You are on page 1of 8

This is the html version of the file

http://ditjenkpi.depdag.go.id/website_kpi/files/content/4/asean20041030113046.pdf.
Google automatically generates html versions of documents as we crawl the web.
Page 1
1
ASSOCIATION of SOUTH EAST ASIAN NATIONS (ASEAN)
Pendahuluan
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations
– ASEAN) merupakan organisasi kerjasama regional yang didirikan pada tanggal 8
Agustus 1967 di Bangkok, Thailand, dengan ditandai penandatanganan Deklarasi
ASEAN atau Deklarasi Bangkok oleh 5 (lima) wakil Negara Asia Tenggara,yaitu oleh
Perdana Menteri Malaysia dan Para Menteri Luar Negeri dari Indonesia, Philipina,
Singapura dan Thailand.
Maksud dan tujuan didirikannya ASEAN adalah untuk menyatukan negara-negara
anggota melalui usaha bersama dalam memajukan kerjasama ekonomi dan
kesejahteraan bagi masyarakat bangsa-bangsa Asia Tenggara dengan sasaran
antara lain :

Untuk memajukan perekonomian, pengembangan sosial dan budaya melalui


program kerjasama.

Untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas politik serta ekonomi


terhadap persaingan negara-negara besar (adidaya)

Untuk memelihara kerjasama yang erat melalui forum untuk penyelesaian


perbedaan-perbedaan.
Perdagangan Indonesia dengan Negara ASEAN
Neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN mulai tahun 1996 - 2001 mengalami
peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 7.94% pertahun, yaitu dari
US$ 2,760.95 juta pada tahun 1996 meningkat menjadi US$ 4,044.88 juta pada
tahun 2001.
Pada tahun 2001, nilai neraca perdagangan Indonesia yang paling besar dilakukan
ke Singapura, diikuti oleh Malaysia dan Philipina masing-masing besarnya adalah
US$ 2,216.78 juta, US$ 773.17 juta dan US$ 720.93 juta. Total perdagangan ekspor
dan impor ke/dari negara ASEAN.
Perkembangan ekspor non migas Indonesia ke negara-negara ASEAN selama
periode tahun 1996 - 2001 menunjukan peningkatan dengan laju pertumbuhan rata-
rata sebesar 2,73% pertahun, yaitu dari US$ 8,310.15 juta pada tahun 1996
meningkat menjadi US$ 9,507.07 juta pada tahun 2001. Dari perkembangan ekspor
tersebut yang mempunyai tingkat laju pertumbuhan rata-rata ekspor yang cukup
tinggi adalah Laos sebesar 14,87% pertahun, sedangkan yang mengalami
penurunan tingkat laju pertumbuhan yang cukup tinggi terjadi ke negara Brunei
Darussalam, yaitu sebesar 5,73%.
Sedangkan perkembangan impor nonmigas Indonesia dari ASEAN selama periode
tahun 1996 - 2001 menunjukan penurunan dengan laju pertumbuhan rata-rata
sebesar 0,32% pertahun, yaitu dari US$ 5,549.20 juta pada tahun 1996 menurun
menjadi US$ 5,462.01 juta pada tahun 2001. Dari perkembangan impor tersebut
yang mempunyai tingkat laju pertumbuhan rata-rata impor yang cukup tinggi adalah
dari Brunei sebesar 115,45% pertahun, sedangkan yang mengalami penurunan laju
pertumbuhan rata-rata yang cukup besar adalah dari negara Cambodia sebesar
45,88 %.
Page 2
2
Dengan melihat masih rendahnya perkembangan ekspor non migas Indonesia ke
pasar ASEAN karena belum dikembangkannya kinerja ekspor secara maksimal
akibat belum pulihnya krisis ekonomi dan politik. Oleh karena itu dalam usaha
meningkatkan ekspor non migas ke pasar ASEAN perlu didorong kinerja ekspornya
dengan melalui meningkatkan daya saing, sehingga produk-produk ekspor non
migas Indonesia dapat bersaing dipasar ASEAN.
Kesepakatan ASEAN
1. Asean Free Trade Area (AFTA)
