You are on page 1of 7

Dengan banyaknya kasus TKI seperti gaji tidak dibayar, tidak tahan bekerja dengan majikan, masalah kekerasan

fisik, pelecehan seksual, masalah Imigrasi, tindak kriminal, tuntutan asuransi dan lain sebagainya yang sampai
saat ini belum dapat diselesaikan, KBRI Bandar Seri Begawan telah mengadakan konferensi press tanggal 5
Agustus 2010 yang dihadiri oleh wartawan dari “Borneo Bulletin” dan “Brunei Times” dengan tujuan untuk
menghimbau kerjasama pihak pengguna TKI untuk segera menyelesaikan kasus pekerjanya, terutama mereka
yang ditampung di penampungan sementara KBRI Bandar Seri Begawan lebih dari 1 tahun.
 
Dalam kesempatan tersebut disampaikan bahwa dalam berbagai kesempatan pertemuan dengan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, Sultan Haji Hassanal Bolkiah menyampaikan penghargaan kepada para Tenaga Kerja
Indonesia yang telah turut serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan Brunei Darussalam. Sebaliknya
Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan penghargaan dan ucapan terima
kasih yang setinggi-tingginya karena Pemerintah Brunei Darussalam telah memberikan peluang dan kesempatan
kepada Tenaga Kerja Indonesia untuk mencari nafkah di Brunei Darussalam.
 
Selain itu, Pemerintah Indonesia menyambut baik upaya Pemerintah Brunei Darussalam yang juga telah
memberlakukan peraturan ketenagakerjaan baru berupa Employment Order sejak 5 September 2009. Pihak
Jabatan Buruh, Kepolisian maupun Imigrasi juga kooperatif dalam penyelesaian kasus TKI. Namun demikian, masih
terdapat banyak kasus yang dilaporkan baik ke KBRI maupun langsung ke Jabatan Buruh. Sebagai ilustrasi, pada
tahun 2009 terdapat pengaduan sebanyak 665 kasus. Dari jumlah tersebut sebanyak 644 kasus tenaga kerja telah
diselesaikan dengan baik yaitu sebanyak 461 dipulangkan dan 183 bekerja kembali baik kepada majikan lama
maupun ditransfer kepada majikan baru. Sedangkan pada tahun yang sama, Kedutaan Besar Republik Indonesia
telah menampung sebanyak 497 orang Warga Negara Indonesia yang mengalami masalah.
 
Pada tahun 2010 per Januari-Juli 2010, KBRI telah menerima sebanyak 387 pengaduan. Dari jumlah tersebut
sebanyak 321 kasus telah diselesaikan dan sebanyak 66 kasus masih dalam proses penyelesaian. Dalam periode
yang sama sebanyak 413 TKI ditampung (termasuk TKI yang ditampung yang melapor pada tahun sebelumnya
tetapi kasusnya belum selesai) sedangkan pada akhir Juli 2010 masih terdapat sebanyak 56 orang TKI tinggal di
penampungan.
 
Beberapa upaya telah dilakukan KBRI dalam mempercepat proses penanganan kasus TKI di Brunei Darussalam
adalah antara lain dengan:
 
- Melakukan pendekatan dengan pejabat setempat seperti pertemuan Duta Besar RI dengan Menteri Dalam Negeri
Brunei Darussalam, pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri Brunei Darussalam yang baru terpilih, pertemuan
dengan Kepala Polisi Brunei, pertemuan dengan Jaksa Agung (Attorney General), pertemuan dengan Ketua Hakim
Agung Brunei (Chief Justice), pertemuan dengan Permanent Secretary pada Kantor Perdana Menteri dan
pertemuan dengan Pegawai Daerah.
 
- Menyampaikan surat kepada Jabatan Buruh yang mengharapkan kiranya sebelum kontrak kerja dilakukan
sebaiknya draft kontrak dapat disahkan terlebih dahulu oleh KBRI untuk memberikan pemahaman mengenai
kontrak kepada calon TKI maupun majikan sekaligus menghindari terjadinya perselisihan selama kontrak berjalan,
namun sampai saat ini masih menunggu tanggapan dari Jabatan Buruh.
 
