You are on page 1of 4

Implementasi Balance Scorecard

No. 16 - Juli 2005

Di balik prestasi bisnis Unilever Indonesia yang begitu


mengkilap dalam beberapa tahun terakhir, implementasi
konsep Balanced Scorecard (BSc) secara totalitas menjadi
salah satu kuncinya. Key Performance Indicator (KPI)
diturunkan hingga level individu. Bagaimana prosesnya?

Unilever Indonesia merupakan salah satu anak perusahaan raksasa produk


konsumen Unilever yang patut dibanggakan. Secara finansial hingga 2004,
Unilever Indonesia berhasil mempertahankan tingkat pertumbuhan dua digit
selama 6 tahun berturut-turut. Angka penjualan tumbuh sebesar 10,6%
menjadi Rp 8,985 triliun; laba usaha tumbuh 14,8% menjadi Rp 2,039 triliun;
laba bersih tumbuh sebesar 13,2% menjadi Rp 1,468 triliun. Dengan kurs
sekitar Rp 9.000 per dolar Amerika, maka Unilever Indonesia bisa dikatakan
perusahaan satu miliar dolar.

Strategi bisnis adalah awal dari seluruh program yang dijalankan Unilever.
Hal ini sejalan dengan prinsip dasar dari sistem Balanced Scorecard (BSc),
yang mulai diterapkan Unilever Indonesia sejak tahun 2000. Implementasi
sistem BSc pada mulanya dibantu oleh konsultan. Sebelum tahun 2000,
menurut HR Director Unilever Indonesia Josef Bataona, perusahaan
menerapkan model yang berbeda.

Pada era sebelum tahun 2000, perusahaan memiliki buku rencana bisnis
tahunan yang cukup tebal dan sampulnya dibuat glossy agar kelihatan lebih
mewah. Materi buku tersebut tidak mudah untuk dicerna dan dibaca, di
samping tidak praktis. Manajemen kemudian berpikir mencari pengganti
buku berisi strategi itu dalam bentuk yang lebih handy, namun efektif untuk
selalu mengingatkan seluruh pihak tentang komitmen mereka tahun itu.
Pemikiran ini mendapatkan jalan saat perusahaan memutuskan untuk
menerapkan sistem BSc. “Setelah menjalankan beberapa tahun, kami
menilai model BSc sangat bagus dalam menunjang kinerja perusahaan,”
tegasnya.

Unilever Indonesia tidak menyebut konsep ini sebagai BSc, melainkan


dengan istilah lain: Balanced Business Strategy (BBS) dan Balanced Business
Plan (BBP). BBS dan BBP disusun atas dasar sistem nilai utama perusahaan,
yaitu fokus untuk melayani pelanggan, konsumen, dan masyarakat. BBS
merupakan strategi bisnis dalam periode lebih panjang (3-5 tahun). la
dijabarkan menjadi rencana bisnis tahunan dalam bentuk BBP.

Dari level korporat, BBS dan BBP itu diturunkan ke level divisi, departemen
hingga individu. Muaranya adalah rencana implementasi. Proses penyusunan
BBS dan BBP dilakukan secara seimbang: tidak hanya top-down, tetapi juga
bottom-up. Untuk mendapatkan komitmen dan rasa memiliki karyawan,
perusahaan mengundang partisipasi seluruh karyawan untuk memberikan
masukan. Masukan tersebut dibawa ke level yang lebih tinggi, hingga ke
level direksi (Board).

Di level Board, yang terdiri dari seluruh direksi dan 1-2 manajer kunci senior
dari masing-masing divisi, secara intens digodok BBS dan BBP – sebagian
inputnya juga berasal dari bawah. Wujud dari BBS dan BBP itu sesungguhnya
cukup sederhana, karena cukup satu lembar kertas saja. Sebagai rencana
tahunan, BBP dibagi dalam 4 kolom, yaitu pemasaran, operasional, SDM &
organisasi, dan keuangan. Penyusunan BBP dimulai dengan menetapkan
rencana bisnis di bidang pemasaran secara bersama-sama. Setelah
disepakati, lantas dibicarakan rencana bisnis dari sisi operasional untuk
menunjang pencapaian rencana bisnis pemasaran tersebut. Untuk
memungkinkan pemasaran bertumbuh sesuai rencana bisnis dan operasional
yang mendukung, maka perusahaan mendefinisikan rencana bisnis dari
kolom SDM dan organisasi. Semua aktivitas ini pada akhirnya bermuara pada
kolom keuangan.

Di setiap kolom ditetapkan pula KPI-nya. Dalam kolom pemasaran, misalnya,


target pertumbuhannya sangat jelas dalam persen. Di dalam kolom
operasional, antara lain, tertera persen kenaikan level pelayanan. Sementara
di kolom SDM dan organisasi, umpamanya dijelaskan kalau perusahaan
membutuhkan kompetensi baru, maka divisi ini menegaskan kapan harus
tersedia. Hasilnya benar-benar hanya satu lembar, paling tidak untuk level
korporat dan divisi, tetapi satu lembar yang sangat penting.

