You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Pendidikan Agama Islam. Selain itu juga agar kita bisa mengaplikasikan konsep
kebersihan atau hidup bersih dalam kehidupan sehari-hari menurut ajaran Islam.

C. Perumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Kebersihan ?
2. Mengapa Kebersihan Sangat Penting Dalam Kehiupan ?
3. Apa Saja Cakupan Kebersihan Dalam Ajaran Islam?
4. Bagaimanakah Tuntunan Ajaran Islam Dalam Kebersihan Pribadi Dan Keluarga ?
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan metode studi kepustakaan.

E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagi berikut :

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Tujuan Penulisan
C. Perumusan Masalah
D. Metode Penulisan
E. Sistematika Penulisan.
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kebersihan
B. Pentingnya Kebersihan
C. Cakupan Kebersihan
D. Tuntunan Kebersihan Pribadi dan Keluarga
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

1
A. Pandangan islam terhadap KB

International Conference on Population and Development (ICPD) di Kairo, 1994,


sepakat agar negara memberi akses pelayanan dan informasi keluarga berencana
(KB). Millennium Development Goals (MDGs) 2000 lebih menegaskan agar
pelaksanaan KB “disesuaikan dengan kedaulatan tiap negara, sejalan dengan hukum
dan prioritas pembangunan, menghargai nilai-nilai agama, etika dan latar belakang
budaya bangsa, serta sesuai dengan hak asazi manusia.” Negara-negara Islam di dunia
termasuk Indonesia, yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, mendukung
dan melaksanakan program kesehatan reproduksi dan KB yang memungkinkan
keluarga menentukan jumlah dan kapan anak itu diinginkan agar keluarga dapat hidup
nyaman dan tenang. Saat ini, penduduk dunia berjumlah lebih dari 6 milyar jiwa dan
yang beragama Islam sebesar 1,2 milyar orang atau 20 %. Indonesia yang
berpenduduk 225 juta orang, 193 juta orang atau 89 % beragama Islam (Population
Reference Bureau, PRB, 2004). Dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari sekitar 25
juta pasangan peserta KB di Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Ini jelas
menunjukkan bahwa orang Islam Indonesia mendukung program KB.

Menurut Islam, keluarga merupakan unsur kehidupan bermasyarakat yang penting.


Oleh karena itu KB hanya boleh dilaksanakan oleh keluarga yang dibentuk oleh
perkawinan yang syah menurut syari’at Islam. Al Qur’an sebagai sumber hukum
agama Islam menyatakan hal berikut tentang keluarga:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah diciptakanNya untukmu pasangan


hidup dari kelompokmu sendiri agar kamu mendapat ketenangan hati dan diberiNya
kasih sayang di antara kamu.” (QS, Ar-Rum, Ayat 21).

“Dan Allah yang telah menentukan pasangan-pasanganmu dari kelompokmu sendiri,


dan lahirkanlah untukmu dari mereka anak-anak dan cucu-cucumu." (QS, Al
Nahl,Ayat 73).

Ulama Islam tidak melarang KB asalkan penundaan kehamilan dan membatasi


kelahiran dilakukan untuk menjaga kesehatan ibu dan anaknya. Telah dipahami
bahwa melahirkan terlalu sering, terlalu dekat waktunya, dan di usia terlalu muda atau
terlalu tua akan membahayakan kesehatan dan hidup ibu serta anak. Hal ini juga akan
menyulitkan ekonomi keluarga sehingga tak bisa mengasuh, membesarkan dan
mendidik anak dengan baik.

Al Qur’an secara jelas menyebutkan bahwa Allah SWT tidak ingin membuat susah
hidup manusia:

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesusahan bagimu.”


2
(QS, Al Baqarah, Ayat 185). “Allah ingin meringankan bebanmu, karena manusia
diciptakan lemah.” (QS, An-Nisa, Ayat 28).

Dalam kepemimpinan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Syukri


Ghozali, dan Ketua Komisi Fatwa, Prof KH Ibrahim Hosen, MUI dalam Musyawarah
Nasional Ulama 12-15 Oktober 1983, tentang tentang Kependudukan, Kesehatan dan
Pembangunan, memutuskan untuk mendukung program pembangunan kependudukan
dan KB. Masalah kependudukan yang dihadapi Indonesia, membuat MUI
berpendapat: “Pertambahan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan
berbagai masalah di masyarakat, antara lain terjadinya konflik ekonomi dan konflik
sosial”. MUI juga mencermati, “Tingkat kematian yang masih tinggi, terutama
kematian anak balita, dan tingkat kelahiran yang masih tinggi memerlukan
peningkatan pelayanan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan lingkungan”.
Mengingat KB juga menyangkut kemaslahatan umat, MUI menyatakan bahwa: “Ini
suatu ikhtiar atau usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga asalkan
tidak melawan hukum agama, undang-undang Negara dan moral Panca Sila dan demi
mencapai kesejahteraan bangsa pada umumnya. Ajaran Islam membolehkan KB
untuk menjaga kesehatan ibu dan anak, pendidikan anak agar menjadi anak yang
sehat, cerdas dan saleh”. Namun MUI tetap berpesan agar KB dilaksanakan secara
sukarela, tanpa paksaan, serta memperhatikan nilai-nilai adat dan kaidah-kaidah
agama (MUI, 1984)

Beberapa waktu yang lalu, KH Ma`ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI menegaskan
kegagalan program KB akhir-akhir ini adalah akibat makin merosotnya gerakan KB
sejak krisis moneter 1997. Ini bukan disebabkan agama atau ayat kitab suci yang tak
mendukung. "Bagi umat Islam, KB tidak menjadi masalah. Ayat KB-nya pun ada:
Jangan menurunkan generasi lemah," kata KH Ma`ruf Amin. (Desember, 2006).
Walaupun demikian tetap ada orang atau kelompok yang tidak mendukung KB.
Alasan yang dikemukakan, antara lain: Al Qur’an tidak membolehkan pemakaian alat
kontrasepsi yang dianggap sebagai membunuh bayi atau agama Islam menginginkan
agar Islam mempunyai umat yang besar dan kuat. Namun, demi meningkatkan
kesejahteraan dan kualitas umat Islam, program KB yang semula ditolak kemudian
dapat diterima. Di negara lain, revolusi Islam Iran 1979 telah melarang KB. Namun
pada tahun 1988, KB dibolehkan lagi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup manusia. Di Iran KB dianjurkan sebagai cara untuk mencegah kehamilan pada
wanita berusia di bawah 18 tahun dan lebih dari 35 tahun. Jadi ibu-ibu dianjurkan
melahirkan pada usia 18 sampai 35 tahun. Hasilnya, peserta KB meningkat menjadi
74 %, total fertility rate (TFR) 2.0 dan laju pertambahan penduduk menurun menjadi
1,2 % per tahun. (PRB, 2004)

.http://pustaka.bkkbn.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=109&Itemid=9 diakses tgl 15Januari 2010.

Jika program Keluarga Berencana (KB) dimaksudkan untuk membatasi kelahiran,


maka hukumnya tidak boleh. Karena Islam tidak mengenal pembatasan kelahiran
(tahdid an-nasl). Bahkan, terdapat banyak hadits yang mendorong umat Islam untuk
3
memperbanyak anak. Misalnya: Tidak bolehnya membunuh anak apalagi karena takut
miskin (QS. al-Isra’: 31), perintah menikahi perempuan yang subur dan banyak anak,
penjelasan yang menyebutkan bahwa Rasulullah berbangga di Hari Kiamat dengan
banyaknya pengikut beliau (HR. Nasa’i, Abu Dawud, dan Ahmad), dan sebagainya.

Yang dikenal dalam Islam adalah pengaturan kelahiran (tanzhim an-nasl). Hal ini
didasarkan pada para sahabat yang melakukan azal di masa Nabi, dan beliau tidak
melarang hal tersebut. (HR. Bukhari dan Muslim). Azal adalah mengeluarkan sperma
di luar rahim ketika terasa akan keluar.

Beberapa alasan yang membenarkan pengaturan kelahiran antara lain:


pertama, kekhawatiran akan kehidupan dan kesehatan ibu jika ia hamil atau
melahirkan, berdasarkan pengalaman atau keterangan dari dokter yang terpercaya.
Firman Allah: “Dan janganlah kalian campakkan diri kalian dalam kebinasaan.”
(QS. al-Baqarah: 195).

Kedua, khawatir akan kesulitan materi yang terkadang menyebabkan munculnya


kesulitan dalam beragama, lalu menerima saja sesuatu yang haram dan melakukan
hal-hal yang dilarang demi anak-anaknya. Allah berfirman: “Allah menghendaki
kemudahan bagi kalian dan tidak menghendaki kesulitan.” (QS. al-Baqarah: 185).

Ketiga, alasan kekhawatiran akan nasib anak-anaknya; kesehatannya buruk atau


pendidikannya tidak teratasi (Lihat: Halal dan Haram dalam Islam, Dr. Yusuf al-
Qaradhawi, Era Intermedia, hlm. 285-288). Alasan lainnya adalah agar bayi
memperoleh susuan dengan baik dan cukup, dan dikhawatirkan kehadiran anak
selanjutnya dalam waktu cepat membuat hak susuannya tidak terpenuhi.

Membatasi anak dengan alasan takut miskin atau tidak mampu memberikan nafkah
bukanlah alasan yang dibenarkan. Sebab, itu mencerminkan kedangkalan akidah,
minimnya tawakal dan keyakinan bahwa Allah Maha Memberi rezeki. Allah Swt.
berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh anak-anak kalian karena takut miskin.
Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepada kalian.” (QS. al-Isra: 31).
(http://matabaca.multiply.com/journal/item/4/Pandangan_Islam_Tentang_Keluarga_B
erencana diakses tgl 15 Januari 2010)

Perspektif Islam

Pertanyaan besar kemudian muncul ketika program KB yang dilancarkan pemerintah


tersebut bersinggungan dengan segi kehidupan beragama sebagian besar penduduk
Indonesia, yakni Islam.

Dalam pandangan Islam sebagaimana difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia


(MUI) pada Musyawarah Nasional MUI tahun 1983, KB dinilai sebagai suatu ikhtiar
atau usaha manusia untuk mengatur kehamilan dalam keluarga secara tidak melawan
hukum agama, Undang-Undang (UU) Negara dan moral Pancasila.

