia Islamika, Vol. 9, No. 2.
Wikipedia: https://ar.wikipedia.org/ /w/index.php?title=__
Zaedmannan, Pemikiran Hadis Kontemporer Mahmud Abu Rayyah, Makalah, Dipostoing
tanggal 24 Oktober 2013.
Zufran Rahman, Sunnah Nabi Saw sebagai sumber hukum Islam: Jawaban terhadap Aliran
Ingkar Sunanh (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1995), Cet. I.

18

You might also like