You are on page 1of 40

KONSEP MASTERY LEARNING

di Dayah Ulee Titi Aceh Besar


~
Harapandi Dahri
Geliat Pesantren di Era Modern

Banyak dari kita mengenal pesantren dari kesederhanaan


bangunan fisik lingkungan pesantren, kesederhanaan cara hidup
para santri, kepatuhan mutlak santri terhadap kiainya, dan
pengajaran-pengajaran kitab klasik abad pertengahan.
Di sisi lain, tidak sedikit pula orang mengenal pesantren dari
aspek yang lebih luas setelah membaca dan menyadari besarnya
pengaruh pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan
sosial, kultural, politik dan keagamaan.
Misalnya, Dr. Soebardi dan Profesor Johns talah merekam
sejarah fakta bahwa penyebaran Islam di Tanah Jawa berkaitan
erat dengan peranan strategis pesantren. Hal tersebut telah dirilis
oleh Zamakhsyari dalam bukunya, Tradisi Pesantren.
Lembaga-lembaga pesantren itulah yang sesungguhnya
paling menentukan watak keislaman dari kerajaan-kerajaan
Islam. Lembaga itulah yang memegang peranan paling penting
bagi penyebaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Dari lembaga
pesantren itulah asal usul manuskrip tentang pengajaran Islam di
Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan
oleh pengembara-pengambara pertama dari perusahaan-
perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak akhir abad ke-16.
Untuk dapat memahami sejarah Islamisasi di Wilayah ini, kita harus
mulai mempelajari lembaga-lembaga pendidikan tersebut, karena

1 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


lembaga-lembaga inilah yang menjadi anak panah penyebaran
Islam di wilayah ini.
Secara terminologis, pesantren didefinisikan sebagai lembaga
pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam
dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman perilaku sehari-hari. Perlu dijelaskan bahwa pengertian
“tradisional” dalam definisi ini bukan berarti kolot dan ketinggalan
zaman, tetapi kata tersebut menunjuk pada pengertian bahwa
lembaga ini telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu. Ia telah
menjadi bagian dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam
Indonesia. Bahkan, telah pula mengalami perubahan dari waktu
ke waktu sesuai dengan perjalanan hidup umat Islam. Jadi, term
“tradisional” di sini bukan dalam arti tetap, statis dan terbelakang
tanpa mengalami penyesuaian.
Menurut Dhofier sekurang-kurangnya harus ada lima elemen
agar suatu lembaga dapat disebut pesantren. Lima hal terebut
adalah pondok, masjid, pengajian kitab-kitab Islam klasik, santri,
dan kiai. Dhofier juga mengklasifikasi pesantren dengan indikator
jumlah santri dan pengaruh pesantren. Pertama, jika pesantren
hanya memiliki kurang dari 1000 santri dan pengaruhnya hanya
pada tingkat kabupaten, maka pesantren seperti ini digolongkan
sebagai pesantren kecil. Kedua, jika pesantren memiliki santri
antara 1000 sampai 2000 dan pengaruhnya pada beberapa
kabupaten, ia menggolongkannya sebagai pesantren menengah.
Ketiga, jika pesantren yang memiliki santri di atas 2000 dan
pengaruhnya meliputi beberapa kabupaten dan provinsi bahkan
kawasan (regional), maka pesantren tersebut digolongkan sebagai
pesantren besar.
Klasifikasi pesantren menurut Dhofier ini tentu saja masih
menuai kritik. Ahmad Tafsir, misalnya, walaupun mengakui bahwa
teori Dhofier itu patut dipertimbangkan, tetapi ia mempertanyakan
manakah yang lebih penting jumlah santri atau pengaruhnya pada
masyarakat. Lalu, bagaimana dengan pesantren yang santrinya
sedikit, tetapi memiliki pengaruh yang besar terhadap tokoh-tokoh
politik.
Sampai saat ini salah satu khas pembelajaran di pesantren
adalah metode pembelajaran yang unik dan berbeda dengan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 2