Untuk itu, dikatakan Ketua Umum MUI, KH. MA Sahal Mahfudz, Agama Islam
membenarkan pelaksanaan KB untuk menjaga kesehatan ibu dan anak. “Dalam hal

4
ini, supaya pendidikan anak terjamin demi terciptanya anak yang sehat, cerdas dan
salih,” ujar Sahal Mahfudz.

Menuju generasi yang sehat, cerdas dan bertaqwa, tentunya bukan perkara mudah,
karena harus didahului dari peran keluarga yang senantiasa sakinah, mawadah wa
rohmah. Dalam hal ini, dijelaskan Sahal Mahfidz, keluarga yang sakinah, mawadah
wa rohmah senantiasa mengutamakan terciptanya ketentraman dan kedamain dalam
rumah tangga, hingga membangkitkan semangat untuk saling memadu keharmonisan
dan kasih sayang diantara seluruh anggota keluarga.

Tentu saja, keluarga yang demikian, akan tercapai jika sebelumnya telah dipikirkan
dan direncanakan apa saja diperlukan dalam membina hubungan harmonis dalam
keluarga. “Pasangan yang bijak adalah pasangan yang merencanakan sebelumnya agar
keluarga nantinya memiliki perbandingan antara kuantitas dan kualitas secara
seimbang,” tambah Kiai Sahal.

Persoalan yang paling urgen dan kadang diperdebatkan dalam Islam mengenai KB,
dikatakan Sahal, adalah soal penentuan jumlah anak. Ada sebagian kalangan yang
menilai membatasi kelahiran dengan alasan takut tidak bisa menghidupi anak, tidak
dibenarkan dalam Islam.

Mengenai hal itu, Sahal Mahfudz tidak membantah. Dalam kepercayaan Islam, rejeki
memang telah ada yang mengatur. “Untuk itu, yang paling tepat adalah
mengemukakan alasan kesehatan, dimana jika jarak kelahiran diatur, maka kesehatan
istri yang berarti kesejahteraan keluarga, bisa lebih terjaga,” ujarnya.

Mengenai penjarakan kehamilan demi alasan kesehatan ini, dikatakan Sahal telah pula
dilakukan di zaman Rasulullah SAW. Dalam masa itu, sebagaimana dikatakan dalam
dua buah hadits yang diriwayatkan masing-masing oleh Bukhori dan Muslim, seorang
sahabat Rasul mengaku telah melakukan azal, yakni mengeluarkan air mani di luar
vagina istri atau yang lazim disebut saat ini sebagai senggama terputus, namun tidak
dilarang oleh Rasul.

Kenyataannya memang demikian. Rasul tidak pernah melarang azal, sebauh metode
KB yang tetap digunakan hingga saat ini. “Dengan demikian, tidak ada juga
pelarangan bagi KB metode lain yang menggunakan alat, jika emang alasannya
adalah mengatur jarak kelahiran dan perencanaan keluarga sejahtera dan berkualitas,”
tambah Sahal.

Keluarga bekualitas memang sebuah kebutuhan yang tak bisa ditawar-tawar lagi.
Pasalnya, dalam keluarga semacam itu, lahir generasi dengan harapan dan masa depan
yang lebih baik. Lebih dari itu, keluarga berkualitas dalam program KB, dikatakan
Sahal Mahfudz juga akan berdampak pada tercapainya tiga hal, yakni terpeliharanya
kesehatan ibu dan anak, teejaminnya keselamatan jiwa dan kesehatan rohani ibu sejak
hamil melahirkan, menyusui dan mengasuh anak.

Selain itu, ada juga jaminan terhadap terpeliharanya keselamatan jiwa, kesehatan
jasmani dan rohani anak serta pendidikannya, disamping terjaminnya keselamatan
agama orang tua yang dibebani kewajiban memenuhi kebutuhan hidup keluarga.
“Pasalnya, jangan sampai dengan alasan memenuhi kebutuhan hidup keluarga,
5
seorang ayah tega merampok atau membunuh demi uang,” tandas Sahal. (dian)
http://ayo3zone.wordpress.com/2007/06/29/program-kb-dalam-perspektif-islam/

B. Kloning dan Bayi Tabung menurut islam

Dalam kitab-kitab klasik belum (atau mungkin malah tidak) ditemukan pendapat-
pendapat pakar hukum Islam mengenai hukum spesifik cloning. Namun, metode
pengambilan hukum-melalui kaidah-kaidah ushul fiqh-yang telah digunakan mereka
bisa dijadikan panduan untuk mengambil dan menentukan kasus-kasus hukum yang
akan terjadi berikutnya. Karena belum (mungkin juga tidak) ditemukannya rujukan
dari kitab-kitab hukum terdahulu, para ahli hukum sekarang masih memperdebatkan
masalah ini dan belum ditemukan kesepakatan final dalam kasus yang menyeluruh. Di
sini kami akan kemukakan beberapa pendapat sebagian ahli hukum Islam masa kini
mengenai kasus cloning ini. Pendapat ini kami kutip dari kajian yang dibuat Badan
Kajian Keislaman (Majma' al-Buh ‫»أ‬ts al-Isl ‫أ‬¢miyyah), Kairo, Mesir. Cloning
terhadap tumbuh-tumbuhan atau hewan asalkan memiliki daya guna (bermanfaat)
bagi kehidupan manusia maka hukumnya mubah/halal. Hal ini didasarkan pada
prinsip bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini diciptakan untuk kesejahteraan
manusia (lihat surat al-Baqarah/2:29 dan surat al-J ‫أ‬¢tsiyah/45:13). Adapun hukum
meng-cloning manusia, terdapat rincian tersendiri. Tergantung cara cloning yang
dilakukan. Paling tidak ada empat cara yang bisa dilakukan dalam cloning: Cara
pertama, cloning dilakukan dengan mengambil inti sel (nucleus of cells) "wanita lain
(pendonor sel telur)" yang kemudian ditanamkan ke dalam ovum wanita kandidat
yang nekleusnya telah dikosongkan. Cara kedua, cloning dilakukan dengan
menggunakan inti sel (nucleus) "wanita kandidat" itu sendiri, dari sel telur milik
sendiri bukan dari pendonor. Cara ketiga, cloning dilakukan dengan menanamkan inti
sel (nucleus) jantan ke dalam ovum wanita yang telah dikosongkan nukleusnya. Sel
jantan ini bisa berasal dari hewan, bisa dari manusia. Terus manusia ini bisa pria lain,
bisa juga suami si wanita. Cara keempat, cloning dilakukan dengan cara pembuahan
(fertilization) ovum oleh sperma (dengan tanpa hubungan sex) yang dengan proses
tertentu bisa menghasilkan embrio-embrio kembar yang banyak. Pada kasus dua cara
pertama, pendapat yang dikemukakan adalah haram, dilarang melakukan cloning
yang semacam itu dengan dasar analogi (qiyas) kepada haramnya lesbian dan
sadduzarai' (tindakan pencegahan, precaution) atas timbulnya kerancuan pada nasab
atau sistem keturunan, padahal melindungi keturunan ini termasuk salah satu
kewajiban agama. Di alin pihak juga akan menghancurkan sistem keluarga yang
merupakan salah ajaran agama Islam. Pada cara ketiga dan keempat, cloning haram
dilakukan jika sel atau sperma yang dipakai milik lelaki lain (bukan suami) atau milik
hewan. Jika sel atau sperma yang dipakai milik suami sendiri maka hukumnya belum
bisa ditentukan (tawaquf), melihat dulu maslahat dan bahayanya dalam kehidupan
sosial. Untuk menentukan hukum pastinya harus didiskusikan dahulu dengan
melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu, yang meliputi ilmuwan
kedokteran, ilmuwan biologi (geneticist, biophysicist, dkk), sosiolog, psikolog,
ilmuwan hukum, dan agamawan (pakar fiqh). Jika hasilnya bisa membikin kacau
tatanan masyarakat (karena banyak orang kembar, sehingga jika ada tindak kriminal
atau kasus hukum lainnya susah diidentifikasi, dan mungkin efek-efek lain) maka
hukumnya tidak boleh, haram. Cara mengatasinya dengan melihat maslahah dan
6
madharatnya. Jika hukum cloning sudah menjadi keputusan haram atau halal, maka
tentu bisa ditindak lanjuti melalui lembaga-lembaga yang berwenang untuk melarang
atau menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya. wa 'l-Lah-u a'lam Wassalam
Shocheh Ha.

http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=12&Itemid=30 diakses tgl 15 Januari 2010.

Adapun hukum kloning manusia –andaikata saja sudah berhasil dilakukan, padahal
kenyataannya belum– dan kloning embrio adalah sebagai berikut :

1. Kloning Embrio:

Kloning embrio terjadi pada sel embrio yang berasal dari rahim isteri, yang terbentuk
dari pertemuan antara sel sperma suaminya dengan sel telurnya. Lalu sel embrio itu
dibagi dengan suatu teknik perbanyakan menjadi beberapa sel embrio yang berpotensi
untuk membelah dan berkembang. Kemudian sel-sel embrio itu dipisahkan agar
masing-masing menjadi embrio tersendiri yang persis sama dengan sel embrio
pertama yang menjadi sumber pengambilan sel. Selanjutnya sel-sel embrio itu dapat
ditanamkan dalam rahim perempuan asing (bukan isteri), atau dalam rahim isteri
kedua dari suami bagi isteri pertama pemilik sel telur yang telah dibuahi tadi. Kedua
bentuk kloning ini hukumnya haram. Sebab dalam hal ini telah terjadi
pencampuradukan dan penghilangan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah
mengharamkan hal ini.

Akan tetapi jika sel-sel embrio tersebut –atau satu sel darinya– ditanamkan ke dalam
rahim perempuan pemilik sel telur itu sendiri, maka kloning seperti ini hukumnya
mubah menurut syara’, sebab kloning seperti ini adalah upaya memperbanyak embrio
yang sudah ada dalam rahim perempuan itu sendiri, dengan suatu teknik tertentu
untuk menghasilkan anak kembar. Inilah hukum syara’ untuk kloning embrio.

2. Kloning Manusia :

Adapun hukum kloning manusia, meskipun hal ini belum terjadi, tetapi para pakar
mengatakan bahwa keberhasilan kloning hewan sesungguhnya merupakan
pendahuluan bagi keberhasilan kloning manusia.