Ide pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area -
AFTA) sebenarnya sudah ada beberapa tahun yang lalu. Dimana pada waktu itu
ASEAN Preferential Trading Arrangement (ASEAN PTA) yang merupakan skema
perdagangan preferensi antar negara anggota ASEAN yang diberlakukan pada
tanggal 1 Januari 1978 dan dianggap kurang berhasil sebagaimana yang
diharapkan dalam peningkatan nilai maupun volume perdagangan intra ASEAN,
karena dalam skema ASEAN PTA penurunan tarif tidak dilakukan dari tingkat tarif
dasar yang sama diantara sesama anggota ASEAN tetapi Margin of Preference
(MOP) diberikan dari tingkat tarif bea masuk yang berbeda–beda atas produk
yang disepakati, sehingga secara konsepsional belum memberikan keuntungan
timbal balik bagi negara-negara anggota.
Pada KTT IV ASEAN di Singapura tanggal 27-28 Januari 1992 para pemimpin
ASEAN (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philipina, Singapura dan
Thailand) telah sepakat untuk membentuk Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN
(ASEAN Free Trade Area – AFTA) dalam waktu 15 tahun (2008), terhitung mulai 1
Januari 1993 dengan menggunakan Skema Common Effective Preferential Tariff
(CEPT) sebagai mekanisme utamanya.
AFTA merupakan Wilayah Perdagangan Bebas yang mencakup seluruh batas
negara-negara anggota ASEAN, dimana nantinya pada tahun 2002 arus lalu lintas
barang dagangan dan faktor penunjang lainnya yang berasal dari negara-negara
anggota bebas keluar masuk dalam wilayah ASEAN hanya dengan hambatan tarif
0-5% dan tidak boleh lagi ada hambatan non-tarif (Non Tariff Barriers - NTB’s).
Untuk komoditi yang Sensitive List (SL) dan General Exception List (GE)
dikeluarkan dari ketentuan di atas, sedangkan untuk barang dagangan yang
berasal dari wilayah non ASEAN berlaku tarif normal (Most Favoured Nations –
MFN). Untuk lebih jelasnya, lihat pada bagian AFTA
2. Kerjasama Industri
Kerjasama industri melalui skema ASEAN Industrial Cooperation Scheme (AICO)
dengan pemberian preferensi bea masuk 0 - 5 % bagi industri-industri di ASEAN
yang melakukan kerjasama industri telah dimulai sejak ditandatanganinya Basic
Agreement on the ASEAN Industrial Cooperation Scheme pada bulan April 1996
dan Agreement ini mulai diberlakukan mulai 1 Nopember 1996.
Sebagai tindak lanjut dari dikeluarkannya Agreement tersebut, Indonesia telah
meratifikasinya melalui Keppres No. 51 tahun 1996. Dalam rangka pelaksanaan
kegiatan operasional, telah diterbitkan SK. Menperindag No. 29/MPP/Kep/1/1997
tanggal 30 Januari 1997 dan kemudian diubah dengan SK No. 202/Kep/5/1999
tanggal 26 Mei 1999. Dengan SK yang baru ini Ditjen KIPI ditunjuk sebagai
National Authority Indonesia untuk menangani aplikasi skema AICO.
Skema AICO didasari kepada konsep Skema Common Effective Preferential Tariffs
(CEPT) dalam rangka ASEAN Free Trade Area (AFTA) yaitu pengurangan tarif
sampai dengan 0 – 5 % dan pemberian preferensi tarif tersebut dapat segera
Page 3
3
dinikmati oleh perusahaan yang memenuhi syarat, tanpa harus menunggu
terciptanya AFTA pada tahun 2003.
Skema AICO ini merupakan program kerjasama industri diantara neara-negara
ASEAN dalam rangka mendorong sharing kegiatan-kegiatan industri dari paling
sedikit 2 (dua) atau lebih perusahaan industri di dua atau lebih negara ASEAN
yang berbeda. Perusahaan yang terlibat dalam suatu AICO Arrangement akan
menikmati fasilitas-fasilitas yang meliputi:
