Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
1.2 Batasan Masalah
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2.2 Epidemiologi
Etiologi EKN hingga saat ini belum dapat dipastikan, namun diyakini erat
kaitannya dengan terjadinya iskemik intestinal, faktor koloni bakteri dan faktor
makanan. Iskemik menyebabkan rusaknya dinding saluran cerna, sehingga
rentan pada invasi bakteri. EKN jarang terjadi sebelum tindakan pemberian
makanan dan sedikit terjadi pada bayi yang mendapat ASI. Bagaimananapun,
3
sekali pemberian makanan dimulai, hal itu cukup untuk menyebabkan proliferasi
bakteri yang dapat menembus dinding saluran cerna yang rusak dan
menghasilkan gas hidrogen. Gas tersebut bisa berkumpul dalam dinding saluran
cerna (pneumotosis intestinalis) atau memasuki vena portal4.
Enterokolitis nekrotikans sering dihubungkan dengan dengan faktor resiko
spesifik, antara lain : pemberian susu formula, asfiksia, Intrauterine Growth
Restriction (IUGR), polisitemia / hiperviskositas, pemasangan kateter umbilikal,
gastroskisis, penyakit jantung bawaan, dan mielomeningokel4.
Enterokolitis nekrotikan bisa timbul sebagai kumpulan penyakit atau
penyakit dominan di Unit Rawat Intensif Neonatus. Beberapa kumpulan
tampaknya berhubungan dengan organisme spesifik (misalnya Klebsiella,
Escherichia coli, Staphylococcus koagulase-negatif), tetapi sering kuman
patogen spesifik tidak diketahui4.
2.4 Patogenesis
Walaupun etiologi EKN masih kontroversi, analisis epidemiologi penyakit
ini telah mengidentifikasi beberapa faktor resiko utama, yaitu prematuritas,
makanan enteral, iskemik ataupun asfiksia intestinal, dan kolonisasi bakteri.
Studi terakhir menunjukkan hubungan faktor resiko ini dengan terjadinya
nekrosis usus. Studi ini menggambarkan bagaimana kerusakan mukosa juga
berhubungan dengan terganggunya sistem imun yang mengakibatkan aktivasi
mediator inflamasi, yang pada akhirnya menimbulkan sindrom respon inflamasi
sistemik7.
1. Prematuritas7
4
2. Iskemik intestinal atau asfiksia7
Hasil suatu studi pada hewan baru lahir menunjukkan perbedaan
sirkulasi saluran cerna yang menjadi predisposisi terjadinya EKN.
Resistensi pembuluh darah basal saluran cerna meningkat pada fetus,
dan menurun dengan signifikan segera setelah lahir, menimbulkan
peningkatan kecepatan aliran darah saluran cerna yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan saluran cerna dan somatik yang kuat. Perubahan pada
resistensi vaskular tergantung pada keseimbangan antara molekul dilator
(nitrat oksida) dan konstriktor (endotelin), dan juga respon miogenik. Studi
menunjukkan bahwa bayi baru lahir memiliki penyimpangan respon
terhadap stres sirkulasi, yang menyebabkan penurunan aliran saluran
cerna atau resistensi vaskuler. Dalam respon terhadap hipotensi, hewan
baru lahir menunjukkan defek tekanan-autoregulasi aliran darah,
menyebabkan penurunan penyediaan oksigen saluran cerna dan
oksigenasi jaringan. Sebagai tambahan, pada hipoksemia arteri, sirkulasi
saluran cerna bayi baru lahir memiliki respon yang berbeda dari hewan
yang lebih tua. Walapun setelah hipoksemia, terjadi vasodilatasi dan
peningkatan perfusi saluran cerna, hipoksemia berat akan menyebabkan
vasokonstriksi dan iskemia atau hipoksia saluran cerna, dimediasi oleh
tidak adanya produksi nitrat oksida. Kebanyakan mediator kimia (nitrat
oksida, endotelin, substansi P, norepinefrin, dan angiotensin) berdampak
pada vasomotor , regulasi abnormal menghasilkan penekanan
autoregulasi sirkulasi, mengarah pada iskemia saluran cerna dan
nekrosis jaringan7.
5
3. Pemberian makanan secara enteral7
Kebanyakan kasus EKN terjadi setelah pemberian makanan
secara enteral yang diberikan kepada bayi prematur. Pada beberapa
kasus yang pernah dilaporkan pada beberapa dekade yang lalu, EKN
terjadi beberapa hari setelah pemberian makanan yang pertama, tapi
pada laporan kasus yang terjadi pada 1990-an EKN yang terjadi pada
BBLSR, terdiagnosis setelah beberapa minggu. Adanya perbedaan
kasus diatas telah memberikan pemahaman baru bagaimana perawatan
terhadap neonatus, seperti pemberian makanan hipokalori dengan jumlah
sedikit, dan ditingkatkan secara perlahan, sehingga memperkecil
kemungkinan terjadinya EKN. Walaupun hubungan antara makanan
enteral dan EKN masih belum dipahami sepenuhnya, tapi beberapa studi
membuktikan pentingnya pemberian Air Susu Ibu (ASI), yang memang
berbeda dengan susu formula, baik dari segi jumlah, komposisi, dan
osmolalitas.
