You are on page 1of 5

• Agama Islam Dalam Perkembangan Budaya Sunda (Oleh

Prof. Dr. H. DADANG KAHMAD, M.Si.)


KETIKA Kerajaan Tarumanegara Tatar Sunda berada di bawah pemerintahan Kretawarman (561-
628 M), sekira abad ke-7 Masehi, di belahan dunia lain, para missionaris Columba membawa agama
Kristen ke Skotlandia dan ke Inggris bagian Utara. Sementara Agustin dari Centerbury
menyebarkannya ke arah Utara dan Barat Kent.
Pada saat yang sama, di Timur Tengah, terjadi pertikaian raksasa antara Kekaisaran Bizantium dan
Kekaisaran Sasanid dari Persia yang wilayahnya merentang dari Irak dan Mesopotamia di barat
sampai perbatasan timur Iran modern dan Afganistan, dengan ibu kotanya Ctesiphon (al-Mada'in)
yang terletak kira-kira dua puluh mil sebelah tenggara, yang kelak menjadi Baghdad. Pertikaian
kedua kekuatan besar ini hampir sebanding dengan pertikaian antara blok Sovyet dan kekuatan
Nato dalam masa setelah Perang Dunia Kedua. Dalam pertikaian demikian setiap pihak berusaha
mencari dukungan negara-negara netral yang relatif kecil; pada abad keenam dan ketujuh itu,
masing-masing berusaha meluaskan pengaruhnya di Arabia.

Yang paling penting pada abad ke-7 Masehi ini adalah lahirnya seorang nabi yang membawa risalah
agama Islam di Kota Makah dan Madinah di wilayah bagian barat-tengah Arabia. Ketika Islam hadir,
pada akhir abad keenam Masehi, para pedagang besar dari Makah mendapat kekuasaan monopoli
atas kegiatan perdagangan yang melewati tepi barat Arabia ke Mediterania. Alquran menyebutkan
bahwa para pedagang kafilah Quraisy selalu mengadakan perjalanan pada setiap musim dingin dan
musim panas (QS. 106:2). Menurut tradisi waktu itu, masing-masing berjalan ke Utara dan ke
Selatan pada kedua musim tersebut. Jalur ke selatan menuju Yaman dan Abessenia menjadi
penting karena jalur alternatif dari teluk Persia ke Aleppo dipandang sangat berbahaya dengan
adanya peperangan antara Bizantium dan Persia.

Selama kurun 23 tahun (611-632 M), dengan bimbingan wahyu Tuhan, Nabi Muhammad membawa
dan menyebarkan agama Islam di wilayah Arabia dan berhasil membangun suatu kebudayaan serta
peradaban yang sangat tinggi. Dengan roh keilahian Alquran, akhirnya Islam menyebar dan
berkembang pesat ke seluruh dunia termasuk ke Indonesia.

Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai bangsa pelayar yang
sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada berbagai rute pelayaran dan
perdagangan antara kepulauan Indonesia dan berbagai daerah di daratan Asia Tenggara.
Sebagaimana Kota Makah, tempat kelahiran Islam, yang pada saat itu menjadi pusat utama lalu
lintas perdagangan, demikian pula dengan nusantara, khususnya Malaka merupakan pusat utama
lalu lintas perdagangan dan pelayaran. Melalui Malaka, hasil hutan dan rempah-rempah dari seluruh
pelosok nusantara dibawa ke Cina dan India, terutama Gujarat yang melakukan hubungan dagang
langsung dengan Malaka.

Seperti diisyaratkan Alquran, pedagang-pedagang Muslim asal Arab, Persia, dan India ada yang
sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ketujuh Masehi ketika Islam pertama
kali berkembang di Timur Tengah. Akan tetapi, hingga abad ke-12, tidak ditemukan bukti adanya
pribumi Indonesia yang beragama Islam di tempat-tempat yang di singgahi pedagang Muslim
tersebut.