- Mengupayakan tanggapan Pemerintah Brunei Darussalam terhadap counter draft Mandatory Consular Notification
(MCN) yang diajukan Pemerintah Republik Indonesia pada bulan Januari 2009 dan draft MoU on the Protection of
Indonesian Domestic Workers yang telah diserahkan langsung oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia kepada Menteri Dalam Negeri Brunei Darussalam dalam kesempatan The 2nd ASEM Labour and
Employment Minister yang berlangsung tanggal 13-15 Oktober 2008 di Denpasar Bali.
 
- Menandatangani kerjasama dengan Kantor Pengacara Sandhu & Company pada tanggal 11 Mei 2010 guna
mendapatkan bantuan hukum (Legal Aid) kepada KBRI berkenaan dengan penyelesaian masalah yang dihadapi
WNI maupun TKI.
 
Dengan adanya upaya-upaya tersebut di atas, diharapkan penanganan penyelesaian permasalahan TKI pada
khususnya dan WNI pada umumnya di Brunei Darussalam dapat segera diselesaikan.(Sumber : KBRI Bandar Seri
Begawan)
 
Tenaga Kerja Indonesia di Brunei Darussalam dikenal cukup dominan dibandingkan dengan tenaga kerja asing
lainnya di Brunei Darussalam. Berdasarkan catatan lapor diri di KBRI Bandar Seri Begawan sampai dengan
tanggal 21 April 2010, jumlah Warga Negara Indonesia di Brunei Darussalam adalah sebanyak 44,504 orang.
Apabila dirinci secara umum, jumlah tersebut terdiri dari 887 orang tenaga professional; 15.496 bidang formal
(konstruksi, perminyakan, industri, sopir perusahaan); 24,982 bidang informal (domestic worker, amah, driver),
1,856 sektor jasa (restauran, hotel, cleaner) dan 1,281 lain-lain.
KBRI Bandar Seri Begawan sebagai wakil pemerintah RI di luar negeri mempunyai tanggung jawab terhadap
semua permasalahan Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri. Penanganan dan perlindungan WNI
dikoordinasikan dibawah Direktorat Perlindungan WNI dan BHI Kemlu RI. Selain itu, KBRI Bandar Seri
Begawan telah ditunjuk sebagai pilot project untuk pelayanan warga (Citizen Services) dan aktif melakukan
perlindungan dan penanganan kasus TKI.
Berdasarkan catatan KBRI Bandar Seri Begawan, pada tahun 2009 terdapat sebanyak  603 kasus tenaga kerja
yang telah diselesaikan yaitu sebanyak 423 dipulangkan dan 180 bekerja kembali baik kepada majikan lama
maupun ditransfer kepada majikan baru. Sedangkan pada tahun yang sama, KBRI Bandar Seri Begawan telah
menampung sebanyak 497 orang Warga Negara Indonesia yang mengalami masalah. Selain itu, KBRI juga
sudah menyelesaikan kasus WNI yang terlibat tindak kriminal yaitu sebanyak 37 orang yang terdiri dari 31 laki-
laki dan 6 wanita. KBRI Bandar Seri Begawan melakukan pendekatan dan kerjasama dengan pejabat Berakas
Internatonal Airport dalam memberikan perlindungan terhadap WNI yang transit dan terlantar di bandara yang
berjumlah 8 orang. Jumlah WNI yang meninggal dunia di Brunei adalah sebanyak 19 orang dan 18 diantaranya
dipulangkan jenazahnya ke Indonesia sedangkan 1 orang dimakamkan di Brunei.
Dalam upaya memberikan pelayanan dokumen seperti paspor, pada tahun 2009, KBRI telah mengeluarkan
sebanyak 12.406 paspor baru sebagai penggantian paspor lama WNI. Begitu pula mengeluarkan 172 buku SPLP
(Surat Perjalanan Laksana Paspor) untuk pemulangan WNI yang tidak memiliki dokumen, melakukan legalisasi
sebanyak 85 dokumen, mengeluarkan 59 surat keterangan lahir, memberikan rekomendasi 94 surat kawin dan
1.283 surat keterangan lainnya. Sedangkan jumlah yang melaporkan diri adalah sebanyak 5.314 orang. Sebanyak
549 visa telah dikeluarkan untuk warga asing yang mememerlukan visa kunjungan ke Indonesia.
Pada tahun 2010 per Januari-Maret 2010, KBRI Bandar Seri Begawan telah menerima sebanyak 160 pengaduan.
