You are on page 1of 16

Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta

Sejarah Islam Indonesia


(Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal)
Sri Suyanta
IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

This article aim to describe about process of early islamisation in


Nusantara. According to Muslem historian, like Hamka and Al-Attas, in the
reality Islam have reached into the Acheh or Nusantara since first Hegira
(seventh or eighth M), but its become a populis religion at nineth century like
Hasjmy’s opinion and become a religious power at thirteenth century as the
orientalists state such as Snouck Hourgronje. This problem is causing the
different opinion about when, whose is carrier and how to islamisation in
Acheh happened.
Key words:Acheh, pre-Islam, Islamisation
---------------------------------------------------------------------------------------------
Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang proses islamisasi di
Nusantara masa awal. Menurut sejarahwan Muslim semisal Hamka dan Al-
Atas, Islam telah sampai ke Aceh atau Nusantara sejak abad pertama Hijriah
(ke-7 atau ke-8 M), tetapi menjadi agama populis pada abad ke-9 M seperti
pendapat a. Hasjmy dan menjadi agama kekuasaan pada abad ke-13 M
seperti klaim para orientalis, semisal Snauck Hourgronje. Hal inilah yang
menyebabkan perbedaan pendapat tentang kapan islam datang, oleh siapa
yang membawanya dan bagaimana islamisasi yang terjadi di Aceh.

Pendahuluan
Secara historis sosiologis, masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia sangat
kompleks. Terdapat banyak permasalahan yang terkait dengannya, misalnya dari mana asal
Islam yang masuk ke Indonesia, siapa yang membawa, apa latar belakangnya dan
bagaimana dinamikanya, baik dari segi ajaran Islam maupun pemeluknya.1 Kompleksitas
ini menjadi lebih rumit, ketika dihadapkan pada realitas Islam yang masuk dan diterima
oleh bangsa Indonesia. Padahal Indonesia merupakan identitas negara kesatuan yang terdiri
dari berbagai daerah yang tentunya masing-masing daerah memiliki kekhasan tersendiri.
Di Aceh, misalnya, menurut sebagian pendapat, Islam telah masuk ke Aceh sejak
abad pertama Hijriah (ke-7 atau 8 M), seperti dikemukakan oleh Hamka, namun ia menjadi
sebuah agama populis pada abad kesembilan seperti pendapat Ali Hasjmy2 atau menjadi
sebuah kekuasaan pada abad ke-13 M seperti pendapat para orientalis, Snouck Hourgronje,
misalnya.3 Akan tetapi sebelum penetrasi Islam ke wilayah ini, agama Hindu atau lainnya
telah eksis, bahkan situs peninggalannya masih dapat kita temui. Gavin W. Jones
menyatakan bahwa menjelang abad kedelapan Masehi, Hinduisme dan Budhisme telah ada
di pulau Sumatera dan Jawa. Bahkan pernah ada kerajaan besar di Sumatera, yaitu Kerajaan

1
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara XVI: dan XVIII, Mizan,
Bandung, 1994, h. 24.
2
Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1981, h. 358.
3
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Grafiti Pres, Jakarta. 2005. h. 8-9.
91
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

Sriwijaya di Palembang dan Kerajaan Mataram, Singasari dan Majapahit di pulau Jawa.4
Kenyataan ini menjadi justifikasi bahwa Aceh yang dikenal sebagai Serambi Mekah,
sebelumnya pernah berkembang agama selain Islam. Terdapat beberapa situs yang
memperkuat hal ini, seperti nama Indrapuri, Indrajaya, indrapatra, indragiri, adat peusejuk,
larangan membeli benda-benda tajam atau garam di malam hari.

4
Gavin W. Jones, “Agama-agama di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, dalam seri Prisma II.
Agama dan Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta, 1985, h. 117-118.
92
Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta
Islam dan Kerajaan Islam Masa Awal di Aceh

1. Aceh Pra Islam


Sejauh ini literatur yang berbicara tentang Aceh, pada umumnya memuat informasi
tentang Islam, terutama menekankan pada setting sosial dan islamisasinya. Lalu bagaimana
kondisi sosio-kultur masyarakat Aceh sebelum Islam? Agama apa yang dianut oleh
masyarakat Aceh pra Islam? Berbagai kesulitan membentang untuk menjawab pertanyaan
ini. Di antaranya disebabkan oleh langkanya referensi yang dapat ditemukan. Oleh karena
itu, wajar bila Zainuddin sebagaimana dinyatakan dalam Aceh Serambi Mekkah, bahwa
sebagian besar catatan sejarah tentang Aceh sebelum tahun 400 M tidak diketahui secara
jelas. Bahkan, catatan J. Kreemer sebagaimana dikutip oleh Aboebakar Atjeh menyebutkan
bahwa sebelum tahun 1500 sejarah Aceh masih belum diketahui orang.5
Snouck Hurgronye menunjukkan sedikit gambaran yang mengindikasikan adanya
pengaruh Hindu di Aceh, dengan memperhatikan cara berpakaian para wanita Aceh yang
dikatakannya bersanggul miring mirip dengan cara para wanita Hindu. Menurutnya pula,
langsung atau tidak langsung, Hinduisme pada suatu waktu mengalir ke dalam peradaban
dan bahasa Aceh walaupun hal ini sangat sulit diteliti dalam riwayat dan adat. Julius Jacob
seorang ahli kesehatan yang pernah bertugas di Aceh tahun 1878 menyatakan bahwa
pengaruh Hindu atas penduduk setidak-tidaknya dapat ditemukan dengan kenyataan
tentang pemakaian nama-nama tempat dalam bahasa Hindu istilahnya terdapat dalam
bahasa Aceh.
Dalam ranah kesusastraan, sastra Aceh juga memiliki keterpengaruhan Hindu, seperti
adanya Hikayat Sri Rama dalam bahasa Melayu, dikenal sebagai saduran dari Kakawin
Ramayana karya Walmiki. Baik versi Aceh maupun Melayu dari Hikayat Sri Rama
maupun Rahwana telah menimbulkan dugaan bahwa hikayat itu mencerminkan sejarah
Aceh dan Raja Rahwana yang dimaksud di dalamnya adalah Raja yang pernah bertahta di
Indrapuri (Aceh Besar). Nama-nama gampong tua dari bahasa Sangsekerta seperti
Indrapuri atau Indraparwa juga telah dikaitkan oleh sementara penduduk sebagai suatu
nama kota-kota kerajaan Hindu yang pernah tumbuh di Aceh, meski demikian hal itu sama
sekali tidak dapat dijadikan pegangan untuk mengatakan bahwa telah berdiri kerajaan
Hindu di Aceh, karena masih memerlukan pembuktian-pembuktian yang dapat dipercaya
mengenai hal ini.
Pada masa itu, budaya yang hidup dalam masyarakat Aceh diserap dari nilai-nilai
agama Hindu. Menurut Van Langen, pada dasarnya orang Aceh berasal dari bangsa Hindu.
Migrasi Hindu bertapak di Pantai Utara Aceh dan dari sini menuju ke pedalaman. Dari
Gigieng dan Pidie, mungkin juga dari daerah Pase, migrasi Hindu menuju ke daerah 22
Mukim di Aceh Besar.6 Meskipun pendapat ini dibantah oleh C. Snouck Hurgronje.7 Akan
tetapi, jika diperhatikan dari intensitas pergaulan, terutama dalam bidang perdagangan
antara Aceh dan India pada masa itu, maka dapat dikatakan bahwa agama Hindu
merupakan anutan sebagian masyarakat Aceh sebelum kedatangan Islam. Selain Hindu,
diperkirakan agama Budha juga menjadi anutan bagi sebagian masyarakat Aceh yang lain,
yang diduga dibawa oleh orang-orang Cina. 8 Dengan demikian terdapat kecenderungan
bahwa budaya yang berkembang dalam masyarakat Aceh pra Islam bersumber dari ajaran

5
M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi Mekkah, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
Banda Aceh 2008, h. 2. Lihat juga H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, 1961,
Medan, h. 40.
6
M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi ..., h. 4. Lihat juga Tuanku Abdul Jalil, “Kerajaan Islam Perlak
Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-
Ma’rif, Bandung, 1993.
7
Aboebakar Atjeh, “Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata
Karya Aksara, Jakarta, 1980, h. 20.
8
M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi..., h. 4.
93
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

Hindu. Tetapi, tidak ditemukan catatan sejarah yang menceritakan seberapa besar pengaruh
Hindu di Aceh pada masa pra Islam.