Kloning manusia dapat berlangsung dengan adanya laki-laki dan perempuan dalam
prosesnya. Proses ini dilaksanakan dengan mengambil sel dari tubuh laki-laki, lalu inti
selnya diambil dan kemudian digabungkan dengan sel telur perempuan yang telah
dibuang inti selnya. Sel telur ini –setelah bergabung dengan inti sel tubuh laki-laki–
lalu ditransfer ke dalam rahim seorang perempuan agar dapat memeperbanyak diri,
berkembang, berubah menjadi janin, dan akhirnya dilahirkan sebagai bayi. Bayi ini
merupakan keturunan dengan kode genetik yang sama dengan laki-laki yang menjadi
sumber pengambilan sel tubuh. Kloning manusia dapat pula berlangsung di antara
perempuan saja, tanpa memerlukan kehadiran laki-laki. Proses ini dilaksanakan
dengan mengambil sel dari tubuh seorang perempuan, kemudian inti selnya diambil
dan digabungkan dengan sel telur perempuan yang telah dibuang inti selnya. Sel telur
ini –setelah bergabung dengan inti sel tubuh perempuan– lalu ditransfer ke dalam
rahim perempuan agar memperbanyak diri, berkembang, berubah menjadi janin, dan
7
akhirnya dilahirkan sebagai bayi. Bayi yang dilahirkan merupakan keturunan dengan
kode genetik yang sama dengan perempuan yang menjadi sumber pengambilan sel
tubuh.

Hal tersebut mirip dengan apa yang telah berhasil dilakukan pada hewan domba
(Dolly). Mula-mula inti sel diambil dari tubuh domba, yaitu dari payudara atau
ambingnya, lalu sifat-sifat khusus yang berhubungan dengan fungsi ambing ini
dihilangkan. Kemudian inti sel tersebut dimasukkan ke dalam lapisan sel telur domba,
setelah inti selnya dibuang. Sel telur ini kemudian ditanamkan ke dalam rahim domba
agar memperbanyak diri, berkembang, berubah menjadi janin, dan akhirnya
dihasilkan bayi domba. Inilah domba bernama Dolly itu, yang mempunyai kode
genetik yang sama dengan domba pertama yang menjadi sumber pengambilan sel
ambing.

Kloning yang dilakukan pada laki-laki atau perempuan –baik yang bertujuan untuk
memperbaiki kualitas keturunan dengan menghasilkan keturunan yang lebih cerdas,
lebih kuat, lebih sehat, dan lebih rupawan, maupun yang bertujuan untuk
memperbanyak keturunan guna meningkatkan jumlah penduduk suatu bangsa agar
bangsa atau negara itu lebih kuat– seandainya benar-benar terwujud, maka sungguh
akan menjadi bencana dan biang kerusakan bagi dunia. Kloning ini haram menurut
hukum Islam dan tidak boleh dilakukan. Dalil-dalil keharamannya adalah sebagai
berikut :

a. Anak-anak produk proses kloning tersebut dihasilkan melalui cara yang tidak
alami. Padahal justru cara alami itulah yang telah ditetapkan oleh Allah untuk
manusia dan dijadikan-Nya sebagai sunnatullah untuk menghasilkan anak-anak
dan keturunan. Allah SWT berfirman :

“dan Bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan


perempuan, dari air mani apabila dipancarkan.” (QS. An Najm : 45-46)

Allah SWT berfirman :

“Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim),
kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, dan
menyempurnakannya.” (QS. Al Qiyaamah : 37-38)

b. Anak-anak produk kloning dari perempuan saja (tanpa adanya laki-laki), tidak
akan mempunyai ayah. Dan anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari
proses pemindahan sel telur –yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh– ke
dalam rahim perempuan yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan mempunyai
ibu. Sebab rahim perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut
hanya menjadi penampung, tidak lebih. Ini merupakan tindakan menyia-nyiakan
manusia, sebab dalam kondisi ini tidak terdapat ibu dan ayah. Hal ini bertentangan
dengan firman Allah SWT :

“Hai manusia, sesunguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan.” (QS. Al Hujuraat : 13)

Hal ini juga bertentangan dengan firman-Nya :


8
“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka.” (QS. Al Ahzaab : 5)

c. Kloning manusia akan menghilang nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah
mewajibkan pemeliharaan nasab. Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas RA, yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

“Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau
(seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan
mendapat laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.” (HR. Ibnu
Majah)

Diriwayatkan dari Abu ‘Utsman An Nahri RA, yang berkata,”Aku mendengar


Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,’Kedua telingaku telah mendengar
dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW :

“Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan
bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya
haram.” (HR. Ibnu Majah)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya tatkala turun ayat li’an (QS. )
dia mendengar Rasulullah SAW bersabda :

“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang)
yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari
Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa
saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat
(kemiripan)nya, maka Allah akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan
perbuatannya itu di hadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada
Hari Kiamat nanti).” (HR. Ad Darimi)

Kloning yang bertujuan memproduksi manusia-manusia yang unggul –dalam hal


kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan, kerupawanan– jelas mengharuskan seleksi
terhadap para laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat-sifat unggul terse-
but, tanpa mempertimbangkan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah
menikah atau belum. Dengan demikian sel-sel tubuh akan diambil dari laki-laki
dan perempuan yang mempunyai sifat-sifat yang diinginkan, dan sel-sel telur juga
akan diambil dari perempuan-perempuan terpilih, serta diletakkan pada rahim
perempuan terpilih pula, yang mempunyai sifat-sifat keunggulan. Semua ini akan
mengakibatkan hilangnya nasab dan bercampur aduknya nasab.

d. Memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah pelaksanaan banyak


hukum-hukum syara’, seperti hukum tentang perkawinan, nasab, nafkah, hak dan
kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak, hubungan kemahraman,
hubungan ‘ashabah, dan lain-lain. Di samping itu kloning akan mencampur
adukkan dan menghilangkan nasab serta menyalahi fitrah yang telah diciptakan
Allah untuk manusia dalam masalah kelahiran anak. Kloning manusia sungguh
merupakan perbuatan keji yang akan dapat menjungkir balikkan struktur
kehidupan masyarakat.

9
Berdasarkan dalil-dalil itulah proses kloning manusia diharamkan menurut
hukum Islam dan tidak boleh dilaksanakan. Allah SWT berfirman mengenai
perkataan Iblis terkutuk, yang mengatakan :

“…dan akan aku (Iblis) suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar
mereka mengubahnya.” (QS. An Nisaa’ : 119)

Yang dimaksud dengan ciptaan Allah (khalqullah) dalam ayat tersebut adalah
suatu fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk manusia. Dan fitrah dalam
kelahiran dan berkembang biak pada manusia adalah dengan adanya laki-laki dan
perempuan, serta melalui jalan pembuahan sel sperma laki-laki pada sel telur
perempuan. Sementara itu Allah SWT telah menetapkan bahwa proses
pembuahan tersebut wajib terjadi antara seorang laki-laki dan perempuan yang
diikat dengan akad nikah yang sah.

Dengan demikian kelahiran dan perkembangbiakan anak melalui kloning


bukanlah termasuk fitrah. Apalagi kalau prosesnya terjadi antara laki-laki dan
perempuan yang tidak diikat dengan akad nikah yang sah.

C. Bayi Tabung

Proses pembuahan dengan metode bayi tabung antara sel sperma sel suami
dengan sel telur isteri, sesungguhnya merupakan suatu upaya medis untuk
memungkinkan sampainya sel sperma suami ke sel telur isteri. Sel sperma
tersebut akn membuahi sel telur bukan pada tempatnya yang alami, sel telur yang
telah dibuahi ini kemudian akan diletakkan pada rahim isteri dengan metode
tertentu sehinnga kehamilan akan terjadi secara alamiah di dalamnya.

Menurut Fatwa MUI (hasil komisi fatwa tanggal 13 Juni 1979), Dewan Pimpinan
Majelis Ulama Indonesia memfatwakan sbb :

1. Bayi tabung dengan sperma clan ovum dari pasangan suami isteri yang
sah hukumnya mubah (boleh), sebab hak ini termasuk ikhiar berdasarkan
kaidahkaidah agama.
2. Bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang
lain (misalnya dari isteri kedua dititipkan pada isteri pertama) hukumnya
haram berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ), sebab hal ini akan
menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan masalah
warisan (khususnya antara anak yang dilahirkan dengan ibu yang
mempunyai ovum dan ibu yang mengandung kemudian melahirkannya,
dan sebaliknya).
3. Bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah
meninggal dunia hukumnya haram berdasarkan kaidah Sadd a z-zari’ah ( ),
sebab hal ini akan menimbulkan masala~ yang pelik, baik dalam kaitannya
dengan penentuan nasab maupun dalam kaitannya dengan hal kewarisan.
4. Bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasangna
suami isteri yang sah hukumnya haram, karena itu statusnya sama dengan
hubungan kelamin antar lawan jenis di luar pernikahan yang sah (zina),
dan berdasarkan kaidah Sadd az-zari’ah ( ), yaitu untuk menghindarkan
terjadinya perbuatan zina sesungguhnya.
10
Menurut salah satu putusan fatwa ulama Saudi Arabia, disebutkan bahwa Alim
ulama di lembaga riset pembahasan ilmiyah, fatwa, dakwah dan bimbingan Islam
di Kerajaan Saudi Arabia telah mengeluarkan fatwa pelarangan praktek bayi
tabung. Karena praktek tersebut akan menyebabkan terbukanya aurat,
tersentuhnya kemaluan dan terjamahnya rahim. Kendatipun mani yang
disuntikkan ke rahim wanita tersebut adalah mani suaminya. Menurut pendapat
saya, hendaknya seseorang ridha dengan keputusan Allah Ta’ala, sebab Dia-lah
yang berfirman dalam kitab-Nya:

Dia menjadikan mandul siapa yang Dia dikehendaki. (QS. 42:50)

(Silakan lihat buku Al-Lu’lu’ Al-Makin kumpulan Fatawa Syaikh Bin Jibriin hal
56.)

Namun demikian ada fatwa lain yang dikeluarkan oleh majelis Mujamma’ Fiqih
Islami. Majelis ini menetapkan sebagai berikut:

Pertama: Lima perkara berikut ini diharamkan dan terlarang sama sekali, karena
dapat mengakibatkan percampuran nasab dan hilangnya hak orang tua serta
perkara-perkara lain yang dikecam oleh syariat.