Metode sorogan inilah
metode pembelajaran di yang dianggap fase
sekolah-sekolah formal. Di
antara metode dimaksud
tersulit dari seluruh
adalah metode sorogan. Metode system pengajaran
sorogan yang dimaksud adalah pesantren, karena
metode di mana seorang
murid mendatangi guru yang
metode tersebut
akan membacakan kitab- menuntut kesabaran,
kitab berbahasa Arab dan keuletan, kerajinan,
menerjemahkannya kedalam ketaatan dan disiplin
bahasa ibu (mis: Jawa). Pada
gilirannya, murid mengulangi
pribadi dari sang
dan menerjemahkan kata demi murid sendiri.
kata sepersis mungkin dengan
apa yang diungkapkan oleh
gurunya. Sistem penerjemahan dibuat sademikian rupa agar murid
mudah mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu
rangkaian kalimat arab. Sistem tersebut mengharuskan murid
menguasai cara pembacaan dan penerjemahan secara tepat dan
hanya boleh menerima tambahan pelajaran bila telah berulang-
ulang mendalami pelajaran sebelumnya.
Metode sorogan inilah yang dianggap fase tersulit dari
seluruh system pengajaran pesantren, karena metode tersebut
menuntut kesabaran, keuletan, kerajinan, ketaatan dan disiplin
pribadi dari sang murid sendiri. Di sini banyak murid yang tidak
menyadari bahwa sebenarnya mereka harus mematangkan
diri dalam metode tersebut sebelum dapat mengikuti metode
pembelajaran yang lain. Ketika murid telah menguasai sistem
sorogan ini, maka dialah yang dapat memetik manfaat keilmuan
dari sistem bandongan di pesantren. Sorogan memungkinkan sang
kiai membimbing, mengawasi, dan menilai kemampuan murid.
Ini sangat efektif guna mendorong peningkatan kualitas murid.
Metode ini telah terbukti dapat meghasilkan lulusan-lulusan
yang berkualitas dan telah berkiprah dalam kancah pendidikan
di tanah air. Jika dibandingkan dengan metode-metode terbaru
dalam dunia pendidikan, metode sorogan ternyata masih belum
tergantikan. Bertahannya metode tersebut, menimbulkan
berbagai macam pertanyaan yang perlu dijawab seperti: mengapa

3 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


metode tersebut masih bisa bertahan, apa keistimewaan dan apa
juga kelemahan metode sorogan dan bandongan? Bagaimana
pelaksanaan metode sorogan dan bandongan di beberapa pesantren
salaf? Standarisasi mastery learning apakah yang diterapkan pada
Dayah Ulee Titi, Aceh Besar?
Kajian berikut ini berusaha menjawab berbagai pertanyaan
tersebut dengan lebih komprehenship sesuai dengan pantauan
dan kajian di lapangan.
-[]-

PESANTREN DAN BERBAGAI PERSOALANNYA


Untuk menemukan landasan epistemologis metode sorogan
dan bandongan yang tetap dipertahankan oleh pesantren-pesantren
yang dikenal sebagai pesantren salafi di Indonesia, perlu kiranya
kita menengok karya Imam al-Ghazali tentang epistemology ilmu
pengetahuan. Mengapa al-Ghazali? Jawabnya adalah karena al-
Ghazali memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam tradisi lembaga
ilmu pengetahuan di dunia Islam secara umum terutama dalam
kalangan Sunni dan di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia
secara khusus. Oleh karena itulah, kitab Fatihah al-Ulum, karya
al-Ghazali tentang epistemologi ilmu pengetahuan dipilih dalam
proses penelitian ini.1
Karya ini disusun oleh al-Ghazali untuk mengawali setiap
kajian ilmu. Kajian dalam kitab Fatihah al-Ulum meliputi hal-hal
penting berkaitan dengan ilmu pengetahuan seperti kriteria ilmu
dan keutamaannya, berbagai konsekwensi dan problematika
yang dihadapi ulama, kerusakan yang mungkin ditimbulkan oleh
penyalahgunaan ilmu pengetahuan, berbagai norma dan kewajiban
yang perlu diperhatikan dalam proses belajar dan mengajarkan
ilmu pengetahuan, perjalanan ulama salaf (terdahulu) dalam
menuntut dan mengajarkan ilmu serta ciri-ciri ulama ukhrawi dan
duniawi. (al-Ghazali. 2006: xxiii)
Mengapa Imam al-Gazhali merancang epistemologi ilmu
pengetahuan? Karena al-Ghazali berusaha menjelaskan dasar-
dasar pengetahuan tentang landasan filosofis ilmu pengetahuan
dalam Islam serta bagaimana sikap orang-orang yang menuntut
ilmu. Untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh tentang
epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam dan hubungannya