2. Masuknya Islam ke Aceh


Dalam naskah tua Izhar al-Haqq yang dirujuk oleh A.Hasjmy, diinformasikan bahwa
pada 173 H (789 M), terdapat sebuah kapal asing yang datang dari Teluk Kambay (Gujarat)
India singgah berlabuh di Bandar Perlak. Kapal ini di antaranya membawa para saudagar
muslim dari Arab, Persia dan India di bawah pimpinan seorang nahkoda utusan khalifah
Bani Abbas, sehingga ia disebut Nahkoda Khalifah.9 Tahun-tahun ini, dunia Islam berada
dalam kekuasaan Khalifah Harun ar-Rasyid (785-809 M) yang berpusat di Bagdad. Bila ini
benar, maka sangat wajar kalau khalifah memberi perintah untuk mengembangkan Islam ke
berbagai penjuru dunia, termasuk ke wilayah timur yaitu di kawasan Nusantara. Apalagi
masa Harun ar-Rasyid, dunia Islam mengalami masa kemajuan di berbagai bidang
kehidupan, seperti digambarkan dalam cerita-cerita seribu satu malam.
Kehadiran rombongan Nahkoda Khalifah di Perlak menyebabkan terjalinnya
hubungan dan kontak budaya antarbangsa di wilayah ini. Di samping menjalankan misi
dagang, rombongan Nahkoda Khalifah ini juga membawa misi dakwah syiar Islam. Meraka
mengajarkan persaudaraan, persamaan, kasih sayang, tolong menolong, bagaimana
berniaga, bertani, bermasyarakat dan cara beribadat kepada Allah, sehingga raja dan rakyat
Perlak tertarik dan memeluk Islam. Sebelum Islam datang, di Perlakk telah berdiri kerajaan
yang diperintah oleh raja-raja yang bergelar Meurah berasal dari keturunan raja-raja Syahir
Nuwi dari Negeri Syam. Syaid Ali dari suku Qurasisy, salah seorang di antara rombongan
Nahkoda Khalifah, kawin dengan Makdhum Tansyuri, adik dari Syahir Nuwi Meurah
Perlak. Dari perkawinan inilah, lahir Sayid Abdul Aziz, yang kemudian setelah dewasa
dilantik menjadi Sultan Perlak Pertama (225-249 H/840-864 M) sebagaimana telah
disebutkan pada bahasan sebelumnya. Untuk mengingat jasa nahkoda Khalifah, maka
ibukota Kerajaan Islam Perlak juga diubah menjadi bandar Khalifah.10
Kerajaan Islam Perlak berkembang dan eksis hingga abad ke-13 M, sebelum akhirnya
bergabung dengan Kerajaan Samudera Pasai. Bahkan dalam mengendalikan pemerintahan
di Kerajaan Islam Perlak ini, para sultan dipengaruhi oleh paham keagamaan yang dibawa
oleh rombongan Nahkoda Khalifah, yaitu Syi’ah dan Sunni. Oleh karenanya ketika kedua
paham keagamaan ini sama-sama berpengaruh, maka Perlak pernah dibagi menjadi dua
kekuasaan, di wilayah pesisir diserahkan kepada kelompok Syi’ah dan wilayah pedalaman
diperintah oleh kelompok Sunni.
Dengan demikian dapat dikatakan di antara para pendatang asal Arab, India dan
Persia yang sengaja datang dalam rangka berniaga dan mengemban misi dakwah ke Perlak
adalah ulama, seperti Sayed Ali Quraisy dan Qaid al-Mujahidin Maulana Naina al-
Malaba’i. Dalam perkembangannya, ada di antara keturtunan mereka yang tampil sebagai
sultan. Karena mereka tidak menganut satu paham keagamaan, tetapi ada yang Syi’ah dan
ada yang Sunni, maka hal ini juga berpengaruh terhadap tipe kepemimpinannya.
Pada tahun 986 M, Kerajaan Sriwijaya menyerang dan dapat menguasai Perlak
hingga beberapa tahun, tetapi kemudian direbut kembali oleh Sultan Makhdum Malik
Mansur Syah (1012-1059). Dampak positif ketika mendapat serangan dan diinvasi oleh
Kerajaan Sriwijaya adalah semakin meluasnya pengaruh Islam ke daerah di sekitarnya yang
dibawa oleh para “pelarian”, muhajirin dari Perlak. Di antara mereka kemudian mendirikan
kerajaan, seperti Serbajadi di Tamiang.

9
A. Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, Penerbit Beuna, Jakarta 1983, H, 45 dst. Juga dalam buk-
buknya yang lain seperti Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1981,
h. 146. Juga A. Hasjmy, 50 Tahun Aceh Membangun, Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh bekerjasama
dengan pemerintah Daearh Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1995 h. 3-8.
10
Sri Suyanta, Pola Hubungan Ulama dan Umara: Pasang Surut Peran Ulama Aceh, Disertasi UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta, 2005, h. 62.
94
Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta
Edwin M. Loeb, 11 Thomas Arnold 12 dan Hoesein Djajadiningrat 13 sama-sama
menjelaskan perihal perlawatan Marco Polo, dimana pada tahun 1291 M dirinya yag
bekerja untuk Kubalai Khan di Cina pernah singgah di wilayah Perlak. Di wilayah ini,
Marco Polo menemukan jejak atau bekas-bekas peninggalan, setidaknya ada atau pernah
ada lima kerajaan kecil di sana, yaitu Ferlec (Perlak), Basma (Pasai), Samara (Samudra),
Dagroian (Indagiri), Lambri (Lamuri). Ketika itu, Marco Polo berada di suatu tempat yang
bernama Samara di sebelah utara Perlak, selama lima bulan untuk menunggu datangnya
angin baik untuk berlayar. Di dekat Samara terdapat tempat yang bernama Basma (Pasai)
yang dipisahkan oleh sebuah aliran sungai, kemudian tempat ini dikenal dengan Samudera
Pasai. Marco Polo menyaksikan bahwa penduduk Samudra Pasai saat itu telah menganut
Islam dan diperintah oleh seorang yang alim.
Kenyataan yang disaksikan oleh Marco Polo, dikuatkan oleh bukti bahwa di daerah
Samudera Pasai pernah berdiri sebuah kerajaan Islam, yaitu Samudera Pasai. Menurut
Hikayat Raja-raja Pasai14 dan Sejarah Melayu15 yang dikutip oleh Yusni Saby, keberadaan
Kerajaan Samudra Pasai berawal dari 1042, saat datangnya Meurah Khair (Meurah Giri)
keturunanan dari sultan Perlak, yang kemudian mendirikan Kerajaan Samudera Pasai dan
menjadi raja pertama dengan gelar Maharaja Mahmud Syah berkuasa hingga tahun 1078.
Kerajaan ini kemudian mengalami perkembangan yang lebih signifikan pada masa Sultan
Malik Salih atau Malikussaleh (1261-1289), yang mulanya Silu, tetapi setelah datangnya
ulama Syaikh Isma’il dari Mekkah sekitar tahun 1270-1275 dan Meurah Silu menjadi
penguasa di Samudera Pasai, maka kemudian bergelar Sultan Malik Salih (The Pious
King).16
Pada saat Kaisar Yung Lo berkuasa di China pada Tahun 1368, pernah mengirim
ekspedisi ke Aceh di bawah pimpinan Laksamana Muhammad Cheng Ho, maka antara
China dan Aceh terjalin hubungan yang baik. Saat itu Aceh diperintah oleh Sultan
Zainuddin Malik Zahir Berdaulat (1350-1394). Salah satu hadiah dari Kerajan China untuk
Kerajaan Samudera Pasai adalah sebuah lonceng raksasa, Cakra Donya yang hingga
sekarang masih dapat disaksikan di Banda Aceh.
Selain Syaikh Isma’il dari Mekah, Kerajaan Samudera Pasai juga didatangi oleh
ulama-ulama lain dari Timur Tengah, Persia dan India. Dari India, misalnya, Faqir Ma’abri
(Mengir) datang ke Pasai dalam rangka syiar Islam. Sejak ini, Pasai berkembang menjadi
Kerajaan Islam yang terkenal di kawasan Asia Tenggara. Bahkan dalam bidang identitas
keislaman, pernah terjalin hubungan yang baik antara Kerajaan Pasai, Malaka, Demak dan
Blambangan Jawa Timur. Penguasa Malaka, Sultan Mansur Syah pernah meminta kepada
ulama Pasai (Makhdum Pematakan) untuk menjelaskan isi kitab Durr Manzum, yang
diberikan kepadanya oleh Mawlana Abu Bakr yang datang ke Malaka.17 Maulana Ishaq,
salah seorang ulama Pasai juga dikirim ke Blambangan, Jawa Timur untuk
mengembangkan agama Islam. Bahkan ketika Pasai diinvasi oleh Majapahit pertengahan
abad ke-14, dakwah Islam ke wilayah Nusantara lainnya tidak terhenti karenanya.
Al-Chaidar merujuk pada Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh karya M. Yunus Jamil
dan Tarikh Aceh dan Nusantara karya Haji Zainuddin, menyatakan bahwa Sultan kerajaan
11
Edwin M. Loeb, Sumatera: Its History and People, Oxford University Press, New York, 1972, h. 9 dan
218.
12
Thomas Arnold, The Spread of Islam in The World: A. History of Peaceful Preaching. Goodword Books,
India, 2001, h. 367.
13
P.A. Hoesein Djadiningrat, “Islam di Indonesia” dalam Dari Sini ia bersemi, Panitia Penyelenggara
Musabaqah Tilawatil Qur’an Tingkat Nasional ke-12, Banda Aceh, 1981, h.1.
14
Hikayat Raja-raja Pasai, menurut Winstedt, ditulis pada abad ke-14 M, yang di dalamnya menceritakan
tentang raja-raja yang berkuasa di Pasai, terutama sejak Malik Salih di abad ke-13 hingga penyerangan Majapahit
ke daerah ini pada abad ke-14. Sir Richard Winstedt, A History of Classical Malay Literature, Oxford University,
Press, London, 1969, h. 155.
15
Winstedt, A. History….h. 158.
16
Yusny Saby, “The ulama in Aceh: A Brief Historical Survey” dalam Studia Islamika: Indonesia Journal
For Islamic Studies, 8(1), Jakarta, 2001, h. 6. 12-15.
17
Winstedt, A. History..., h. 135.
95
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