1. Sperma yang diambil dari pihak lelaki disemaikan kepada indung telur
pihak wanita yang bukan istrinya kemudian dicangkokkan ke dalam rahim
istrinya.
2. Indung telur yang diambil dari pihak wanita disemaikan kepada
sperma yang diambil dari pihak lelaki yang bukan suaminya kemudian
dicangkokkan ke dalam rahim si wanita.
3. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari
sepasang suami istri, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim wanita lain
yang bersedia mengandung persemaian benih mereka tersebut.
4. Sperma dan indung telur yang disemaikan berasal dari lelaki dan
wanita lain kemudian dicangkokkan ke dalam rahim si istri.
5. Sperma dan indung telur yang disemaikan tersebut diambil dari
seorang suami dan istrinya, kemudian dicangkokkan ke dalam rahim
istrinya yang lain.

Kedua: Dua perkara berikut ini boleh dilakukan jika memang sangat dibutuhkan
dan setelah memastikan keamanan dan keselamatan yang harus dilakukan, sebagai
berikut:

1. Sperma tersebut diambil dari si suami dan indung telurnya diambil dari
istrinya kemudian disemaikan dan dicangkokkan ke dalam rahim istrinya.
2. Sperma si suami diambil kemudian di suntikkan ke dalam saluran
rahim istrinya atau langsung ke dalam rahim istrinya untuk disemaikan.

Secara umum beberapa perkara yang sangat perlu diperhatikan dalam masalah ini
adalah aurat vital si wanita harus tetap terjaga (tertutup) demikian juga
kemungkinan kegagalan proses operasi persemaian sperma dan indung telur itu
sangat perlu diperhitungkan. Demikian pula perlu diantisipasi kemungkinan
terjadinya pelanggaran amanah dari orang-orang yang lemah iman di rumah-
11
rumah sakit yang dengan sengaja mengganti sperma ataupun indung telur supaya
operasi tersebut berhasil demi mendapatkan materi dunia. Oleh sebab itu dalam
melakukannya perlu kewaspadaan yang ekstra ketat. Wallahu a’lam. Silakan lihat
Mujamma’ Fiqih hal 34.

Sementara itu Syaikh Nashiruddin Al-Albani berpendapat lain, beliau


berpendapat sbb : “Tidak boleh, karena proses pengambilan mani (sel telur
wanita) tersebut berkonsekuensi minimalnya sang dokter (laki-laki) akan melihat
aurat wanita lain. Dan melihat aurat wanita lain (bukan istri sendiri) hukumnya
adalah haram menurut pandangan syariat, sehingga tidak boleh dilakukan kecuali
dalam keadaan darurat.
Sementara tidak terbayangkan sama sekali keadaan darurat yang mengharuskan
seorang lelaki memindahkan maninya ke istrinya dengan cara yang haram ini.
Bahkan terkadang berkonsekuensi sang dokter melihat aurat suami wanita
tersebut, dan ini pun tidak boleh.
Lebih dari itu, menempuh cara ini merupakan sikap taklid terhadap peradaban
orang-orang Barat (kaum kuffar) dalam perkara yang mereka minati atau
(sebaliknya) mereka hindari. Seseorang yang menempuh cara ini untuk
mendapatkan keturunan dikarenakan tidak diberi rizki oleh Allah berupa anak
dengan cara alami (yang dianjurkan syariat), berarti dia tidak ridha dengan takdir
dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atasnya. Jikalau saja Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan membimbing kaum muslimin
untuk mencari rizki berupa usaha dan harta dengan cara yang halal, maka lebih-
lebih lagi tentunya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan dan
membimbing mereka untuk menempuh cara yang sesuai dengan syariat (halal)
dalam mendapatkan anak.” (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah hal. 288).

http://prayudi.wordpress.com/2007/10/29/fatwa-bayi-tabung/ diakses pada tgl 15


Januari 2010

D. Transplantasi Organ

Yang dimaksud dengan transplantasi organ di sini adalah pemindahan organ tubuh
dari satu manusia kepada manusia lain, seperti pemindahan tangan, ginjal, dan
jantung. Transplantasi merupakan pemindahan sebuah organ atau lebih dari seorang
manusia –pada saat dia hidup, atau setelah mati– kepada manusia lain. Hukum
transplantasi organ adalah sebagai berikut :

1. Transplantasi Organ Dari Donor Yang Masih Hidup :


Syara’ membolehkan seseorang pada saat hidupnya –dengan sukarela tanpa ada
paksaan siapa pun– untuk menyumbangkan sebuah organ tubuhnya atau lebih kepada
orang lain yang membutuhkan organ yang disumbangkan itu, seperti tangan atau
ginjal. Ketentuan itu dikarenakan adanya hak bagi seseorang –yang tangannya
terpotong, atau tercongkel matanya akibat perbuatan orang lain– untuk mengambil
diyat (tebusan), atau memaafkan orang lain yang telah memotong tangannya atau
mencongkel matanya. Memaafkan pemotongan tangan atau pencongkelan mata,
hakekatnya adalah tindakan menyumbangkan diyat. Sedangkan penyumbangan diyat
itu berarti menetapkan adanya pemilikan diyat, yang berarti pula menetapkan adanya
pemilikan organ tubuh yang akan disumbangkan dengan diyatnya itu. Adanya hak
milik orang tersebut terhadap organ-organ tubuhnya berarti telah memberinya hak
12
untuk memanfaatkan organ-organ tersebut, yang berarti ada kemubahan
menyumbangkan organ tubuhnya kepada orang lain yang membutuhkan organ
tersebut. Dan dalam hal ini Allah SWT telah membolehkan memberikan maaf dalam
masalah qishash dan berbagai diyat. Allah SWT berfirman :

“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan suatu rahmat.” (QS. Al
Baqarah : 178)
Syarat-Syarat Penyumbangan Organ Tubuh Bagi Donor Hidup Syarat bagi
kemubahan menyumbangkan organ tubuh pada saat seseorang masih hidup, ialah
bahwa organ yang disumbangkan bukan merupakan organ vital yang menentukan
kelangsungan hidup pihak penyumbang, seperti jantung, hati, dan kedua paru-paru.
Hal ini dikarenakan penyumbangan organ-organ tersebut akan mengakibatkan
kematian pihak penyumbang, yang berarti dia telah membunuh dirinya sendiri.
Padahal seseorang tidak dibolehkan membunuh dirinya sendiri atau meminta dengan
sukarela kepada orang lain untuk membunuh dirinya. Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)

Allah SWT berfirman pula :

“…dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)


melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS. Al An’aam : 151)

Keharaman membunuh orang yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) ini


mencakup membunuh orang lain dan membunuh diri sendiri. Imam Muslim
meriwayatkan dari Tsabit bin Adl Dlahaak RA yang mengatakan bahwa Rasulullah
SAW bersabda : “…dan siapa saja yang membunuh dirinya sendiri dengan sesuatu
(alat/sarana), maka Allah akan menyiksa orang tersebut dengan alat/sarana tersebut
dalam neraka Jahannam.”

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang
mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri,
maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.”

Demikian pula seorang laki-laki tidak dibolehkan menyumbangkan dua testis (zakar),
meskipun hal ini tidak akan menyebabkan kematiannya, sebab Rasulullah SAW telah
melarang pengebirian/pemotongan testis (al khisha’), yang akan menyebabkan
kemandulan. Imam Bukahri meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud RA, dia
berkata :

“Kami dahulu pernah berperang bersama Nabi SAW sementara pada kami tidak ada
isteri-isteri. Kami berkata, ‘Wahai Rasulullah bolehkah kami melakukan
pengebirian ?’ Maka beliau melarang kami untuk melakukannya.”

13
Hukum ini dapat diterapkan juga untuk penyumbangan satu buah testis, kendatipun
hal ini tidak akan membuat penyumbangnya menjadi mandul. Ini karena sel-sel
kelamin yang terdapat dalam organ-organ reproduktif –yaitu testis pada laki-laki dan
indung telur pada perempuan– merupakan substansi yang dapat menghasilkan anak,
sebab kelahiran manusia memang berasal dari sel-sel kelamin. Dalam testis terdapat
sel-sel penghasil sel-sel sperma mengingat testis merupakan pabrik penghasil sel
sperma. Dan testis akan tetap menjadi tempat penyimpanan –yakni pabrik penghasil
sel sperma dari sel-selnya– baik testis itu tetap pada pemiliknya atau pada orang yang
menerima transplantasi testis dari orang lain. Atas dasar itu, maka kromosom anak-
anak dari penerima transplantasi testis, sebenarnya berasal dari orang penyumbang
testis, sebab testis yang telah dia sumbangkan itulah yang telah menghasilkan sel-sel
sperma yang akhirnya menjadi anak. Karena itu, anak-anak yang dilahirkan akan
mewarisi sifat-sifat dari penyumbang testis dan tidak mewarisi sedikitpun sifat-sifat
penerima sumbangan testis. Jadi pihak penyumbang testislah yang secara biologis
menjadi bapak mereka. Maka dari itu, tidak dibolehkan menyumbangkan satu buah
testis, sebagaimana tidak dibolehkan pula menyumbangkan dua buah testis. Sebab,
menyumbangkan dua buah testis akan menyebabkan kemandulan pihak penyumbang.
Di samping itu, menyumbangkan satu atau dua buah testis akan menimbulkan
pencampuradukan dan penghilangan nasab. Padahal Islam telah mengharamkan hal
ini dan sebaliknya telah memerintahkan pemeliharaan nasab. Imam Ibnu Majah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, dia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda
: “Siapa saja yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau
(seorang budak) bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat
laknat dari Allah, para malaikat, dan seluruh manusia.”

Imam Ibnu Majah meriwayatkan pula dari Utsman An Nahri RA, dia berkata, “Aku
mendengar Sa’ad dan Abu Bakrah masing-masing berkata,’Kedua telingaku telah
mendengar dan hatiku telah menghayati sabda Muhammad SAW :

“Siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak) kepada orang yang bukan bapaknya,
padahal dia tahu bahwa orang itu bukan bapaknya, maka surga baginya haram.”