Pada penelitian secara prospektif yang pernah dilaporkan,
didapatkan penurunan 50% angka kejadian EKN dengan pemberian ASI,
terutama pada bayi BBLR. ASI mengandung berbagai faktor bioaktif
yang mempengaruhi imunitas, inflamasi, dan proteksi mukosa, termasuk
sekresi Immunoglobulin A (IgA), leukosit, laktoferin, lisozim,musin, sitokin,
faktor pertumbuhan, enzim, oligosakarida, dan asam lemak tak jenuh
rantai ganda, yang mana sebagaian besar tidak terkandung pada susu
formula. Sistem pertahanan mukosa saluran cerna didapatkan dari ASI,
seperti faktor pertumbuhan epidermal, asam lemak tak jenuh rantai
ganda, platelet activating factor-acetylhydrolase, IgA dan makrofag yang
efektif dalam menurunkan penyakit ini pada hewan, walaupun belum
sepenuhnya terbukti efektif pada percobaan manusia.
4. Kolonisasi Bakteri2,7
In Utero, usus janin terus dibasahi dalam cairan amnion yang
steril, diperkaya dengan nutrisi, hormon, dan faktor-faktor pertumbuhan
yang membantu perkembangan dari traktus intestinal. Saat lahir, bayi
akan meninggalkan lingkungan yang steril tersebut. Pemberian ASI pada
bayi akan membentuk kolonisasi beberapa jenis organisme pada minggu
6
pertama kehidupan, termasuk spesies anaerob seperti Bifidobacteria dan
Lactobacill. Dibandingkan dengan bayi yang dirawat Rumah Sakit,
saluran cerna pada bayi yang prematur memiliki spesies bakteri yang
sedikit, dan bakteri anaerob yang lebih sedikit atau mungkin sama sekali
tidak ada.
7
Gambar 2.4.1 Hypothetical events in the pathophysiology of neonatal
necrotizing enterocolitis7
2.5 Diagnosis
8
Kriteria Bell’s menurut Gomella:
9
Tabel 2.6.1. Kriteria Bell5
+ Nyeri tekan
+ Benjolan kuadran
kanan bawah
+ Asidosis metabolik
+ DIC
+ Neutropenia
Dikutip dari: Lavene MI, Tudehope DI, Sinha S.Essensial Neonatal Medicine.Ed 4
10
Pemeriksaan Laboratorium12
b. Kultur
c. Elektrolit
e. Sistem koagulasi
f. C-Reaktif protein
Mungkin tidak meningkat atau pada kasus EKN yang lanjut karena
bayi tidak bisa menghasilkan respon inflamasi yang efektif.
g. Biomarker
11
Dilakukan untuk mendiagnosis dan memprediksi penyebab EKN
seperti gas hydrogen, mediator inflamasi didalam darah, urin atau
feses dan genetic marker, tetapi semua kerugian membatasi
kegunaannya. Penelitian lebih lanjut tentang genomic dan
proteomic marker terus diteliti.
12
sesuai dengan percabangan vena porta di daerah hepar. Gambaran
tersebut bisa juga muncul pada post kateterisasi vena umbilikalis7,8.
13
Gambar 2.6.2. Pneumoperitonium9
2.7 Tatalaksana
A. Tatalaksana Medis
Pengelolaan Dasar
14
mungkin dibutuhkan untuk menjaga tekanan darah dalam batas
normal
7. Lakukan monitoring ketat terhadap intake dan output cairan.
Usahakan untuk mempertahankan produksi urin 1-3 mL/KgBB/jam.
Hentikan pemberian kalium pada infus jika pasien dalam keadaan
hiperkalemia atau anuria.
8. Lepas pemasangan kateterisasi pada arteri dan vena umbilikal dan
ganti dengan kateterisasi arteri dan vena perifer, tergantung pada
keparahan penyakit.
9. Lakukan monitoring hasil pemeriksaan laboratorium, Periksa hitung
sel darah lengkap dan elektrolit tiap 12-24 jam hingga stabil. Lakukan
kultur darah dan urin sebelum memulai pemberian antibiotik.
10. Berikan antibiotik. Berikan antibiotik parenteral selama 10 hari. Mulai
dengan pemberian Ampicillin dan Gentamicin (atau Ceftriaxone).
