You are on page 1of 10

Pendahuluan

Moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang
membedakan manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan
buruk, yang boleh dan yang dilarang, yang harus dan yang tidak pantas dilakukan baik
keharusan alamiah maupun keharusan moral. Keharusan alamiah terjadi dengan
sendirinya sesuai hukum alam. Sedangkan, keharusan moral bahwa hukum yang
mewajibkan manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Saat ini, banyak suara-suara miring yang diperdengarkan oleh para ahli dan
masyarakat pada umumnya tentang persoalan moralitas anak bangsa yang diduga telah
berjalan dan mengalir ke luar dari garis-garis humanitas yang sejati. Banyak kalangan
yang mengkhawatirkan telah adanya dekadensi moral berkepanjangan yang akan
berakibat penurunan harkat dan martabat kemanusiaan. Kualitas kemanusiaan selalu
berkenaan dengan nilai-nilai moralitas yang teraplikasi dalam kehidupan nyata, baik
dalam kehidupan individual dan sosial, maupun dalam bentuk hubungan dengan alam dan
Penciptanya. Atas dasar tesis ini pula, wajar jika persoalan moral merupakan persoalan
yang tidak akan pernah gersang untuk ditelaah.

Dalam kondisi seperti di atas maka diperlukan pemahaman dan kerjasama semua
pihak untuk memikirkan moralitas generasi muda dengan merujuk pada filsafat moral.
Pertanyaan pertama yang muncul ketika membicarakan filsafat moral adalah bagaimana
seseorang harus hidup dengan baik saat ini maupun di masa mendatang. Pertanyaan dasar
ini berkembang menjadi pertanyaan yang lebih spesifik, misalnya apakah yang disebut
“baik” atau “tidak baik”, bagaimana cara mengetahui dan membedakan antar keduanya?

Pertanyaan tersebut akan semakin meluas menjadi mengapa seseorang harus


berperilaku moral. Jika motivasi berperilaku moral dipengaruhi oleh unsur-unsur
psikologis manusia, maka unsur psikologis apa saja yang mempengaruhinya? Pada
akhirnya pertanyaan dasar tersebut akan berujung pada bagaimana cara menentukan suatu
perilaku moral bila dihadapkan pada berbagai pilihan, prosedur apa yang harus dilalui
dalam pengambilan keputusan moral.

Manusia, Nilai, Norma dan Moral


Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Dewasa ini masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan
nilai, moral, dan hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan
negatif lainnya sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan
adanya panutan, nilai, bimbingan, dan moral dalam diri manusia akan sangat menentukan
kepribadian individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan.
Pendidikan nilai yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma
kebenaran menjadi sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia yang utuh dalam
konteks sosial.

Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat
dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat
kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung
terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproduksi langsung dari nilai-
nilai moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-
hal yang juga perlu diperhatikan dalam pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah
penanaman nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek

Nilai itu penting bagi manusia. Apakah nilai itu dipandang dapat mendorong
manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia
karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang
sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan
harus diaplikasikan dalam perbuatan. Menilai dapat diartikan menimbang yakni suatu
kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu lainnya yang kemudian
dilanjutkan dengan memberikan keputusan. Keputusan itu menyatakan apakah sesuatu itu
bernilai positif (berguna, baik, indah) atau sebaliknya bernilai negatif. Hal ini
dihubungkan dengan unsur-unsur yang ada pada diri manusia yaitu jasmani, cipta, rasa,
karsa, dan kepercayaan.

Nilai memiliki polaritas dan hirarki, antara lain:


a. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai polaritas
seperti baik dan buruk; keindahan dan kejelekan.
b. Nilai tersusun secara hierarkis yaitu hierarki urutan pentingnya.
Nilai (value) biasanya digunakan untuk menunjuk kata benda abstrak yang dapat
diartikan sebagai keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness).