Demikian pula Islam telah melarang seorang wanita memasukkan ke dalam kaumnya
nasab yang bukan dari kaumnya, dan melarang seorang laki-laki mengingkari
anaknya sendiri. Imam Ad Darimi meriwayatkan dari Abu Hurairah RA bahwa dia
mendengar Rasulullah SAW bersabda tatkala turun ayat li’an :

“Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab (seseorang) yang
bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat apa pun dari Allah dan
Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan siapa saja laki-laki
yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat (kemiripan)nya, maka Allah
akan tertutup darinya dan Allah akan membeberkan perbuatannya itu di hadapan
orang-orang yang terdahulu dan kemudian (pada Hari Kiamat nanti).”

2. Hukum Transplantasi Dari Donor Yang Telah Meninggal :


Hukum tranplanstasi organ dari seseorang yang telah mati berbeda dengan hukum
transplantasi organ dari seseorang yang masih hidup. Untuk mendapatkan kejelasan
hukum trasnplantasi organ dari donor yang sudah meninggal ini, terlebih dahulu harus
diketahui hukum pemilikan tubuh mayat, hukum kehormatan mayat, dan hukum
keadaan darurat. Mengenai hukum pemilikan tubuh seseorang yang telah meninggal,
14
kami berpendapat bahwa tubuh orang tersebut tidak lagi dimiliki oleh seorang pun.
Sebab dengan sekedar meninggalnya seseorang, sebenarnya dia tidak lagi memiliki
atau berkuasa terhadap sesuatu apapun, entah itu hartanya, tubuhnya, ataupun
isterinya. Oleh karena itu dia tidak lagi berhak memanfaatkan tubuhnya, sehingga dia
tidak berhak pula untuk menyumbangkan salah satu organ tubuhnya atau mewasiat-
kan penyumbangan organ tubuhnya. Berdasarkan hal ini, maka seseorang yang sudah
mati tidak dibolehkan menyumbangkan organ tubuhnya dan tidak dibenarkan pula
berwasiat untuk menyumbangkannya. Sedangkan mengenai kemubahan mewasiatkan
sebagian hartanya, kendatipun harta bendanya sudah di luar kepemilikannya sejak dia
meninggal, hal ini karena Asy Syari’ (Allah) telah mengizinkan seseorang untuk
mewasiatkan sebagian hartanya hingga sepertiga tanpa seizin ahli warisnya. Jika lebih
dari sepertiga, harus seizin ahli warisnya. Adanya izin dari Asy Syari’ hanya khusus
untuk masalah harta benda dan tidak mencakup hal-hal lain. Izin ini tidak mencakup
pewasiatan tubuhnya. Karena itu dia tidak berhak berwasiat untuk menyumbangkan
salah satu organ tubuhnya setelah kematiannya. Mengenai hak ahli waris, maka Allah
SWT telah mewariskan kepada mereka harta benda si mayit, bukan tubuhnya. Dengan
demikian, para ahli waris tidak berhak menyumbangkan salah satu organ tubuh si
mayit, karena mereka tidak memiliki tubuh si mayit, sebagaimana mereka juga tidak
berhak memanfaatkan tubuh si mayit tersebut. Padahal syarat sah menyumbangkan
sesuatu benda, adalah bahwa pihak penyumbang berstatus sebagai pemilik dari benda
yang akan disumbangkan, dan bahwa dia mempunyai hak untuk memanfaatkan benda
tersebut. Dan selama hak mewarisi tubuh si mayit tidak dimiliki oleh para ahli waris,
maka hak pemanfaatan tubuh si mayit lebih-lebih lagi tidak dimiliki oleh selain ahli
waris, bagaimanapun juga posisi atau status mereka. Karena itu, seorang dokter atau
seorang penguasa tidak berhak memanfaatkan salah satu organ tubuh seseorang yang
sudah meninggal untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkannya.
Adapun hukum kehormatan mayat dan penganiayaan terhadapnya, maka Allah SWT
telah menetapkan bahwa mayat mempunyai kehormatan yang wajib dipelihara
sebagaimana kehormatan orang hidup. Dan Allah telah mengharamkan pelanggaran
terhadap kehormatan mayat sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang
hidup. Allah menetapkan pula bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan
menganiaya orang hidup. Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa
Rasulullah SAW bersabda :

“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR.
Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).

Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari RA, dia
berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka
beliau lalu bersabda :

“Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !”

Imam Muslim dan Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata
bahwa Rasulullah SAW telah bersabda :

“Sungguh jika seorang dari kalian duduk di atas bara api yang membakarnya, niscaya
itu lebih baik baginya daripada dia duduk di atas kuburan !”

15
Hadits-hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan
sebagaimana orang hidup. Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat
adalah sama dengan melanggar kehormatan dan menganiaya orang hidup. Dan
sebagaimana tidak boleh menganiaya orang hidup dengan membedah perutnya, atau
memenggal lehernya, atau mencongkel matanya, atau memecahkan tulangnya, maka
begitu pula segala penganiayaan tersebut tidak boleh dilakukan terhadap mayat.
Sebagaimana haram menyakiti orang hidup dengan mencaci maki, memukul, atau
melukainya, maka demikian pula segala perbuatan ini haram dilakukan terhadap
mayat. Hanya saja penganiayaan terhadap mayat dengan memecahkan tulangnya,
memenggal lehernya, atau melukainya, tidak ada denda (dlamaan) padanya
sebagaimana denda pada penganiayaan orang hidup. Sebab Rasulullah SAW tidak
menetapkan adanya denda sedikit pun terhadap seseorang yang telah memecahkan
tulang mayat di hadapan beliau, ketika orang itu sedang menggali kubur. Rasulullah
SAW hanya memerintahkan orang itu untuk memasukkan potongan-potongan tulang
yang ada ke dalam tanah. Dan Rasulullah menjelaskan kepadanya bahwa
memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang hidup dari segi
dosanya saja. Tindakan mencongkel mata mayat, membedah perutnya untuk diambil
jantungnya, atau ginjalnya, atau hatinya, atau paru-parunya, untuk ditransplantasikan
kepada orang lain yang membutuhkannya, dapat dianggap sebagai mencincang mayat.
Padahal Islam telah melarang perbuatan ini. Imam Bukhari telah meriwayatkan dari
Abdullah bin Zaid Al Anshari ra, dia berkata, “Rasulullah SAW telah melarang
(mengambil) harta hasil rampasan dan mencincang (mayat musuh).”

Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam An Nasai meriwayatkan dari Shafwan
bin ‘Asaal RA, dia berkata,”Rasulullah SAW telah mengutus kami dalam sebuah
sariyah (divisi pasukan yang diutus Rasulullah), lalu beliau bersabda :

“Majulah kalian dengan nama Allah dan di jalan Allah. Maka perangilah orang-orang
yang kafir terhadap Allah, dan janganlah kalian mencincang (mayat musuh),
melakukan pengkhianatan, dan membunuh anak-anak !”

Dengan penjelasan fakta hukum mengenai pelanggaran kehormatan mayat dan


penganiayaan terhadapnya ini, maka jelaslah bahwa tidak dibolehkan membedah
perut mayat dan mengambil sebuah organnya untuk ditransplantasikan kepada orang
lain. Ini karena tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran terhadap kehormatan
mayat serta merupakan penganiayaan dan pencincangan terhadapnya. Padahal
melanggar kehormatan mayat dan mencincangnya telah diharamkan secara pasti oleh
syara’.

Keadaan Darurat

Keadaan darurat adalah keadaan di mana Allah membolehkan seseorang yang


terpaksa –yang kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya terancam kematian–
untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang diharamkan Allah,
seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain. Apakah dalam keadaan seperti ini
dibolehkan mentransplantasikan salah satu organ tubuh mayat untuk menyelamatkan
kehidupan orang lain, yang kelangsungan hidupnya tergantung pada organ yang akan
dipindahkan kepadanya ? Untuk menjawab pertanyaan itu harus diketahui terlebih
dahulu hukum darurat, sebagai langkah awal untuk dapat mengetahui hukum
transplantasi organ tubuh dari orang yang sudah mati kepada orang lain yang
16
membutuhkannya. Mengenai hukum darurat, maka Allah SWT telah membolehkan
orang yang terpaksa –yang telah kehabisan bekal makanan, dan kehidupannya
terancam kematian– untuk memakan apa saja yang didapatinya dari makanan yang
diharamkan Allah –seperti bangkai, darah, daging babi, dan lain-lain– hingga dia
dapat mempertahankan hidupnya. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah, daging babi,
dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa atasnya.”
(QS. Al Baqarah : 173)

Maka orang yang terpaksa tersebut boleh memakan makanan haram apa saja yang
didapatinya, sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya dan mempertahankan
hidupnya. Kalau dia tidak mau memakan makanan tersebut lalu mati, berarti dia telah
berdosa dan membunuh dirinya sendiri. Padahal Allah SWT berfirman :

“Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian.” (QS. An Nisaa’ : 29)

