You are on page 1of 5

MERAPI

Posisi geografis kawasan TN Gunung Merapi adalah di antara koordinat 07°22'33" -


07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Sedangkan luas totalnya sekitar 6.410 ha, dengan
5.126,01 ha di wilayah Jawa Tengah dan 1.283,99 ha di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan
TN G Merapi tersebut termasuk wilayah kabupaten-kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten di
Jawa Tengah, serta Sleman di Yogyakarta.

Gunung ini merupakan gunung api aktif, bahkan teraktif di dunia karena periodisitas
letusannya relatif pendek (3-7 tahun).

Kegiatan vulkanik Gunung Merapi sudah diamati sejak tahun 1953. Selain di kantor
Balai Penyelidikan dan Pengamatan Teknologi Kegunungapin (BPPTK) Jogjakarta sebagai Main
Office , ada 5 (lima) Pos Pengamatan Gunungapi (Pos PGA) yang mengelilingi G. Merapi yang
dikhususkan mengamati gerak gerik G. Merapi dari waktu ke waktu secara visual serta
dilengkapi beberapa peralatan standard antara lain seperangkat seismograf sebagai pelengkap
atau peralatan khusus yang mengharuskan dilakukan pengukuran secara langsung terhadap
gunungapi, misalnya Deformasi dan COSPEC. Peralatan lainnya diinstal di Kantor BPPTK,
Jogjakarta.Peralatan-peralatan yang dipergunakan untuk memantau kegiatan vulkanik Gunung
Merapi adalah seismograf, deformasi, COSPEC, magnetometer, infrasonic.

Berdasarkan sejarah, Gunung Merapi mulai tampil sebagai gunungapi sejak tahun 1006, ketika
itu tercatat sebagai letusannya yang pertama (Data Dasar Gunungapi Indonesia, 1979). Sampai
Letusan Februari 2001, sudah tercatat meletus sebanyak 82 kejadian. Secara rata-rata Merapi
meletus dalam siklus pendek yang terjadi setiap antara 2 – 5 tahun, sedangkan siklus menengah
setiap 5 – 7 tahun. Siklus terpanjang pernah tercatat setelah mengalami istirahat selama >30
tahun, terutama pada masa awal keberadaannya sebagai gunung api. Memasuki abad 16 catatan
kegiatan Merapi mulai kontinyu dan terlihat bahwa, siklus terpanjang pernah dicapai selama 71
tahun ketika jeda antara tahun 1587 dan kegiatan 1658.
Konsekwensi dari suatu bencana letusan gunungapi adalah jatuhnya korban jiwa. Sepanjang
sejarah, letusan Merapi telah menimbulkan korban jiwa meninggal atau luka sebagai berikut:

Letusan 1672 meninggal 3000 orang luka tidak ada


Letusan 1822 meninggal 100 orang luka tidak ada
Letusan 1832 meninggal 32 orang luka tidak ada
Letusan 1872 meninggal 200 orang luka tidak ada
Letusan 1904 meninggal 16 orang luka tidak ada
Letusan 1920 meninggal 35 orang luka tidak ada
Letusan 1930 meninggal 1369 orang luka tidak ada
Letusan 1954 meninggal 64orang luka 57 orang
Letusan 1961 meninggal 6 orang luka tidak ada
Letusan 1969 meninggal 3 orang luka tidak ada
meninggal 29 orang akibat
Letusan 1976 luka 2 orang
lahar
Letusan 1994 meninggal 66 orang luka 6 orang
Letusan 1997 meninggal tidak ada luka tidak ada
Letusan 1998 meninggal tidak ada luka tidak ada
Letusan 2001 meninggal tidak ada luka tidak ada
Letusan 2006 meninggal 2 orang luka tidak ada

Karakter dan Gejala Letusan

Sejak awal sejarah letusan Gunung Merapi sudah tercatat bahwa tipe letusannya adalah
pertumbuhan kubah lava kemudian gugur dan menghasilkan awanpanas guguran yang dikenal
dengan Tipe Merapi ( Merapi Type ). Kejadiannya adalah kubah lava yang tumbuh di puncak
dalam suatu waktu karena posisinya tidak stabil atau terdesak oleh magma dari dalam dan runtuh
yang diikuti oleh guguran lava pijar. Dalam volume besar akan berubah menjadi awanpanas
guguran ( rock avalance ), atau penduduk sekitar Merapi mengenalnya dengan sebutan wedhus
gembel , berupa campuran material berukuran debu hingga blok bersuhu tinggi (>700 o C) dalam
terjangan turbulensi meluncur dengan kecepatan tinggi (100 km/jam) ke dalam lembah. Puncak
letusan umumnya berupa penghancuran kubah yang didahului dengan letusan eksplosif disertai
awanpanas guguran akibat hancurnya kubah. Secara bertahap, akan terbentuk kubahlava yang
baru.