Samudra Pasai juga mengirim para dai untuk menyebarluaskan agam Islam ke berbagai
wilayah di Nusantara dan wilayah Melayu lainnya. Sidi Abdul Aziz diutus ke Malaka,
sehingga Raja Malaka, Parameswara (dari Kerajaan Sriwijaya ) 18 memeluk Islam seraya
mengganti namanya dengan Megat Iskandar syah dan anaknya dikawinkan dengan outri
Sultan Zainal Abidin (1383-1400) dari Samudera Pasai. Para dai Pasai juga sampai di
Kedah, sehingga Raja Pra Ang Madan angsa memeluk Islam dan merubah namanya
menjadi Muzlafaz Syah. Sementara untuk wilayah Patani (Thailand), Islam dibawa oleh
ulama Pasai yang beranama Syekh Said, dan bukti sejarah yang sekarang masih bisa
disaksikan adalah adanya Makam Tok Pasai di Patani. Penyebaran Islam ke Brunei dan
Filipina Selatan dilakukan oleh ulama Pasai lainnya, masing-masing bernama Syaikh Syarif
Kasim dan Syaikh Abubakar.
Fatahillah yang dikenal luas dengan Faletehan atau Sunan Gunung Jati juga ulama
kelahiran Pasai sekitar tahun 1490. Setelah belajar di Tanah Suci, Fatahillah kembali
Nusantara dan menuju Banten. Selama di Banten, Fatahillah membantu Kerajaan Demak
mengalahkan Sunda Kelapa (Kini Tanjung Priok) dan berhasil mendirikan kota Jayakarta
(kini Jakarta). Sejak ini, Islam kemudian menjadi lebih berkembang di Jawa. Penyebaran
Islam juga sampai di Cirebon yang dilakukan oleh Maulana Ishak, di Gresik oleh Maulana
Malik Ibrahim dan di Jawa Timur oleh Sunan Ampel.19
Era berikutnya adalah Kerajaan Aceh Darussalam, yang eksis sekitar lima abad.
Catatan sejarah dalam Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh menginformasikan bahwa jauh
sebelum adanya pengaruh Islam, di ujung Aceh telah berdiri Kerajaan Hindu Indra Purba
dengan Lamuri (wilayah yang kini termasuk Aceh Besar) sebagai pusatnya. Setelah
menduduki Kerajaan Indra Jaya antara tahun 1059-1069, tentara Tiongkok menyerang
Kerajaan Indra Purba yang ketika itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti. Kemudian
tentara Tiongkok dikalahkan oleh sekitar 300 orang di bawah pimpinan Syaikh Abdullah
Kan’an, yang bergelar syiah Hudan, seorang keturunan Arab Kan’an dari Kerajaan Islam
Pureulak. Atas keberhasilan ini, kemudian Maharaja Indra Sakti dan rakyat Indra Purba
menganut Islam, bahkan ia mengawinkan putrinya Blieng Keusuma dengan Muerah Johan
yang turut mengusir tentara Tiongkok. Setelah Maharaja Indra sakti Meninggal,
diangkatlah Meurah Johan sebagai Raja Indra Purba dengan gelar Sultan Alaiddin Johan
Syah dan nama Kerajaan Darussalam yang berpusat di Bandar Darussalam, pada hari
Jum’at, Bulan Ramadhan 601 H (1205 M).20

3. Teori Islamisasi di Aceh


Catatan sejarah yang menyebutkan secara pasti tahun masuknya Islam ke Aceh
memang tidak ditemukan, tetapi petunjuk yang ada dapat ditelusuri dalam Hikayat Raja-
raja Pasai (HRP). HRP -ditulis setelah tahun 1350- menyatakan bahwa ada nakhoda Arab
bernama Syaikh Ismail telah berlayar dari Mekah menuju Sumatera sengaja dilakukan
dengan maksud untuk menyiarkan Islam. Menurut catatan Mohammad Said misi ini
berhasil mengislamkan Meurah Silu, yang kemudian bergelar Sultan Malik as-Salih, Raja
Pasai pertama. Sebelum tiba di Pasai, rombongan terlebih dahulu singgah di Barus, Lamuri,
dan Perlak untuk mengislamkan penduduk di sana.21
Di samping itu, Aceh Serambi Mekkah menerangkan lebih lanjut bahwa salah satu
historiografi Aceh menyatakan bahwa nenek moyang para sultan Aceh bernama Syaikh