Dari jumlah tersebut sebanyak 127 kasus telah diselesaikan dan sebanyak 33 kasus masih dalam proses
penyelesaian. Dalam periode yang sama sebanyak 117 TKW pernah ditampung sedangkan pada akhir Maret
2010 masih terdapat sebanyak 33 orang TKW tinggal di penampungan.
Untuk memberikan perlindungan yang lebih baik khususnya dalam perlindungan hukum, maka sangatlah
diperlukan suatu nota kesepahaman antara Pemerintah Indonesia dan Brunei Darussalam. Pada tahun 2008,
Pemerintah Indonesia mengajukan draft MCN (Mandatory Consular Notification) agar Pemerintah setempat
dapat memberitahukan (notification) kepada Pemerintah Indonesia apabila ada WNI yang dihukum maupun
mendapatkan permasalahan.
Selain itu, Pemerintah Indonesia juga telah mengajukan draft MOU Bidang Ketenagakerjaan yaitu: Draft “MoU
on the Placement of Indonesian Workers” Tahun 2005 dan Draft “MoU on the Protection and Placement of
Indonesia Workers” tahun 2008.
Sambil menunggu persetujuan Pemerintah Brunei Darussalam, KBRI Bandar Seri Begawan terus melakukan
perbaikan dalam pelayanan warga yaitu:
1. Mempercepat proses kekonsuleran dari 5 hari kerja menjadi 1 hari kerja
2. Pelayanan pengambilan pas foto dan foto copy secara gratis
3. Peningkatan fasilitas di ruang tunggu Konsuler seperti air minum gratis.
4. Peningkatan pelayanan kekonsuleran dan ketenagakerjaan secara mobile dan periodik di daerah
5. Kerjasama dengan pengacara terkenal di Brunei Darussalam guna membantu penyelesaian masalah yang dihadapi TKI.
Peningkatan perlindungan terhadap Tenaga Kerja Indonesia juga didukung oleh kebijakan Pemerintah Brunei
Darussalam dengan mengeluarkan Undang-Undang Tenaga Kerja yang baru tanggal 5 September 2009 yaitu
“Employment Order 2009” sebagai pengganti dari “Labour Act 1954”. Dalam peraturan perburuhan baru
tersebut diatur antara lain sebagai berikut: kontrak kerja, gaji, hari libur dan jam kerja, kesehatan dan
akomodasi, pekerja migrant, pemulangan, pemeriksaan, pengaduan dan penyelidikan
Undang-Undang Tenaga Kerja Brunei Darussalam, Employment Order 2009 mengatur beberapa perlindungan
dan hak yang lebih baik kepada para pekerja asing di Brunei Darussalam. Antara lain:
1. Satu hari libur kerja yang berhak dinikmati setiap minggu oleh pekerja.
2. Informal worker termasuk Amah kini diatur dalam Employment Order 2009.
3. Gaji harus dibayarkan paling lambat 1 minggu setelah akhir bulan.
4. Potongan hutang pekerja bila ada, maksimal 25% dari gaji yang diterima per bulan. Pemotongan gaji di luar peraturan ini
tidak dibolehkan kecuali ada perintah dari mahkamah atau instansi terkait lainnya. Pemotongan gaji yang diperbolehkan
adalah antara lain: (1) pemotongan gaji karena tidak masuk kerja (2) pekerja merusakkan barang/menghilangkan
barang/uang yang ada dibawah tanggung jawabnya (3) pekerja berhutang kepada majikan.
5. Sick leave, cuti sakit dengan tanggungan adalah 2 bulan.
6. Pengguna (majikan) harus dapat menyediakan tempat tinggal yang layak dan bersih, dengan persediaan air bersih dan
sarana kebersihan lainnya yang memadai. Tersedia sarana Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan (P3K) di tempat kerja.
Apabila pekerja mengalami sakit atau kecelakaan, segera diupayakan pengobatannya.
7. Dilakukan pengurusan pemakaman bagi pekerja meninggal dunia kecuali pihak keluarga mengurus  pemakanaman pekerja
tersebut.
8. Untuk mempekerjakan pekerja asing, setiap orang harus memiliki ijin yang dikeluarkan Jabatan Buruh dan apabila hal ini
diabaikan pihak majikan dapat dikenakan hukuman. Hal yang sama juga berlaku kepada pekerja asing yang bekerja kepada
majikan yang tidak memiliki ijin dimaksud (lessen quota).

