You are on page 1of 6

ASPEK-ASPEK YANG BISA MENJADI POTENSIAL LIABILITY DALAM

KEPERAWATAN

CRIME’S AND TORTS

1. NEGLIGENCE
Perawat Bisa Kena Pasal
Kelalaian
2.
Ditulis oleh Administrator
Monday, 26 October 2009

SEMARANG – Selain memprioritaskan memburu pelaku penculikan di RSUD Kota


Semarang dan berupaya mendapatkan bayi tersebut dalam keadaan selamat, Polisi juga
menyelidiki kelalaian yang dilakukan pihak rumah sakit yang menyebabkan bayi pasangan M.
Yahron dan Dwi Setyowati tersebut begitu gampang diculik.
Kapolres Semarang Selatan AKBP Nurkholis mengakui, memang ada indikasi kelalaian
dari para pihak rumah sakit dalam hal ini perawat yang bertugas merawat bayi tersebut. Meski
begitu, Nurkholis masih enggan membeber kapan akan melakukan pemeriksaan terhadap para
petugas yang diduga lalai tersebut.
Nurkholis juga belum bersedia merinci siapa saja nama-nama perawat yang lalai berikut
kapasitasnya di rumah sakit milik Pemkot Semarang tersebut. ’’Nanti saja, sebab kami harus
memprioritaskan mengejar pelaku penculikan itu dulu,” jelasnya.
Meski begitu, soal kelalaian tersebut, Polisi tetap akan menyelidikinya. Bila memang
terbukti lalai, maka beberapa petugas rumah sakit bisa saja dikenai pasal KUHP tentang
Kelalaian yakni 361 KUHP. Dia mengisyaratkan memang ada unsur kelalaian pihak rumah sakit
dalam kasus penculikan tersebut. ’’Pasti ada kelalaian, tapi seperti apa, nanti sajalah. Kita cari
dulu bayinya,” imbuhnya.
Nurcholis juga mengatakan, pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi kasus penculikan
bayi laki-laki anak kedua dari pasangan suami istri warga Demak tersebut. Hingga kemarin,
sudah ada enam saksi yang dimintai keterangan. Mereka terdiri dari pihak rumah sakit dan
keluarga korban.
Terpisah, Eka Laiyanatus Sifah (18) siswi Sekolah Pendidikan Keperawatan Persatuan
Perawat Nasional Indonesia (SPK PPNI) Semarang belum bisa ditemui. Pihak sekolah, saat
ditemui siang kemarin meminta Radar Semarang (Jawa Pos Group) untuk tidak menemui dulu
Eka. Eka adalah siswi SPK PPNI yang melakukan magang kerja di RSUD tersebut, dan dia yang
menyerahkan bayi itu pada wanita yang ternyata penculik tersebut.
’’Kasihan, dia sangat terpukul. Lebih baik jangan ditemui dulu. Kemarin seharian dia
sudah diperiksa Polisi. Jadi, menurut saya, lebih baik ditunda dulu wawancaranya,” ujar seorang
wanita yang enggan disebut namanya, yang menemui koran ini di kampus SPK PPNI.
(smu/jpnn)

2. MALPRACTICE
Korban Meninggal Usai Operasi Caesar
Surabaya - Dugaan kasus malpraktek kembali terjadi, korbannya hampir sama namanya
dengan Prita Mulyasari yakni Pramita Wulansari. Wanita ini meninggal dunia tidak lama
setelah menjalani operas caesar di Rumah Sakit Surabaya Medical Service. Korban
mengalami infeksi pada saluran urin dan kemudian menjalar ke otak. Saat dikonfirmasi, pihak
Rumah Sakit Surabaya Medical Service belum memberikan jawaban terkait dugaan
malpraktek ini.
Lita, dipanggil pihak Rumah Sakit Medical Service di Jalan Kapuas Surabaya terkait
laporannya pada salah satu media tentang anaknya Pramita Wulansari (22), yang meninggal
dunia setelah menjalani operasi caesar di Rumah Sakit Medical Service.
Menurut cerita Lita, ibu dari Pramita, sebelumnya Pramita melakukan operasi persalinan
disalah satu praktek bidan di Jalan Nginden, Surabaya. Karena kondisinya terus memburuk,
Pramita lalu dirujuk ke Rumah Sakit Surabaya Medical Service untuk dilakukan operasi
caesar.
Operasi berjalan mulus yang ditangani oleh dr Antono. Dua minggu kemudian Pramita
kembali ke Rumah Sakit Surabaya Medical Service untuk melakukan chek up. Dr Antono
menyarankan Pramita dioperasi karena dideteksi saluran kencingnya bocor dan Pramita
kembali menjalani operasi.
Pramita juga disarankan meminum jamu asal Cina untuk memulihkan tenaga. Namun
kondisinya malah memburuk dan Pramita sempat buang air besar bercampur darah. Melihat
kondisi Pramita semakin memburuk, pihak keluarga meminta dirujuk ke Rumah Sakit Dr
Soetomo Surabaya. Pramita sempat dua hari dirawat di Rumah Sakit Dr Soetomo namun
dinyatakan terlambat, karena infeksi sudah menjalar ke otak dan Pramita akhirnya meninggal
dunia.
Anak yang dilahirkan Pramita kini sudah berumur satu bulan dan diberi nama Kevin. Si
bayi terpaksa dirawat oleh ayahnya dan kedua mertuanya.
Sementara itu saat dikonfirmasi wartawan, pihak Rumah Sakit Surabaya Medical Service
tidak mau memberi komentar mengenai dugaan malpraktek ini. (Didik Wahyudi/Sup)
3. ASSAULT
Korban Malpraktek RS OMNI Merasa Diteror
TEMPO Interaktif, 11 Juni 2009