Dari penjelasan di atas, dapatkah hukum darurat tersebut diterapkan –dengan jalan
Qiyas– pada fakta transplantasi organ dari orang yang sudah mati kepada orang lain
yang membutuhkannya guna menyelamatkan kehidupannya ? Jawabannya
memerlukan pertimbangan, sebab syarat penerapan hukum Qiyas dalam masalah ini
ialah bahwa ‘illat (sebab penetapan hukum) yang ada pada masalah cabang sebagai
sasaran Qiyas –yaitu transplantasi organ– harus juga sama-sama terdapat pada
masalah pokok yang menjadi sumber Qiyas –yaitu keadaan darurat bagi orang yang
kehabisan bekal makanan– baik pada ‘illat yang sama, maupun pada jenis ‘illatnya.
Hal ini karena Qiyas sesungguhnya adalah menerapkan hukum masalah pokok pada
masalah cabang, dengan perantaraan ‘illat pada masalah pokok. Maka jika ‘illat
masalah cabang tidak sama-sama terdapat pada masalah pokok –dalam sifat
keumumannya atau kekhususannya– maka berarti ‘illat masalah pokok tidak terdapat
pada masalah cabang. Ini berarti hukum masalah pokok tidak dapat diterapkan pada
masalah cabang. Dalam kaitannya dengan masalah transplantasi, organ yang
ditransplantasikan dapat merupakan organ vital yang diduga kuat akan dapat
menyelamatkan kehidupan, seperti jantung, hati, dua ginjal, dan dua paru-paru. Dapat
pula organ tersebut bukan organ vital yang dibutuhkan untuk menyelamatkan
kehidupan, seperti dua mata, ginjal kedua (untuk dipindahkan kepada orang yang
masih punya satu ginjal yang sehat), tangan, kaki, dan yang semisalnya. Mengenai
organ yang tidak menjadi tumpuan harapan penyelamatan kehidupan dan
ketiadaannya tidak akan membawa kematian, berarti ‘illat masalah pokok –yaitu
menyelamatkan kehidupan– tidak terwujud pada masalah cabang (transplantasi).
Dengan demikian, hukum darurat tidak dapat diterapkan pada fakta transplantasi. Atas
dasar itu, maka menurut syara’ tidak dibolehkan mentransplantasikan mata, satu ginjal
(untuk dipindahkan kepada orang yang masih mempunyai satu ginjal yang sehat),
tangan, atau kaki, dari orang yang sudah meninggal kepada orang lain yang
membutuhkannya. Sedangkan organ yang diduga kuat menjadi tumpuan harapan
penyelamatan kehidupan, maka ada dua hal yang harus diperhatikan :Pertama, ‘Illat
yang terdapat pada masalah cabang (transplantasi) –yaitu menyelamatkan dan
mempertahankan kehidupan– tidak selalu dapat dipastikan keberadaannya, berbeda
halnya dengan keadaan darurat. Sebab, tindakan orang yang terpaksa untuk memakan
17
makanan yang diharamkan Allah SWT, secara pasti akan menyelamatkan
kehidupannya. Sedangkan pada transplantasi jantung, hati, dua paru-paru, atau dua
ginjal, tidak secara pasti akan menyelamatkan kehidupan orang penerima organ.
Kadang-kadang jiwanya dapat diselamatkan dan kadang-kadang tidak. Ini dapat
dibuktikan dengan banyak fakta yang terjadi pada orang-orang yang telah menerima
transplantasi organ. Karena itu, ‘illat pada masalah cabang (transplantasi) tidak
terwujud dengan sempurna.Kedua, Ada syarat lain dalam syarat-syarat masalah
cabang dalam Qiyas, yaitu pada masalah cabang tidak dibenarkan ada nash lebih kuat
yang bertentangan dengannya (ta’arudl raajih), yang berlawanan dengan apa yang
dikehendaki oleh ‘illat Qiyas. Dalam hal ini pada masalah cabang –yakni transplantasi
organ– telah terdapat nash yang lebih kuat yang berlawanan dengan apa yang
dikehendaki ‘illat Qiyas, yaitu keharaman melanggar kehormatan mayat, atau
keharaman menganiaya dan mencincangnya. Nash yang lebih kuat ini, bertentangan
dengan apa yang dikehendaki oleh ‘illat masalah cabang (transplantasi organ), yaitu
kebolehan melakukan transplantasi. Berdasarkan dua hal di atas, maka tidak
dibolehkan mentransplantasikan organ tubuh yang menjadi tumpuan harapan
penyelamatan kehidupan –seperti jantung, hati, dua ginjal, dua paru-paru– dari orang
yang sudah mati yang terpelihara darahnya (ma’shumud dam) –baik dia seorang
muslim, ataupun seorang dzimmi*, seorang mu’ahid**, dan seorang musta’min*** —
kepada orang lain yang kehidupannya tergantung pada organ yang akan
ditransplantasikan kepadanya.
http://indonesia.faithfreedom.org/forum/transplantasi-organ-tdk-boleh-haram-t29767/
diakses tgl 15 Januari 2010.

E. Tranfusi Darah

Masalah transfusi darah yaitu memindahkan darah dari seseorang kepada orang lain
untuk menyelamatkan jiwanya. Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah
menyumbangkan darahnya untuk tujuan kemanusiaan, bukan komersialisasi, baik
darahnya disumbangkan secara langsung kepada orang yang memerlukannya,
misalnya untuk anggota keluarga sendiri, maupun diserahkan pada palang merah atau
bank darah untuk disimpan sewaktu-waktu untuk menolong orang yang memerlukan.

Penerima sumbangan darah tidak disyariatkan harus sama dengan donornya mengenai
agama/kepercayaan, suku bangsa, dsb. Karena menyumbangkan darah dengan ikhlas
adalah termasuk amal kemanusiaan yang sangat dihargai dan dianjurkan (mandub)
oleh Islam, sebab dapat menyelamatkan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah:
“dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia
memelihara kehidupan manusia semuanya.” (QS. Al-Maidah:32).

Jadi boleh saja mentransfusikan darah seorang muslim untuk orang non muslim dan
sebaliknya, demi menolong dan saling menghargai harkat sesama umat manusia.
Sebab Allah sebagai Khalik alam semesta termasuk manusia berkenan memuliakan
manusia, sebagaimana firman-Nya: “dan sesungguhnya Kami memuliakan anak cucu
Adam (manusia).” (QS. Al-Isra:70). Maka sudah seharusnya manusia bisa saling
menolong dan menghormati sesamanya.

Adapun dalil syar’i yang menjadi dasar untuk membolehkan transfusi darah tanpa
mengenal batas agama dan sebagainya, berdasarkan kaidah hukum fiqih Islam yang
18
berbunyi: “Al-Ashlu Fil Asyya’ al-Ibahah Hatta Yadullad Dalil ‘Ala Tahrimihi”
(bahwasanya pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh hukumnya, kecuali ada dalil
yang mengharamkannya). Padahal tidak ada satu ayat dan hadits pun yang secara
eksplisit atau dengan nash yang sahih, melarang transfusi darah, maka berarti transfusi
darah diperbolehkan, bahkan donor darah itu ibadah, jika dilakukan dengan niat
mencari keridhaan Allah dengan jalan menolong jiwa sesama manusia.

Namun untuk memperoleh maslahah (efektifitas positif) dan menghindari mafsadah


(bahaya/risiko), baik bagi donor darah maupun bagi penerima sumbangan darah,
sudah tentu transfusi darah itu harus dilakukan setelah melalui pemeriksaan yang teliti
terhadap kesehatan keduanya, terutama kesehatan pendonor darah; harus benar-benar
bebas dari penyakit menular, seperti AIDS dan HIV. Penyakit ini bisa menular
melalui transfusi darah, suntikan narkoba, dll.

Jelas bahwa persyaratan dibolehkannya transfusi darah itu berkaitan dengan masalah
medis, bukan masalah agama. Persyaratan medis ini harus dipenuhi, karena adanya
kaidah-kaidah fiqih seperti: “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya itu harus dihilangkan/
dicegah). Misalnya bahaya penularan penyakit harus dihindari dengan sterilisasi, dsb.,
“Ad-Dhararu La Yuzalu Bidharari Mitslihi” (Bahaya itu tidak boleh dihilangkan
dengan bahaya lain). Misalnya seorang yang memerlukan transfusi darah karena
kecelakaan lalu lintas atau operasi, tidak boleh menerima darah orang yang menderita
AIDS, sebab bisa mendatangkan bahaya lainnya yang lebih fatal. Dan Kaedah “La
Dharara wa La Dhirar” (Tidak boleh membuat mudarat kepada dirinya sendiri dan
tidak pula membuat mudarat kepada orang lain). Misalnya seorang pria yang terkena
AIDS tidak boleh kawin sebelum sembuh. Demikian pula seorang yang masih hidup
tidak boleh menyumbangkan ginjalnya kepada orang lain karena dapat
membahayakan hidupnya sendiri. Kaidah terakhir ini berasal dari hadits riwayat
Malik, Hakim, Baihaqi, Daruquthni dan Abu Said al-Khudri. Dan riwayat Ibnu Majah
dari Ibnu Abbas dan Ubadah bin Shamit.

Adapun hubungan antara donor dan resipien, adalah bahwa transfusi darah itu tidak
membawa akibat hukum adanya hubungan kemahraman antara donor dan resipien.
Sebab faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahraman sudah ditentukan oleh
Islam sebagaimana tersebut dalam An-Nisa:23, yaitu: Mahram karena adanya
hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya
sekandung, dsb, karena adanya hubungan perkawinan misalnya hubungan antara
seorang dengan mertuanya atau anak tiri dan istrinya yang telah disetubuhi dan
sebagainya, dan mahram karena adanya hubungan persusuan, misalnya hubungan
antara seorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang
sesusuan dan sebagainya.

Kemudian pada ayat berikutnya, (an-Nisa:24) ditegaskan bahwa selain wanita-wanita


yang tersebut pada An-Nisa:23 di atas adalah halal dinikahi. Sebab tidak ada
hubungan kemahraman. Maka jelaslah bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan
hubungan kemahraman antara pendonor dengan resipien. Karena itu perkawinan
antara pendonor dengan resipien itu diizinkan oleh hukum Islam.

Hukum asal dalam pengobatan, hendaknya dengan menggunakan sesuatu yang


diperbolehkan menurut syari’at. Namun, jika tidak ada cara lain untuk menambahkan
daya tahan dan mengobati orang sakit kecuali dengan darah orang lain, dan ini
19
menjadi satu-satunya usaha menyelamatkan orang sakit atau lemah, sementara para
ahli memiliki dugaan kuat bahwa ini akan memberikan manfaat bagi pasien, maka
dalam kondisi seperti ini diperbolehkan untuk mengobati dengan darah orang lain.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” [Al-Baqarah : 173]

Allah berfirman.

“Artinya : Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am :
119]

[Al-Fatawa Al-Muta’aliqqah Bit-Thibbi Wa Ahkamil Mardha, halaman 348-349]

Menurut Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh boleh mendonorkan darah
dalam kondisi:

Pertama : Siapakah orang yang diberi tambahan darah?

Kedua: Siapakah si pendonor darah?

Ketiga : Siapakah orang yang menjadi rujukan dalam masalah perlu transfusi darah
ini?

Yang Pertama : Orang yang perlu diberi tambahan darah ialah orang sakit atau
terluka, yang keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada donor darah.
Dasarnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi, dan binatang (yang ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak meginginkannya
dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya” [Al-Baqarah : 173]

Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Maidah : 3]

Allah berfirman.

“Artinya : Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkanNya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” [Al-An’am :
199]

20
Sisi pendalilan ayat-ayat ini adalah, ayat-ayat ini memberikan pengertian, jika
kesembuhan orang yang sakit atau terluka serta keberlangsungan hidupnya tergantung
pada transfusi darah dari orang lain kepadanya, sementara tidak ada obat yang mubah
yang dapat menggantikan darah dalam usaha penyembuhan dan penyelamatannya,
maka boleh mentransfusi darah kepadanya. Ini sebenarnya, bukan pengobatan namun
hanya memberi tambahan yang diperlukan.