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 4


dengan system pengajaran dilembaga lembaga pendidikan Islam
pada umumnya dan pesantren di Indonesia pada khususnya, maka
dalam penelitian ini pertama-tama akan diuraikan secara ringkas
pokok-pokok pikiran dalam epistemologi ilmu pengetahuan yang
disusun oleh Imam al-Ghazali. Selanjutnya mengamati dan meneliti
kaitannya dengan landasan filosofis dari sistem pengajaran
bandongan dan sorogan di pesantren salafi.
Tujuan utama yang selayaknya dimengerti oleh para penuntut
ilmu adalaha bahwa ilmu pengetahuan itu merupakan alat untuk
mencapai hidayah dan ma’rifah Allah. Dengan demikian, suatu
pandangan mendasar yang amat penting dicamkan adalah bahwa
gemerlap perhiasan dunia adalah mata’ al-ghurur (kesenangan
yang menipu) karena itulah, maka akhirat yang kekal haruslah
menjadi tujuan utama (al-Ghazali. 2006: 5). Dengan konteks dan
pemahaman seperti ini, ilmu pengetahuan berfungsi sebagai pelita
penerang bagi umat manusia untuk kebahagiaan dan kemaslahatan
manusia itu sendiri baik di dunia maupun di akhirat. Para ulama
yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan merupakan
pewaris tugas kenabian dalam menegakkan keadilan, kebahagiaan
dan kesejahteraan bagi umat manusia dengan ilmu-ilmu lahiriah
dan batiniah yang diperlukan. (al-Ghazali. 2006: 6-17).
Demikian mulianya ilmu pengetahuan, sekaligus juga
beratnya tanggung jawab ulama dan penuntut ilmu pengetahuan
sebagai pewaris tugas kenabian, jauh-jauh hari, al-Ghazali telah
memperingatkan perlunya ulama berhati-hati agar tidak menjadi
ulama jahat yang menggunakan ilmu pengetahuannya hanya
untuk kepentingan diri sendiri dan tidak peduli pada kemaslahatan
dan kesejahteraan masyarakat. (al-Ghazali. 2006: 17-23). Bertolak
dari hal tersebut di atas, maka landasan ketulusan niat menjadi
syarat pertama dan utama yang harus dimiliki pelajar dan
pengajar dalam epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam.
Sebagaimana seorang murid diwajibkan untuk meluruskan
niatnya dalam belajar, para guru yang mengajarkan ilmu
pengetahuan juga memiliki kewajiban yang sama dalam
meluruskan niatnya. Bahkan, pengajar lebih ditekankan karena
ibadah mengajar lebih utama daripada ibadah belajar. Di samping
itu, penting untuk benar-benar diketahui bahwa bahaya kekeliruan
yang mungkin ditimbulkan oleh seorang murid hanya menimpa

5 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


satu orang. Tidak demikian dengan kekeliruan guru. Kesalahan
seorang guru akan menimpa semua muridnya karena murid
cenderung meniru dan mengikuti apa yang dikerjakan gurunya.
Oleh karena itulah, kesesatan seorang alim adalah kesesatan alam
semesta. (al-Ghazali. 2006: 40).
Menurut al Ghazali, seorang guru wajib memancangkan niat agar
apa yang diajarkannya akan mendekatkan dirinya dan orang lain
kepada Allah SWT dengan menghidupkan agamanya, menyebarkan
syariatnya, mengajak orang-orang yang telah melarikan diri dari
para hambanya agar kembali ke jalan Allah SWT. Seorang guru
hendaklah menjauhkan niat untuk mendapatkan tempat di hati
para pejabat dan orang orang awam atau popularitas nama serta
membanggakan jasa-jasanya di hadapan murid muridnya. Bila
seorang guru memiliki ketulusan niat dan bersungguh sungguh
dalam mengajar, sesungguhnya dialah ulama sejati. (al-Ghazali.
2006: 40-41).
Selanjutnya al-Ghazali mengklasifikasikan ulama menjadi
dua golongan, yaitu ulama dunia dan ulama akhirat. Pangkal
perbedaan keduanya adalah pada niat dan pengamalannya. Bila
ulama dunia niatnya adalah hanya tertuju untuk meraih dunia dan
kenikmatannya, maka ulama akhirat meniatkan perbuatannya
untuk Allah SWT semata dan kemaslahatan manusia sebagaimana
tugas yang diemban oleh para nabi. Bila golongan ulama dunia
tidak peduli pada kerusakan masyarakat dan kesejahteraannya
dalam upaya melaksanakan kewajiban kewajiban dunia dan
akhirat, ulama akhirat sangat peduli pada ketulusan niat untuk
membimbing masyarakat agar dapat mencapai kesejahteraan
dan kemaslahatan untuk dunia dan akhirat. Golongan ulama
akhirat menyadari bahwa membimbing masyarakat untuk menuju
kebaikan di akhirat memerlukan sarana dan sarana tersebut adalah
kemaslahatan dan kesejahteraan di dunia dengan menjadikan
dunia ladang untuk melaksanakan kebaikan dan keadialan untuk
kesejahteraan hidup manusia. (al-Ghazali. 2006: 55-109).
Pada bab selanjutnya, ketika membahas tentang prioritas ilmu
yang perlu dipelajari, al-Ghazali membaginya menjadi ilmu syariat
dan non-syariat. Ilmu syariat adalah ilmu yang sumber rujukannya
dari para nabi AS dan tentu saja tidak dapat diatur oleh akal
sebagaimana ilmu eksakta atau ilmu kedokteran yang diperoleh