Jakarta: Ibu bayi kembar yang diduga menjadi korban malpraktek RS OMNI Alam
Sutra, Tangerang, mengaku merasa diteror pihak manajemen RS OMNI. “Mereka berkali-
kali menelpon saya. Saya merasa terganggu,” kata Juliana, ibu dari bayi kembar bernama
Jared dan Jayden itu, lewat telepon, hari ini.
Menurut Juliana, dia melahirkan prematur di rumah sakit RS OMNI pada 26 Mei 2008.
Saat itu usia kandungannya baru 33 minggu. Petugas medis memasukan anaknya ke dalam
inkubator. Beberapa hari setelah itu, salah satu putranya didagnosi menderita kebutaan.
“Yang mengalami kebutaan Jared, sedangkan Jayden silender dua setengah,” kata Juliana.
Untuk mengobati anaknya, Juliana terbang ke Australia. Dokter di sana mengatakan
kerusakan mata anaknya sudah stadium 4. Kerusakan itu diduga akibat penanganan bayi lahir
prematur yang tidak benar. “Menurut dokter, anak saya over oksigen,” kata Juliana lagi.
Setelah sebulan di Australia, Juliana dan bayinya kembali ke tanah air. Berbekal
pemeriksaan dokter-dokter di Australia, dia mendatangi RS OMNI untuk meminta catatan
medis bayinya selama ditangani rumah sakit itu. “Tapi mereka selalu menghindar,” katanya.
Dua bulan lalu, pihak rumah sakit meminta bertemu dengan Juliana dan suaminya. Dalam
pertemuan itu manajemen memberi penjelasan tentang kondisi Jared dan Jayden selama
dalam perawatan. “Tetapi kami tetap meminta catatan medis itu dan mereka juga tetap
menghindar,” katanya.
Karena merasa disepelekan, Juliana kemudian menyerahkan kasus ini ke pengacara O.C.
Kaligis. Dua hari kemudian, dugaan malpraktek ini dilaporkan ke Polda Metro Jaya. “Setelah
OMNI tahu kasus ini saya serahkan ke Pak OC, mereka berkali-kali menelpon saya. Saya
merasa tidak nyaman dan terteror,” katanya.
Juliana mengatakan, sebenaranya dia dan suaminya hanya menuntut permintaan maaf
dari manjemen RS. OMNI. Namun karena tidak pernah ada itikad baik dari manajemen,
mereka akhirnya memilih jalur hukum. (Suseno)
http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2009/06/11/brk,20090611-id.html

4. FALSE IMPRISONMENT
PASIEN DITAHAN RS
Operasi Caesar Lebih
Cenderung Kedepankan Bisnis
Selasa, 20 April 2010

JAKARTA (Suara Karya): Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan,


Iskandar Sitorus menduga ada praktik bisnis dalam kasus "penahanan" Dewi Asriana (30)
oleh rumah sakit (RS) Azra, Bogor. Hal itu terlihat dari sejumlah tindakan medis yang
terkesan dicari-cari untuk mengeruk keuntungan, ketimbang kemanusiaan.

"Misalkan penempatan Dewi di ruang ICU dan ruang VIP dekat ICU dengan alasan
untuk kemudahan perawatan. Tindakan itu terlalu mengada-ada, jika lihat kondisi Dewi yang
sudah stabil," kata Iskandar Sitorus ketika dihubungi, Senin (19/4).

Begitupun dengan tindakan operasi caesar yang harus dilakukan Dewi. Menurut Sitorus,
jika Dewi melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit tersebut, tindakan operasi caesar
sudah bisa diprediksikan sebelumnya.
"Buat apa dilakukan pemeriksaan kehamilan setiap bulan, kalau proses melahirkan tiba-
tiba harus diambil tindakan operasi caesar. Indikasi atas tindakan operasi caesar kan merujuk
pada hasil pemeriksaan sebelumnya," tutur Sitorus yang menganggap tindakan operasi caesar
di rumah sakit saat ini lebih mengedepankan bisnis daripada kemanusiaan.

Seperti diberitakan sebelumnya, Dewi Asriana, pasien RS Azra "tertahan" di rumah sakit
gara-gara belum mampu melunasi kekurangan biaya operasi caesar dan perawatan. Maklum,
biaya yang harus dibayarkan Andi Akbar (31), suaminya cukup mencengangkan, sebesar Rp
27,5 juta selama menjalani pengobatan di rumah sakit tersebut selama 1 minggu.