Yang Kedua : Si pendonor darah adalah orang yang tidak terancam resiko jika ia
mendonorkan darah. Berdasarkan keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

“Artinya : Tidak membahayakan diri dan orang lain” [Riwayat Imam Ibnu Majah dan
dishahihkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani]

Yang Ketiga : Orang yang didengar ucapannya dalam masalah perlunya transfusi
darah adalah dokter muslim. Jika kesulitan mendapatkannya, saya tidak mengetahui
adanya larangan untuk mendengar ucapan dari dokter non muslim, baik Yahudi
ataupun Nasrani, jika ia ahli dan dipercaya orang banyak.

Dalilnya yaitu kisah yang terdapat dalam hadits shahih, bahwa pada saat melakukan
hijrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa seorang musyrik yang lihai
sebagai pemandu jalan.

Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan dalam kitabnya (Bada’i Al-Fawaid) :


“Dalam (kisah) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyewa Abdullah bin Uraiqith
Ad-Daili sebagai pemandu saat berhijrah padahal dia seorang kafir, terdapat dalil
bolehnya meruju’ kepada orang kafir dalam bidang kedokteran, celak, obat, tulis
menulis, hitungan, cacat atau yang lainnya, selama tidak masuk wilayah yang
mengandung keadilan.

Keberadaannya sebagai seorang kafir tidak serta merta menyebabkannya tidak bisa
dipercaya sama sekali dalam segala hal. Dan tidak ada yang lebih beresiko ketimbang
menjadikannya sebagai pemandu jalan, terutama seperti perjalanan melakukan
hijrah”.

Ibnul Muflih, dalam kitab Al-Adab Asy-Syar’iyah, menukil perkataan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah.

“Jika ada seorang Yahudi atau Nasrani yang ahli dalam masalah kedokteran serta
dipercaya banyak orang, maka boleh bagi seorang muslim untuk berobat kepadanya,
sebagaimana juga boleh menitipkan harta kepadanya dan bermu’amalah dengannya.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya
harta yang banyak, dikembalikannya kepadamu ; dan di antara mereka ada orang yang
jika kamu mempercayakan kepadanya satu dinar, tidak dikembalikannya kepadamu,
kecuali jika kamu selalu menagihnya” [Ali-Imran : 75]

Dalam hadits shahih (yang diriwayatkan Imam Bukhari, red) bahwa saat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hijrah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
21
menyewa seorang musyrik pemandu yang lihai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempercayakan jiwa serta harta kepadanya. Kabilah Khuza’ah menjadi tempat
rahasia Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang muslim di antara mereka
ataupun kafir. Dan diriwayatkan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan agar menjadikan Al-Harits bin Kaladah sebagi dokter padahal dia
kafir. Jika memungkinkan dia berobat kepada seorang muslim, sebagaimana juga
memungkinkan dia menitipkan barang atau bermu’amalah, maka semestinya dia tidak
beralih kepada non muslim.

Sedangkan, jika dia perlu untuk menitipkan barang kepada seorang ahli kitab atau
berobat kepadanya, maka hal itu boleh dilakukan. Ini tidak dikategorikan wala’
kepada Yahudi dan Nasrani yang terlarang”. Selesai perkataan Ibnu Taimiyah
rahimahullahu.

Demikian ini pendapat madzhab Malikiyah, Al-Mawardzi mengatakan : “Aku


memasukkan seorang Nasrani ke rumah Abu Abdillah, orang itu lalu menerangkan
(obat), sementara Abu Abdillah menuliskan keterangannya. Kemudian dia
menyuruhku untuk membeli obat itu untuknya.
[Al-Fatawa Al-Muta’alliqah Bith Thibbi Wa Ahkamil Mardha, halaman 346-348]

F. Haid dan Nifas


G. Menyusui

H. Kebersihan

Melalui Kitab Suci Al-Qur’an, Allah telah memberikan informasi spiritual kepada
manusia untuk bersikap ramah terhadap lingkungan. Informasi tersebut memberikan
sinyalamen bahwa manusia harus selalu menjaga dan melestarikan lingkungan agar
tidak menjadi rusak, tercemar bahkan menjadi punah, sebab apa yang Allah berikan
kepada manusia semata-mata merupakan suatu amanah. Melalui Kitab Suci yang
Agung ini (Al-Qur’an) membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan
kepada umatnya untuk bersikap ramah lngkungan. Firman Allah SWT Di dalam Al-
Qur’an sangat jelas berbicara tentang hal tersebut. Sikap ramah lingkungan yang
diajarkan oleh agama Islam kepada manusia dapat dirinci sebagai berikut : 1. Agar
manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan serta melestarikannya
Perhatikan surat Ar Ruum ayat 9 dibawah ini : Artinya : Dan apakah mereka tidak
mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang
diderita) oleh orang-orang sebelum mereka? orang-orang itu adalah lebih kuat dari
mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih
banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka
rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali
tidak berlaku zalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zalim kepada
diri sendiri. Pesan yang disampaikan dalam surat Ar Ruum ayat 9 di atas
menggambarkan agar manusia tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara

22
berlebihan yang dikwatirkan terjadinya kerusakan serta kepunahan sumber daya alam,
sehingga tidak memberikan sisa sedikitpun untuk generasi mendatang. Untuk itu
Islam mewajibkan agar manusia menjadi pelaku aktif dalam mengolah lingkungan
serta melestarikannya.Mengolah serta melestarikan lingkungan tercermin secara
sederhana dari tempat tinggal (rumah) seorang muslim. Rasulullah SAW menegaskan
dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani :Dari Abu Hurairah : jagalah
kebersihan dengan segala usaha yang mampu kamu lakukan. Sesungguhnya Allah
menegakkan Islam di atas prinsip kebersihan. Dan tidak akan masuk syurga, kecuali
orang-orang yang bersih . (HR. Thabrani). Dari Hadits di atas memberikan pengertian
bahwa manusia tidak boleh kikir untuk membiayai diri dan lingkungan secara wajar
untuk menjaga kebersihan agar kesehatan diri dan keluarga/masyarakat kita
terpelihara.Demikian pula, mengusahakan penghijauan di sekitar tempat tinggal
dengan menanamkan pepohonan yang bermanfaat untuk kepentingan ekonomi dan
kesehatan, disamping juga dapat memelihara peredaran suara yang kita hisap agar
selalu bersih, bebas dari pencemaran.Dalam sebuah Hadits disebutkan :Tiga hal yang
menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pandangan pada yang hijau lagi asri,
dan pada air yang mengalir serta pada wajah yang rupawan (HR. Ahmad) 2. Agar
manusia tidak berbuat kerusakan terhadap lingkungan Di dalam surat Ar Ruum ayat
41 Allah SWT memperingatkan bahwa terjadinya kerusakan di darat dan di laut
akibat ulah manusia. Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka
sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang
benar). Serta surat Al Qashash ayat 77 menjelaskan sebagai berikut : Artinya : Dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Firman Allah SWT di dalam surat Ar
Ruum ayat 41 dan surat Al Qashash ayat 77 menekankan agar manusia berlaku ramah
terhadap lingkungan (environmental friendly) dan tidak berbuat kerusakan di muka
bumi ini. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Anas, dijelaskan bahwa :
Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi
(dengan takaran air sebanyak) satu sha sampai lima mud (HR. Muttafaq alaih). Satu
mud sama dengan 1 1/3 liter menurut orang Hijaz dan 2 liter menurut orang Irak (lihat
Lisanul Arab Jilid 3 hal 400). Padahal hasil penelitian yang dilakukan oleh Syahputra
(2003) membuktikan bahwa rata-rata orang berwudhu sebanyak 5 liter. Hal ini
membuktikan bahwa manusia sekarang cenderung mengekploitasi sumber daya air
secara berlebihan, atau dengan kata lain, setiap manusia menghambur-hamburkan air
sebanyak 3 sampai 3 2/3 liter setiap orangnya setiap kali mereka berwudhu. Dalam
Hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Nabi pernah bersabda :
Hati-hatilah terhadap dua macam kutukan; sahabat yang mendengar bertanya :
Apakah dua hal itu ya Rasulullah ? Nabi menjawab : yaitu orang yang membuang
hajat ditengah jalan atau di tempat orang yang berteduh. Di dalam Hadits lainnya
ditambah dengan membuang hajat di tempat sumber air. Dari keterangan di atas,
23
jelaslah aturan-aturan agama Islam yang menganjurkan untuk menjaga kebersihan dan
lingkungan. Semua larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah agar tidak
mencelakakan orang lain, sehingga terhindar dari musibah yang menimpahnya.Islam
memberikan panduan yang cukup jelas bahwa sumber daya alam merupakan daya
dukung bagi kehidupan manusia, sebab fakta spritual menunjukkan bahwa terjadinya
bencana alam seperti banjir, longsor, serta bencana alam lainnya lebih banyak
didominasi oleh aktifitas manusia. Allah SWT Telah memberikan fasilitas daya
dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, secara yuridis fiqhiyah
berpeluang dinyatakan bahwa dalam perspektif hukum Islam status hukum pelestarian
lingkungan hukumnya adalah wajib (Abdillah, 2005 : 11-12). 3. Agar manusia selalu
membiasakan diri bersikap ramah terhadap lingkungan Di dalam Surat Huud ayat
117, Allah SWT berfirman : Artinya : Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan
membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang
berbuat kebaikan. Fakta spritual yang terjadi selama ini membuktikan bahwa Surat
Huud ayat 117 benar-benar terbukti. Perhatikan bencana alam banjir di Jakarta, tanah
longsor yang di daerah-daerah di Jawa Tengah, intrusi air laut, tumpukan sampah
dimana-mana, polusi udara yang tidak terkendali, serta bencana alam di daerah atau di
negara lain membuktikan bahwa Allah akan membinasakan negeri-negeri secara
zalim, melainkan penduduknya terdiri dari orang-orang yang berbuat kebaikan
terhadap lingkungan.Dalam suatu kisah diriwayatkan, ada seorang penghuni surga.
Ketika ditanyakan kepadanya perbuatan apakah yang dilakukannya ketika di dunia
hingga ia menjadi penghuni surga?. Dia menjawab bahwa selagi di dunia, ia pernah
menanam sebuah pohon. Dengan sabar dan tulus, pohon itu dipeliharanya hingga
tumbuh subur dan besar. Menyadari akan keadaannya yang miskin ia teringat bunyi
sebuah hadits Nabi, Tidak seorang muslim yang menanam tanaman atau
menyemaikan tumbuh-tumbuhan, kemudian buah atau hasilnya dimakan manusia atau
burung, melainkan yang demikian itu adalah shodaqoh baginya. Didorong keinginan
untuk bersedekah, maka ia biarkan orang berteduh di bawahnya, dan diikhlaskannya
manusia dan burung memakan buahnya. Sampai ia meninggal pohon itu masih berdiri
hingga setiap orang (musafir) yang lewat dapat istirahat berteduh dan memetik
buahnya untuk dimakan atau sebagai bekal perjalanan. Burung pun ikut
menikmatinya. Riwayat tersebut memberikan nilai yang sangat berharga sebagai
bahan kontemplasi, artinya dengan adanya kepedulian terhadap lingkungan
memberikan dua pahala sekaligus, yakni pahala surga dunia berupa hidup bahagia dan
sejahtera dalam lingkungan yang bersih, indah dan hijau, dan pahala surga akhirat
kelak di kemudian hari.Untuk mendapatkan dua pahala tersebut seorang manusia
harus peduli terhadap lingkungan, apalagi manusia telah diangkat oleh Allah sebagai
khalifah. Hal ini dapat dilihat pada surat Al-Baqarah ayat 30 berikut : Sesungguhnya
Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. Kekhalifahan menuntut
manusia untuk memelihara, membimbing dan mengarahkan segala sesuatu agar
mencapai maksud dan tujuan penciptaanNya. Karena itu, Nabi Muhammad SAW
melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang
sebelum mekar, atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad
SAW juga mengajarkan agar selalu bersikap bersahabat dengan segala sesuatu
24
sekalipun tidak bernyawa. Al-Qu’an tidak mengenal istilah penaklukan alam karena
secara tegas Al-Qur’an menyatakan bahwa yang menaklukan alam untuk manusia
adalah Allah. Secara tegas pula seorang muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia
tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali dengan penundukan
Allah