Tenaga Kerja dan Permasalahannya

Masalah kontemporer ketenagakerjaan Indonesia saat ini menurut analisis saya berangkat dari beberapa faktor, yaitu;

1. Lapangan pekerjaan semakin sedikit

2. Tingginya jumlah penggangguran massal;

3. Rendahnya tingkat pendidikan;

4. Minimnya perlindungan hukum

5. Upah kurang layak

6. External factor (sepeti krisis global yang menurut beberapa ahli krisis ini masih terus terjadi hingga 2010)

7. Tidak memiliki kreativitas dan inovasi-inovasi

Dari berbagai faktor tersebut mungkin kita akan mengatakan bahwa tenaga kerja justu menjadi masalah bagi bangsa ini.
Apakah kita akan selalau berpikir seperti itu? Mungkin negaa ini akan tersu terkutat dengan masalah tersebut. Jika melihat
data pengangguran di Indonesia pada Agustus tahun 2006 sebesar 10,93 orang kemudian pada tahun 2007 (bulan Agustus)
sebesar 10,01 juta. Kemudian angka pengangguran di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 9,39 juta. (Data: Olahan dari
BPS dan dai berbagai sumber)

Sementara jumlah penduduk yang bekerja mencapai 102,55 juta orang bertambah 503 ribu dibanding Februari
2008, atau bertambah 2,62 juta dibanding Agustus 2007. Sehingga total jumlah angkatan kerja yang bekerja maupun
pengangguran pada Agustus 2008 mencapai 111,95 juta orang, bertambah 470 ribu orang dibanding Februari 2008 atau
bertambah 2,01 juta orang dibanding Agustus 2007. Sektor yang mengalami peningkatan lapangan kerja pada Agustus 2008
dibanding Agustus 2007 adalah jasa kemasyarakatan yang terdiri dari pembantu rumah tangga, pertukangan baik tukang
kayu dan tukang batu dan jasa cleaning services yang naiak 1,08 juta orang. Di sisi lain dibanding Februari 2008 sektor
pertanian mengalami penurunan tenaga kerja sebanyak 1,36 juta namun lapangan kerja sektor pertanian tetap yang
terbesar 41,33 juta orang atau 40,33%. Pada Agustus 2008 penduduk yang bekerja sebagai buruh atau karyawan sebanyak
28,18 juta atau 27,5%, berusaha dibantu buruh tidak tetap sebanyak 21,77 juta atau 21,2% dan berusaha sendiri 20,92 juta
atau 20,4%. (Data: Olahan dari BPS dan dai berbagai sumber)

Setelah melihat data tersebut angka pengangguran mengalami penurunan dari tahun ke tahun (saya percaya angka ini
mungkin turun, jika anda melihat dari sumber lain mungkin angka pengangguran di Indonesia justru mengalami kenikan,
terutama angka kemiskinan). Sedangkan berdasarkan data tersebut justru yang meningkat adalah jasa kemasyarakatan
yang terdiri dari pembantu rumah tangga, pertukangan baik tukang kayu dan tukang batu dan jasa cleaning services yang
naiak 1,08 juta orang. Saya sakin anda sebagai mahasiswa tidak mau masuk ke lapangan pekejaan in. Kemudian melihat
angka yang masih sampai 9,39 juta pada tahun 2008 mungkin angka ini sama dengan jumlah beberapa kota/kabupaten di
Indonesia mungkin angka ini lebih besar dari beberapa daerah tersebut.

Outsourcing: Apakah Pemecahan Masalah?

