You are on page 1of 5

STUDI DAMPAK KRISIS EKONOMI TERHADAP USAHA KECIL

DAN MENENGAH DI SUB SEKTOR INDUSTRI PRODUK KEHUTANAN


(Studi kasus : Kab. Sidoarjo dan Kab. Sukoharjo)

Oleh : Arti Dyah Woroutami

1. Kesimpulan
Akibat dari krisis ekonomi timbul sejumlah pengaruh pada kinerja usaha
UKM subsektor industri hasil kehutanan pada bulan Juni 1998, antara
lain : (i) terjadi peningkatan biaya produksi sekitar 86 persen di sentra
produksi Sukoharjo dan 91 persen di sentra produksi Sidoarjo, yang
disebabkan oleh peningkatan upah TK (akibat laju inflasi) dan biaya
bahan baku (meningkatnya nilai tukar); (ii) terjadi peningkatan laba
kotor di sentra produksi Sidoarjo sekitar 244 persen dan sentra produksi
Sukoharjo sekitar 138 persen, akibat melemahnya nilai tukar; (iii) terjadi
perubahan orientasi pasar menjadi 100 persen ekspor akibat penurunan
daya beli masyarakat; (iv) proporsi penggunaan modal sendiri dan
perbankan luar negeri lebih banyak karena meningkatnya suku bunga
kredit perbankan dalam negeri. Kondisi pada periode berikutnya (Juni
‘99) sedikit mengalami perubahan, dimana biaya produksi menurun
sekitar 13–16 persen dan laba kotor menurun sekitar 20 persen sebagai
akibat dari proses negosiasi dengan pembeli luar negeri yang cenderung
menekan harga, ketidakpastian situasi sosial politik, dan masalah L/C
pada perbankan dalam negeri.

2. Permasalahan
Gambaran data makro nilai devisa ekspor hasil hutan tahun 1993 – 1997
tidak sejalan dengan kondisi di tingkat mikro. Angka devisa ekspor hasil
hutan selalu mengalami peningkatan sedangkan dalam prakteknya
ternyata terjadi sejumlah persoalan yang dihadapi oleh UKM1 antara lain
tentang tingkat upah dan ongkos produksi, aksesibilitas terhadap
sumber bahan baku, dan berbagai birokrasi serta pungutan. Kondisi ini
juga didasarkan pada permasalahan yang terungkap dalam Konferensi

1 Lihat Prosiding Seminar UKM dan Globalisasi yang dilaksanakan oleh The Asia Foundation,
Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, dan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, 1997
Nasional I Usaha Kecil di Cipanas2. Belum selesai persoalan yang
dihadapi UKM subsektor industri kehutanan, terjadi krisis ekonomi pada
pertengahan tahun 1997 yang mengakibatkan memburuknya kinerja
UKM3 baik dari sisi biaya produksi karena mahalnya biaya bahan baku
(akibat meningkatnya nilai tukar) dan meningkatnya upah TK (akibat laju
inflasi), maupun dari sisi permodalan (akibat tingginya suku bunga kredit
perbankan). Dampak krisis tersebut semakin lama semakin mengurangi
jumlah UKM yang masih mampu beroperasi. Data dari Departemen
Koperasi menyebutkan bahwa sekitar 64 persen UKM masih mampu
bertahan, 4 persen terpaksa gulung tikar, 31 persen mengurangi
usahanya, dan 0,9 persen mengalami perkembangan4. Berdasarkan latar
belakang tersebut maka perlu untuk diketahui pemahaman mengenai
perubahan-perubahan UKM selama masa krisis sehingga pengambil
kebijakan mengetahui secara mendalam permasalahan yang dihadapi
UKM dan kebijakan yang benar-benar diperlukan oleh UKM subsektor
industri kehutanan dalam menghadapi persoalan tersebut.

3. Tujuan
Studi ini bertujuan untuk :
a). Mengidentifikasi dampak krisis ekonomi terhadap kinerja
usaha dari UKM di subsektor industri hasil kehutanan
b). Mengidentifikasi tingkat kepekaan dampak krisis (macro
shock) terhadap perubahan kinerja usaha UKM di subsektor
industri hasil kehutanan

4. Metodologi
Subsektor yang dipilih adalah industri hasil kehutanan khususnya
industri rotan dengan jumlah sampel sebanyak 6 pengusaha UKM
(pengrajin) di wilayah sentra produksi Sidoarjo dan Sukoharjo. Pemilihan
lokasi didasarkan pada data sebaran industri rotan dari BPS dan