Notonagoro membagi hierarki nilai pokok yaitu:


a. Nilai material yaitu sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia.
b. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan
kegiatan atau aktivitas.
c. Nilai kerohanian yaitu sesuatu yang berguna bagi rohani manusia.

Nilai kerohanian terbagi menjadi empat macam :


a. Nilai kebenaran yang bersumber pada unsur akal atau rasio manusia
b. Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan estetis manusia
c. Nilai kebaikan moral yang bersumber pada kehendak atau karsa manusia
d. Nilai religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai
penghayatan melalui akal budi dan nuraninya

Hal-hal yang mempunyai nilai tidak hanya sesuatu yang berwujud (benda material) saja,
bahkan sesuatu yang immaterial seringkali menjadi nilai yang sangat tinggi dan mutlak
bagi manusia seperti nilai religius. Nilai juga berkaitan dengan cita-cita, keinginan,
harapan, dan segala sesuatu pertimbangan internal (batiniah) manusia. Dengan demikian
nilai itu tidak konkret dan pada dasarnya bersifat subyektif. Nilai yang abstrak dan
subyektif ini perlu lebih dikonkretkan serta dibentuk menjadi lebih objektif. Wujud yang
lebih konkret dan objektif dari nilai adalah norma/kaedah. Norma berasal dari bahasa
latin yakni norma, yang berarti penyikut atau siku-siku, suatu alat perkakas yang
digunakan oleh tukang kayu. Dari sinilah kita dapat mengartikan norma sebagai
pedoman, ukuran, aturan atau kebiasaan. Jadi norma ialah sesuatu yang dipakai untuk
mengatur sesuatu yang lain atau sebuah ukuran. Dengan norma ini orang dapat menilai
kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Ada beberapa macam norma/kaedah dalam
masyarakat, yaitu:
a. Norma kepercayaan atau keagamaan
b. Norma kesusilaan
c. Norma sopan santun/adab
d. Norma hokum

Dari norma-norma yang ada, norma hukum adalah norma yang paling kuat karena
dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh penguasa (kekuasaan eksternal). Nilai dan norma
senantiasa berkaitan dengan moral. Norma moralitas adalah aturan, standar, ukuran yang
dapat digunakan untuk mengukur kebaikan atau keburukan suatu perbuatan. Istilah moral
mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang
amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Moralitas seseorang tercermin dalam
sikap dan perilakunya.

Moral berasal dari kata bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores
ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals
(Poespoprodjo,1986: 2). Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau
kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang
menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kaelan (2001: 180), mengatakan
moral adalah suatu ajaran wejangan-wejangan, patokan-patokan, kumpulan peraturan
baik lisan maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar
menjadi manusia yang baik. Sedangkan Kohlberg (Reimer,1995: 17), Moralitas bukanlah
suatu koleksi dari aturan-aturan, norma-norma atau kelakuan-kelakuan tertentu tetapi
merupakan perspektif atau cara pandang tertentu.

Dengan demikian, dari ketiga pendapat tersebut dapat disimpulkan moral adalah
ajaran atau pedoman yang dijadikan landasan untuk bertingkah laku dalam kehidupan
agar menjadi manusia yang baik atau beraklak.

Moral (Bahasa Latin Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau
orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak
memiliki moral disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif
di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh
manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral
dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai
moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang
diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati
oleh sesamanya. Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara
utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral
adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia.
apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat
tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang
itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya.Moral adalah produk dari
budaya dan Agama.

Moral juga dapat diartikan sebagai sikap,perilaku,tindakan,kelakuan yang dilakukan


seseorang pada saat mencoba melakukan sesuatu berdasarkan pengalaman,tafsiran,suara
hati,serta nasihat,dll. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku
manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral dan etika pada hakekatnya
merupakan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menurut keyakinan seseorang atau
masyarakat dapat diterima dan dilaksanakan secara benar dan layak. Dengan demikian
prinsip dan nilai-nilai tersebut berkaitan dengan sikap yang benar dan yang salah yang
mereka yakini. Etika sendiri sebagai bagian dari falsafah merupakan sistim dari prinsip-
prinsip moral termasuk aturan-aturan untuk melaksanakannya.

