Professional Documents
Culture Documents
A. PENGERTIAN
Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai dengan
adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan
adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan
ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan
perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan
Brenda G. Bare, 2001).
1. Srosis hati kompensata, dimana pada stadium ini belum terdapat gejala-
gejala yang nyata (asimptomatis). Biasanya stadium ini ditemukan secara
tidak sengaja pada pemeriksaan screening.
2. Sirosis hati dekompensata, pada stadium ini gejala-gejala sudah sangat
jelas, pasien merasa lemas, adanya asites, ikterus, dll.Pada stadium inilah
pasien dibawa ke tempat pelayanan kesehatan atau ke Rumah Sakit.
B. EPIDEMIOLOGI
C. ETIOLOGI
1
2. Sirosis pasca nekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar
sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana pembentukan jaringan parut terjadi dalam hati di
sekitar saluran empedu. Terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan
infeksi.
Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas,
diantaranya :
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari
Sirosis Hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B
lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan
memberi gejala sisa serta menunjukkan perjalanan yang kronis bila
dibandingkan dengan hepatitis virus A. penderita dengan hepatitis aktif
kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati
yang kronis.
2
3. Zat hepatotoksik
4. Penyakit Wilson
5. Hemokromatosis
3
6. Sebab-sebab lain
b. Sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada kaum wanita.
D. PATOFISIOLOGI
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian
tersebut dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang
kronis atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum
alcohol aktif. Hati kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan
membentuk ekstraselular matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein,
dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam membentuk ekstraselular
matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali
ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hati.
Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi
sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh
hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera
berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming
growth facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C
kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata
untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut
4
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya
ukuran dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori
seperti endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi
kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah
perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang
menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu
proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian
hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya fungsi
hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari
vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan
keadaan utama penyebab terjadinya manifestasi klinis.
5
maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan
retensi cairan.
1. Hipertensi Portal
6
Hepatic venous pressure gradient (HVPG) merupakan selisih
tekanan antara vena portal dan tekanan pada vena cava inferior. HVPG
normal berada pada 3-6 mm Hg. Pada tekanan diatas 8 mmHg dapat
menyebabkan terjadinya asites. Dan HVPG diatas 12 mmHg dapat
menyebabkan munculnya varises pada organ terdekat. Tingginya
tekanan darah portal merupakan salah satu predisposisi terjadinya
peningkatan resiko pada perdarahan varises utamanya pada esophagus.
7
3. Hepatorenal Syndrome
Sindrome ini memperlihatkan disfungsi berlanjut dari ginjal
yang diobsrevasi pada pasien dengan sirosis dan disebabkan oleh
adanya vasokonstriksi dari arteri besar dan kecil ginjal dan akibat
berlangsungnya perfusi ginjal yang tidak sempurna.kadar dari agen
vasokonstriktor meningkat pada pasien dengan sirosis, temasuk hormon
angiotensin, antidiuretik, dan norepinephrine.
4. Hepatic Encephalopathy
Ada 2 teori yang menyebutkan bagaimana perjalanan sirosis
heatis menjadi ensephalopathy, teori pertama menyebutkan adanya
kegagalan hati memecah amino, teori kedua menyebutkan gamma
aminobutiric acid (GABA) yang beredar sampai ke darah di otak.
Amonia diproduksi di saluran cerna oleh degradasi bakteri
terhadap zat seperti amino, asam amino, purinm dan urea. Secara
normal ammonia ini dipecah kembali menjadi urea di hati, seperti yang
telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Pada penyakit hati atau
porosystemic shunting, kadar ammonia pada pembuluh darah portal
tidak secara efisien diubah menjadi urea. Sehingga peningkatann kadar
dari ammonia ini dapat memasuki sirkulasi pembuluh darah.
Ammonia mempunyai beberapa efek neurotoksik, termasuk
mengganggu transit asam amino, air, dan elektrolit ke membrane
neuronal. Ammonia juga dapat mengganggu pembentukan potensial
eksitatory dan inhibitory. Sehingga pada derajat yang ringan,
peningkatan ammonia dapat mengganggu kosentrasi penderita, dan
pada derajat yang lebih berat dapat sampai membuat pasien mengalami
koma.
