Professional Documents
Culture Documents
2.3. Setiap Kasus dari Perbuatan/Benda Yang Mubah, Jika Berbahaya atau Membawa pada Bahaya, Maka Kasus Itu Saja Yang Haram, Sedang
Hukum Asalnya Tetap Mubah
Prinsip ini dalam teks Arabnya berbunyi : Kullu fardin min afrad al-amr al-mubah idzaa kaana dhaaran aw mu`addiyan ila dharar hurrima
dzalika al-fardu wa zhalla al-amru mubahan (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/451). Kaidah ini berarti, suatu masalah (berupa
perbuatan atau benda) yang hukum asalnya mubah, jika ada kasus tertentu darinya yang berbahaya atau menimbulkan bahaya, maka kasus itu saja yang
diharamkan. Sementara hukum asalnya tetap mubah. Misalkan mandi, hukum asalnya boleh. Tapi bagi orang yang mempunyai luka luar yang parah, mandi bisa
berbahaya baginya. Maka mandi bagi orang itu secara khusus adalah haram, sedangkan mandi itu sendiri tetap mubah hukumnya. Contoh lain, daging kambing,
hukum asalnya mubah. Tapi bagi orang tertentu yang menderita hipertensi, daging kambing bisa berbahaya. Maka, khusus bagi orang tersebut, daging kambing
hukumnya haram. Sedangkan daging kambingnya itu sendiri, hukumnya tetap mubah.
Kaidah itu didasarkan pada hadits-hadits (Abdullah, 1996:141). Antara lain, Rasul SAW pernah melarang para sahabat untuk meminum air dari sumber air
di perkampungan kaum Tsamud (kaum Nabi Salih AS), karena air tersebut berbahaya. Padahal air hukum asalnya mubah (Lihat Sirah Ibnu Hisyam, IV/164).
2.4. Segala Perantaraan Yang Membawa Kepada Yang Haram, Hukumnya Haram
Prinsip di atas dirumuskan dalam kaidah fiqih yang berbunyi al-wasilah ila al-haraam haraam (segala perantaraan [berupa perbuatan atau benda] yang
membawa kepada yang haram, hukumnya haram). Jadi, meskipun hukum asal perantara itu adalah mubah, tapi akan menjadi haram jika membawa kepada yang
haram. Syarat penerapan kaidah ini ada dua; Pertama, bahwa perantara itu diduga kuat (ghalabatuzh zhann) akan membawa pada yang haram. Kedua, bahwa
akibat akhir dari adanya perantara tersebut, telah diharamkan oleh suatu dalil syar’i (An-Nabhani, 2001:92).
Kaidah tersebut berasal dari firman Allah SWT (artinya) :
"Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
ilmu pengetahuan." (QS Al-An’aam [6] : 108)
Memaki tuhan-tuhan sembahan orang kafir, hukum asalnya mubah. Tapi kalau itu akan menimbulkan makian kepada Allah SWT, maka hukumnya menjadi
haram. Dari sinilah muncul kaidah al-wasilah ila al-haraam haraam.
Contoh penerapannya, adalah haramnya menjual anggur atau perasan (jus) anggur --dan yang semacamnya-- yang diketahui akan dijadikan khamr.
Padahal jual beli itu hukum asalnya mubah. Tapi kalau jual beli ini akan mengakibatkan keharaman, yaitu produksi khamr, maka jual beli itu menjadi haram
hukumnya, berdasarkan kaidah di atas.
Apalagi, dalam masalah ini (menjual perasan anggur yang diketahui akan dibuat khamr) ada dalil khusus yang menjelaskan keharamannya. Diriwayatkan
oleh Muhammad bin Ahmad RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,""Barang siapa menahan (menutup) anggur pada hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya
kepada orang Yahudi, Nasrani, atau orang yang akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia akan masuk neraka" (HR Ath-Thabrani dalam Al-Ausath,
dan dipandang shahih oleh Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalaniy).
Berdasarkan hadits ini, Asy-Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr (Nailul
Authar, V/234). Asy-Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang akan dijadikan sebagai khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli yang akan
menimbulkan keharaman, dikiaskan dengan hadits tersebut.
2.10. Memanfaatkan Benda Najis dan Haram dalam Pengobatan Hukumnya Makruh
Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat (khilafiyah). Ada pendapat yang mengharamkan, seperti Ibnu Qayyim Al-Jauyziyyah. Ada yang membolehkan
seperti ulama Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf Al-Qaradhawi. Dan ada pula yang memakruhkannya. Di sini dicukupkan
dengan menjelaskan pendapat yang rajih (kuat), yakni yang menyatakan bahwa berobat (at-tadaawi/al-mudaawah) dengan memanfaatkan benda najis dan haram
hukumnya makruh, bukan haram.
