Professional Documents
Culture Documents
7/10/2008 6:21:49
26 Juni 2008
Seharusnya tugas generasi yang ada saat ini hanya tinggal menyempurnakan apa
yang telah dilakukan pendahulunya. Namun apa yang terjadi ? Sedikit demi
sedikit, perlahan tapi terasa, umat ini sepertinya sedang digiring oleh suatu
kekuatan syaithániah agar kembali ke alam jáhiliyyah. Pemurtadan terjadi di
mana-mana, upaya deislamisasi begitu gencar dipropagandakan setiap saat.
Jadi berbagai usaha da’wah yang arif dan bijak telah dilakukan oleh para da’i
pembawa Islam ke negeri ini sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan tindakan tegas
dalam mencegah kemunkaran sudah sejak lama diambil oleh para pendahulu kita.
Lihatlah bagaimana saat Walisongo mengambil keputusan hukuman mati kepada
Syeikh Siti Jenar, karena ajaran wihdatul wujûd-nya yang dinilai telah menyimpang
dari Islam.
Kisah Syeikh Siti Jenar tersebut dipaparkan dengan rinci oleh Wiji Saksono, dalam
bukunya Mengislamkan Tanah Jawa, halaman 47 – 66. Dan diulas secara ringkas
oleh Ust. Maftuh Ahnan dalam bukunya Wali Songo, Hidup dan Perjuangannya,
halaman 65 – 68. Para Walisongo hidup sekitar akhir abad 14 M hingga awal abad
15 M. Sedang Achmad Chodjim memaparkan dengan panjang lebar tentang
pemikiran dan paham Syeikh Siti Jenar yang ditentang keras para Walisongo
dalam bukunya yang berjudul Syeikh Siti Jenar.
Tidak sampai di situ, bahkan di Indonesia jauh sebelum kedatangan para penjajah,
telah berdiri berbagai Kesultanan Islam yang menjadikan Islam sebagai agama
negara dan syari’atnya sebagai hukum negara. Semangat amar ma’ruf nahi
munkar dalam penegakan Syari’at Islam di Indonesia telah mampu mendorong
kaum muslimin Indonesia untuk mengobarkan perlawanan habis-habisan terhadap
para penjajah yang menzholimi bangsa Indonesia selama tidak kurang dari tiga
setengah abad.
Semangat membela Islam dan umatnya telah mendorong para Sultan Palembang
berada di barisan terdepan memimpin rakyatnya dalam jihad melawan Belanda
selama hampir 200 tahun.
Hukum Islam yang diterapkan, sebutan Darussalam untuk Palembang dan gelar
Khalifah bagi Sultannya, merupakan bukti autentik keislaman negeri Palembang
dan perjuangannya.
Kerajaan Bone yang berdiri sejak tahun 1335 M, mulai mengenal Islam pada tahun
1611 M ketika Sultan Adam ( Raja Bone XI ) memeluk Islam.
Satu ungkapan terkenal dalam bahasa Bugis dari Raja Bone XXXI ketika
ditangkap dan dibuang Belanda pada tahun 1905 berbunyi :
” Mauna sia labelateppa ri saliweng langi rekkua tellesang muni ada assituru kenna
kitta naturungede Nabi Muhammad Nabiku, apa iya ri watakku nanggalo sia tubuhku
temanggolo sia bela atikku ri Kompeni ”.
Artinya : ” Kendati saya akan terdampar di luar bumi sekali pun, asalkan tidak
goyah imanku kepada kitab yang diturunkan kepada nabi Muhammad Nabiku,
biar tubuhku menghadap atau tertawan tetapi hatiku pantang menyerah kepada
kompeni ”.
Ini salah satu bukti keteguhan Kesultanan Bone dalam membela Islam dan
menegakkan ajarannya.
Muhammad Shahab diberi gelar Peto Syarif oleh masyarakatnya. Arti Peto Syarif
adalah Ulama yang mulia. Di awal tahun 1800-an Miladiyyah, ia membangun
sebuah kampung di Bukit Gunung Jati - Padang, yang kemudian dikenal dengan
nama kampung Bonjol. Selanjutnya beliau pun lebih dikenal dengan sebutan
Tuanku Imam Bonjol. Beliau berhasil menjadikan Bonjol sebagai pusat
penyebaran Islam ke seluruh Minangkabau.
Dalam rangka membela diri dan menjaga keamanan da’wah Islam dari gangguan
dan serangan Kaum Adat yang senang ma’siat. Imam Bonjol membentuk barisan
amar ma’ruf nahi munkar yang berseragam serba putih. Barisan ini dikenal
dengan sebutan Kaum Paderi.
Dalam waktu singkat Kaum Paderi berhasil mengalahkan Kaum Adat dan
menguasai hampir seluruh Minangkabau. Mereka pun membuat Undang-Undang
Paderi yang melarang segala bentuk ma’siat yang selama ini telah membudaya di
Minang seperti menyabung ayam, minum tuak, berjudi dan menghisap madat.