"Dewi bisa pulang setelah saya menjaminkan motor Yamaha Mio-nya dan uang sebesar
Rp 2,5 juta ke rumah sakit itu, selain menandatangani surat perjanjian untuk pelunasan
sisanya hingga Rp 27,5 juta," kata Andi.

Dewi harus menjalani operasi caesar kelahiran anak mereka, Senin (12/4) lalu.
Pascaoperasi, kondisi Dewi kurang bagus sehingga harus dirawat di ICU rumah sakit
tersebut. Sementara istrinya masih dalam perawatan, Kamis (15/4), Andi membawa pulang
anaknya yang diberi nama Andi Farah.

"Kami memaksa pulang sebab biaya di rumah sakit makin besar. Sudah di luar
kesanggupan saya untuk segera membayarnya. Selain itu, istri sudah ingin bertemu anak
kami. Sejak lahir, keduanya belum pernah bertemu," tutur Andi Akbar, Minggu (18/4).

Kepala Dinas Kesehatan Kota Bogor Triwandha Elan tak berkomentar banyak. Kami
tidak menjadi mediator untuk masalah itu. Yang saya tahu benar, ada wartawan salah satu
radio mau pulang (dari rumah sakit), tetapi kurang bayarnya," kata Elan.
Sitorus menambahkan, Pemerintah Daerah Kota Bogor seharusnya segera melakukan
tindakan cek dan recek atas informasi yang disampaikan masyarakat. Hal itu untuk
menghindari praktik bisnis yang dilakukan rumah sakit. "Praktik semacam itu kan bisa dilihat
dari rekam medis dan biaya yang dicantumkan. Beri sanksi kalau mereka memang berbisnis,"
kata Sitorus menandaskan. (Tri Wahyuni)

5. LIBEL

Peradilan Prita, Peradilan Terhadap Kebebasan Berpendapat


Kamis, 4 Juni 2009 09:17 WIB | Artikel | Pumpunan | Dibaca 4106 kali
Muhammad Razi Rahman

Jakarta (ANTARA News) - Kasus hukum yang menimpa Prita Mulyasari (32) bisa
merupakan salah satu peristiwa penting yang menjadi tonggak dalam sejarah penegakan
salah satu hak asasi manusia, yaitu kebebasan berpendapat.

"Ya, saya melihat bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat Ibu Prita sedang
diadili," kata Komisioner Sub Komisi Pemantauan dan Penyelidikan, Nur Kholis di Jakarta,
Rabu (3/6) menjawab pertanyaan ANTARA mengenai kemungkinan indikasi pelanggaran
HAM dalam tuduhan pencemaran nama baik oleh RS Omni International kepada Prita.

Pada 15 Agustus 2008, Prita menuliskan keluhannya mengenai pelayanan RS Omni


International melalui surat elektronik (email) yang ditujukan kepada kalangan terbatas saja.

Namun, isi surat elektroniknya itu tersebar ke sejumlah milis sehingga rumah sakit yang
berlokasi di Tangerang, Banten, ini mengambil langkah hukum dengan menggugat Prita. Tak
tanggung-tanggung, perdata dan pidana sekaligus.

Seterusnya, dalam gugatan perdata terhadap Prita itu, Pengadilan Negeri Tangerang
memenangkan RS Omni International, sementara Prita menyatakan mengajukan banding.

Sedangkan kasus pidananya akan mulai digelar pada PN Tangerang Kamis ini (4/6). Prita
dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik serta Pasal 27 Ayat
(3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Ancaman hukuman yang terdapat dalam Pasal 27 Ayat (3) UU ITE adalah enam tahun
penjara. Pasal inilah yang membuat Kejaksaan menahan Prita di LP Wanita Tangerang sejak
13 Mei 2009.

Setelah mendapat dukungan masyarakat, antara lain dari ribuan blogger dan derasnya
pemberitaan media massa, serta perhatian dari berbagai pejabat tinggi Indonesia, status Prita
akhirnya diubah dari semula tahanan kejaksaan di rumah tahanan menjadi tahanan rumah.

Nur Kholis menegaskan, tidak layak seseorang yang menuliskan surat keluhan diancam
hukuman hingga enam tahun penjara.

"Itu berlebihan," katanya.

Senada dengan Nur Kholis, Direktur Eksekutif LSM Indonesia Resources Legal Center
(ILRC) Uli Parulian Sihombing pada Selasa (2/6) mengatakan, langkah pidana untuk kasus
pencemaran nama baik itu adalah tindakan yang sangat berlebihan. "Sangat berlebihan bila
sampai harus dipidanakan," kata Uli.

Menurut Uli, penyampaian keluhan dari Prita terhadap pelayanan RS Omni seharusnya
dianggap sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang di-
lindungi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

Selain itu, Uli berpendapat jeratan pidana terhadap Prita dengan memakai Pasal 27 Ayat
3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) akan sukar dibuktikan oleh
pengadilan.

"Pengadilan harus benar-benar bisa membuktikan bahwa Prita memiliki unsur kesenga-
jaan untuk mempunyai niat jahat terhadap pihak yang dirugikan," katanya.

You might also like