Pertimbangkan pemberian Vancomycin (sebagai pengganti
Ampicillin) pada keadaan penyakit sentral atau curiga infeksi
stafilokokus. Tambahkan Metronidazole atau Clindamycin untuk
meng-cover kuman anaerob, jika curiga terjadi peritonitis atau
perforasi usus. Penelitian terbaru tidak menganjurkan ataupun
menolak penggunaan laktoferin sebagai adjuvant terapi antibiotik.
11. Lakukan monitoring adanya DIC. Bayi pada EKN stadium II dan III
dapat mengalami DIC dan membutuhkan fresh-frozen plasma dan
cryoprecipitate. Transfusi PRC dan trombosit mungkin juga
dibutuhkan.
12. Pemeriksaan radiografik. Abdominal flat plate dengan posisi lateral
dekubitus pada pemeriksaan cross-table lateral tiap 6-8 jam pada
stadium akut untuk medeteksi perforasi usus.
13. Konsul bedah pada EKN ( stadium II dan III)9
15
- Stadium IIA dan IIB
Puasa selama 2 minggu.
Pemberian minum dapat dimulai setelah 7-10 hari puasa jika pada
pemeriksaan radiologi tidak tampak pneumatosis. Nutrisi parenteral 90-
110 kal/kgBB/hari.
Pemberian oksigen.
Pemberian antibotik spektrum luas selama7-10 hari.
Natrium bikarbonat 2 meq/kgBB jika terjadi asidosis metabolik.
Dopamin dengan dosis rendah untuk memperbaiki sirkulasi darah
usus.
B. Tatalaksana Bedah
C. Pencegahan
Strategi yang berbeda telah disarankan untuk mencegah EKN. Hal ini
termasuk penggunaan antibiotik enteral, penggunaan cairan parenteral secara
bijak, pemberian IgG dan IgM enteral, pemberian kortikosteroid antenatal,
penundaan atau melambatkan pemberian makanan pendamping ASI, pemberian
ASI dan penggunaan probiotik9.
2.8 Prognosis
16
Manajemen medis gagal pada sekitar 20-40% pasien dengan
pneumatosis intestinal saat didiagnosis, 10-30%nya meninggal dunia. Komplikasi
awal post operatif antara lain infeksi luka, dehiscence dan masalah stoma
(prolaps, nekrosis). Komplikasi lanjut antara lain striktur intestinal yang dapat
muncul pada lokasi lesi yang mengalami nekrosis pada sekitar 10% pasien yang
di tatalaksana secara bedah maupun medis. Reseksi dari striktur yang
mengalami obstruksi merupakan tindakan kuratif. Setelah reseksi intestinal yang
masif, komplikasi EKN post operatif antara lain short-bowel syndrome
(malabsorbsi, gagal tumbuh, malnutrisi), komplikasi yang berhubungan dengan
kateter vena sentral (sepsis, trombosis), dan cholestatic jaundice. Bayi prematur
dengan EKN yang membutuhkan intervensi bedah atau yang mengalami
bakteremia berada dalam resiko yang tinggi dalam pertumbuhan dan outcome
neuro developmental3.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17
3.2 Saran
1. Perlu penanganan yang efektif pada bayi yang menderita EKN karena
prognosis berhubungan dengan pengobatan.
2. Perlu penelitian yang lebih lanjut mengenai EKN agar diagnosis dan
penatalaksaan bayi dengan EKN dapat dilakukan dengan tepat dan cepat.
DAFTAR PUSTAKA
18
9. SpringerSC.NecrotizingEnterocolitis.Diunduhdari
http://www.emedicine.medscape.com/artikel/977956. Diakses tanggal 12
Juli 2010
10.Gambar diunduh dari http://www.pediatrie.be/NECROT_
%20ENTEROCOL.htm. Diakses tanggal 12 Juli 2010
11.Kogurt MS.Early rontgen patterns as a guide to prompt
diagnosis.Radiology.1979;h:367-370
12.Gomella TL, Cunningham MD & Eyal FG.Neonatology.Ed
6.Philadelphia:McgrawHill.2010;h:590-594
13. Sukadi A.Pedoman Terapi Penyakit Pada Bayi Baru
Lahir.Bandung:Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FKUP/RSHS.2002;h:23-26
14.Newell SJ.Gastrointestinal Disorders. Dalam: Rennie JM,Roberton NRC.
Textbook of Neonatology. Edisi 3. Philadelphia: Crurchill
Livingstone.1999;h:747-755
15.Lissauer T, Clayden G. Illustrated Textbook of Paediatrics.Ed 3.Mosby
Elsevier.2008;h:154-155
19