You are on page 1of 3

ANTARA HISAB DAN RUKYAT

Friday, 14 August 2009 10:12

Oleh: Irwandi

Mungkinkah perbedaan dalam penentuan awal Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul Adha
dapat dihentikan sehingga syiar ketiga ibadah tersebut lebih menggema dan tidak terjadi
kebingungan di kalangan umat Islam? Jawabnya adalah mungkin dan bahkan umat Islam
sangat memungkinkan memiliki kalender kamariah yang bersifat internasional.

Syarat utamanya adalah jika para pemimpin umat ini dan alim ulama bersedia dengan jiwa
besar menanggalkan jubah kefanatikan paham golongan dan melek pada kemajuan IPTEK, lalu
duduk semeja melakukan pembenahan interpretasi atas ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis
Rasullulah SAW tentang hisab dan  rukyat . Sebab, selama ini perbedaan interpretasi teks
tersebut telah melahirkan cara pandang yang berbeda pula terhadap  rukyat di satu sisi dan 
hisab di sisi lain.

Silang sengketa paham (baca: perbedaan) pendapat tentang cara penentuan bulan kamariah
yang terkait dengan pelaksanaan ibadah puasa bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, dan Idul
Adha telah lama muncul dalam peradaban Islam. Pendapat pertama adalah kelompok pro 
rukyat yang menyebutkan bahwa penentuan awal bulan kamariah untuk pelaksanaan ibadah
harus dengan cara  rukyat , yaitu melihat bulan secara nyata/fisik dengan mata dan tidak boleh
dengan cara hisab astronomi. Landasan yang dikemukakan adalah beberapa hadis Rasulullah
SAW di samping argumentasi rasional. Ada hadis Rasulullah SAW yang memerintahkan
memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan ketika telah melihat hilal, yaitu: Apabila kamu
melihat  hilal berpuasalah, dan apabila kamu melihatnya ( hilal ) beridulfitrilah! Jika bulan
terhalang oleh awan terhadapmu, maka perkirakanlah (diriwayatkan oleh al-Bukhari, dan juga
Muslim). Ada juga hadis yang melarang berpuasa dan beridul fitri sebelum melihat  hilal , yaitu:
Janganlah kamu berpuasa sebelum melihat  hilal dan janganlah kamu beridul fithri sebelum
melihat  hilal ; jika bulan terhalang awan terhadapmu, maka perkirakankah (riwayat al-Bukhari
dan Muslim). Kedua hadis di atas intinya adalah perintah melakukan  rukyat untuk memastikan 
hilal . Sementara perintah melakukan perkiraan/estimasi dalam hadis tersebut terjadi jika  hilal
tidak dapat di -rukyat akibat langit berawan ditafsirkan dengan menggenapkan bilangan bulan
yang sedang berjalan menjadi tiga puluh hari seperti dinukilkan dari hadis berikut: Berpuasalah
kamu karena melihat  hilal dan beridulfitrilah juga karena melihat  hilal ; jika bulan terhalang
oleh awan terhadapmu, maka genapkanlah bilangan bulan  Syakban (menjadi) 30 hari (Riwayat
al-Bukhari dan Muslim).

Di samping hadis-hadis di atas, pengusung paham prorukyat juga menukilkan hadis tentang
umat yang tidak memahami  hisab , yaitu: Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami
tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan  hisab . Maksudnya adalah kadang-kadang 29 hari,
dan kadang-kadang 30 hari (riwayat al-Bukhari dan Muslim). Mereka memahami bahwa hadis
ini sebagai  illat (alasan hukum) larangan penggunaan  hisab , karena umat tidak mampu
melakukan hisab. Oleh sebab itu,  rukyat dipilih, karena tidak memerlukan peralatan canggih
dan dapat dilakukan oleh setiap orang. Dari sisi rasionalitas, para ulama pendukung  rukyat
berpendapat bahwa  hisab adalah sebuah spekulasi dan tidak menjamin kepastian ( zanni ).

Berbeda dengan pendapat pertama, pendapat kedua justru mendukung menggunakan  hisab .
Tercatat orang pertama yang membolehkan penggunaan hisab adalah Mutarrif Ibn Abdillah Ibn

1/3
ANTARA HISAB DAN RUKYAT
Friday, 14 August 2009 10:12

as-Syakhkhair, seorang ulama tabiin besar, lalu Imam asy-Syafa'i, dan Ibn Suraij, seorang
ulama Syafiiah. Dalil yang dipakai selain hadis-hadis Rasulullah SAW juga beberapa ayat
Alquran. Terkait dengan hadis Rasulullah SAW yang menyebutkan tidak menggunakan hisab
karena umat yang masih  ummi , para ulama hisab memiliki interpretasi hadis yang berbeda
dengan pendukung rukyat.

Pendapat kedua justru memahami bahwa hadis tersebut adalah sebuah penegasan  illat
(alasan hukum) kenapa Rasulullah SAW memerintahkan melakukan rukyat untuk memastikan
awal dan akhir Ramadhan.  Illat (alasan hukum) perintah melakukan  rukyat adalah karena
umat ketika itu masih  ummi (banyak yang belum pandai tulis baca) dan tidak menguasai hisab.
Sehingga, dipilihlah rukyat sebagai cara yang lebih mudah. Artinya, jika di tengah-tengah umat
Islam telah ada ahli hisab yang menguasai kemajuan ilmu astronomi, maka  illat (alasan
hukum) menggunakan  rukyat menjadi batal. Bahkan, andai kata hadis tersebut melarang
menggunakan  hisab tentu juga Rasulullah SAW melarang baca tulis, karena keduanya disebut
Rasulullah SAW bersamaan. Jelas sangat tidak masuk akal! jika Rasulullah SAW melarang
umatnya belajar baca tulis.