18
Lihat V.I. Braginsky, Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19 (terj. Hendri Setiawan), INIS, Jakarta,
1998, h. 57. Teuku Ibrahim alfian, Wajah Aceh Dalam Lintasan Sejarah, Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda
Aceh, 1999, h. 19.
19
Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka, Jihad Rakyat Aceh mewujudkan Negara Islam, Madani Press,
Jakarta, 1999, h. 22 dst.
20
Al-Chaidar, Gerakan…., h. 23.
21
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Waspada; Medan, 1981. h. 38.
96
Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta
Jamal al-Alam, seorang Arab yang diutus oleh Sutlan Utsmani untuk mengislamkan
masyarakat Aceh. Riwayat lain menyebutkan bahwa Islam dibawa ke Aceh sekitar tahun
1111 M oleh seorang Arab bernama Abdullah Arif.22 Akan tetapi jauh sebelum itu, para
pedagang Arab telah menjalin hubungan perdagangan yang luas dengan bangsa-bangsa di
Asia Timur dan Selatan. Sejak abad ke-10 hingga ke-15 M, para pedagang Arab menguasai
perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Padahal sebelum itu, yaitu pada
masa pra Islam atau sebelum kedatangan bangsa Arab ke Asia, perdagangan di kawasan
Asia Tengah, Selatan dan Tenggara didominasi oleh Cina. Sebelum bangsa Portugis
menemukan jalur ke Tanjung Harapan dan Terusan Suez pun belum dibuka, Cina
mengeskpor komoditi dagang dari kawasan Asia ke Timur Tengah, terutama Mesir sebagai
pasar andalan Eropa. Implikasinya adalah bergesernya monopoli imperium Islam di Timur
Tengah terhadap pasar Eropa. Hal ini diperparah lagi oleh serbuan dan pendudukan Mesir
oleh pasukan Kristen Eropa. Situasi demikian mendorong pedagang muslim Timur Tengah
melakukan ekspansi ke kawasan Asia. Mereka kemudian menaklukkan India dan
menyerang Cina.23
Setelah Islam masuk India pada akhir abad ke-7 H, sebuah kekuasaan, kerajaan
Mughal didirikan di sana. Hubungan dan jalur perdagangan yang telah dibangun India
dengan kerajaan-kerajaan Nusantara tetap dilanjutkan oleh rezim penakluk demi keberlang-
sungan ekonomi kerajaan. Hal ini berarti bahwa semenjak India ditaklukan, Nusantara telah
bersentuhan langsung dan berinteraksi dengan Islam.24
Saat itu, salah satu kerajaan yang terpenting dalam perkembangan Islam di Nusantara
adalah Kerajaan Lamuri di Aceh. Orang Arab menyebutnya rami, ramni, sedangkan orang
Cina menyebutnya lan-li, lan-wu-li, nan-wu-li dan nan-poli. Orang Aceh menyebutnya
lammuri, sementara Marco Polo menyebut lambri. 25 Kerajaan ini terletak di kawasan
Sibreh, Aceh Besar (sekarang). Dari sinilah upaya islamisasi Lamuri dilakukan oleh bangsa
Arab yang berasal dari Timur Tengah.26
Sebelum Lamuri, menurut catatan Zainuddin, Kerajaan Perlak –kini di wilayah Aceh
Timur- sejak tahun 1075 M telah lebih dulu menerima Islam.27 Bahkan menurut Djamil,
bandar Perlak telah menjadi sebuah pelabuhan yang ramai disinggahi kapal-kapal dagang
dari Arab pada abad ke-8 M. Sebagian pedagang ini kawin mawin dengan penduduk
setempat, sehingga agama Islam yang mereka anut ikut pula tersebar kepada keluarga,
kerabat dan masyarakat setempat. Lambat laun, penduduk muslim kian bertambah sehingga
pada 1 Muharram 225 H (840 M) Kerajaan Perlak pun diganti menjadi Bandar Khalifah,
sebagai salah satu upaya masyarakat setempat untuk menghormati dan mengenang jasa
rombongan Nakhoda Khalifah yang telah menyebarkan Islam di sana.28
Hamka menyimpulkan bahwa agama Islam telah datang ke Nusantara secara
berangsur-angsur sejak abad ke-1 H/8 M, yang dibawa oleh para saudagar Islam dan
dimotori oleh orang-orang Arab, baru kemudian diikuti oleh orang Persia dan Gujarat. Haji
Abubakar Aceh menarik kesimpulan bahwa Pertama, Islam masuk ke Indonesia pertama
kali melalui Aceh, tidak mungkin dari daerah lain. Kedua, Penyiar Islam pertama di
Indonesia tidak hanya berasal dari India dan Gujarat, melainkan juga dari Arab. Pada
akhirnya, seminar ini menghasilkan beberapa kesimpulan, diantaranya: Pertama, menurut
sumber-sumber yang diketahui, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada
abad ke-1 H (abad ke-7/ 8 M) langsung dari Arab; Kedua, bahwa daerah yang pertama
didatangi Islam adalah pesisir Sumatera dan setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka
raja Islam yang pertama berada di Aceh.

22
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, h. 10.
23
Djoko Suryo, dkk., Agama dan Peribahan Sosial, LKPSM, Yogyakarta, 2001, h. 25-26.
24
Djoko Suryo., Agama …, h. 25-26.
25
M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan h. 23.
26
Djoko Suryo., Agama …, h. 42.
27
Zainuddin, Tarich …, h. 40.
28
Muhammad Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh, ttp., 2005, h. 5-6.
97
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

Pada tahun 1978, seminar serupa diselenggarakan di Banda Aceh. Di antara rumusan
penting yang dihasilkan adalah: Pertama, Islam telah masuk ke Aceh pada abad I H. Kedua
Kerajaan-kerajaan Islam yang pertama adalah Perlak, Lamuri, dan Pasai. Selain hasil
seminar ini, pandangan yang menyatakan bahwa Islam telah masuk ke Aceh pada Abad ke-
7 M juga diajukan oleh beberapa ahli terkemuka. Sasmita mengklasifikasi kelompok ahli
yang berpendapat seperti ini, di antaranya: T.W. Arnold, Syed Naguib al-Attas, dan
Hamka.29 Jika ditelusuri lebih jauh, ternyata ketiga ilmuwan ini juga meyakini bahwa Islam
yang datang ke Aceh dibawa oleh orang-orang Arab.
Arnold berpendapat bahwa penyebaran Islam ke Nusantara dilakukan oleh para
pedagang Arab ketika meraka mendominasi perdagangan Barat-Timur sejak abad-abad
pertama hijriah atau abad ke-7 dan ke-8 masehi. Kendati tidak ada catatan-catatan sejarah
mengenai aktivitas pedagang Arab ini dalam penyiaran Islam di Nusantara, Arnold
meyakini bahwa para pedagang itu menyiarkan Islam kepada penduduk lokal Nusantara
sembari mereka berdagang di kawasan ini. Untuk memperkuat pandangannya, Arnold
mengemukakan fakta-fakta yang tersebut dalam sumber-sumber Cina menyatakan bahwa
menjelang akhir perempatan ketiga abad ke-7 seorang pedagang Arab menjadi pemimpin
sebuah pemukiman Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Arnold berkesimpulan bahwa
masyarakat pemukiman itulah yang melakukan penyebaran Islam kepada penduduk
setempat. 30 Sarjana lain menyatakan Islam di Aceh dibawa dari Arab adalah Sir John
Crowford. Dia mendasarkan pandangannya atas anutan mazhab Syafi'i oleh masyarakat
Muslim Melayu (termasuk Aceh).31 Meski begitu, Crowford tidak menolak bahwa interaksi
penduduk Nusantara dengan kaum Muslimin yang berasal dari pantai Timur India
merupakan factor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.32
Keterangan lain menyebutkan bahwa Islam datang ke Nusantara dibawa oleh para
pedagang Yaman, Hadramaut dan Oman, yang terletak di bagian selatan dan tenggara
Semenanjung Jazirah Arab. Kawasan Yaman yang telah diislamkan oleh Ali bin Abi Thalib
sekitar tahun 630-631 M. Pengislaman Yaman berimplikasi terhadap Asia Tenggara,
terutama Nusantara, karena para pedagang yang telah beragama Islam tersebut kemudian
menyebarkan Islam kepada masyarakat di Nusantara. Dengan demikian diyakini bahwa
Islam telah masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M. Pada masa itu pula, sebuah
perkampungan Islam pun telah dibangun di sekitar Sumatera Utara. Perkampungan itu
dikenal dengan nama Ta-Shih. Menurut catatan sejarah Cina, Ta-Shih telah menjalin
hubungan dengan Cina sekitar tahun 650 M.33
Di antara para ahli tersebut, menurut catatan Azra, yang sangat gigih menyatakan
bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab adalah Naguib al-Attas. Menurut al-Attas,
karakteristik internal Islam di dunia Melayu-Indonesia merupakan bukti yang paling
penting yang harus dikaji bilamana tidak membahas topik kedatangan Islam ke Nusantara.
Oleh karena itu, teori umum tentang islamisasi nusantara harus didasarkan terutama pada
sejarah literatur Islam Melayu –Indonesia dan sejarah pandangan dunia Melayu. Sebutkan
abad XVII tidak ditemukan satupun literaut keagamaan Islam yang dikarang oleh muslim
India atau berasal dari India, melainkan dari Arab. Nama dan gelar para pembawa Islam ke
Nusantara pun menunjukkan mereka berasal dari Arab. Karena itu. Al-Attas menyimpulkan
bahwa Islam di Nusantara berasal langsung dari Arab.34