(1) Preferensi tarif bea masuk impor 0 -5 %,
(2) Keringanan akreditasi kandungan lokal (bila ada), dan
(3) Insentif non tarif lain (bila ada).
Preferensi tarif tersebut berlaku untuk semua produk yang disetujui, meliputi
bahan baku, produk setengah jadi dan produk jadi.
Skema AICO mencakup semua produk kecuali yang termasuk dalam cakupan
Artikel 9 (General Exception) dari Agreement on CEPT Scheme (Produk-produk
yang penting untuk melindungi: keamanan nasional, moral masyarakat,
kehidupan dan kesehatan manusia, binatang dan tumbuhan, barang bernilai seni,
sejarah dan arkeologis).
Secara keseluruhan, ditingkat regional, sampai dengan tanggal 24 Juli 2001,
tercatat telah diterima 125 aplikasi dari perusahaan-perusahaan di ASEAN, 77
diantaranya telah mendapat persetujuan (approval), sementara 74 COE telah
diterbitkan , dengan nilai transaksi pertahun sebesar US$ 966 juta. Dari 125
aplikasi tersebut diatas, terdapat partisipasi dari perusahaan Indonesia dalam 37
proyek kerjasama industri antara lain dibidang otomotif, kimia diantaranya
melibatkan perusahaan-perusahaan Indonesia, 11 aplikasi ditolak dan 1 aplikasi
telah dicabut (withdrawn). Sampai saat ini tercatat 31(tiga puluh satu) Certificate
of Origin (COE) yang telah diterbitkan oleh ASEAN Secretariat, melibatkan 12
(dua belas) perusahaan Indonesia. Dengan demikian saat ini terdapat 11 aplikasi
yang masih dalam proses penyelesaian. Dilihat dari jumlah dan jenis perusahaan,
54 (lima puluh empat ) aplikasi tersebut berasal dari 22 (dua puluh dua)
perusahaan (satu perusahaan dapat mengajukan lebih dari 1 aplikasi) yang terdiri
dari 15 (lima belas) perusahaan otomotive, 2 (dua) perusahaan elektronika dan 2
(dua) perusahaan makanan dan minuman, 1 (satu) perusahaan tekstil, 1 (satu)
perusahaan konstruksi, dan 1 (satu) perusahaan kimia.
Analisis yang dapat disampaikan sehubungan dengan fakta tersebut diatas adalah
karena industri otomotif merupakan jenis industri yang melibatkan banyak
komponen/ parts sehingga memungkinkan terjadinya komplementasi.
Sementara itu industri lainnya, seperti misalnya tekstil dan elektronika adalah
merupakan industri dimana produk-produknya termasuk dalam kategori “fast
track” dalam penurunan tarifnya, dimana pada tahun 1998 telah banyak tarif
produknya mencapai 0-5%. Dengan demikian preferensi tarif yang diberikan
melalui skema AICO tidak ada lagi pengaruhnya.
3. Kerjasama Investasi
Dalam upaya menumbuhkan ekonomi dan industri regional ASEAN melalui
promosi investasi dikawasan ASEAN, maka negara-negara ASEAN telah
melakukan upaya kerjasama dibidang investasi melalui pembentukan ASEAN
Investment Area (AIA). Dengan AIA, ASEAN berupaya membentuk suatu kawasan
yang lebih kompetitif dibanding kawasan-kawasan lain melalui pengurangan atau
penghapusan segala kebijaksanaan dan peraturan investasi yang dapat
menghambat kegiatan perdagangan.
Gagasan pembentukan AIA pertama kali dimunculkan pada waktu Konperensi
Tingkat Tinggi ASEAN ke-V di Bangkok pada tahun 1995. Setelah melalui
beberapa kali perundingan, akhirnya pada Sidang Menteri-Menteri Ekonomi
ASEAN (ASEAN Economic Ministers Meeting) di Manila tanggal 7 Oktober 1998
ditandatangani suatu kerangka Perjanjian mengenai Kawasan Investasi ASEAN
(Framework Agreement on the ASEAN Investment Area).
Page 4
4
Beberapa kegiatan telah dilaksanakan negara-negara ASEAN dalam rangka
implementasi perjanjian AIA, meliputi antara lain:

Sebagai langkah awal yang telah dijalankan oleh negara-negara ASEAN


dalam mengimplementasikan perjanjian AIA adalah melaksanakan
ratifikasi di negaranya masing-masing.

Langkah selanjutnya adalah menyusun daftar Temporary Exclusion List


(TEL), Sensitive List (SL) dan General Exclusion List (GEL) investasi.
Seperti saat ini telah selesai dilaksanakan penyusunan TEL dan SL untuk
sektor usaha manufaktur, pertanian, perikanan, kehutanan dan
pertambangan.

Dalam rangka promosi investasi, telah dilaksanakan ASEAN Joint


Investment Mission ke Eropa dan Amerika Serikat dan Jepang pada bulan
Oktober 2000.

Kegiatan-kegiatan lain, meliputi antara lain penyusunan Individual Action


Plan, penyusunan statistik dari aliran investasi, publikasi-publikasi
dibidang investasi ASEAN.

Pada tanggal 14 September 2001, di Hanoi-Vietnam telah ditanda-tangani


Protocol to Ammend the Framework Agreement on the ASEAN Investment
Area. Didalam Protokol ini tercakup perubahan-perubahan meliputi : (1)
penambahan cakupan dari AIA sehingga juga mencakup services incidental
to manufacturing, agriculture, fishery, forestry and mining sectors, (2)
percepatan dari tanggal akhir penghapusal Temporary Exclusion List (TEL)
untuk sektor manufaktur dari tahun 2010 menjadi 2003 untuk negara
ASEAN-6 dan Myanmar, serta menjadi tahun 2010 untuk Cambodia, Laos,
Vietnam.
4. Kerjasama Jasa
Kerjasama perdagangan melalui liberalisasi sektor jasa telah disepakati oleh
negara-negara di kawasan regional ASEAN dengan telah ditanda tanganinya
ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) oleh wakil-wakil pemerintah
negara-negara ASEAN pada tanggal 15 Desember 1995 di Bangkok, Thailand.
Sejak penanda tanganan AFAS ini, negara-negara anggota ASEAN telah
mengadakan negosiasi-negosiasi dan memberikan komitmen liberalisasi jasanya
yang mencakup 7 (tujuh) sektor jasa, meliputi: Perhubungan Udara (Air
Transport), Jasa Perdagangan (Business Services), Jasa Konstruksi
(Construction), Jasa Keuangan (Financial Services), Perhubungan laut (Maritime
Transport), Telekomunikasi (Telecommunication) dan Pariwisata (Tourism).
Dalam memberikan komitmen liberalisasi negara-negara ASEAN selama ini
menggunakan pendekatan request and offer. Dengan pendekatan ini masing-
masing negara saling mengajukan permintaan dan menawarkan sektor/sub
sektor jasanya untuk diliberalisasi. Sampai saat ini telah dihasilkan 2 (dua)
Package of commitments liberalisasi dibidang jasa, yaitu Initial Package of
Commitments yang telah diselesaikan pada tanggal 30 Juni 1997 dan Second
Package of Commitments yang telah diselesaikan pada tanggal 31 Desember
1998.
Third Package of Commitments dalam rangka Second Round of Negotiation telah
ditanda-tangani pada bulan September 2001 oleh para Menteri Ekonomi ASEAN di
Brunei Darussalam.
Page 5
5
Peran dan Fungsi Daerah
1. Aparatur Daerah
Dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah pada pokoknya dibahas
mengenai pembagian kewenangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan
daerah dimana disebutkan apa saja tugas yang selayaknya ditangani pemerintah
pusat dan apa saja yang menjadi bagian tanggung jawab serta kekuasaan
daerah.
Apabila merujuk pada pasal 7 UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah
tersebut, secara jelas dirumuskan wewenang pemerintah daerah yaitu
kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan,
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter, fiskal, agama serta kewenangan dibidang lainnya seperti
kebijaksanaan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan secara
makro, dana perimbangan keuangan dan sebagainya.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas dan dengan berlakunya AFTA tahun
2002, maka peran dan posisi daerah sangat tergantung pada pemerintah pusat
dalam beberapa hal tertentu, khususnya yang berhubungan dengan luar negeri.
Namun, disisi lain daerah harus berani dan mempersiapkan diri dengan
diberlakukannya perdagangan bebas ASEAN (AFTA) tahun 2002 tersebut antara
lain sebagai berikut :

Dipahami dan dipegang teguhnya komitmen Indonesia atas perjanjian


internasional/regional yang telah disepakati.

Mempersiapakan dunia usaha daerah untuk dapat memanfaatkan


seoptimal mungkin kerjasama ASEAN yang ada antara lain tarif CEPT yang
rendah (0-5 % pada tahun 2002) dengan menggunakan FORM D yang
dapat dikeluarkan oleh intansi berwenang di daerah. Disamping itu
kerjasama ASEAN lainnya di bidang industri (AICO), jasa , investasi (AIA),
perlu segera direspon oleh daerah secara proaktif guna keuntungan bagi
daerahnya masing-masing.