Manusia dan Hukum


Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak
mungkin menggambarkan hidup manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia,
masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan
antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat
menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang
melaksanakannya.

Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law)
dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.

Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu
hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana
ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu
bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan
yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari
masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.

Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur


tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social
order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial
masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri
dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).

Hubungan Hukum dan Moral


Antara hukum dan moral terdapat hubungan yang erat sekali. Ada pepatah roma yang
mengatakan “quid leges sine moribus?” (apa artinya undang-undang jika tidak disertai
moralitas?). Dengan demikian hukum tidak akan berarti tanpa disertai moralitas. Oleh
karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral, perundang-undangan
yang immoral harus diganti. Disisi lain moral juga membutuhkan hukum, sebab moral
tanpa hukum hanya angan-angan saja kalau tidak di undangkan atau di lembagakan
dalam masyarakat.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap
berbeda, sebab dalam kenyataannya ‘mungkin’ ada hukum yang bertentangan dengan
moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan
antara hukum dan moral. Untuk itu dalam konteks ketatanegaraan indonesia dewasa ini.
Apalagi dalam konteks membutuhkan hukum.
Kualitas hukum terletak pada bobot moral yang menjiwainya. Tanpa moralitas hukum
tampak kosong dan hampa (Dahlan Thaib,h.6). Namun demikian perbedaan antara
hukum dan moral sangat jelas.
Perbedaan antara hukum dan moral menurut K.Berten :
1. Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dibukukan secara sistematis
dalam kitab perundang-undangan. Oleh karena itu norma hukum lebih memiliki
kepastian dan objektif dibanding dengan norma moral. Sedangkan norma moral lebih
subjektif dan akibatnya lebih banyak ‘diganggu’ oleh diskusi yang yang mencari
kejelasan tentang yang harus dianggap utis dan tidak etis.
2. Meski moral dan hukum mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi
diri sebatas lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang.
3. Sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan
moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan,pelanggar akan terkena
hukuman. Tapi norma etis tidak bisa dipaksakan, sebab paksaan hanya menyentuh bagian
luar, sedangkan perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dibidang
moralitas hanya hati yang tidak tenang.
4. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara.
Meskipun hukum tidak langsung berasal dari negara seperti hukum adat, namun hukum
itu harus di akui oleh negara supaya berlaku sebagai hukum.moralitas berdasarkan atas
norma-norma moral yang melebihi pada individu dan masyarakat. Dengan cara
demokratis atau dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tapi masyarakat
tidak dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Moral menilai hukum dan
tidak sebaliknya.

Sedangkan Gunawan Setiardja membedakan hukum dan moral :


1. Dilihat dari dasarnya, hukum memiliki dasar yuridis, konsesus dan hukum alam
sedangkan moral berdasarkan hukum alam.
2. Dilihat dari otonominya hukum bersifat heteronom (datang dari luar diri manusia),
sedangkan moral bersifat otonom (datang dari diri sendiri).
3. Dilihat dari pelaksanaanya hukum secara lahiriah dapat dipaksakan,
4. Dilihat dari sanksinya hukum bersifat yuridis. moral berbentuk sanksi kodrati,
batiniah, menyesal, malu terhadap diri sendiri.
5. Dilihat dari tujuannya, hukum mengatur kehidupan manusia dalam kehidupan
bernegara, sedangkan moral mengatur kehidupan manusia sebagai manusia.
6. Dilihat dari waktu dan tempat, hukum tergantung pada waktu dan tempat, sedangkan
moral secara objektif tidak tergantung pada tempat dan waktu (1990,119).
FENOMENA TINDAKAN ”ASUSILA” DAN ”POLIGAMI” DALAM
PERSPEKTIF TEORI NILAI DAN FILSAFAT ( Bagian dari ”
Bagaimana Menyikapi Ajaran / faham yang bertentangan
dengan nilai agama dan pancasila )