2 Lihat Andi Ikhwan, “Masalah di Sektor Perkayuan”, dimuat dalam Prosiding Konferensi
Nasional Usaha Kecil, Cipanas, 4 – 6 Agustus 1997, yang diselenggarakan oleh ISEI Pusat, The
Asia Foundation (TAF) dan Kadin
3 Lihat Mangara Tambunan, “Akselerasi Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah dalam
Rekonstruksi Ekonomi Indonesia, “ paper disampaikan pada Sidang Pleno ISEI ke 9, 27 Agustus
1998
4 Harian Suara Karya, 17 April 1998, halaman 4
dilakukan secara purposive sampling. Sidorajo dan Sukoharjo
merupakan sentra produksi rotan kedua dan ketiga setelah Cirebon
sebagai sentra utama. Data sekunder diperoleh dari BPS, Deperindag
dan Asmindo, sedangkan data primer diperoleh melalui metode depth
interview dengan panduan daftar pertanyaan. Informasi yang diperoleh
antara lain (i) kondisi struktur biaya produksi dan pengadaannya, (ii)
jumlah dan jenis output yang dihasilkan, (iii) jenis pasarnya, (iv) total
penjualan dan penerimaan, (v) pola tindakan penyesuaianakibat krisis,
dan (vi) peran kebijakan pemerintah. Metode analisis yang digunakan
adalah metode before and after analysis sehingga dapat diperoleh
gambaran kondisi industri rotan sebelum dan sesudah krisis baik dari sisi
kinerja, pola penyesuaian maupun kepekaannya terhadap fluktuasi nilai
tukar, suku bunga dan laju inflasi.

5. Temuan
Hasil temuan studi difokuskan pada 3 aspek, yaitu (i) dampak pada
struktur biaya produksi (production cost structure), (ii) dampak pada
struktur kinerja usaha (business performance), (iii) dampak pada
struktur pasar dan permodalan.
a). Dampak pada struktur biaya produksi (production cost
structure).. Struktur biaya secara langsung akan
terpengaruh oleh gejolak nilai tukar melalui komponen-
komponen input yang bersumber dari impor. Beberapa
bahan baku industri rotan terutama untuk proses finishing
masih harus diimpor. Disamping itu, kenaikan biaya
produksi juga dipengaruhi oleh pergerakan laju inflasi yang
telah menaikkan harga faktor produksi lokal, antara lain
upah TK yang mengalami kenaikan paling tinggi dibanding
faktor produksi lain. Kenaikan biaya produksi di sentra
Sidoarjo sekitar 91 persen sedangkan di sentra Sukoharjo
sekitar 86 persen, namun pada akhir tahun 1998 seiring
dengan menguatnya nilai tukar dan terkendalinya laju
inflasi, biaya produksi mengalami penurunan sekitar 13
persen dan 16 persen, terutama untuk komponen biaya
rangka, biaya bahan penolong dan finishing. Pada saat
sebelum krisis, ongkos produksi per unit di sentra Sidoarjo
lebih tinggi dibanding sentra Sukoharjo. Hal ini dikarenakan
kualitas bahan baku rotan yang dipakai di Sidoarjo relative
lebih bagus daripada Sukoharjo dan didukung dengan
pengelolaan usaha yang lebih professional.
b). Dampak pada struktur kinerja usaha (business
performance). Secara umum, terjadi kondisi kinerja yang
cukup mengejutkan karena perkembangan laba per unit
malah mengalami peningkatan namun secara detail tampak
bahwa industri ini mengalami tekanan ganda, pertama,
kuatnya posisi supplier bahan baku untuk meningkatkan
keuntungannya dengan mengkaitkan secara langsung
harga bahan baku dengan pergerakan nilai tukar meskipun
sebenarnya tidak terkait langsung. Selain itu, terjadi
kelangkaan bahan baku lokal akibat kebijakan pemerintah
untuk membebaskan ekspor kayu log dan rotan sehingga
supplier lebih tertarik menjual bahan baku ke luar negeri
mendapatkan keuntungan dari selisih kurs. Kedua, tekanan
pada harga jual output oleh pembeli luar negeri yang
meminta potongan harga antara 25 – 50 persen. Dua
tekanan tersebut menyebabkan penurunan pada harga jual
per unit sekitar 25 persen di Sidoarjo dan 27 persen di
Sukoharjo, serta kenaikan tajam laba kotor sekitar 244
persen dan 138 persen. Memasuki periode Juni 1999
dengan stabilnya nilai tukar dan terkendalinya laju inflasi,
terjadi penurunan pada biaya produksi dan laba kotor.
c). Dampak pada struktur pasar dan permodalan. Selama
periode krisis, telah terjadi pergeseran struktur pasar dan
permodalan pada subsektor industri produk rotan. Sampai
dengan Juli 1997, pasar industri produk rotan sekitar 85
persen adalah ekspor akan tetapi pada bulan Juni 1998 100
persen diekspor ke luar negeri karena daya beli domestik
menurun akibatnya melambungnya laju inflasi. Gejolak
tingkat bunga sangat peka pengaruhnya terhadap struktur
permodalan UKM. Seiring melambungnya tingkat bunga
perbankan dalam negeri, sentra Sidoarjo mengalihkan
pembiayaan usahanya pada perbankan luar negeri dengan
pertimbangan tingkat bunga yang relatif lebih murah. Dari
kondisi sebelum krisis dimana struktur permodalannya
adalah seimbang antara modal sendiri dan perbankan
dalam negeri menjadi 25 persen modal sendiri dan 75
persen perbankan luar negeri. Berbeda dengan sentra
Sukoharjo yang memperbesar persentase modal sendiri
menjadi 75 persen dan mengurangi perbankan dalam
negeri menjadi 25 persen.

You might also like