5. Gejala-gejala lainnya
Pada pasien dengan sirosis hepatis dekompensata, sangat banyak
gejala yang muncul diakibatkan hati mempunyai peranan yang sangat
besar dalam kehidupan sehingga jika peranan ini terganggu maka akan
banyak timbul abnormalitas dalam kehidupan seorang penderita.
8
Adanya proses glikogenolisis dan glukoneogenesis pada hati
membuat seseorang tetap mempunyai cadangan energi dan energi
apabila seseorang tidak makan, namun pada pasien sirosis hepatis,
kedua proses ini tidak berlangsung sempurna sehingga pasien mudah
lelah dan pada keadaan yang lebih berat pasien bahkan tidak dapat
melakukan aktivitas ringan.
Karena hati mempunyai peranan dalam memecah obat, sehingga
pada sirosis hepatis, ditemukan sensitivitas terhadap obat semakin
menigkat, efek samping obat lebih menonjol dariada implikasi
medisnya sehingga pada penderita sirosis hepatis, pemilihan obat harus
dilakukan dengan sangat hati-hati.
Pada pasien sirosis juga ditemukan perdarahan spontan akibat
adanya kekurangan faktor faktor pembekuan yang diproduksi di hati.
Memar juga dapat terjadi akibat kekurangan faktor-faktor ini.
Perdarahan esofagus juga ditemukan karena adanya peningkatan
tekanan vena portal sehingga darah memberikan jalur cadangan pada
pembuluh darah sekitar untuk sampai ke jantung, maka darah melalui
pembuluh darah oesofagus, karena pembuluh darah ini kecil maka
gesekan akibat makanan yang normalnya tidak memberikan luka pada
orang biasa membuat varises ini pecah sehingga timbul darah. Darah ini
dapat saja keluar melalui muntahan darah atau juga dapat melalui tinja
yang berwarna ter (hematemesis melena).
Hati juga mempunyai peranan dalam endokrin, sehingga sirosis
dapat memperlihatkan manifestasi endokrin seperti pada wanita
terdapat kelainan iklus menstruasi dan pada laki-laki ditemukan
gynecomastia dan pembengkakan skrotum.
9
F. Laboratorium
1. Urine
2. Tinja
3. Darah
10
dengan hasil pengamatan jasmani, yaitu ditemukan asites sebanyak
85,79%.
G. Komplikasi
1. Perdarahan Gastrointestinal
2. Koma hepatikum
11
Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme
protein, dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat.
Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal,
amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati,
kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan
kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar
dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak
menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat
toksik/iritatif pada otak.
3. Ulkus peptikum
4. Karsinoma hepatoselular
5. Infeksi
12
sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia,
tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis,
perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun
H. Diagnosis
13
noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim
hati. Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis
vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien
sirosis.
Dari diagnosis sirosis ini kita dapat menilai derajat beratnya sirosis
dengan menggunakan klasifikasi Child Pugh.
Derajat
Minimal Sedang Berat Satuan
Kerusakan
μmol/l
Bilirubin (total) <35> 35-50 >50 (>3)
(mg/dL)
Serum albumin >35 30-35 <30 g/L
Nutrisi Sempurna Mudah dikontrol Sulit terkontrol -
Dapat terkendali Tidak dapat
Ascites Nihil -
dengan pengobatan terkendali
Hepatic
Nihil minimal Berat/koma -
encephalopathy
I. Penatalaksanaan
14
antifibrotik yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stellata
bisa merupakan suatu pilihan.
Asites diterapi dengan tirah baring total dan diawali dengan diet
rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2 gr atau 90mmol/hari. Diet
rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diureitk. Awalnya dengan
pemberian spironolakton dengan dosis 100-200 mg sekali sehari. Respons
diuretik bisa dimonitor dengan penurunan berat badan 0,5kg/hari, tanpa
adanya edema kaki atau 1kg/hari bila edema kaki ditemukan. Bila
pemberian spironolaktine belum adequat maka bisa dikombinasi dengan
furosemide dengan dosis 20-40 mg/hari. Parasintesis dilakukan jika
jumlah asites sangat besar.
J. Prognosis
15
1. Ali Sulaiman, dkk. Gastroenterologi Hepatologi. Sagung Seto. 1997
2. Aru Sudoyo. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI.
Jakarta. Juli 2006
16