“Siapa yang menanam padi maka pasti akan menuai hasil” demikian kiranya bunyi dari
sebuah kata-kata mutiara yang mengandung arti yang sangat mendalam bagi kehidupan
manusia, khususnya masyarakat Indonesia yang saat ini tengah dilanda kegaulauan akibat
berbagai permasalahan hidup yang kompleks dan multidimensional. Adapun
permasalahan bangsa tersebut umumnya berskala nasional mulai dari persoalan politik,
ekonomi, sosial budaya dan hankam. Semua permasalahan yang berlangsung terus hingga
saat ini tersebut kiranya semakin bertambah kompleks ketika dalam waktu yang terbilang
singkat, telah muncul pula permasalahan baru yang begitu fenomenal serta meramaikan
kancah pemberitaan di Tanah Air, yakni terkuaknya kasus video mesum yang dilakukan
oleh seorang anggota DPR-RI yang terhormat dengan seorang biduanita yang cantik yang
direkam melalui kamera ponsel di sebuah hotel di Jakarta. Konon disamping statusnya
sebagai artis dan penyanyi, wanita yang berinisial ME tersebut juga terdaftar pula sebagai
salah satu aktivitas Partai Golkar yang merupakan partai politik terbesar di Indonesia.
Hanya berselang beberapa hari kemudian, merebak pula permasalahan baru yang
mewarnai media massa nasional serta menjadi headline pada setiap harian yang terbit
yakni terkait dengan pernikahan kedua Aa Gym atau Abdullah Gymnastiar selaku Da’i
Kondang di Tanah Air saat ini dengan seorang janda beranak dua. Aksi poligami yang
dilakukan oleh Aa Gym ini menurut banyak kalangan telah memicu kontroversial karena
alasan Aa Gym untuk berpoligami dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai syariah Islam
yang selama ini dipegang teguh Aa Gym.

Patut diakui di sini bahwa apabila kita ingin memetakan seluruh persoalan yang dihadapi
oleh bangsa ini tentu suatu hal yang mustahil karena tak terbilang jumlahnya. Walau
demikian, minimal kita harus mampu meminimalisir persoalan bangsa tersebut sesuai
skala prioritas sehingga setahap demi setahap persoalan bangsa tersebut dapat
terselesaikan dengan baik dan benar sesuai dengan tuntutan reformasi dan nilai-nilai
kejuangan bangsa yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Berangkat dari latar belakang tersebut, maka dua gejala di atas dapat dianalisis dari
perspektif nilai dengan perumusan masalah sebagai berikut : (1) Bagaimana pandangan
perspektif teori nilai terhadap perilaku mesum dan porno kedua insan dan penyiaran
berita perilaku serupa? (2) Bagaimana tindakan poligami dilihat dari teori nilai yang
hedonistic dan teori teonom? (3) Sejauhmana analisa gejala tersebut berdasarkan nilai-
nilai yang terkandung dalam filsafat Pancasila yang bertumpu pada sila pertama
Ketuhanan Yang Maha Esa?

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini tidak lain adalah untuk mengambil
hikmah dari kedua kejadian tersebut dan melakukan skala prioritas dalam melakukan
suatu tindakan dengan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi. Disamping itu, tulisan singkat ini juga diharapkan dapat menjadi
sumbang pikiran.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut di atas, hendaknya kita mengenal dulu tentang
teori nilai itu sendiri. Menurut Lorens Bagus dalam kamus filsafat memberikan
pengertian tentang nilai sebagai berikut: Nilai adalah Harkat. Kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna atau dapat menjadi obyek
kepentingan. Nilai adalah Keistimewaan. Apa yangdihargai, dinilai tinggi, atau dihargai
sebagai suatu kebaikan. (Lawan dari suatu “nilai positif”adalah “nilai negatif” atau tidak
bernilai. “Baik” akan menjadi suatu nilai dan lawannya “jelek”, “buruk” menjadi suatu
“ni;ai negative” atau “tidak bernilai” – disvalue). Nilai dalam Ilmu Ekonomi. Berkaitan
dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material. (Hanjar Seskoad tentang Teori
Nilai dan Filsafat).