29
Uka Tjandrasasmita, "Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh" dalam
A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di indonesia, al-Ma'rif, Bandung, 1993, h. 358.
30
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, h. 6.
31
Wan Hussein Azmi, "Islam di Aceh, Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI" dalam A. Hasjmy
(peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, al-Ma'rif, Bandung, 1993, h. 180.
32
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama …, h. 7.
33
Mahayuddin Hj. Yahya dan A.J. Halimi, Sejarah Islam, Fajar Bakti Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, tt, h. 559.
34
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…., h. 8-9.
98
Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta
Teori lain menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India. Teori ini pada
umumnya dianut oleh para sarjana Belanda. Pijnappel adalah ahli pertama yang mencoba
mengaitkan asal usul Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar di India.
Menurutnya, Islam ke Nusantara dibawa oleh para penganut mazhab Syafi’i yang
berimigrasi dan kemudian menetap di India 35 . Pandangan Pijnappel didukung Snouck
Hurgonje, yang menyatakan bahwa setelah sebagian bangsa India memeluk Islam, maka
orang-orang Indialah yang membawanya ke Nusantara. 36 Hanya saja, Hurgronje tidak
menunjukkan secara tepat wilayah di India sebagai tempat asal usul Islam di Nusantara.
Pandangan Pijnappel dan Hurgronje ini kemudian diikuti oleh para orientalis, seperti
D.G.E. Hall, J. Gonda, Marrison, R.O. Winstedt, Bousguest, Vleke, J.P. Mourquette, dan B.
Harrison. Teori India ini didasarkan pada alasan adanya jalur perdagangan dan pelayaran
orang India dengan Indonesia sejak zaman pra Islam. Apalagi diketahui bahwa orang Arab
tidak terkenal sebagai pelaut tangguh dan pemberani dalam mengarungi samudera dengan
kapal layar bangsa India; adanya nama-nama ulama pembawa Islam memakai gelar
maulana, khan, dan syah yang merupakan gelar yang lazim dipakai di India dan Persia;
adanya batu marmer dari makam raja-raja dan pembawa Islam seperti Maulana Malik
Ibrahim, jika dilihat pada retakannya tampak bekas tembok kuil Hindu dan bentuk
ukirannya adalah bentuk ukiran dari India.37
Di samping itu, pendukung teori India juga menyatakan bahwa Islam masuk ke Aceh
pada abad ke-13. Hal ini dilandasi oleh catatan perjalanan para pengembara yang pernah
singgah atau melawat ke Nusantara sekitar abad ke-13 dan ke-14 M, di antaranya catatan
Marco Polo dan Ibn Batutah. Teori ini diperkuat dengan ditemukan makam Sultan Malik
as-Salih, Raja Pasai yang mangkat pada tahun 1297 M dan disebut dalam Hikayat raja-raja
Pasai sebagai raja Islam yang pertama di Kepulauan Melayu. Berdasarkan hal tersebut,
mereka meyakini bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M.38
Selain Arab dan India, wilayah lain yang diduga sebagai asal mula Islam ke Aceh
adalah Coromandel atau Malabar. Teori ini dikemukakan oleh T.W. Arnold. Arnold
mendasarkan pandangannya atas adanya persamaan mazhab fikih yang dianut oleh kedua
masyarakat tersebut. Mayoritas muslim di Aceh menganut mazahab Syafi’i, demikian pula
halnya dengan muslim di Coromandel dan Malabar. Persamaan mazhab fikih ini bukanlah
sebuah kebetulan belaka, tetapi disebabkan oleh adanya interaksi sosial antar kedua
masyarakat yang berimplikasi pada perubahan unsur-unsur budaya tertentu dari suatu
dalam perdagangan antara India dan Nusantara. Para pedagang dari wilayah ini mendatangi
dan singgah di pelabuhan-pelabuhan dagang dunia Melayu untuk melakukan transaksi
perdagangan. Akan tetapi, aktivitas mereka tidak berdagang semata, melainkan juga
menyebarkan Ajaran Islam. Arnold juga menegaskan bahwa Coromandel dan Malabar
bukan satu-satunya tempat asal kedatangan slam di Nusantara, tetapi Islam juga dibawa
oleh para pedagang Arab ke kawasan ini.
Pendapat Arnold didukung Marrison yang pandangannya tidak saja dimaksudkan
untuk menunjukkan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Commandel, tetapi sekaligus
juga untuk menentang pendapat yang menyatakan Islam datang ke Nusantara dari Gujarat.
Marrison menunjukkan fakta bahwa Sultan Malik as-Salih mangkat pada tahun 1297 M,
Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Oleh karena itu, mustahil para pedagang Gujarat
yang membawa ajaran Islam ke Nusantara. Marrison menyimpulkan bahwa Islamisasi
Nusantara dilakukan pada akhir abad ke-13 oleh orang-orang dari pantai Coromandel.39
Mengamati berbagai pandangan tentang asal usul Islam di Aceh, yaitu dari Arab,
India dan Coromandel/Malabar, agaknya dapat disimpulkan bahwa, Islam masuk ke Aceh

35
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama…, h. 8-9.
36
C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Bharata, Jakarta, 1973, h. 17.
37
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Lentera Basritama, Jakarta,
1999, h. Xxiv.
38
Mahyuddin Hj. Yahya dan A.J. Halimi, Sejarah..., h. 558.
39
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama..., h. 5-6.
99
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

memiliki banyak jalur, baik Arab, India, Coromandel maupun Malabar, tetapi muara
utamanya adalah Arab, sebagai tempat pertama Islam diturunkan. Adapun tentang kapan
masuknya Islam ke Aceh nampaknya bisa kita nyatakan bahwa sejak abad pertama Hijriah
(abad ke-7 Masehi) Islam telah sampai ke Aceh, namun Islam menjadi kekuasaan politik –
ditandai dengan berdirinya kerajaan– pada abad ke-13 M.

4. Kerajaan Islam Awal di Aceh


a. Kerajaan Perlak
Kerajaan Perlak merupakan kerajan pertama di Nusantara atau bahkan Asia Tenggara.
Kerajaan ini diproklamirkan berdiri pada hari Selasa, tanggal 1 Muharram tahun 225 H
(840 M). Untuk mengenang jasa penyebar Islam pertama di Perlak yaitu seorang Nahkoda
Khalifah. Maka Bandar Perlak sebagai ibukota kerajaan Islam pertama ini diganti dengan
nama Bandar Khalifah. Raja pertama yang memerintah kerajaan ini ialah Said Maulana
Alaiddin Abdul Aziz Syah dan memerintah selama 24 tahun: dari tahun 225-249 H (840-
864 M). Ibukota kerajaan ini Bandar Perlak. Kemudian ibukota kerajaan Islam Perlak
dipindah dan diubah namanya menjadi Bandar Khalifah. Menurut Tgk. Hamzah Junus40
masa pemerintahan Islam Perlak berlangsung selam 467 tahun dari tahun 225-692 H
dengan 13 orang sultan. Kerajaan Islam Perlah lahir bertepatan dengan masa pemerintahan
Al-Muktashim Billah, khalifah Abbasiyah terkahir yang memerintah tahun 218-227 H
(833-842 M).
Sampai awal abad ke-10 tercatat empat orang raja yang memerintah Kerajaan Islam
Perlak, yaitu: Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul Aziz Syah (225-249 H /840-864 M),
Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdurrahim Syah (249-285 H/ 864-888 H), Sultan
Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah (285-300 H / 888-913 H), Sultan Alaiddin Saiyid
Maulana Ali Mughaiyat Syah (302-305 H/ 915-918 M).
Penobatan Sultan yang keempat tertunda selama tiga tahun karena terjadi
pertentangan politik antara aliran Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Para saudagar yang
dipimpin Nahkoda Khalifah terdiri atas pemimpin-pemimpin kaum Syiah yang tersingkir
oleh penguasa dari dinasti Abbasiyah di Tanah Arab, Persia dan India. Pertentangan politik
antara kedua mazhab ini dalam kerajaan Islam saat itu sampai meluas ke Perlak. Akhirnya
kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah berhasil menumbangkan kerajaan Islam Syiah dan
menggantikannya dengan kerajaan Ahlussunnah Perlak. Dinasti Makhdum merupakan
pelanjut dari sultan-sultan dinasti Saiyid Maulana yang berjumlah dua belas orang, yaitu:
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Syah Johan Berdaulat, (306-310 H / 918-922
M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat (310-334 H
/922-946 M), Sultan Makhdum Alaiddin Abdulmalik Syah Johan Berdaulat (334-361 H
(946-973 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (402-450 H
/1012-1059 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat (450-470
H /1059-1078 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat (470-
501 H (1078-1108 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat
(501-527 H /1108-1134 M), Sultan Makhdum Alaiddin Mahmud Syah Johan Berdaulat,
(527-552 H /1134-1158 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan
Berdaulat, (552-565 H /1158-1170 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah
Johan Berdaulat (565-592 H /1170-1196 M), Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abduljalil
Syah Johan Berdaulat (592-622 H /1196-1225 M) dan Sultan Makhdum Alaiddin Malik
Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).41