Pemerintah sudah berupaya untuk mengurangi angka pengangguran dan juga meningkatkan kualitas hidup tenaga
kerja di Indonesia. Namun ingat dilema pemerintah adalah antara tenaga kerja atau kepada pengusaha (si pemiliki
lapangan pekerjaan). Salah satu upayanya adalah dikeluarkan undang-undang No 12 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan,
kemudian pada salah satu pasalnya yaitu 64, 65 dan pasal 66 memungkinkan perusahaan melakukan outsourcing.

Berdasarka UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing
(Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan
penyediaan jasa pekerja/buruh. Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub
contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.

Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi
pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun
2003. Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan
pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:

· penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan
pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);

· pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :

Ø dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;

Ø dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;

Ø merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;

Ø tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)


· perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat
kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);

· perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam

· keputusan menteri (ayat 5);

· hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang
dipekerjakannya (ayat 6)

· hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu
atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);

· bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain,
dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh
dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).

Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja
tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus
memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
 adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;

 perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja
untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;

 perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;

 perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat
secara tertulis.

Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti “alih daya”. Outsourcing mempunyai nama lain yaitu
“contracting out” merupakan sebuah pemindahan operasi dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya dilakukan
untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal lain.Di negara-negara maju seperti
Amerika & Eropa, pemanfaatan Outsourcing sudah sedemikian mengglobal sehingga menjadi sarana perusahaan untuk
lebih berkonsentrasi pada core businessnya sehingga lebih fokus pada keunggulan produk servicenya.

Pemanfaatan outsourcing sudah tidak dapat dihindari lagi oleh perusahaan di Indonesia. Berbagai manfaat dapat
dipetik dari melakukan outsourcing; seperti penghematan biaya (cost saving), perusahaan bisa memfokuskan kepada
kegiatan utamanya (core business), dan akses kepada sumber daya (resources) yang tidak dimiliki oleh perusahaan.

Disinlah mulai ada pergeseran mengenai fungsi outsourcing, yang seharusnya hanya diberikan untuk pekerjaan-
pekerjaan bukan inti, seperti cleaning services atau satpam. Namun dalam perkembangannya Outsourcing seringkali
mengurangi hak-hak karyawan yang seharusnya dia dapatkan bila menjadi karyawan permanen (kesehatan, benefit dkk).
Outsourcing pada umumnya menutup kesempatan karyawan menjadi permanen. Posisi outsourcing selain rawan secara
sosial (kecemburuan antar rekan) juga rawan secara pragmatis (kepastian kerja, kelanjutan kontrak, jaminan pensiun).
Bahkan di beberapa perusahaan justru memberikan pekerjaan inti kepada karyawan dari outsourcing seperti PT KAI, yang
memperkerjakan tenaga outsourcing untuk bagian penjualan tiket, porter, administrasi dan penjaga pintu masuk. Padahal
pekerjaan-pekerjaan tersebut terkait langsung dengan jasa angkutan kereta api. Kemudian banyak perusahaan lainnya
yang melakukan pelanggaran seperti ini. Umumnya tenaga kerja di outsource untuk menekan biaya yang harus dikeluarkan
karena perusahaan tidak berkewajiban menanggung kesejahteraan mereka. Tenaga outsource juga tidak harus diangkat
sebagai karyawan tetap sehingga beban perusahaan berkurang.

Inilah yang menjadi pemikiran bagi para karyawan, dimana outsourcing hanya dianggap sebagai suatu upaya bagi
perusahaan untuk melepaskan tanggungjawabnya kepada kayawan, dengan alas an efesiensi dan efektifitas pekerjaan,
outsourching ini dilakukan.

Maka dalam outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan
terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core
business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing
perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya
diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-
bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja
dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.