Berdasarkan teori nilai di atas, maka dapatlah disampaikan tentang pandangan perspektif
teori nilai terhadap perilaku mesum dan porno kedua insan dan penyiaran berita perilaku
serupa merupakan suatu nilai negatif dari nilai sebagai keistimewaan. Perilaku mesum
kedua insan tersebut merupakan non nilai karena merupakan penyimpangan dari tatanan
dan akhirnya mengarah pada kesalahan moral. Tentu saja kondisi ini merugikan kedua
insan tersebut, karena bagaimanapun juga kondisi tersebut sangat berpengaruh sekali
terhadap karir keduanya, apalagi hal tesebut dilakukan oleh seorang anggota DPR RI dan
publik figur yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat luas. Hal ini juga tidak
terlepas dari pengaruh nilai-nilai baru khususnya di bidang budaya yang berasal dari barat
yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan agam yang terdapat di
Indonesia. Bila dianalisa lebih lanjut, maka perilaku kedua insan ini mengandung nilai
kesenangan yangtergantung pada nilai pribadi sejauh nilai kesenangan dan kebahagiaan
di sini jelas sangat bertentangan sekali dengan nilai-nilai agama maupun norma-norma
yang berlaku di lingkungan masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai
luhur budaya bangsa.

Adapun penyiaran dari perilaku serupa sebagaimana yang ditayangkan di mass media
cetak maupun elektronik pada dasarnya merupakan bagian dari pengawasan masyarakat
terhadap perilaku para pimpinan dan publik figur bangsa Indonesia. Sehingga mereka
sebetulnya dituntut untuk lebih hati-hati dan tidak bertindak gegabah dalam melakukan
suatu aktivitas dalam mengurus negara ini. Dengan demikian, tindakan kedua orang
tersebut merupakan suatu aib bagi keduanya dan hendaknya tidak terlalu diekspos
sedemikian rupa. Kalaupun memang harus diberitakan, maka hendaknya berita itu
proporsional dan video porno mereka tidak usah ditayangkan di media massa karena akan
berdampak negatif terhadap masyarakat luas.

Hedonistic menurut kamus merupakan faham yang dianut oleh orang-orang yang semata-
mata mencari kesenangan semata (Kamus Inggris-Indoensia, John M.Echols&Hassan
Shadily,Gramedia, 2003). Jadi apabila tindakan poligami dilihat dari teori nilai yang
hedonistic, maka tentu saja tindakan poligami tersebut sangat bertentangan sekali dengan
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia. Karena orang yang melakukan poligami atas dasar
teori nilai hedonistic, maka orang tersebut semata-mata melampiaskan hawa nafsunya
untuk kesenangan pribadinya saja tanpa memikirkan tenggang rasa orang lain terhadap
perilakunya. Yang ada di pikirannya adalah yang penting saya senang dan tidak merasa
terganggu dengan perasaan dan pandangan orang lain yang bertentangan dengan
keinginannya. Apalagi yang terjadi dengan kasus selingkuh antara anggota DPR RI
dengan biduanita cantik, itu merupakan suatu hal yang dilakukan atas dasar suka saling
suka tanpa ikatan pernikahan, dan mereka berusaha mencapai kesenangan dan
kenikmatan diantara mereka berdua dengan melupakan nilai-nilai agama dan norma-
norma yang berlaku.