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 6


atas dasar eksperimen atau ilmu-ilmu bahasa yang dihasilkan dari
proses pendengaran. (al-Ghazali. 2006: 113)
Karena alasan tersebut, maka al-Ghazali menekankan
pentingnya memahami ilmu fiqh lahir dan fiqh batin (tasawuf)
sebagai prioritas utama untuk dipelajari. Setelah itu, dilanjutkan
dengan mempelajari ilmu-ilmu penunjang kehidupan dunia.
Ringkasnya, walaupun al-Ghazali menekankan pentingnya
pengetahuan tentang ibadah lahiriah dan batiniah sebagai
prioritas utama dalam menuntut ilmu, namun karena implikasi
fiqh lahiriah (fiqh ibadah dan muamalat) dan fiqh batiniah (tasawuf)
akan tercermin dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat,
maka menuntut ilmu untuk memenuhi kebutuhan sarana-sarana
tersebut juga harus dilakukan sebagai kelanjutan ilmu-ilmu utama.
Ilmu-ilmu seperti kedokteran, politik, tehnologi dan ekonomi
merupakan ilmu ilmu yang harus dipelajari. (al-Ghazali. 2006:113-
146).
Pada bab selanjutnya, al-Ghazali membahas tentang dialog dan
perdebatan dalam menuntut ilmu. Pada hakekatnya, al-Ghazali
memandang penting dialog dan perdebatan. Namun demikian,
al-Ghazali juga meletakkan dasar-dasar serta syarat yang ketat
untuk hal ini. Misalnya adalah dialog dan perdebatan dilakukan
untuk mencari kebenaran atau pendapat yang lebih kuat dasar
hukumnya. Dialog dilakukan oleh orang-orang yang memang
berkompeten dalam bidang keilmuan tersebut. (al-Ghazali. 2006:
149-172).
Kekhawatiran bahwa perdebatan dan dialog akan berdampak
buruk jelas terlihat dari kriteria etika yang disebutkan oleh al-
Ghazali. Misalnya al-Ghazali mengatakan: “Ketahuilah bahwa
munazharah yang dilakukan hanya untuk mencari kemenangan
dan keunggulan antara teman belaka adalah sumber akhlak-akhlak
tercela di sisi Allah dan terpuji di sisi musuh-Nya yaitu Iblis. (al-
Ghazali. 2006: 162)
Ketika membahas etika seorang murida dan guru, tesis utama
al-Ghazali adalah bahwa guru harus memiliki keikhlasan dan
kasih sayang dalam pengajaran kepada murid. Sebaliknya murid
haruslah memiliki keikhlasan dan ketaatan serta pengabdian dalam
melayani guru. (al-Ghazali.2006:175-195). Dengan demikian

7 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


menurut al-Gazali, proses belajar mengajar tersebut mendapat
keberkahan dari Allah.
Selanjutnya al-Ghazali mengupas tentang kekayaan negara
yang halal yang diperoleh oleh ulama. Inti dari bab ini adalah
pentingnya sifat wara’ dari para ulama serta tetap mengawasi dan
memastikan secara ketat bahwa sumber-sumber penghasilannya
hanya bersumber dari yang halal. (al-Ghazali. 2006: 199-212).
Pada bab penutup al-Ghazali kembali memperingatkan
pentingnya berhati hati agar tidak jatuh ke dalam kezaliman yang
diakibatkan oleh kebodohan, kekejaman dan kerakusan penguasa
ataupun kebodohan dan kelalaian para penuntut ilmu dalam
memahami perkara halal dan haram. (al-Ghazali. 2006: 215-217).
Paparan di atas akan dapat kita temukan relevansinya dengan
landasan landasan epistemologis pengajaran sistem sorogan dan
bandongan serta pengkajian kitab-kitab klasik Islam di pesantren-
pesantren yang biasa disebut salafi tradisional. Pesantren-pesantren
ini biasa dikenal sebagai pesantren yang tidak ketat menekankan
formalitas kelas, seragam maupun sistem sekolah. Meskipun, tetap
mengadakan sistem penjenjangan antara santri senior dan yunior
untuk menentukan ketepatan materi yang diberikan. Benang
merah yang sangat kuat terasa pada sistem epistemologi etika
antara guru dan murid seperti diterangkan di atas.