Melakukan kerjasama ekonomi secara aktif dengan badan/lembaga di luar


negeri yang sesuai dengan kewenangan daerah otonom.

Menyiapkan perangkat peraturan daerah yang merangsang tumbuhnya


ekspor non migas dan investasi serta menghindari aturan daerah yang
merupakan Non-Tariff Barriers (NTB) yang tidak sesuai dengan
kesepakatan ASEAN.

Memanfaatkan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang merupakan open


regionalism sehingga dapat dipadukannya kekuatan dan potensi-potensi
tiap-tiap wilayah yang berbatasan sehingga menjadi wilayah pertumbuhan
yang dinamis dengan percepatan peningkatan arus investasi,
pengembangan infrastruktur serta pengembangan SDA, SDM dan industri.
Sampai saat ini KESR telah mencakup 20 propinsi di Indonesia (diluar
Jawa dan Bali).
Meningkatkan daya saing produk potensial dan unggulan daerah.

Perumusan kebijakan promosi ekspor daerah yang peka dengan


perubahan pasar yang cepat terjadi di skala nasional dan global.

Penyelenggaraan promosi ekspor yang bersifat pengembangan ekspor


regional dan sub-regional secara agresif.

Perumusan kebijakan dan strategi penyelenggaraan informasi ekspor


daerah dan potensi ekonomi daerah yang efisien dan efektif.

Daerah harus menciptakan iklim yang kondusif, sehat dan menarik bagi
investor asing maupun daerah lainnya.