Gejala yang terjadi tentang dua kasus yang hampir bersamaan diekspos oleh media
massa, maka dapatlah dikatakan bahwa dalam dua kasus tersebut apabila dipandang dari
sudut nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat Pancasila yang bertumpu pada sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka dihadapkan pada kasus beredarnya tayangan
video perilaku mesum oleh seorang anggota DPR RI yang terhormat dengan seorang
biduanita yang cantik, tentu saja kondisi ini merupakan perilaku kedua insan yang terlena
dengan kenikmatan sesaat yang pada akhirnya membawa bencana bagi dirinya, bagi
keluarganya, bagi kaum kerabatnya, dan berpengaruh juga terhadap kondisi masyarakat
Indonesia yang saat ini sedang diuji dengan berbagai bentuk musibah dan permasalahan
bangsa lainnya. Perilaku mereka berdua merupakan suatu kekhilafan yang harus segera
ditaubati sesuai dengan ajaran agama mereka. Karena bagaimanapun juga. Orang yang
mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dengan kata lain mengakui adanya Tuhan,
maka tidak boleh tidak dan merupakan suatu kewajiban baginya untuk taat dan patuh
terhadap aturan Tuhan sesuai dengan agama yang dianutnya.

Sedangkan untuk kasus yang kedua, yaitu tentang seorang pendakwah kondang yang
melakukan pernikahan yang kedua atau yang dikenal dengan poligami dengan seorang
janda jelita yang telah beranak, maka pada dasarnya apabila dilihat dari sudut pandang
nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat Pancasila yang bertumpu pada sila Ketuhanan
Yang Maha Esa, maka sedikitpun tidak ada pertentangan di dalamnya. Karena yang
dilakukan oleh pendakwah kondang tersebut sesuai dengan prosedur dan aturan agama
yang dianutnya. Yaitu sebelum melaksanakan pernikahan yang kedua, dia telah meminta
izin dulu kepada istri pertamanya dan telah melalui pertimbangan yang matang serta ada
usaha dari dirinya bahwa poligami dibolehkan oleh agamanya dan dia ada keinginan
untuk menunjukan kepada masyarakat luas tentang bagaimana poligami yang dianjurkan
oleh agamanya. Sebenarnya, sebagaimana pandangan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, bahwa urusan poligami yang dilakukan oleh pendakwah kondang tersebut
atau siapapun adalah urusan intern keluarga yang merupakan hak verogatif seseorang,
asalkan poligami tersebut sesuai dengan aturan dan kaidah yang berlaku.

Dihadapkan pada keragaman nilai yang dianut masyarakat saat ini, maka kita hendaknya
memperhatikan tentang nilai itu sendiri. Karena nilai menyangkut sikap, sering orang
tidak sepakat mengenai nilai dan ada pula yang menyatakan bahwa masalah nilai
merupakan masalah pengutamaan dan masalah selera orang tidak perlu
mempertentangkannya. Tetapi, ada pula yang menyatakan bahwa mengenai banyak nilai
orang dapat memperoleh kesepakatan dan perasaan serta keinginan senantiasa
berhubungan erat dengan tanggapan-tanggapan penilaian. Jika saya mengatakan ini baik,
maka yang tersangkut ialah sikap setuju. Demikian pula, jika saya mengatakan ini jelek,
maka di dalamnya terdapat sikap penolakan saya. Jadi terhadap tanggapan-tanggapan
penilaian tentang suatu tindakan, akan dijumpai semacam keadaa, perangkat, sikap atau
kecenderungan untuk setuju atau menentang.

Keragaman sikap dan komentar masyarakat terhadap dua gejala tersebut menunjukkan
keragaman nilai yang dianut masyarakat yang memerlukan penilaian obyektif. Karena
apabila menggunakan subyektivitas nilai, maka terdapat pandangan bahwa nilai-nilai
seperti kebaikan, kebenaran, keindahan, tidak ada dalam dunia yang riil obyektif, tetapi
merupakan perasaan-perasaan. Oleh karena itu, dalam menghadapi keragaman sikap dan
komentar masyarakat terhadap dua gejala tersebut, hendaknya kita menyikapi hal tersebut
dengan lebih bijak dan arif, karena masih banyak permasalahan bangsa yang harus
diprioritaskan oleh kita untuk secepatnya diselesaikan.