http://riana.tblog.com/post/1970041135

Kebersihan adalah sebagian dari iman. Kalimat tersebut sering kita jumpai di berbagai
tempat. Sebuah kalimat yang yang simple namun memiliki makna yang dalam.
Bahkan tidak semua orang bisa memahaminya.

Di dalam agama Islam, kita dianjurkan untuk selalu hidup bersih. Karena dengan
hidup bersih dapat mencegah dari berbagai macam penyakit yang masuk ke dalam
tubuh kita. Selain itu juga dapat membiasakan diri kita untuk hidup lebih rapi dan
teratur. Karena kebersihan adalah sebagai cermin dari sikap dan kepribadian
seseorang.

Dari beberapa fakta tersebut, kita bertambah yakin bahwa agama Islam sangat
mementingkan kebersihan dan kesehatan, untuk membina umat Islam menjadi
masyarakat terbaik diantara masyarakat umat lainnya. Islam sangat mementingkan
kebersihan untuk menjadikan kaum muslimin selalu dalam keadaan suci dan bersih,
baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Ia menjadikan kebersihan itu adalah bagian
dari ibadah, karena Allah tidak akan menerima ibadah (shalat) seseorang jika dalam
keadaan kotor. Dan Allah SWT akan selalu melindungi orang-orang yang mencintai
kebersihan dari berbagai macam wabah penyakit.

Ajaran Islam adalah suatu contoh teladan di dalam masalah keindahan dan
kebersihan, pemeliharaan kesehatan. Untuk membina jasmani yang kuat dan tangkas,
dan untuk melindungi lingkungan masyarakat dari segala macam pencemaran yang
menimbulkan berbagai macam penyakit dan gangguan kesehatan.

Islam sangat mementingkan kebersihan dan kesehatan lingkungan. Dalam hal ini kita
dapati di dalam ajaran-ajarannya, banyak perintah terhadap kebersihan dan untuk
kesehatan, yang mendahului segala ilmu pengetahuan modern dan ilmu kedoktoran,
diantaranya adalah :

Pakaian bersih dan rapi

Pakaian yang bersih dan rapi adalah cerminan dari sifat dan kepribadian seseorang.
Bukan menunjukkan suatu kesobongan. Bersih dan rapi disini tentu saja tidak dengan
memakai pakaian yang mahal dan mencolok, tetapi cukup dengan pakaian yang
sederhana tetapi bersih dan rapi.

Ada seorang sahabat bertanya : “Ya Rasulullah, seorang yang suka memakai pakaian
bersih dan indah, alas kaki yang bagus, apakah itu termasuk suatu kesombongan?”
maka Rasulullah menjawab : “Sesungguhnya Allah maha indah, Dia sangat mencintai
keindahan” (HR. Muslim dan Turmudzi)

25
Dari hadits tersebut sudah jelas bahwa, orang muslim yang selalu memakai pakaian
yang bersih, rapi dan indah, tidak berarti menunjukkan suatu kesombongan, karena
sifat angkuh dan sombong, termasuk diantara dosa besar, yang dilarang Islam.

Dan sebaliknya, Allah tidak akan menerima shalat seseorang jika pakaiannya kotor,
bau, atau terkena najis, kecuali telah dihilangkan najisnya, bau maupun warnanya.

Kekotoran tangan penularan penyakit

Tangan yang kotor sangat memudahkan tertularnya berbagai macam penyakit. Tidak
sedikit kuman-kuman yang berlindung di bawah kuku panjang dan kotor. Kuman-
kuman itu dapat menular melalui tangan yang kurang bersih setelah bercebok, dan
dapat menular pula pada makanan melalui tangan yang kotor tersebut.

Kebersihan makanan dan minuman

Ajaran Islam telah sampai pada tingkat ilmiah yang tinggi, dalam kebersihan terhadap
makanan dan minuman. Semenjak 14 abad yang silam, penuh dengan kebenaran.
Akan tetapi kebenaran itu baru terungkap di zaman yang modern ini, setelah maju
ilmu pengetahuan dan ilmu kedokteran. Misalnya kita ambil beberapa contoh :

menutupi tempat makanan dan minuman

adanya musim bagi wabah

membersihakan kuman-kuman penyakit, dll.

Islam sangat mementingkan kebersihan air dan segala macam minuman, dengan
menetapkan beberapa syarat yang ketat tentang kebersihannya. Islam mengajarkan
supaya setiap orang yang mau minum, agar memakai alat minuman (gelas) tertentu
yang tidak diragukan kebersihannya. Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
imam muslim, dari Aisyah r.a. ia berkata : “Bahwasanya Rasulullah SAW melarang
kita minum langsung pada (mulut) tempat air yang banyak (bejana)”.

Karena hal yang demikian itu menyebabkan kekotoran air, atau bisa menjadi busuk.
Larangan Rasulullah tersebut sangat sesuai dengan ilmu kedoktoran, yang dewasa ini
mengatakan bahwa penularan kebanyakan penyakit itu disebabkan air ludah dan
bekas bibir orang yang sakit, terutama tipes, sipilis, TBC, influenza dan sebagainya.

Kebersihan sumber air

Sumber air yang dimaksud disini adalah meliputi bak air atau kolam, air, mata air,
sumur, sungai dan air laut yang akan dibuat garam, maupun untuk mencuci pakaian
dan alat-alat rumah tangga lainnya.

Islam telah mengatakan larangannya yang keras terhadap pencemaran sumber-sumber


air, yaitu dengan membuang kotoran atau sampah-sampah pada tempatnya, jangan
sampai mengotori sumber air yang ada. Allah melarang (mengharamkan) seseorang
membuang air kecil atau air besar pada sumber air, dan menjelaskan bahwa hal itu
akan mengundang kutukan Allah dan orang banyak.
26
Kebersihan rumah dan jalan

Islam memerintahkan kita untuk selalu membersihkan lingkungan perumahan, dan


melarang kita membiarkan sampah-sampah bertumpuk di halaman rumah dan di jalan.
Ia memerintahkan setiap muslim agar menyingkirkan setiap ia menemukan apapun
yang dapat menyakiti atau mengganggu lalu lintas orang, atau mengurangi keindahan
pemandangan di jalan. Islam melarang pembuangan kotoran di jalan, karena hal itu
dapat menyebabkan kutukan Allah, kutukan malaikat dan juga manusia.

Penyakit dan wabah yang dapat dicegah dengan kebersihan menurut Islam

Ilmu kedokteran sangat memperhatikan kebersihan untuk mencegah berbagai macam


penyebab yang dapat menularkan kuman-kuman penyakit, diantaranya untuk
mencegah berkembang biaknya serangga-serangga yang dapat menularkan berbagai
macam penyakit. Demikian juga, untuk mencegah penularan yang dilakukan manusia
dengan tangannya, tanpa disadari atau dengan alat-alat yang dipergunakan oleh orang
yang sakit kepada orang yang sehat. Adapun jenis serangga yang paling mudah
menularkan kuman-kuman penyakit diantaranya lalat, kecoa, kutu anjing, nyamuk dan
lain sebagainya.

Dengan demikian kita perlu menyadari betapa pentingnya arti kesehatan dalam hidup
ini. Dalam keadaan sehat kita dapat dengan mudah bisa melakukan semua yang kita
inginkan. Kita bisa belajar, bisa sekolah, kita bisa bekerja dan yang terpenting kita
bisa selalu beribadah mendekatkan diri kepada Allah.

Seseorang yang mencintai kebersihan tidak hanya menjaga kesehatan dirinya sendiri
tetapi juga mampu memelihara kebersihan lingkungan sekitarnya. Seperti yang sering
dikatakan Aa Gim “membiasakan hidup bersih dimulai dari diri sendiri, mulai dari hal
yang kecil, dan mulai saat ini.”

Marilah kita menjadikan kebersihan sebagai kepribadian kita, karena ia adalah kunci
ibadah dalam Islam. Karena Allah SWT mencintai orang-orang yang selalu dalam
keadaan suci dan bersih.

http://www.radarbanjarmasin.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=44995 diakses
pd tgl 15 Januari 2010

27

You might also like