Pendidikan Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang
muncul dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat, pada
hakekatnya merupakan bagian dari bentuk kultur keagamaan.
Seperti yang dinyatakan Hansen (1979), bahwa proses alih
(transfer) pengetahuan dan nilai-nilai budaya suatu masyarakat
pada hakekatnya merupakan bagian dari budaya mereka.
Pendidikan pesantren pada dasarnya bertujuan untuk
menyiapkan para santri dapat mendalami dan menguasai ilmu
agama Islam yang dikenal dengan istilah tafaqquh fi al-din. Lebih
jauh diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut
mencerdaskan masyarakat indonesia (Departemen Agama,
2000).
Perkembangan selanjutnya menunjukkan upaya untuk
mengintegrasikan fungsi pesantren sebagai pusat pendidikan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 8


berbasis tafaqquh fi al-din dengan tugas dakwah, membangun
benteng pendidikan akhlak, dan meningkatkan kehidupan
masyarakat di sekitar pesantren. Sejalan dengan fungsi pesantren
sebagai pendidikan keagamaan, pasal 30 ayat (2) UU Sisitim
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan bahwa: “Pendidikan
keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai
ajaran agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama.”
Eksistensi pesantren sebagai pendidikan pengkajian agama
Islam tidak dapat dipisahkan lima unsur pokok yaitu kiai sebagai
pemimpin dan pengasuh, santri yang ikhlas dalam menuntut
ilmu agama, masjid sebagai tempat suci dalam penyelenggaraan
pendidikan, kegiatan pengajian (halaqah/sorogan dan bandongan)
sebagai metode pembelajaran yang berlangsung di pesantren dan
asrama (pondok) sebagai tempat pendidikan 24 jam.
Sinergi kelima komponen pokok tersebut telah menghasilkan
lulusan yang berjiwa bebas, berukhuwah islamiyah, kesederhanaan
dan keikhlasan dalam pola kehidupan sesuai dengan kaidah agama
Islam.
Pola pendidikan pesantren yang berbasis tafaqquh fi al-din
hanya dapat dipertahankan oleh masing-masing pesantren atau
oleh umat Islam jika semua komponen umat menyadari makna
hakiki pendidikan Islam itu sendiri. Mengintegrasikan pendidikan
pesantren berbasis tafaqquh fi al-din dengan misi pendidikan
lainnya (pendidikan umum) dapat diterima dalam kerangka untuk
mewarnai pendidikan umum tersebut dengan visi tafaqquh fi al-
din. Apabila yang terjadi sebaliknya, yaitu menjadikan pesantren
sekadar wadah penyelenggaraan pendidikan umum, maka lama
kelamaan jiwa tafaqquh fi al-din dalam pesantren tersebut akan
hilang. Jika ruh tafaqquh fi al-din pada pesantren hilang maka ruh
pendidikan keagamaan Islam juga akan sirna, dan tercipatalah
sistem pendidikan pesantren yang sekuler. Keadaan seperti ini
telah dialami oleh Turki pada tahun 1926 melalui revolusi Turki di
bawah Musthafa Kamal Attaturk yang diperkuat dengan undang-
undang Organisasi Pendidikan Nomor 430 tanggal 3 maret 1924.
Di antara usaha penting sebagai langkah yang harus diambil
dalam rangka mempertahankan pesantren agar tetap berbasis
tafaqquh fi al-din adalah penyusunan kurikulum, peningkatan

9 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


sumber daya manusia (SDM) berkualitas, pembangunan sarana
dan prasarana pendidikan termasuk masjid dan asrama yang
memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan pendidikan dan
pengajian, dan pembangunan kegiatan ekonomi berbasis Islam.

Metode Pembelajaran di Pesantren


Secara etimologi, metode berarti cara kerja yang bersistem
untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan (Depdikbud. 1996: 580-581). Sedangkan
secara terminologi, metode pendidikan pada dasarnya merupakan
cara yang digunakan dalam proses pendidikan yang bertujuan
mempermudah pencapaian tujuan pendidikan yang diinginkan.
Metode mempunyai peranan yang sangat besar dalam sebuah
proses pendidikan. Apabila proses pendidikan tidak menggunakan
metode yang tepat, maka akan sulit sekali mengharapkan hasil
maksimal. Kesadaran akan pentingnya metode, sudah diakui oleh
semua aktifitas yang sistematis dan terencana. Lewat metode yang
digunakan akan dapat diprediksi dan dianalisis sampai sejauh
mana keberhasilan sebuah proses. Terdapat sejumlah metode yang
dapat digunakan oleh para pendidik, seperti:
a. Metode informatif yaitu metode untuk menyampaikan
informasi. Bentuknya bisa berupa pengajaran sorogan,
wetonan, ceramah, atau diskusi panel.
b. Metode partisipatif digunakan untuk melibatkan peserta dirik
dalam pengolahan materi. Bentuknya tanya jawab, diskusi
kelompok, atau curah gagasan (brain storming).
c. Metode eksperiensial adalah metode yang memungkinkan
peserta ikut terlibat dalam pengalaman untuk belajar.
Bentuknya dapat berupa metode latihan kepekaan, demontrasi,
atau latihan.
Metode pembelajaran yang diterapkan di pondok pesantren
cendrung menggunakan metode sorogan dan bandongan
(pesantren salafi), metode gabungan antara ketiga macam metode
tersebut (pesantren: ashriyah). Metode sorogan seperti diketahui
telah banyak menghasilkan para tokoh kiai, ulama dan intelektual,
walaupun terdapat beberapa catatan penting terhadap metode
tersebut seperti long time education (waktu yang amat panjang).