Tapi, jangan dikira strategi bisnis yang serius tersebut ditampilkan dengan
kata-kata yang serius pula. Unilever mencoba menggunakan bahasa yang
fun, fancy, dan sejenisnya. “Jangan sampai bahasa strategi itu terlalu rumit
dan berat sehingga susah dipahami,” ungkap Presiden Direktur Unilever
Indonesia Tbk. Maurits Lalisang, suatu kali.

Contohnya, di bidang pemasaran strategi Unilever adalah delight consumer


everywhere and everyday, nurture with tender &� loving care ‘infant'
business, dan seterusnya. Di divisi SDM dan organisasi, temanya empower
our people and community. Di sisi lain, setiap tahun karyawan membuat
proyek kegiatan dengan nama yang aneh-aneh. “Setelah ditanya, ternyata
itu nama kampung kelahiran pemimpin kegiatan,” kata Josef sambil
tersenyum.

Proses penyusunan BBS dan BBP dibuat dengan memberikan kebebasan


kepada level yang lebih bawah dalam menentukan how, sementara level
lebih atas hanya menentukan aspek what saja. Proses seperti ini, tutur Josef,
merangsang karyawan untuk berpikir secara aktif dan kreatif sekaligus untuk
menumbuhkan kepemilikan atas setiap strategi yang telah diputuskan. Toh
pada akhirnya strategi tersebut harus diterapkan secara ekselen.

Karyawan akan berpikir tidak hanya memenuhi individual plan, tetapi juga
berpikir dalam konteks korporat. Kalau bisa membantu menjalankan annual
plan level lebih tinggi, maka mereka bisa berkontribusi untuk rencana divisi
maupun korporat. Hal ini menjadikan kerjasama antar divisi pun berjalan
dengan baik. Masing-masing individu dan bagian saling mengingatkan dan
mendukung saat implementasi strategi bisnis.

Unilever Indonesia memonitor pencapaian KPI dengan menggunakan sistem


traffic light. Selain warna merah, ada warna kuning (sebagian tercapai,
sebagian belum) dan warna hijau, yang berarti tercapai. Dalam setiap rapat
direksi yang berlangsung setiap bulan, mereka tinggal melihat wama
tersebut yang muncul dalam satu lembar BBS dan BBP. Tidak perlu lagi
bicara angka, karena warna tersebut mencerminkan hal sesungguhnya.
Perhatian direksi difokuskan pada strategi memperbaiki KPI yang masih
berwarna merah, sedangkan yang lain dianggap sudah berjalan. Begitulah
seterusnya agar KPI berwarna merah berubah menjadi kuning dan hijau.

Uniknya, pencapaian target tersebut juga bisa dimonitor oleh seluruh


karyawan melalui layar 2 buah TV yang berada di setiap lantai gedung
kantor pusat Unilever di Jakarta. Setiap kali mereka bisa melihat pencapaian
target mingguan dari sisi penjualan berbagai divisi pemasaran (home care,
personal care, foods, dan ice cream). Strategi komunikasi ini bertujuan untuk
membangun kepedulian dan semangat di antara para karyawan. “Jadi, kalau
manajemen datang kepada mereka untuk minta bantuan, mereka pun
mengerti dan memberikan dukungan karena hasilnya bisa mereka lihat,”
tegas Josef.

Evaluasi pencapaian target KPI dikoordinir oleh Corporate Strategic Planner


yang berada di bawah CFO (Chief Financial Officer). Dia berhubungan
dengan BBP Champion yang menjadi orang penghubung dan koordinator dari
setiap divisi. Para champion ditentukan oleh Direksi dari divisi masing-
masing, yaitu individu yang berada satu level di bawah direksi dengan
kemampuan fasilitator dan ko-munikator yang baik. “Mereka datang ke
setiap bagian untuk mengevaluasi kemajuan pencapaian target,” tambah
Mia Korompis, External Public Relations Manager Unilever lndonesia. Kecuali
itu, mereka ini bertugas memfasilitasi berbagai rapat atau diskusi membahas
BBS dan BBP di divisi yang berbeda (bukan di divisinya sendiri). Untuk
menjadi champion, mereka telah diberi training terlebih dahulu.

Dalam perspektif learning and growth, serangkaian proses dilakukan Unilever


secara konsisten. Sebagian besar kegiatan pembelajaran dan pertumbuhan
dilaksanakan sendiri oleh Unilever, khususnya melalui Unilever Learning
Center di kawasan Megamendung, Puncak. Lembaga ini merupakan pusat
training Unilever di kawasan Asia bersama-sama dengan India.

Kecuali training bersifat kompetensi teknis, Unilever mencoba


menyeimbangkan pula antara hard competencies dengan soft competencies.
Umpamanya, perusahaan mengembangkan mentalitas "make it mine” –
bahwa setiap program implementasi adalah tanggung jawab setiap orang
dan tidak mengandalkan orang lain. Ada lagi program “can do”, yaitu
mengembangkan mentalitas bahwa kita bisa.

Hasil dari implementasi BSc di Unilever Indonesia tidak hanya tercermin dari
angka-angka pencapaian finansial (bottom line) seperti tertera di awal
tulisan ini. Beberapa kali Unilever Indonesia dinilai terbaik oleh Unilever
global dalam kreativitas people strategy dan diundang untuk berbagi sukses
dengan seluruh jajaran Unilever.

You might also like