40
Hamzah Yunus, “Bandingan terhadap Sejarah Pemerintahan selama Berdiri Kerajaan-kerajaan Islam di
Aceh” dalam Sinar Darussalam No. 94-95. YPD Unsyiah IAIN Ar-Raniry 1978.
41
Tuanku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh 1991, hal.
54-58. juga Raden Hoesein Djajadiningrat, alih bahasa Teuku Hamid, Kesultanan Aceh, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permeseuman Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh 1982/1982, hal. 81-84.
Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka..., hal. 16-28. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
100
Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta
Dalam masa pemerintahan Sultan Abdul Malik Syah, kaum Syiah kembali melakukan
perlawanan terhadap sultan dan terjadilah perang saudara selam empat tahun. Akhirnya
perang saudara ini dapat diakhiri dengan kesepakatan damai, yaitu kerajaan Islam Perlak
dibagi dua. Perlak pesisir untuk golongan Syiah dengan ibukota Bandar Periak. Perlak
pedalaman untuk golongan Ahlussunnah dengan ibukota Bandar Khalifah. Pembagian
wilayah kekuasaan ini mengakhiri perang saudara yang terjadi diantara dua idiologi politik
yang saling mempengaruhi peta politik dunia Islam.
Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II tidak mempunyai putera
mahkota, namun dibalik itu terjadi peristiwa penting dari sisi politis yaitu
dilangsungkannya perkawinan dua orang puterinya dengan dua orang raja. Puteri ratna
Kemala dikawinkan dengan Parameswara, salah seorang Raja Malaka, yang menggantikan
namanya dengan Iskandarsyah setelah memeluk Islam. Dengan bantuan iparnya Malik
Abdulazis Syah (putera mahkota Malik Muhammad Amin Syah II), sultan berjihad
mengembangkan Ajaran Islam ke seluruh daratan Semenanjung Tanah Melayu. Sementara
puteri Ganggang Sari dinikahkan dengan Sultan Malikussalih yang memerintah kerajaan
Islam Samudera Pasai dari tahun 659-688 H (1261-1289 M). Perkawinan ini mempunyai
arti yang sangat penting dalam penyebaran Islam di Sumatera dan Semenanjung Tanah
Melayu. Selain itu, Kerajaan Islam Perlak sebagai kerajaan yang memiliki kebudayaan dan
peradaban tinggi bersifat terbuka.
Sultan Malik Abdul Aziz merupakan raja terakhir dinasti Makhdum dalam Kerajaan
Islam Perlak. Setelah sulatan terakhir ini mangkat, Kerajaan Islam Perlak bergabung
dengan Kerajaan Islam Samudera Pasai. Sultan Malik Salih dari Kerajaan Samudera Pasai
menikah dengan Puteri Ganggang Sari dari Kerajaan Islam Perlak. Dari hasil perkawinan
ini melahirkan seorang putera mahkota pewaris dua kerajaan, yakni Sultan Muhammad
Malikul Dhahir. Faktor perkawinan ini menyebabkan lancarnya penyatuan Kerajaan Islam
Perlak ke dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai.42

b. Kerajaan Islam Samudera Pasai


Kerajaan Islam Samudera Pasai adalah Kerajaan Islam terbesar dan termegah di Asia
Tenggara pada abad ke-13. Kerajaan ini terletak di daerah Aceh Utara, di pesisir timur laut
Aceh. Kemunculannya sebagai kerajaan Islam diperkirakan mulai awal atau pertengahan
abad ke 13 M, sebagai hasil dari proses islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8 M, dan seterusnya.43 Sebelum
berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai, di daerah ini telah berdiri kerajaan-kerajaan
kecil yang dipimpin oleh raja-raja yang bergelar ”Meurah”. Gelar Meurah Cut Intan
misalnya, adalah pahlawan Aceh dari negeri-negeri kecil seperti Jeumpa, Samudera, Tanoh
Data, dan lain-lain. 44 Bukti berdirinya kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M itu
didukung oleh adanya nisan kuburan terbuat dari granit asal Samudera Pasai. Dari nisan itu
dapat diketahui bahwa raja pertama kerajaan itu meninggal pada bulan Ramadhan tahun
696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.
Pembentukan kerajaan Islam Samudera Pasai diawali dengan kedatangan seorang
pembaharu Islam ke wilayah itu pada tahun 433 H (1042 M). Meurah Khair datang ke
tanoh Data (di sekitar Cot Girek sekarang) untuk memperkenalkan sistem pemerintahan
Islam ke raja Samudera. Meurah Khair, sang pembaharu, berasal dari keluarga Sultan
Mahmud Perlak. Ia datang dengan dua tujuan sekaligus yaitu untuk mendakwah Islam dan
membangun Kerajaan Islam Samudera Pasai. Akhirnya tujuan in tercapai dan ia menjadi

Indonesia, Penerbuit Djambatan, Jakarta, 1992. Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1994.
42
A. Hasjmy, dkk, 50 Tahun Aceh Membangun, MUI, Banda Aceh, 1995, h.3-8
43
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984, h.3.
Sementara A. Hasjmy mengatakan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai lahir pada tahun 433 H atau 1042 M pada
masa Daulah Abbasiyah dikuasai oleh Dinasti Buwaihi di Irak tepatnya pada masa Jalaluddin Daulah 416-435 H.
44
M. Junus Jamil, Tawarich …, h.9.
101
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