Perizinan yang efisien dan menjamin kepastian berusaha

Adanya insentif pajak


Page 6
6

Penyediaan sumberdaya manusia yang profesional dan andal baik disektor


pemerintahan maupun swasta guna menggerakkan pembangunan di
daerah serta mengelola dan mengembangkan sumberdaya yang ada.
2. Dunia Usaha
AFTA 2002, adalah komitmen lama yang secara hati-hati ditetapkan dan
dilaksanakan secara bertahap merupakan hasil pemikiran 10 negara, yang
setelah disepakati bersama, diharapkan dapat memberikan suatu manfaat
bersama. Jadi bukan suatu cara yang membuat miskin salah satu anggota atau
bahkan 10 negara secara bersama.
Melaksanakan komitmen AFTA 2002 mungkin bukan pilihan ideal, namun
merupakan opsi yang lebih baik dibandingkan menunda sampai datang kondisi
baik, yang bukan tidak mungkin setelah penundaan, tiba waktunya lagi, akan
timbul keraguan dari pihak-pihak tertentu, dan meminta penundaan kembali dan
seterusnya.
Bagi pengusaha Indonesia terutama yang terkait dalam kegiatan ekspor, ASEAN
mempunyai jumlah penduduk sekitar 500 juta, sehingga merupakan peluang
pasar yang besar. Demikian pula bagi pengusaha negara anggota ASEAN lainnya.
Beberapa negara anggota ASEAN memiliki daya beli yang lebih besar
dibandingkan Indonesia.
Pasar yang sangat potensial ini akan memungkinkan berkembangnya usaha
dengan pesat dan menguntungkan.Di pihak lain, di pasar ASEAN yang tadinya
terpisah, akan terintegrasi dan tingkat persaingan regional akan lebih ketat.
Pesaing yang tadinya hanya produsen Indonesia, menjadi produsen ASEAN.
Dengan meningkatkan daya saing melalui efisiensi usaha, pengusaha Indonesia
tidak saja dapat survive, tetapi juga akan berkembang di pasar yang lebih besar.
Tetapi bila gagal dalam meningkatkan daya saing, berarti akan mengalami
kesulitan.
Proteksi pemerintah tidak dapat lagi diandalkan karena harus dideregulasi sesuai
dengan mekanisme pasar. Bagi pengusaha Indonesia yang belum efisien jelas
tidak akan dapat bersaing, tetapi bagi yang sudah efisien, tentunya justru akan
merupakan peluang.
Agreement CEPT for AFTA memiliki instrumen yang dapat melindungi untuk
sementara pengusaha yang belum siap dalam bentuk mekanisme safeguard yang
penerapannya diatur dalam CEPT dan disesuaikan dengan ketentuan GATT.
Instrumen safeguard secara sementara dilaksanakan dengan meningkatkan bea
masuk bila produk industri domestik tertentu terancam eksistensinya. Hal ini
tercermin dalam Article 6(1) dari CEPT Agreement.
Instrumen dalam produk TEL dilakukan dengan memasukkan secara berkala
setiap tahun ke dalam CEPT dimana pada tahun 2000 semua produk industri
harus sudah masuk dalam CEPT dengan tarif maksimal 20% dan pada tahun
2003 tarifnya sudah harus maksimal 5%. Sedangkan untuk produk pertanian
harus sudah masuk CEPT pada tahun 2002 dengan tarif maksimal 20% dan pada
tahun 2003 maksimal 5%.
Instrumen lain yang dapat dipakai oleh pengusaha adalah “Protocol Regarding
the Implementation of CEPT Scheme Temporary Exclusion List” yang
mengatur modalitas yang dapat digunakan oleh negara anggota ASEAN untuk
menunda sementara pemindahan produk manufaktur dari Temporary Exclusion
List (TEL) ke dalam Inclusion List (IL) atau menunda konsesi dari suatu
produk yang telah ada di dalam IL. Jika penundaan ini berakibat merugikan
negara anggota lainnya, maka negara yang dirugikan tersebut dapat mengadakan
negosiasi bilateral guna meminta kompensasi. Kompensasi tersebut diberlakukan
dalam bentuk Tarif maupun Non Tariff Matters (NTM’s). Protokol mengenai
CEPT Scheme ini telah ditandatangani oleh Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN
Page 7
7
menjelang KTT Informal ASEAN, tanggal 23 Nopember 2000 di Singapura.
Dengan disahkannya protokol ini berarti setiap negara anggota ASEAN
dimungkinkan dapat menunda penurunan tarif produk manufakturnya yang
seharusnya dilakukan selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 1999,
sehingga pada tahun 2003 sudah mencapai tarif 0-5%.
Ini telah dilakukan oleh Malaysia yang menunda penurunan tarif produk otomotif
sebanyak 218 pos tarif. Negara-negara ASEAN yang merasa dirugikan (Thailand
dan Indonesia) sedang melakukan konsultasi bilateral dengan Malaysia mengenai
kemungkinan kompensasi.
Di samping instrumen di atas ada juga protokol yang dapat dipakai untuk
perlindungan terhadap produk sensitive dan highly sensitive (beras) yang
dimuat dalam “Protocol on Special Arrangement for Sensitive and Highly
Sensitive Products”. Di samping itu Indonesia mempunyai daftar fleksibilitas
tahun 2002 sebanyak 67 pos tarif, yaitu tarifnya masih 10% yang terdiri dari
sektor “plastic dan chemicals”; dan 1 pos tarif dari bunga potong segar tarifnya
20%.
Dari beberapa studi dengan metoda Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP), oleh
Ditjen Industri Logam, Mesin dan Elektronika (ILMEA), terlihat bahwa 46% dari
produk-produk dalam kelompok industri logam, mesin, elektronika dan aneka
posisinya adalah sudah sangat kompetitip di ASEAN. Selain itu, tarif CEPT tahun
2001 untuk keenam anggota ASEAN sudah mencapai 90% dan tarif MFN
Indonesia menunjukkan sebagian besar sudah rendah. Tarif MFN yang rendah ini
meliputi 54.6% dari IL yang dimasukkan dalam program AFTA pada tahun 2003
sudah mencapai 0%.
Dengan adanya hal-hal tersebut di atas, Indonesia sudah sangat berhati-hati dan
selektif dalam menerapkan produk-produk yang dimasukkan kedalam Skema
AFTA.
Dengan AFTA, persaingan yang terbuka terbatas hanya antara 10 negara
anggota. Dengan negara lain Non-ASEAN, proteksi masih dimungkinkan sesuai
dengan kebijakan dan kedaulatan penuh masing-masing negara anggota. Ke-10
negara anggota ASEAN saat ini sama-sama dalam keadaan belum sepenuhnya
pulih dari krisis ekonominya sehingga tidak perlu terlalu dikhawatirkan ada
negara anggota yang sangat dominan akan memenangkan pertempuran yang
tidak seimbang. Justru ASEAN perlu bersatu menghadapi dominasi rival utama
yaitu China dalam merebut pasar ekspor, tuan rumah investasi asing dan daya
saing ekonomi lainnya.

You might also like