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 10


Namun, di lain pihak metode tersebut terbukti mampu membuat
kesuksesan para penggunanya terutama pada pondok-pondok
pesantren salafi.

Parameter Ketuntasan di Pondok Pesantren


Teori belajar tuntas (mastery learning theory) merupakan salah
satu usaha dalam pembaharuan pendidikan yang bertujuan untuk
meningkatkan motivasi serta usaha belajar siswa agar siswa dapat
mencapai tingkat ketuntasan (mastery level).
Belajar tuntas (mastery learning) adalah proses belajar
mengajar yang bertujuan agar bahan ajaran dikuasai secara tuntas
sehingga dikuasai sepenuhnya oleh siswa. Dengan sistem belajar
tuntas diharapkan program belajar mengajar dapat dilaksanakan
sedemikian rupa agar tujuan instruksional yang hendak dicapai
dapat diperoleh secara optimal sehingga proses belajar mengajar
lebih efektif dan efisien.
Strategi belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non
belajar tuntas dalam hal berikut: Pertama, pelaksanaan tes secara
teratur untuk memperoleh umpan balik (feed back) terhadap
bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan
(diagnostic progress test). Kedua, peserta didik baru dapat melangkah
pada pelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan
pelajaran sebelumnya sesuai dengan patokan yang ditentukan.
Ketiga, pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik
yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran
remedial (pengajaran korektif).
Strategi belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi
tiga bagian, yaitu: pertama, mengidentifikasi pra-kondisi. Kedua,
mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar. Ketiga,
implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan
“bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang
meliputi: (a) Corrective technique, semacam pengajaran remedial,
yang dilakukan dengan memberikan pengajaran terhadap tujuan
yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan metode
yang berbeda dari sebelumnya. (b) Memberikan tambahan waktu
kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai
bahan secara tuntas).

11 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


Parameter ketuntasan di pondok pesantren dapat dilihat
lebih komprehensif melalui ketercapaian kitab-kitab klasik yang
disyaratkan oleh para kiai. Pada tingkat dasar (basic) seorang santri
baru dikatakan belajarnya telah tuntas jika telah mengkhatamkan
dan memahami kitab dasar seperti dalam ilmu alat (Nahwu dan
Sharaf) yang dibuktikan dengan kepahaman membaca kitab-kitab
klasik lainnya.
Jadi secara lebih detail, indikator ketuntasan pembelajaran
di pondok pesantren dapat dilihat dalam beberapa hal berikut:
1. Mengkahatamkan kitab-kitab dasar (basic) yang dipersya-
ratkan.
2. Memahami subsantasi kitab-kitab dasar tersebut.
3. Dapat membaca kitab-kitab klasik (tanpa harakat) lainnya.
4. Mampu menjawab beberapa persoalan dasar yang tertuang
dalam kitab-kitab klasik.
-[]-

MENGENAL DAYAH ULEE TITI ACEH BESAR

Selayang Pandang Ponpes Ulee Titi


Pondok pesantren yang berdiri semenjak sepertiga abad silam,
sekarang beralamat di Desa Siron sebuah desa yang terletak di
pinggiran jalan raya menuju Blang Bintang. Desa Siron termasuk
dalam wilayah Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Dalam
usia yang ke-78, Pondok Pesantren Ulee Titi bisa dikatagorikan
salah satu pesantren tertua di tanah Aceh yang penuh dengan
balutan sejarah. Lembaga yang dirintis oleh Tengku (Tgk) H.Ishaq
al-Amiry2 seorang tokoh ulama karismatik yang memiliki keuletan
dan ketabahan yang tak tertandingi sehingga mampu menentang
ancaman dan rintangan yang menghadangnya baik dari dalam
maupun dari luar pondok. Keuletan (al-mujahadah), ketabahan (al-
shabr) dan konsisten (al-istiqamah) menjadi ciri khas yang patut
kita teladani.
Keistiqamahan yang dimiliki oleh pendiri Pondok Pesantren
Ulee Titi ditunjukan dengan tidak pernah –walau sedikitpun—
menelantarkan santri-santrinya dan proses pembelajaran yang