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitabnya Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah III/109-110 telah menjelaskan kemakruhannya, dengan jalan
mengkompromikan dua kelompok hadits yang nampak bertentangan/kontradiktif (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu sisi, ada hadits-hadits yang melarang
berobat dengan yang haram dan najis, misalnya hadits Rasulullah SAW bersabda,"Sesungguhnya Allah tidak menjadikan obat bagimu pada apa-apa yang
diharamkan." (HR Bukhari dan Baihaqi, dan dishahihkan Ibnu Hibban). Rasulullah SAW bersabda pula,"Sesungguhnya Allah SWT menurunkan penyakit dan
obat, dan menjadikan setiap penyakit ada obatnya. Hendaklah kalian berobat, dan janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram."(HR Abu Dawud).
Di sisi lain, ada hadits-hadits yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadits bahwa Nabi SAW membolehkan berobat dengan
meminum air kencing unta. Diriwayatkan oleh Qatadah dari Anas RA, ada satu rombongan dari dari suku ‘Ukl dan ‘Uraynah yang mendatangi Nabi SAW dan
berbincang seputar agama Islam. Lalu mereka terkena penyakit perut Madinah. Kemudian Nabi SAW memerintahkan mereka untuk mencari gerombolan unta
dan meminum air susu dan air kencingnya… (HR Muslim) (Lihat Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, hamisy [catatan pinggir] kitab Tafsir wa Bayan Kalimat Al-
Qur`an, karya Syaikh Hasanain M. Makhluf, hal 168). Hadits ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis (Taqiyuddin An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
Dalam hadits lain dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW memberi keringanan (rukhsah) kepada Zubair dan Abdurrahman bin Auf untuk memakai kain
sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan Muslim) (Lihat Imam Nawawi, Terjemah Riyadhus Shalihin, I/623). Hadits membolehkan berobat
dengan benda yang haram (dipakai), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, dan At-Tirmidzi.
Bagaimana menghadapi dua kelompok hadits yang seolah bertentangan tersebut? Di sinilah lalu Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengkompromikan
(men-jama’) keduanya. Menurut An-Nabhani, sabda Nabi SAW untuk tidak berobat dengan yang haram ("janganlah kamu berobat dengan sesuatu yang
haram") tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan perbuatan (thalab tarki fi’lin). Dalam hal ini, tuntutan
yang ada adalah agar tidak berobat dengan yang haram. Lalu, tuntutan ini apakah akan bersifat tegas (jazim) ---sehingga hukumnya haram-- atau tidak tegas
(ghairu jazim) -sehingga hukumnya makruh--, masih membutuhkan dalil lain (qarinah) yang menunjukkan sifat tuntutan tersebut. Nah, dua hadits di atas yang
membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, oleh An-Nabhani dijadikan qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya,
tuntutan tersebut adalah tuntutan yang tidak tegas, sehingga hukum syara’ yang dihasilkan adalah makruh, bukan haram (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-
Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/110).
Dengan demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram untuk dimanfaatkan (tapi tidak najis), hukumnya adalah makruh.
Dengan kata lain, memanfaatkan benda yang najis dan haram dalam rangka pengobatan, hukumnya makruh. (Patut dicatat, benda yang haram (dimanfaatkan)
belum tentu najis, seperti sutera. Sedang benda najis, pasti haram dimanfaatkan).
2.11. Menjualbelikan Benda Najis dan Haram Hukumnya Haram
Prinsip tersebut dirumuskan dalam kaidah fiqih "Kullu maa hurrima ‘ala al-ibaad fabay’uhu haram." (Segala sesuatu yang diharamkan Allah atas hamba-
Nya, maka memperjualbelikannya adalah haram juga) (Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, II/248). Karena itu, memperjualbelikan babi,
darah, khamr, dan patung adalah haram. Karena syariah telah mengharamkan memakan daging babi, memakan darah, meminum khamr, dan membuat patung.
Dasar dari kaidah/prinsip itu adalah hadits-hadits. Di antaranya sabda Nabi SAW, "Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk
memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka harga hasil penjualannya." (HR Imam Ahmad dan Abu Dawud).
Imam Asy-Syaukani menjelaskan hadits di atas dengan mengatakan,"Sesungguhnya setiap yang diharamkan Allah kepada hamba, maka
menjuabelikannya pun haram, disebabkan karena haramnya hasil penjualannya. Tidak keluar dari (kaidah) kuliyyah/menyeluruh tersebut, kecuali yang telah
dikhususkan oleh dalil." (Asy-Syaukani, Nailul Authar, V/221).
Berdasarkan hal ini, memperjualbelikan benda yang najis dan haram untuk kepentingan pengobatan, tidaklah haram. Sebab berobat dengan benda najis
dan haram hukumnya makruh, tidak haram.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Husain. 1996. Mafahim Islamiyah. Juz II. Beirut : Darul Bayariq.
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1986. Radd ‘Ala Kitab Ad-Da’wah Al-Islamiyyah. Sidney : Tanpa Penerbit.
----------. 1994. Babi Halal Babi Haram. Jakarta : Gema Insani Press.
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
Al-Mustanier, Ahmad Labib. Tanpa Tahun. Hukum Seputar Khamr. www.islamuda.com.