Ulama pendukung hisab menganggap keliru cara memahami hadis-hadis Nabi yang
menyimpulkan bahwa Rasulullah SAW tidak mensyariatkan penggunaan  hisab , namun
memerintahkan menggunakan dan berpegang kepada hasil  rukyat dalam menentukan awal
bulan Ramadhan. Menurut ulama kontemporer, Syaikh Yusuf Qaradhawi, interpretasi seperti itu
keliru, karena dua alasan: Pertama, adalah tidak logis jika Rasulullah SAW memerintahkan
penggunaan  hisab padahal saat itu umat masih dalam keadaan  ummi (tidak mengenal tulis
baca) dan  hisab .

Oleh sebab itu, Rasulullah SAW mensyariatkan sarana yang lebih sesuai dengan kemampuan
umat, yaitu  rukyat . Kedua, dalam hadis Rasulullah SAW terdapat informasi yang
mengisyaratkan penggunaan  hisab dalam keadaan cuaca berawan. Hal ini terindikasi melalui
hadis Nabi yang diriwayatkan al-Bukhari, yakni: Jangan kamu berpuasa sebelum melihat  hilal
dan jangan kamu beridul fitri sebelum melihat  hilal . Jika  hilal tertutup oleh awan terhadapmu,
maka perkirakanlah. Perintah melakukan perkiraan/estimasi dalam hadis ini dapat meliputi
penggunaan  hisab bagi umat Islam yang menguasainya. Penggunaan  hisab tersebut diyakini
dapat membawa kepada suatu kepastian yang meyakinkan. Apalagi kemajuan ilmu falak saat
ini telah mengalami lompatan kemajuan yang sangat jauh dan mencapai tingkat akurasi yang
(mungkin) andai kata terdapat kesalahan di dalamnya barangkali hanya sekitar 0,001 detik.

Ayat-ayat Alqur'an juga telah mengisyaratkan penggunaan  hisab . Dalam QS Ar-Rahman,


55:5, dan QS Yunus, 10:5, dinyatakan bahwa bulan dan matahari memiliki sistem peredaran
yang telah ditetapkan Allah SWT dan peredarannya itu dapat dihitung. QS Yasin, 36:39-40
menyebutkan bahwa Allah SWT telah menetapkan  manzilah-manzilah (posisi) bagi perjalanan
bulan mengelilingi bumi dan ini sebuah ketetapan Allah SWT  yang bersifat pasti. Oleh sebab
itu, jika dihubungkan dengan QS Ar-Rahman, 5 di atas, maka perjalanan bulan dan
posisi-posisinya dapat dihitung. Dalam QS Yasin, 39-40 juga terkandung kriteria  hisab untuk
menentukan awal bulan baru, yaitu telah terjadi ijtimak/konjungsi (saat bulan berada pada titik
terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari) yang terjadi sebelum matahari
terbenam/sebelum Maghrib) dan pada saat terbenamnya matahari, bulan berada di atas ufuk.

2/3
ANTARA HISAB DAN RUKYAT
Friday, 14 August 2009 10:12

Para ulama terdahulu menolak menggunakan  hisab disebabkan oleh banyak hal di antaranya
karena interpretasi atas teks hadis yang berisi perintah berpuasa dan beridul fitri dengan
melihat ( rukyat ) hilal. Padahal, hadis tersebut tidak berisi larangan menggunakan hisab.
Bahkan, para ulama hadis telah melakukan penelaahan terhadap teks-teks hadis yang berbeda
tersebut yang menyimpulkan bahwa hadis yang memerintahkan untuk melakukan
perkiraan/estimasi ( faqduru lah ) diriwayatkan oleh lebih banyak perawi yang lebih kuat.
Sementara hadis yang memerintahkan genapkanlah bulan  Syakban 30 hari para perawinya
kurang kuat dibandingkan hadis yang memerintahkan melakukan perkiraan/estimasi. Di sisi
lain, karena pada zaman dulu memang terjadi percampuran antara ilmu nujum, tenung, ramalan
yang bersifat syirik di satu sisi, dan ilmu hisab di sisi lain.

Saat ini, ilmu falak (astronomi) telah jauh terpisah dengan ilmu ramalan yang bersifat syirik.
Bahkan, perkembangan ilmu falak juga diiringi dengan penemuan peralatan canggih dan
observatorium modern yang dapat menangkap gerakan bintang-bintang dalam jarak jutaan
tahun cahaya serta didasarkan pada perhitungan astronomis yang akurat dan tepercaya
sehingga dapat menentukan gerakan tersebut dalam hitungan per sekian ratus atau ribu detik.
Juga telah dibuat stasiun di angkasa luar di sekitar planet bumi dan dapat menerima pesawat
angkasa. Lantas, apakah masih diragukan lagi keabsahan perhitungan ilmu hisab sehingga
pertikaian permulaan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha dapat dihentikan? Wallaahu a'lam
bishawwab.

Penulis: Dosen IAIN Imam Bonjol

Sumber: Harian Republika, Jum'at 14 Agustus 2009

3/3

You might also like