Di tahun 1821 M, Belanda membantu Kaum Adat untuk memerangi Kaum Paderi
yang dianggap berbahaya bagi kekuasaan Kompeni. Perang pun pecah, Kaum
Paderi banyak memetik kemenangan di berbagai pertempuran.
Di tahun 1837 M, Belanda dengan licik menyerbu tempat tinggal keluarga Imam
Bonjol dan melukai istri serta anak beliau. Akhirnya, Imam Bonjol terpancing
kembali dari medan tempur untuk menyelamatkan keluarganya, beliau pun
terkepung dan tertangkap. Kemudian beliau dibuang dari satu tempat ke tempat
lainnya, terus berpindah-pindah hingga beliau wafat pada usia 92 tahun di tahun
1864 M.
Diponegoro dinobatkan sebagai Sultan oleh para pengikutnya dan diberi gelar
Sultan Ngabduhamid Herucokro Amirul Mu’minin Panotogomo Jowo. Artinya Sultan
Abdulhamid Pemimpin Kaum Mu’minin Pengatur Agama Masyarakat Jawa. Gelar
ini menjelaskan bahwasanya Diponegoro adalah pejuang Islam yang menegakkan
ajaran Islam bagi rakyat Jawa.
Sebutan Amirul Mu’minin ditambah dengan corak pakaian Diponegoro dan para
panglima perangnya yang lekat dengan budaya Islam, semakin memperkuat bukti
keislaman perjuangan dan perlawanannya terhadap Belanda.
Filsafat kehidupan rakyat Aceh yang amat terkenal di antaranya adalah salah satu
ungkapan dalam Hadih Maja yang berbunyi :
Artinya : ” Hukum agama dengan hukum adat, laksana zat dengan sifat ”.
Ungkapan lainnya :
” Al-Jihadu wajibun ‘alaikum, that muphon wehe syedara : Phon cahdat, ngon
seumayang, teulhee tamuprang ngon Holanda ”.
Artinya : ” Jihad itu wajib atas kamu sekalian, pahamilah baik-baik wahai sahabat.
Yang pertama Syahadat, dan ( yang kedua ) Shalat, yang ketiga perang dengan
(melawan ) Belanda ”.
Semangat Jihad menegakkan Islam telah membuat kaum muslimin Aceh begitu
gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda, sehingga tiada hari tanpa jihad di
Aceh sejak upaya Belanda menguasai Aceh pada tahun 1873 hingga kekalahan
Belanda dari Jepang di tahun 1942. Selama 70 tahun, kaum muslimin Aceh
mengobarkan api Jihad melawan kaum kafirin Belanda.
Islam sebagai dasar hukum Kerajaan Aceh, sebutan Darussalam baginya, filsafat
Islami kehidupan rakyatnya, semua itu menjadi bukti tak terpungkiri bagi
keislaman Aceh yang begitu mendasar dalam tiap langkah perjuangannya.
Dalam buku Salasilah Indra Sakti yang ditulis oleh Luqmanul Hakim Putra, saya
mendapatkan keterangan bahwa Kesultanan Riau berdiri pada tahun 1722 M di
bawah kepemimpinan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah, cucu dari Raja Abdul
Jalil Riayatsyah yang menjadi Raja Johor ( 1699 – 1719 M ). Sebelumnya adalah
bagian dari Kerajaan Johor.
Semula pusat pemerintahan Kesultanan Riau ada di Daik, pulau Lingga, yang
dikenal dengan sebutan Tanah Bunda Melayu. Baru pada tahun 1900 M dipindah ke
pulau Penyengat yang letaknya berhadapan dengan Tanjung Pinang di pulau
Bintan.
Raja Ali adalah seorang Ulama, Pujangga, Budayawan, Ahli Siasat dan
Pemerintahan. Dari tangannya dihasilkan karya-karya besar, antara lain :
Semua ini menjadi bukti tak terpungkiri tentang kelekatan Kesultanan Riau
dengan ajaran dan perjuangan Islam. Bahkan jika kita perhatikan isi kandungan
Gurindam Dua Belas yang kini menjadi filsafat kehidupan bangsa Melayu, tidak
lain dan tidak bukan adalah intisari ajaran Islam. Di sini kita kutip beberapa
diantaranya :
Jadi kita bukan perintis mau pun pelopor, kita hanya penerus perjuangan para
pendahulu.
Gerakan amar ma’ruf nahi munkar yang mulia ini dimaksudkan untuk
membendung sekaligus melawan gelombang arus syetan yang sedang berusaha
menggiring umat menuju jurang kehancuran.
artikel sebelumnya
Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam, Jalan Petamburan 3/17, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Telp:021-534-1250.
Salurkan dana anda untuk mendukung FPI dalam perjuangan penegakan Amar Ma'ruf Nahi Munkar melalui Bank Muamalat No. Rekening 301.00360.15 Atas Nama
DPP-FPI.
Copyright@2008, All Rights Reserved. Comment and Suggestion, send to admin@fpi.org.
Developed By OYiE Creative.