Baru menjelang abad ke-13, penduduk kepulauan Indonesia banyak yang memeluk agama Islam.
Di Tatar Sunda sendiri, Bratalegawa salah satu putra Raja Mangkubumi Bunisora Suradipati adalah
seorang saudagar (pedagang) yang dikenal sebagai tokoh yang pertama kali menunaikan ibadah
haji ke Tanah Suci Makah sehingga ia sering disebut sebagai Haji Purwa. Ia tertarik dan masuk
Islam karena perjumpaannya dengan pedagang-pedangang Arab yang kemudian menikah dengan
wanita asal Gujarat, yang juga beragama Islam.

Sekembalinya dari Tanah Suci, Bratalegawa kemudian mengajak keluarga (termasuk raja Prabu
Niskala Wastu), dan saudara-saudaranya untuk memeluk agama Islam. Sekalipun tidak banyak
mendapat respons, tetapi Prabu Niskala Wastu mengizinkan Haji Purwa tinggal di sana sehingga
tidak heran jika di Cirebon Girang, tempat tingal Haji Purwa, sejak tahun 1337 Masehi, ajaran Islam
sudah dikenal oleh masyarakat setempat. Agama Islam terus berkembang, apalagi setelah
diperkenalkan dan disebarkan oleh Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Djati,
pengganti dan keponakan Pangeran Walangsungsang, yang juga memiliki hubungan darah dengan
para raja Padjajaran.
Sunan Gunung Djati-lah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian Banten. Oleh karena
kedudukannya sebagai Wali Songo, ia pun mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa
seperti Demak dan Pajang. Dari Cirebon Sunan Gunung Djati mengembangkan Islam ke daerah-
daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Atas jasa-jasa Sunan Gunung Djati inilah, Islam kemudian menyebar ke seluruh daerah Tatar
Sunda dan selanjutnya menjadi pandangan hidup yang terus-menerus iinternalisasi,
dieksternalisasi, dan diobjektivasikan, hingga akhirnya membentuk kebudayan religius, yang khas
Tatar Sunda.

Kebudayaan Sunda
Istilah Sunda kemungkinan berasal dari bahasa Sansekerta yakni sund atau suddha yang berarti
bersinar, terang, atau putih. Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi) dan bahasa Bali dikenal juga istilah
Sunda dalam pengertian yang sama yakni bersih, suci, murni, tak bercela/bernoda, air, tumpukan,
pangkat, dan waspada.

Menurut R.W. van Bemmelen seperti dikutip Edi S. Ekadjati, istilah Sunda adalah sebuah istilah
yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur, sedangkan dataran
bagian tenggara dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh sistem Gunung Sunda yang
melingkar (Circum-Sunda Mountain System) yang panjangnya sekira 7.000 km. Dataran Sunda itu
terdiri atas dua bagian utama, yaitu bagian Utara.yang meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau
karang sepanjang Lautan Fasifik bagian Barat serta bagian Selatan hingga Lembah Brahmaputra di
Assam (India).

Dengan demikian, bagian Selatan dataran Sunda itu dibentuk oleh kawasan mulai Pulau Banda di
timur, terus ke arah barat melalui pulau-pulau di kepulauan Sunda Kecil (the lesser Sunda island),
Jawa, Sumatra, Kepulauan Andaman, dan Nikobar sampai Arakan Yoma di Birma. Selanjutnya,
dataran ini bersambung dengan kawasan Sistem Gunung Himalaya di Barat dan dataran Sahul di
Timur.

Dalam buku-buku ilmu bumi dikenal pula istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Sunda Besar adalah
himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan, sedangkan
Sunda Kecil adalah pulau-pulau yang berukuran kecil yang kini termasuk kedalam Provinsi Bali,
Nusa Tenggara, dan Timor.

Dalam perkembangannya, istilah Sunda digunakan juga dalam konotasi manusia atau sekelompok
manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Di dalam definisi tersebut tercakup
kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus.
Menurut kriteria pertama, seseorang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak
ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang Sunda, di mana pun ia atau mereka berada
dan dibesarkan.

Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya
Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya
Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya dan sikap orangnya yang dianggap
penting. Bisa saja seseorang yang orang tuanya atau leluhurnya orang Sunda, menjadi bukan orang
Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal, menghayati, dan mempergunakan norma-norma dan
nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya.

Dalam konteks ini, istilah Sunda, juga dikaitkan secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa
ada yang dinamakan Kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang
di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomosili di Tanah Sunda. Dalam tata kehidupan
sosial budaya Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah. Di samping memiliki
persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki
ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain.

Secara umum, masyarakat Jawa Barat atau Tatar Sunda, sering dikenal dengan masyarakat yang
memiliki budaya religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo "silih asih, silih
asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling memelihara dan
melindungi). Di samping itu, Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas seperti
kesopanan (handap asor), rendah hati terhadap sesama; penghormatan kepada orang tua atau
kepada orang yang lebih tua, serta menyayangi orang yang lebih kecil (hormat ka nu luhur, nyaah
ka nu leutik); membantu orang lain yang membutuhkan dan yang dalam kesusahan (nulung ka nu
butuh nalang ka nu susah), dsb.

Islam dan kebudayaan Sunda


Bahwa budaya Sunda adalah budaya religius, itu merupakan konsekuensi logis dari pandangan
hidupnya yang mendasarkan pada ajaran agama, yakni Islam. Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial
agama adalah sebuah sistem nilai yang memberikan sejumlah konsep mengenai konstruksi realitas
yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan
dan menafsirkan dunia sekitar. Dalam konteks inilah, agama memiliki signifikansinya dalam
pengembangan, pembentukan, pengisian, dan pengayaan budaya.

Agama adalah sistem kepercayaan (iman) yang diwujudkan dalam sistem perilaku sosial para
pemeluknya. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok
sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran
agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang
didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Oleh karena itu,
keagamaan yang bersifat subjektif, dapat diobjektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan
ungkapan-ungkapan tersebut memiliki struktur tertentu yang dapat dipahami.

Terdapat hubungan interdependensi yang terus-menerus antaragama dan masyarakat, dan


terdapat pengaruh timbal balik antarkedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap
masyarakat seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok
"keagamaan spesifik" yang baru atau pada norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat.
Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama.

Dengan demikian, dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan tertentu pada dasarnya
tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh
substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dengan sesuatu keyakinan itu
dimanifestasikan oleh para pemeluknya sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga
dapat beradaptasi, di samping pada sisi yang berbeda, ia dapat berfungsi sebagai alat legitimasi
dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kebudayaan para pemeluknya.

Kebudayaan Sunda adalah semua sistem gagasan, aktivitas dan hasil karya manusia Sunda yang
terwujud sebagai hasil interaksi terus-menerus antara manusia Sunda sebagai pelaku dan latar
tempat ia hidup, dalam rentang waktu yang panjang dan suasana yang bermacam-macam.
Kebudayaan Sunda adalah milik masyarakat Sunda yang diperoleh dari hasil proses adaptasi
terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terus-menerus dalam jangka waktu yang sangat
lama.

Kebudayaan Sunda adalah sumber kerangka acuan masyarakat Sunda ketika mereka berhadapan
dengan berbagai perubahan. Suatu perubahan itu ditolak atau diterima oleh masyarakat
bergantung sejauh mana perubahan itu bias diterima oleh kebudayaannya. Oleh karena itu, suatu
perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat Sunda mestilah mempertimbangkan aspek
tradisi dan kebudayaan masyarakat Sunda itu sendiri. Ketika suatu perubahan yang berasal dari
suatu unsur kebudayaan asing terlalu berbeda jauh dengan kebudayaan Sunda, perubahan itu akan
sangat lama diterima untuk menjadi bagian dari kebudayaan Sunda.