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 12


diaplikasikannya lima waktu tak kenal lelah. Persoalan dan janji-
janji politik tidak mampu menggoyahkan keagungan sikapnya nan
komit. Pembelajaran tanpa henti di pondok merupakan motto
yang selalu ia junjung tinggi. Jika ada undangan dari masyarakat
selalu diberikan waktu saat pembelajaran time out (istirahat).
Sikap istiqamah dan ketabahan inilah yang menyebabkan
santri bertambah dan terus bertambah. Karismatik beliau sangat
menonjol di kalangan masyarakat, hal ini di terbukti dengan
kecendrungan masyarakat yang silih berganti berdatangan untuk
meneguk air ilmu pengetahuan. Tgk. H. Ishaq al-Amiry sadar betul
dengan stigma masyarakat jika seorang kiai/TGK berkecimpung
dalam dunia politik sekecil apapun akan dapat menurunkan dan
bahkan menghilangkan karismatiknya.
Aktivitas Dayah Ulee Titi berada di bawah naungan Yayasan
Ulee Titi. Yayasan ini terdiri dari lima kemukiman yang ada di
lingkungan Dayah Ulee Titi. Kelima kemukiman yang dimaksud
adalah Kemukiman Lamgarot, Lubuk, Pagar Air, Lamteungoh, dan
Kemukiman Gani. Seluruh kemukiman yang berada di Kecamatan
Ingin Jaya di atur oleh yayasan tersebut. Tugas pimpinan yayasan
adalah mengurus kelancaran pelaksanaan pendidikan pondok
melalui kerjasama antara pimpinan dan pihak yayasan.
Letaknya bisa digolongkan sangat strategis. Pondok Pesantren
Ulee Titi berada di pinggir jalan raya yang menghubungkan Bandara
Internasional Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, hanya berjarak
10 km dari ibukota provinsi dan 1,5 km dari ibukota kecamatan
yaitu di Desa Siron, Aceh Besar. Bagi orang yang berkunjung ke
Nangreo Aceh Darussalam melalui udara pasti melintasi lembaga
ini. Berada pada ketinggian 5 m di atas permukaan laut dan kondisi
cuacanya maksimal 32°C dengan curah hujan cukup. Lokasi yang
dipadati pemukiman penduduk memungkinkan pengembangan
lanjutan.
Sebuah komplek berdiri kokoh terletak di pinggir jalan. Di
dalamnya tampak beberapa bangunan asrama pemondokan santri,
ruangan kantor serta balai–balai pengajian. Orang mengenal
tempat ini dengan sebutan “Dayah Ulee Titi”. Bisa dimaklumi,
sebuah lembaga pendidikan Islam yang di beri nama Dayah Ulee
Titi merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di
Kabupaten Aceh Besar. Tokoh-tokoh penting, kiai-kiai penebar

13 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


hikmah dan pembawa berkah, serta para pencinta Tuhan pun
berdatangan tak kenal waktu untuk mengais seteguk air keilmuan
yang mampu menghilangkan dahaga kebodohan bagi masyarakat
Aceh Besar.
Lembaga yang kini menampung 785 santri plus 85 Staf
pengajar/ustaz terlihat berbeda dengan wajah masa lampaunya
yang berbentuk bilik-bilik reyot sudah berganti wajah dengan
bangunan-bangunan kokoh.
Keunikan yang terjadi pada pondok-pondok pesantren salafiah
juga terjadi pada Pondok Pesantren Ulee Titi. Pada awal berdirinya,
proses belajar di pondok pesantren ini dimulai dari sekelompok
remaja datang kepada Abu Ishak al-Amiry untuk menimba ilmu
keagamaan. Seiring dengan berjalannya waktu, santri yang
berkunjung ke kediaman sang Tengku semakin banyak dan tak
tertampung lagi. Akhirnya, dayah sederhana pun didirikan.
Penamaan pondok pesantren dengan nama “Dayah Ulee Titi”3
tidak terlepas dari nama tempat pondok pesantren. Ulee dalam
bahasa Aceh berarti ujung dan titi berarti jembatan, maka nama “Ulee
Titi” berarti ujung Jemabatan hal ini disebabkan keberadaannya
yang persisis diujung jembatan yang menghubungkan Jl. Lambaro
– Bandara Sultan Iskandar Muda dengan kota Banda Aceh, 1 km
dari ibukota kecamatan Ingin Jaya. Dalam perkembangannya
pondok pesantren ini bergeser sekitar 1 km dari ujung jembatan
karena perlebaran dan perpanjangan jembatan.
Dua tahun sebelum mangkat, sekitar tahun 1995, Tgk. Abu Ishak
al-Amiry mempercayakan pengelolaan dan pengurusan lembaga
kepada putranya Tgk. H. Athaillah Ishaq al-Amiry4 yang pada saat
itu masih berusia 38 tahun. Beliau memegang teguh amanah yang
telah diamanahkan oleh sang Abuya. Dasar kekuatan motivasi
sang pelanjut perjuangan adalah statemen Abuya dalam bentuk
wasiat akhir: “Wahai anakku, lihatlah kehidupanku selama kamu
mengikutiku, tidak pernah meninggalkan santri walau sehari pun
untuk mencari kesibukan di luar, oleh karena itu janganlah kamu
meninggalkan mereka Allah akan selalu memberkahi pengabdian
yang kita lakukan.”
Dari pengalaman tersebut Tgk. H. Athaillah Ishaq al-Amiry
telah jauh-jauh hari mempersiapkan putranya dengan memberikan
bekal keilmuan yang kuat dan pengalaman yang banyak. Pada