raja yang pertama yang bergelar Maharaja Mahmud Syah disamping memiliki nama gelara
lokal, Meurah Giri, 433-470 H (1042-1078 M).45
Adapun silsilah dari raja-raja kerajaan Samudera Pasai adalah: Maharaja Mahmud
Syah (Meurah Giri), 433-470 H (1042-1078 M), Maharaja Mansur Syah, 470-527 H (1078-
1113 M), Maharaja Khiyassyudin Syah, 527-550 H (1113-1155 M), MaharajaNurdin
Sultan al-Kamil, 550-607 H (1155-1210 M), Sultan Malikussalih, 659-688 H (659-688 H
(1261-1289 M), Sultan Muhammad Malikul Dhahir, 688-725 H (1289-1326 M), Sultan
Ahmad Malikul Dhahir, 725-750 H (1326-1350 M), Sultan Zainuddin Malikul Az-Zahir,
750-796 H (1350-1394 M), Sultan Zainal Abidin, 1383-1400 H dan Malikah Nihrasiyah
Rawangsa Khadiyu, 801-831 H (1400-1427 M).46
Sementara menurut pengakuan sarjana-sarjana Barat, Malik as-Slaeh merupakan
pendiri kerajaan tersebut. Hal itu diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja Pasai,
Hikayar Melayu dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang dilakukan sarjana-
sarjana Barat, khususnya para sarjana Belanda, seperti Snouck Hurgronye, J.P. Molquette,
J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffacr, H.KJ. Cowan, dan lain-lain.47
Dari segi politik, munculnya kerajaan Samudera Pasai abad ke-13 M itu sejalan
dengan suramnya peranan maritim kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang
peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya.48 Dalam Hikayat Raja-raja Pasai
disebutkan49 gelar Malik al-Saleh sebelum menjadi raja adalah Merah Silu atau Merah Silu.
Ia masuk Islam berkat pertemuannya dengan Syekh Ismail, seorang utusan Syarif Mekah,
yang kemudian memberinya gelar Sultan Malik al-Saleh. Nisan kuburan itu didapatkan di
Gampong Samudera bekas kerajaan Samudera Pasai tersebut. Meurah Selu adalah putera
Merah Gajah. Nama Merah merupakan gelar bangsawan yang lazim di Sumatera Utara.
Selu kemungkinan berasal dari kata sungkala yang aslinya berasal dan Sanskrit Chula.
Kepemimpinannya yang menonjol menempatkan dirinya menjadi raja.
Dari hikayat itu terdapat petunjuk bahwa tempat pertama sebagai pusat kerajaan
Samudera Pasai adalah Muara Sungai Peusangan, sebuah sungai yang cukup panjang dan
lebar di sepanjang jalur pantai yang memudahkan parahu-perahu dan kapal-kapal
mengayuhkan dayungnya ke pedalaman dan sebaliknya. Ada dua kota yang terletak
berseberangan di muara sungai peusangan itu, Pasai dan Samudera. Kota Samudera terletak
agak lebih ke pedalaman, sedangkan kota Pasai terletak lebih ke muara. Di tempat yang
terakhir inilah terletak beberapa makam raja-raja.
Pendapat bahwa Islam sudah berkembang di sana sejak awal abad ke-13 M, didukung
oleh berita Cina dan pendapat Ibn Batutah, seorang pengembara terkenal asal Maroko, yang
pada pertengahan abad ke-14 M (tahun 746H/1345 M) mengunjungi Samudera Pasai dalam
perjalanannya dari Delhi ke Cina. Ketika itu Samudera Pasai diperintah oleh Sultan Malik
al-Zahir, putera Sultan Malik al-Saleh. Menurut sumber-sumber Cina, pada awal tahun
1282 M kerajaan kecil Sa-mu-ta-la (Samudera) mengirim kepada raja Cina duta-duta yang
disebut dengan nama-nama muslim yakni Husein dan Sulaiman. 50 Ibnu Batutah
menyatakan bahwa Islam sudah hampir seabad lamanya disiarkan di sana. Ia meriwayatkan
kesalehan, kerendahan hati, dan semangat keagamaan rajanya yang seperti rakyatnya,

45
M. Junus Jamil, Tawarich …, h.9.
46
Tuanku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam..., hal. 54-58, Hoesein Djajadiningrat, Kesultanan Aceh..., hal.
81-84, Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka..., hal. 16-28. Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam
Indonesia..., dan Tim Penyusun, Ensiklopedi Islam.
47
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di
Aceh”, dalam A.Hasjmy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1989,
h.420.
48
Uka Tjandrasasmita, “Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh”, dalam
A.Hasjmy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma;arif, Bandung, 1989, h. 362.
49
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Proses Islamisasi ..., h. 423-426.
50
H.J.De Graaf, “Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke 18” dalam Azyumardi Azra (Ed.). Perspektif
Islam di Asia Tenggara, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1989, h.3.
102
Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta
mengikuti mazhab Safi’i. Berdasarkan beritanya pula, kerajaan Samudera Pasai ketika itu
merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai
negeri Islam untuk berdiskusi berbagai masalah keagamaan dan keduniaan.
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini, tidak mempunyai basis
agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran. Pengawasan terhadap
perdagangan dan pelayaran itu merupakan sendi-sendi kekuasaan yang memungkinkan
kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar. Tome Pires menceritakan, di Pasai
ada mata uang dirham. Dikatakannya: setiap kapal yang membawa barang-barang dari
Barat dikenakan pajak 6%. Samudera Pasai pada waktu itu ditinjau dari segi geografis dan
sosial ekonomi, memang merupakan suatu daerah yang penting sebagai penghubung antara
pusat-pusat perdagangan yang terdapat di kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab. Ia
merupakan pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata yang itu membuktikan
bahwa kerajaan ini pada saat itu merupakan kerajaan yang makmur.
Mata uang dirham dari Samudera Pasai tersebut pernah diteliti oleh H.K.J Cowan
untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang tersebut menggunakan
nama-nama Sultan Alauddin, Sultan Manshur Malik al-Zahir, Sultan Abu Zaid dan
Abdullah, pada tahun 1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham di antaranya
bertuliskan nama Sultan Muhammad Malik al-Zahir, Sultan Ahmad, Sultan Abdullah,
semuanya adalah raja-raja Samudera Pasai pada abad ke-14 M dan 15 M.
Atas dasar mata uang emas yang ditemuakan itu dapat diketahui nama-nama raja dan
urut-urutannya, sebagai berikut: Sultan Malik al-Saleh yang memerintah sampai pada tahun
1207M, Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M), Mahmud Malik al-zahir (1326-1345
M), Manshur Malik al-Zahir (1345-1346 M), Ahmad Malik alZahir (1346-1383 M), Zain
al-Abidin Malik al-Zahir (1383-1405 M), Nahrasiyah (1402-? ), Abu Zaid Malik al-Zahir
(7-1455 M), Mahmud Malikal Zahir (1455-1477 M), Zain al-Abidin (1477-1500 M),
Abdullah Malik al-Zahir (1501-1513 M), dan sultan yang terakhir adalah Zain al-Abidin
(1513-1524 M).51
Kerajaan Samudera Pasai berlangsung sampai tahun 1524 M. Pada tahun 1521 M
kerajaan ini ditaklukan oleh portugis yang mendudukinya selama tiga tahun, kemudian
tahun 1524 M dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayatsah. Selanjutnya, kerajaan
Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh
Darussalam.52
Dalam masa pemerintahan Sultan Muhammad Malikul Dhahir (688-725 H)
dibentuklah suatu konfederasi kerajaan-kerajaan Islam yang terdiri atas Kerajaan Islam
Perlak, Kerajaan Islam Beunua (Tamiang) dan kerajaan Islam Samudera Pasai. Ibnu
Batutah pernah berkunjung ke kerajaan Pasai dan menuliskan catatan bahwa Kerajaan
Samudera Pasai diperintah oleh seorang raja yang sangat alim dan salih. Kerajaan ini ramai
dikunjungi oleh pera pedagang dari berbagai penjuru dunia saat itu untuk keperluan
berdagang dan menuntut ilmu agama Islam.

c. Kerajaan Islam Tamiang


Kerajaan Islam Tamiang pada asalnya bernama Negeri Benua. Asal usul Negeri
Benua adalah Pulau Kampai di Pangkalansusu. Di tahun 580 H (1184 M) satu rombongan
masyarakat yang berasal dari negeri Peunaroon (Tanah Alas) yang dipimpin oleh Panglima
Pucook Sulooh membuka daerah baru yang diberi nama ”Batu Karang” di daerah Tamiang
sekarang. Para Pendatang ini berasal dari Tanah Alas. Mereka penganut Islam yang telah
lama menetap di Perlak. Pucook Sulooh meninggal dunia pada tahun 609 H (1212 M).
Anaknya yang bernama raja Sepala mewariskan Kerajaan negeri Tamiang. Kemudian
diwariskan kepada raja Pahdiwangsa dan selanjutnya oleh raja Dinok. Setelah raja Dinok
mangkat, negeri Tamiang diwariskan kepada puteranya yang bernama raja Malas.

51
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, Proses Islamisasi..., h. 430.
52
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, MUI, Jakarta, 1992, h.55.
103
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

Selanjutnya Tamiang diperintah oleh raja Kelabu Tunggal. Setelah raja ini mangkat
dilanjutkan oleh raja Peundekar. Kemudian raja ini mengangkat menantunya yang bernama
Proom Syah menjadi raja. Dari keturunan raja ini Tamiang diperintah secara terus menerus
sampai ia digantikan oleh raja Muhammad yang digelar raja silang.
Selanjutnya negeri ini diperintah oleh raja Muda Seudia Putera dari seorang panglima
yang bernama Makhdum Sa’ad. Dari keturunan raja Muda Seudia ini yang memerintah
Tamiang secara turun temurun sampai ke masa terakhir pemerintahan kerajaan ini
diperintah oleh Tengku Raja Sulong bin Raja Habsyah bin Raja Ma’an. Kerajaan Aceh
Darussalam merupakan konfiderasi dari kerajaan Islam sebelumnya.