Pertama-tama perubahan itu akan ditolak karena dianggap kontra budaya atau unsur budaya yang
berlainan, tapi lambat laun perubahan itu sedikit demi sedikit akan diterima menjadi subbudaya dan
dalam waktu yang relatif lama, akan diterima menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan
Sunda.

Begitu pula halnya mengenai agama orang Sunda. Semua agama yang masuk ke tatar Sunda akan
diseleksi mana yang sesuai (tidak jauh berbeda) dengan kepribadian budaya Sunda dan mana yang
berlainan (sangat jauh) dengan kepribadian budaya Sunda sebab agama yang datang ke tatar
Sunda adalah agama yang sudah dibungkus dengan kebudayaan dimana agama itu berasal.
Termasuk agama Islam, ketika datang ke Tatar Sunda pada awalnya disebarkan oleh orang-orang
yang berasal dari tempat yang memiliki kebudayaan tertentu seperti India, Arab, dan Persia, yang
secara otomatis menjadi warna dan ciri tersendiri dari ajaran Islam itu sendiri. Proses islamisasi
bisa dipandang sebagai suatu proses pertemuan antara dua kebudayaan atau lebih, yaitu
antarkebudayaan penyebar agama Islam dengan kebudayaan penerima agama Islam. Oleh karena
itu, proses penyebaran agama Islam di tatar Sunda adalah suatu bentuk proses asimilasi, akulturasi
dari berbagai budaya yang datang (Arab, Persia, dan India) dengan budaya lokal Sunda yang
membentuk kebudayaan Sunda Islam kiwari seperti yang kita
saksikan sekarang.

Agama Islam begitu mudah diterima oleh urang Sunda karena karakter agama Islam tidak jauh
berbeda dengan karakter budaya Sunda yang ada pada waktu itu. Sedikitnya ada dua hal yang
menyebabkan agama Islam mudah dipeluk oleh orang Sunda. Yang pertama, ajaran Islam itu
sendiri yang sederhana mudah diterima oleh kebudayaaan Sunda yang juga sederhana. Ajaran
tentang akidah, ibadah terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa orang Sunda
yang dinamis dan feminis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi 'bungkus' agama Islam
adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi orang Sunda. Oleh karena itu, ketika orang Sunda
membentuk jati dirinya bebarengan dengan proses islamisasi, agama Islam merupakan bagian dari
kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas mereka.

Strategi budaya
"Silih asih, silih asah, dan silih asuh" (saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling
memelihara dan melindungi), merupakan pameo budaya yang menunjukkan karakter yang khas
dari budaya religius Sunda sebagai konsekuensi dari pandangan hidup keagamaannya.

Saling asih adalah wujud komunikasi dan interaksi religius-sosial yang menekankan sapaan cinta
kasih Tuhan dan merespons cinta kasih Tuhan tersebut melalui cinta kasih kepada sesama manusia.
Dengan ungkapan lain, saling asih merupakan kualitas interaksi yang memegang teguh nilai-nilai
ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan. Semangat.ketuhanan dan kemanusiaan inilah yang
kemudian melahirkan moralitas egaliter (persamaan) dalam masyarakat. Dalam tradisi masyarakat
saling asih, manusia saling menghormati, tidak ada manusia yang dipandang superior maupun
inperior sebab menentang semangat ketuhanan dan semangat kemanusiaan. Mendudukan manusia
pada kedudukan superior atau inperior merupakan praktek dari syirik sosial. Ketika ada manusia
yang dianggap superior (tinggi), berarti mendudukkan manusia sejajar dengan Tuhan dan jika
mendudukan manusia pada kedudukan yang inperior (rendah), berarti mengangkat dirinya sejajar
dengan Tuhan. Dalam masyarakat saling asih manusia
didudukkan secara sejajar (egaliter) satu sama lainnya. Prisip egaliter ini kemudian melahirkan etos
musyawarah, ta'awun (kerjasama) dan sikap untuk senantiasa bertindak
adil. Etos dan moralitas inilah yang menjadikan masyarakat teratur, dinamis dan harmonis.