Pemecahan Masalah: Kewirausahaan Sosial

Terlepas dari berbagai permasalahan pengangguan dan masalah lainnya yang terkait dengan tenaga kerja. Sudah
sepatutnya kita harus menjadi anak bangsa yang memiliki kreatifitas dan inovasi-inovasi (ini adalah satu permasalahan
ketenaga kerjaan –kurang kreatifi dan inovatif-). Terutama mahasiswa yang memiliki jiwa ingin tahu dan ingin maju seta
ingin memecahkan permasalahn-permasalahan sosial yang terjadi di sekitarnya, karena itulah mahasiswa sering disebut
sebagai agent of change. Maka diperlukan spirit kewirausahaan sosial pada para agen perubahan tersebut. Dengan
jiwa social entrepreneurship tersebut akan mendorong masyarakat untuk membangun dan mengembangkan inovasi-inovasi
baik yang diadopsi dari luar maupun dari lokal dan tentunya tanpa harus menanggalkan jati diri bangsa. Tentu dengan
tujuan untuk mengatasi permasalahan sosial di Indonesia, seperti masalah pengangguran tadi.

Social Entrepreneurship akhir-akhir ini menjadi makin populer terutama setelah salah satu tokohnya Dr.
Muhammad Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh mendapatkan hadiah Nobel untuk perdamaian tahun 2006. Namun
di indonesia sendiri kegiatan ini masih belum mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan para
tokoh masyarakat karena memang belum ada keberhasilan yang menonjol secara nasional. Bahkan dari pihak swasta
(perusahaan) melaluicoorporate social responsibility (CSR) belum bisa menumbuhkan entrepeneur- entrepeneur muda,
karena CSR yang dikeluarkan lebih ditujukan untuk mengamankan perusahaan bukan memberdayakan masyarakat
sekitarnya.

Maka diperlukan banyak terobosan, dibutuhkan upaya-upaya untuk memadukan berbagai inisiatif. Oleh karena itu
persoalan kita lebih pada bagaimana menemukan spirit daripadanya. Bagaimana agar kinerja wirausaha itu semakin
memiliki dampak sosial yang besar. Karena baik Muh. Yunus maupun tokoh-tokoh wirausaha sosial tak kan mengingkari,
bahwa kesuksesan mereka lahir dari pergumulan yang demikian intens dengan kemiskinan. Maka upaya untuk
memasyarakatkanSocial Entrepreneurship harus mendapatkan dukungan semua pihak yang mendambakan terwujudnya
kesejahteraan rakyat yang merata, dan diharapkan tidak hanya berhenti dalam seminar ini saja tetapi dilanjutkan dengan
rencana aksi yang nyata sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh masyarakat.

David Bornstein memaparkan bagaimana para wirausahawan sosial dari berbagai belahan dunia yang hampir tak
terliput oleh media namun telah mengubah aras sejarah dunia dengan terobosan berupa gagasan-gagasan inovatif,
memutus sekat-sekat birokrasi, mengusung komitmen moral yang tinggi dan kepedulian (How to Change the World, 2004).
Selain buah kerja brilian Muhammad Yunus, puluhan kisah wirausahawan sosial lain, seperti Fabio Rosa (Brasil) yang
menciptakan sistem listrik tenaga surya yang mampu menjangkau puluhan ribu orang miskin di pedesaan, Jeroo Billimoria
(India) yang bekerja keras membangun jaringan perlindungan anak-anak telantar, Veronika Khosa (Afrika Selatan) yang
membangun model perawatan yang berbasis rumah (home-based care model) untuk para penderita AIDS yang telah
mengubah kebijakan pemerintah tentang kesehatan di negara tersebut, dan banyak lagi tokoh yang buah tangannya telah
terasa langsung manfaatnya oleh masyarakat.

Dengan demikian, kewirausahaan sosial merupakan salah satu upaya untuk memperkenalkan solusi baru pada
masalah-masalah sosial. Para wirausahawan sosial (social entrepreneur) dengan komitmen kerja dan moral yang tinggi,
merupakan kesegaran di tengah-tengah pembangunan yang terasa mengimpit. Dengan segala keterbatasaanya wirausahaan
sosial dapat memberikan peluang-peluang di masyarakat untuk maju bersama. Kemudian dengan pentingnya posisi
wirausahaan sosial yang dapat bersinegi dalam pencapaian MDGs, pemerintah dapat memberikan dukungan penuh dengan
mengeluarkan regulasi yang memberikan iklim kondusif bagi pertumbuhan kewiausahaan sosial di Indonesia.

You might also like