Penutup
Di wilayah Aceh pra Islam telah ada agama Hindu meskipun tidak sekuat di
Palembang dengan kerajaan Sriwijayanya dan di Jawa yang berpusat kerajaan Mataram,
Singasari dan Majapahit. Situs peninggalan Hindu masih dapat kita temui sampai sekarang
di Aceh. Setelah Islam masuk ke Aceh, berangsur agama ini menjadi identitas keacehan
yang kental dengan Islamnya. Kemudian berbagai identitas Islam dilekatkan pada Aceh,
seperti Bumi Serambi Mekah, masyarakatnya religius dan lain sebagainya. Menurut
kesepakatan umum pada sejarawan, Aceh merupakan tempat pertama di wilayah Melayu
Nusantara yang didatangi Islam. Pendapat ini, hampir tidak diperdebatkan lagi. Akan tetapi
tentang tempat asal kedatangan Islam, pembawanya, dan waktu kedatangannya, masih
diperdebatkan dan belum ada kata final.
Teori tempat asal kedatangan Islam di Aceh berkisar antara Arab, India, Coromadel
dan Malabar. Sedangkan teori pembawa Islam ke Aceh adalah para pedagang/saudagar,
para da’i dan para kaum sufi. Sementara teori tentang waktu datangnya Islam ke Aceh
antara abad ke-7 dan abad ke-13. masing-masing teori yang dimajukan oleh para ahli
tentang tempat asal, pembawa dan masa kedatangan Islam ke Aceh ini tentu memiliki
argumentasi penguat. Jadi, Islam masuk ke Aceh ini memang memiliki banyak alur dan
jalur, antara Arab, India, Coromande, Malabar. Akan tetapi muara utamanya adalah Arab,
sebagai tempat pertama Islam diturunkan. Sedangkan tentang siapa pembawanya besar
kemungkinan terjadi kolaborasi antara motif bisnis dengan dakwah Islamiyah. Oleh karena
itu sangat dimungkinkan bahwa pembawa Islam ke Aceh adalah para pedagang ansikh, atau
para pedagang sekaligus da’i atau para pedagang yang mengikuti ajaran tasawuf tertentu.
Adapun tentang kapan masuknya Islam ke Aceh nampaknya bisa kita nyatakan bahwa
sejak abad pertama hijriah (abad ke-7 Masehi) Islam telah merambah ke Aceh, namun
Islam menjadi kekuatan yang solid dan monumental dalam sebuah kekuasaan politik pada
abad ke-13 Masehi. Di sinilah letak pentingnya penelusuran jejak masuknya Islam ke Aceh
dan munculnya Islam di Aceh.[]

Daftar Pustaka

Aboebakar Atjeh, ”Tentang Nama Aceh” dalam Ismail Suny (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara,
Jakarta, 1980.
Al-Chaidar, Gerakan Aceh Merdeka: Jihad Rakyat Aceh Mewujudkan Negara Islam, Madani Press, Jakarta, 1999.
Ali Hasjmy, 50 Tahun Aceh Membangun, Majelis Ulama Indonesia Daerah Istimewa Aceh bekerjasama dengan
Pemerintah Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, 1995.
Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Penerbit Beuna, Jakarta, 1983.
Ali Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1981.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara XVI: dan XVIII, Mizan, Bandung, 1994.
C.S. Hurgronje, Islam di Hindia Belanda, Bharatara, Jakarta, 1973, h. 17.
Djoko Suryo, dkk., Agama dan Peribahan Sosial, LKPSM, Yogyakarta, 2001.
Edwin M. Loeb, Sumatra: Its History and People, Oxpord University Press, New York, 1972.
Gavin W. Jones, “Agama-agama di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya”, dalam seri Prisma II, Agama dan
Tantangan Zaman, LP3ES, Jakarta, 1985.

104
Sejarah Islam Indonesia (Menelusuri Sejarah Islam di Aceh Masa Awal) — Sri Suyanta
H.J.De Graaf, ”Islam di Asia Tenggara sampai Abad ke 18” dalam Azyumardi Azra (Ed.) Perspektif Islam di Asia
Tenggara, Yayasana Obor Indonesia, Jakarta, 1989.
Hamzah Yunus, “Bandingan terhadap Sejarah Pemerintahan selama Berdiri Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh” dalam
Sinar Darussalam No. 94-95. YPD Unsyiah IAIN Ar-Raniry 1978.
M. Hasbi Amiruddin (Ed.), Aceh Serambi Mekkah, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Banda Aceh 2008
HM. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan.
Mahyuddin Hj. Yahya dan A.J. Halimi, Sejarah Islam, Fajar Bakti Sdn. Bhd, Kuala Lumpur, tt.
Marwati Djoened Poeponegoro dan Noegroho Nosusanto (Ed). Sejarah Nasional Indonesia II, Balai Pustaka, Jakarta,
1984.
Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Waspada; Medan, 1981.
Muhammad brahim dan Rusdi Sufi, ”Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh, dalam A.
Hasjmy (peny.) Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1989.
Muhammad Junus Djamil, Gerak Kebangkitan Aceh, ttp., 2005.
Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya, Lentera Basritama, Jakarta, 1999.
Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, Grafiti Pres, Jakarta, 2005.
Raden Hoesein Djajadiningrat, alih bahasa Teuku Hamid, Kesultanan Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Proyek Pengembangan Permeseuman Daerah Istimewa, Banda Aceh 1982/1983.
Sir Richard Winstedt, A. History of Classical Malay Literature, Oxford University Press, London, 1969.
Sri Suyanta, Pola Hubungan ulama dan Umara: Pasang Surut Peran Ulama Aceh, Disertasi UIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta, 2005.
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah Umat Islam Indonesia, MUI, Jakarta, 1991.
Thomas Arnold, The Spread of Islam in The World: A. History of Peaceful Preaching, Goodword Books, India, 2001.
Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1992.
Tuanku Abdul Jalil, ”Kerajaan Islam Perlak Poros Aceh-Demak-Ternate” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
Tuanku Abdul Jalil, Adat Meukuta Alam, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh 1991.
Uka Tjandrasasmita, ”Proses Kedatangan Islam dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam do Aceh” dalam A. Hasjmy
(peny.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-Ma’arif, Bandung, 1993.
Uka Tjandrasasmita (Ed.), Sejarah Nasional Indonesia III, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984.
V.I. Braginsky, Sejarah Sastra Melayu Dalam ’Abad 7-19 (Terjemahan), Henri Setiawan, INIS, Jakarta, 1998.
Wan Hussein Azmi, ”Islam di Aceh, Masuk dan Berkembangnya Hingga Abad XVI” dalam A. Hasjmy (peny.), Sejarah
dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Al-ma’arif, Bandung, 1993.
Yusny Saby, ”The Ulama in Aceh: A Brief Historical Survey” dalam Studia Islamika: Indonesia Journal For Islamic
Studies, Vol. 8 Number 1, Jakarta, 2001.
Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh dalam TH 1520-1675 Monora, Medan, 1972.

105
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 8, No. 1, 2010: 91 - 118

Dr. Sri Suyanta, M.Ag lahir di Klaten pada tanggal 26 September 1967. Setelah menamatkan
pendidikan dasarnya di SDN I Planggu (1981) dan SMPN II Cawas (1984), kemudian melanjutkan studi ke
PGAN I Klaten. Berbekal ijazah keguruan ini, kemudian "meudagang" ke Serambi Mekkah dan "nyantri" di
IAIN Ar-Raniry 1988 pada Jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah. Usai menamatkan studi Program
S-1 (1993), kemudian "terjaring" pada program SPU IAIN angkatan Ke-13. Pada tahun 1994 bernasib mujur
diterima di Program beasiswa Depag RI pada Program Pascasarjana S-2 di IAIN Ar-Raniry. Program
Magister ini selesai diikuti selama dua tahun (1996), kemudian mengajar di IAIN. Dan pada tahun 2005
meraih gelar Doktor di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sekarang mengemban amanah sebagai Asisten
Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh.

106

You might also like