Tradisi (budaya) saling asih sangat berperan dalam menyegarkan kembali manusia dari
keterasingan dirinya dalam masyarakat sehingga citra dirinya terangkat dan menemukan
ketenangan. Ini merupakan sumber keteraturan, kedinamisan, dan keharmonisan masyarakat
sebab manusia yang terasing dari masyarakatnya cenderung mengalami kegelisahan yang sering
diikuti dengan kebingungan, penderitaan, dan ketegangan etis serta mendesak manusia untuk
melakukan pelanggaran hak dan tanggung jawab sosial.

Selain itu, dalam masyarakat religius kepentingan kolektif maupun pribadi mendapat perhatian
serius melalui saling kontrol, tegur sapa dan saling menasihati. Hal ini dikembangkan dalam budaya
atau tradisi saling asuh. Budaya saling asuh inilah yang kemudian memperkuat ikatan emosional
yang telah dikembangkan dalam tradisi saling asih pada masyarakat religius. Oleh karena itu,
dalam masyarakat religius seperti ini jarang terjadi konflik dan kericuhan, tetapi ketika ada
kelompok lain yang mencoba mengusik ketenangannya, maka mereka bangkit melawan secara
serempak (simultan).

Budaya silih asuh inilah yang merupakan manisfestasi akhlak Tuhan yang maha pembimbing dan
maha menjaga, kemudian dilembagakan dalam silih amar makruf nahy munkar.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa silih asuh merupakan etos pembebasan dalam
masyarakat religius dari kebodohan, keterbelakangan, kegelisahan hidup dan segala bentuk
kejahatan.

Meski demikian, budaya religius sesungguhnya memberikan peluang dalam penyerapan iptek sebab
memiliki sejumlah potensi, etos keterbukaan, penalaran, analisis, dan kritis sebagai upaya
perwujudan akhlak Tuhan Yang Maha Berilmu dan Mahakreatif sebagimana dikembangkan dalam
budaya atau tradisi saling asah.

Masyarakat saling asah adalah masyarakat yang saling mengembangkan diri untuk memperkaya
khazanah pengetahuan dan teknologi. Tradisi saling asah melahirkan etos dan semangat ilmiah
dalam masyarakat. Etos dan semangat ilmiah dalam masyarakat religius merupakan upaya untuk
menciptakan otonomi dan kedisiplinan sehingga tidak memiliki ketergantungan terhadap yang lain
sebab tanpa tradisi iptek dan semangat.ilmiah suatu masyarakat akan mengalami ketergantungan
sehingga mudah terekploitasi, tertindas, dan terjajah.

Saling asah adalah semangat interaksi untuk saling mengembangkan diri ke arah penguasaan dan
penciptaan iptek sehingga masyarakat memiliki tingkat otonomi dan disiplin yang tinggi.

Dalam masyarakat religius yang saling asah, ilmu pengetahuan, dan teknologi mendapat bimbingan
etis sehingga iptek tidak lagi angkuh, tetapi tampak anggun, bahkan memperkuat ketauhidan.
Integrasi iptek dan etika ini merupakan terobosan baru dalam kedinamisan iptek dengan membuka
dimensi transenden, dimensi harapan, evaluasi kritis, dan tanggung jawab.

Dengan demikian, budaya saling asih, saling asah dan saling asuh tetap akan selalu relevan dalam
menghadapi tantangan modernisasi. Melalui strategi budaya saling asih, saling asah saling asuh,
manusia modern akan dapat dikembalikan citra dirinya sehingga akan terbatas dari kegelisahan,
kebingungan, dan penderitaan serta ketegangan psikologis dan etis.

Penulis adalah Guru Besar Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung dan Dewan Pendiri Pusat Studi Sunda.
Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

You might also like