Hartman (1935) membuat simpulan tentang siklus letusan Gunung Merapi dalam 4 kronologi
yaitu:

Kronologi1.
Diawali dengan satu letusan kecil sebagai ektrusi lava. Fase utama berupa pembentukan
kubahlava hingga mencapai volume besar kemudian berhenti. Siklus ini berakhir dengan proses
guguran lava pijar yang berasal dari kubah yang terkadang disertai dengan awanpanas kecil yang
berlangsung hingga bulanan.

Kronologi2.
Kubahlava sudah sudah terbentuk sebelumnya di puncak. Fase utama berupa letusan bertipe
vulkanian dan menghancurkan kubah yang ada dan menghasilkan awanpanas. Kronologi 2 ini
berakhir dengan tumbuhnya kubah yang baru. Kubah yang baru tersebut menerobos tempat lain
di puncak atau sekitar puncak atau tumbuh pada bekas kubah yang dilongsorkan sebelumnya.

Kronologi3.
Mirip dengan kronologi 2, yang membedakan adalah tidak terdapat kubah di puncak, tetapi
kawah tersumbat. Akibatnya fase utama terjadi dengan letusan vulkanian disertai dengan
awanpanas besar (tipe St. Vincent ?). Sebagai fase akhir akan terbentu kubah yang baru.

Kronologi4.
Diawali dengan letusan kecil dan berlanjut dengan terbentuknya sumbatlava sebagai fase utama
yang diikuti dengan letusan vertikal yang besar disertai awanpanas dan asap letusan yang tinggi
yang merupakan fase yang terakhir.

Pada kenyataannya, terutama sejak dilakukan pemantauan yang teliti yang dimulai dalam tahun
1984, batasan setiap kronologi tersebut sering tidak jelas bahkan bisa jadi dalam satu siklus
letusan berlangsung dua kronologi secara bersamaan, seperti pada Letusan 1984.

Seiring dengan perkembangan teknologi, sejak 1984 ketika sinyal data dapat dikirim melalui
pemancar radio (radio telemetry ) sistem tersebut mulai dipergunakan dalam mengamati aktivitas
gunungapi di Indonesia, termasuk di Gunung Merapi. Dan sejak saat itu gejala awal letusan lebih
akurat karena semua sensor dapat ditempatkan sedekat mungkin dengan pusat kegiatan
tergantung kekuatan pemancar yang dipergunakan, secara normal dapat menjangkau hingga
jarak antara 25 – 40 km.
Hampir setiap letusan Gunung Merapi, terutama sejak diamati dengan seksama yang dimulai
tahun 80-an, selalu diawali dengan gejala yang jelas. Secara umum peningkatan kegiatan
lazimnya diawali dengan terekamnya gempabumi vulkanik-dalam (tipe A) disusul kemudian
munculnya gempa vulkanik-dangkal (tipe B) sebagai realisasi migrasinya fluida ke arah
permukaan. Ketika kubah mulai terbentuk, gempa fase banyak (MP) mulai terekam diikuti
dengan makin besarnya jumlah gempa guguran akibat meningkatnya guguran lava. Dalam
kondisi demikian, tubuh Merapi mulai terdesak dan mengembang yang dimonitor dengan
pengamatan deformasi.

Bahaya Letusan Merapi

Bahaya letusan gunung api terdiri atas bahaya primer dan bahaya sekunder.Bahaya Primer
adalah bahaya yang langsung menimpa penduduk ketika letusan berlangsung. Misalnya,
awanpanas, udara panas ( surger ) sebagai akibat samping awanpanas, dan lontaran material
berukuran blok (bom) hingga kerikil. Sedangkan bahaya sekunder terjadi secara tidak langsung
dan umumnya berlangsung pada purna letusan, misalnya lahar, kerusakan lahan
pertanian/perkebunan atau rumah.

Tingkat bahaya dari suatu gunung api sangat tergantung dari kerapatan dari suatu letusan dan
kepadatan penduduk yang bermukim di sekitar gunungapi tersebut.

Yang terakhir sangat terkait dengan aktifitas penduduk tersebut berinteraksi dengan
lingkungnannya, yaitu gunungapi. Untuk menekan jatuhnya korban jiwa manusia, Direktorat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menerbitkan Peta Daerah Bahaya. Untuk kawasan G.
Merapi. Peta Daerah Bahaya tersebut dibagi atas tiga daerah, masing-masing Daerah Terlarang ,
adalah daerah yang sangat berpotensi terkena letusan langsung (bahaya primer), Daerah Bahaya
Satu , bila letusan besar dapat terlanda lontaran material pijar berukuran bom atau kerikil, dan
yang terakhir adalah Daerah Bahaya Dua adalah daerah yang sangat berpotensi terlanda lahar.
ARTIKEL MARAPI

Disusun oleh:

Ihsan Nur Setiawan 09312244009

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN IPA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2010

You might also like