Adapun permasalahan perilaku mesum oleh anggota DPR RI merupakan contoh perilaku
pemimpin bangsa yang tidak patut ditiru, karena hal tersebut sangat berpengaruh sekali
terhadap tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah khususnya DPR RI. Hal
ini juga bisa menurunkan kewibaaan pemerintah di mata rakyat, karena perilaku mesum
ini bukan dilakukan oleh orang biasa, melainkan oleh seorang pejabat yang berstatus
anggota DPR RI. Dengan demikian, sikap yang dapat diambil oleh pemimpin bangsa
lainnya adalah berusaha dengan segenap kemampuan yang ada untuk senantiasa menjaga
dan memelihara kewibawaan pemerintah di mata rakyatnya agar tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah terus meningkat sehingga hal ini akan memberikan
kemudahan bagi pemerintah dalam menjalankan program-programnya.

Sedangkan dihadapkan pada permasalahan poligami, maka hal tersebut dikembalikan


kembali pada orang yang akan melaksanakannya dan keluarganya serta agama yang
dianutnya. Di samping itu pula, sebagai warga negara yang baik hendaknya mematuhi
aturan-aturan pemerintah yang berkenaan dengan masalah poligami tersebut.

Dari uraian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa : (1) Sebagai akibat dari dampak
globalisasi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka setidaknya hal ini
berpngaruh terhadap pergeseran tata nilai dan norma-norma kehidupan dari nilai-nilai
luhur Pancasila saat ini, sehingga diperlukan upaya-upaya untuk mengimplementasikan
kembali nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menangkal dampak negatif dari arus
globalisasi tersebut. Karena bagaimanapun juga dua kasus tersebut di atas tidak terlepas
dari dampak pengaruh globalisasi yang mengandung nilai positif dan nilai negatif. (2)
Sebagai pemimpin bangsa atau publik figur yang sering memperoleh sorotan masyarakat,
memiliki suatu kewajiban dan suri tauladan bagi masyarakat banyak agar perilakunya
tersebut sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa. (3) Keragaman sikap dan
komentar masyarakat terhadap dua gejala tersebut menunjukkan keragaman nilai yang
dianut masyarakat yang memerlukan penilaian obyektif secara bijak dan arif.

Sumber ; www.google.com
Kesimpulan :
Dalam era globalisasi filsafat moral keberadaannya sangat penting, sebab filsafat moral
dapat mengimpirasi dan mendorong manusia untuk berpikir dan menerapkan kebaikan
atau berperilaku bermoral dalam kehidupannya. Untuk menciptakan generasi muda
bermoral yang berani mengambil keputusan dengan pertimbangan moral khususnya
pelajar. Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan
saling menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan
melaksanakan dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan
dan harmoni kehidupan.

Saran- Saran
Untuk meningkatkan moralitas generasi muda disarankan seluruh komponen, yaitu
keluarga, pemerintah, dan masyarakat secara bersama sama untuk memberikan keteladan,
pengawasan, pengarahan yang dilakukan secara sinegis dan sistemik.

Penegakan hukum harus memperhatikan keselarasan antara keadilan dan kepastian


hukum. Karena, tujuan hukum antara lain adalah untuk menjamin terciptanya keadilan
(justice), kepastian hukum (certainty of law), dan kesebandingan hukum (equality before
the law). Penegakan hukum-pun harus dilakukan dalam proporsi yang baik dengan
penegakan hak asasi manusia. Dalam arti, jangan lagi ada penegakan hukum yang
bersifat diskriminatif, menyuguhkan kekerasan dan tidak sensitif jender.

You might also like