Al-Qaradhawi, Yusuf. 1990. Halal dan Haram Dalam Islam (Al-Halal wa Al-Haram fi Al-Islam).
Terjemahan oleh Muammal Hamidy. Surabaya : PT Bina Ilmu
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Al-Quds : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
----------. 1990. An-Nizham Al-Ijtima’i fil Islam. Beirut : Darul Ummah.
----------.1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Beirut : Darul Ummah.
----------. 2001. Nizhamul Islam. Tanpa Tempat Penerbit : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
An-Nawawi, Imam. 2001. Syarh Matn Al-Arba’in An-Nawawiyah (Syarah Hadits Arba’in). Terjemahan oleh H. Murtadho dan Salafuddin. Solo : Al-Qowam.
Ansel, Howard C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. EdisiIV. Jakarta : UI Press.
Apriyantono, Anton. Tanpa Tahun. Penentuan Kehalalan Produk Pangan Hasil Bioteknologi: Suatu Tantangan, http://www.indohalal.com/doc_halal3.html
Ash-Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz I. Bandung : Maktabah Dahlan.
Asy-Syatibi, Abu Ishaq. Tanpa Tahun. Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam. Juz III. Beirut : Darul Fikr.
Hakim, Abdul Hamid. Tanpa Tahun. Mabadi` Awwliyah. Jakarta : Sa’adiyah Putra.
----------. Tanpa Tahun. As-Sulam. Jakarta : Sa’adiyah Putra.
Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. Al-Arba’una Haditsan fi Al-Akhlaq ma’a Syarhiha (Syarah 40 Hadits Tentang Akhklak). Terjemahan oleh Abu Azka. Jakarta :
Pustaka Azzam.
Departemen Kesehatan Dirjen POM. 2000. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta : Depkes.
MUI. Hukum Alkohol dalam Minuman. www.mui.or.id
Makhluf, Hasanain Muhammad. 1994.Tafsir wa Bayan Kalimat Al-Qur`an. Damaskus-Beirut : Darul Fajr Al-Islami.
Mursyidi, Ahmad. Tanpa Tahun. Kehalalan Bahan dalam Sediaan Kosmetika. Makalah. Tidak Dipublikasikan.
Musthafa K.S. 1983. Alkohol dalam Pandangan Islam dan Ahli-Ahli Kesehatan. Bandung : PT Alma’arif.
Mutscher, Ernst. 1991. Dinamika Obat. Bandung : Penerbit ITB.
Tjay, Tan Hoan & Kirana Rahardja. 1986. Obat-Obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi IV.
Utomo, Setiawan Budi. 2003. Fikih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani Press.
ekspor(ton Nilai
no. ) Harga(yen/ton) Kurs(Rp/yen)/ X Tahun ekspor(Rp)/Y Xi.Yi x2
1 3678,8 248,48 5,65 1985 5164711,466 29180619,78 31,9225
2 4065,3 331,48 10,23 1986 13785596,54 141026652,6 104,6529
3 8431,4 641,88 13,5 1987 73061284,93 986327346,6 182,25
4 15718 100,8 13,84 1988 21927741,7 303479945,1 191,5456
5 11891 536,69 12,66 1989 80793344,8 1022843745 160,2756
6 9349,7 332,25 13,98 1990 43428000,79 607123451,1 195,4404
7 14561 657,6 15,69 1991 150236670,4 2357213358 246,1761
8 20148 928,1 16,62 1992 310783343,3 5165219165 276,2244
9 26776 1085,5 18,96 1993 551078998,1 10448457804 359,4816
10 43501 1912,2 22,05 1994 1834176599 40443594008 486,2025
11 49223 2435,8 22,5 1995 2697691127 60698050346 506,25
12 65076 6936,7 20,6 1996 9299101398 1,91561E+11 424,36
13 54941 3173,14 43 1997 7496425844 3,22346E+11 1849
14 58097 2107,7 70,67 1998 8653615484 6,11551E+11 4994,2489
15 112871 2935,7 71,2 1999 23592504103 1,67979E+12 5069,44
16 108280 3235,8 84 2000 29431283616 2,47223E+12 7056
606608,2 27599,82 455,15 31880 84255057862 5,39968E+12 22133,4705
∑Yi.∑Xi2 1,86486E+15 n.∑XiYi 8,63948E+13 a 9170,519469
∑Xi.∑XiYi 2,45766E+15 ∑Xi.∑Yi 3,83487E+13 b 326902143,5
∑Yi.∑Xi2 -
n.∑Xi2 354135,528 ∑Xi.∑XiYi -5,92805E+14 25150 9170,5
(∑Xi)2 207161,5225 n.∑Xi2 - (∑Xi)2 146974,0055 17,6 -2,80908E-05
∑Yi.∑Xi2 -
∑Yi.∑Xi2 13426362595 ∑Xi.∑XiYi 1347827979 442640
∑Xi.∑XiYi 12078534616 n.∑XiYi - ∑Xi.∑Yi 4,80461E+13 -326459503,5