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 14


saatnya tiba, sang anak dapat menggantikan perannya sebagai
tokoh pada Pondok Pesantren Ulee Titi. Persoalan regenerasi pada
pondok pesantren di seluruh pelosok nusantara menjadi masalah
–yang sampai saat ini— tidak terselesaikan. Berapa banyak
pondok pesantren mati seiring dengan wafatnya sang pendiri dan
kiai karismatiknya.

Fasilitas Pesantren
Pondok Pesantren Ulee Titi memiliki luas tanah sekitar 3 ha.
Tanah tersebut dipergunakan untuk membangun berbagai sarana
dan prasarana untuk menunjang tetap berjalannya proses belajar
mengajar di pesantren. Sebagai sebuah pondok pesantren, Dayah
Ulee Titi dilengkapi dengan gedung asrama putra, balai pengajian,
perpustakaan, klinik pesantren, koperasi, mushallah, dan lain-lain.
Di samping dilengkapi dengan berbagai sarana yang berbentuk
gedung, pondok pesantren juga dilengkapi berbagai sarana
penunjang lain seperti peralatan elektronik, perlengkapan praktek
keterampilan, sarana air bersih dan penerangan.
Dari data sarana dan prasarana yang dimiliki, dapat dikatakan
bahwa Pondok Pesantren Ulee Titi adalah pesantren salafi yang
bertaraf modern. Pemanfatan bangunan terlihat sangat efektif
dan efisien karena pembelajaran dimulai dari pukul 08.00 sampai
pukul 21.00 hanya diselingi oleh waktu istirahat dan shalat.

Kurikulum yang Diterapkan


Agar terhindar dari tindakan simplifikasi pemahaman terhadap
kurikulum, ada baiknya jika konsep dalam arti luas dibahas secara
singkat, sehingga dapat dicermati kapan dan bagaimana guru
dapat memberikan kontribusinya dalam proses pengembangan
kurikulum.
Definisi kurikulum menurut Beane dkk (1986), yakni bahwa
konsep kurikulum dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis
pengertian yang meliputi: 1. kurikulum sebagai produk; 2. kurikulum
sebagai program; 3. kurikulum sebagai hasil yang diinginkan: dan
4. kurikulum sebagai pengalaman belajar bagi peserta didik.
Kurikulum sebagai produk merupakan hasil perencanaan,
pengembangan, dan rekayasa kurikulum. Pengertian ini memiliki
keuntungan berupa kemungkinan yang dapat dilakukan terkait

15 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


dengan arah dan tujuan pendidikan secara lebih konkret dalam
sebuah dokumen yang kemudian diberi label kurikulum. Oleh
karena itu, kurikulum dalam arti produk merupakan hasil konkret
yang dapat diamati dalam bentuk dokumen hasil kerja sebuah
tim pengembang kurikulum. Perlu diingat bahwa definisi tersebut
memiliki kelemahan pada adanya pemaknaan yang sempit
terhadap kurikulum. Dalam hal ini kurikulum hanya dipandang
sebagai dokumen yang memuat serentetan daftar pokok bahasan
materi suatu mata pelajaran.
Kurikulum sebagai program secara esensial merupakan
kurikulum yang berbentuk program-program pembelajaran secara
riil. Dalam bentuk yang ekstrem, kurikulum sebagai program
dapat termanifestasikan dalam serentetan daftar pelajaran
ataupun pokok bahasan yang diajarkan pada kurun waktu tertentu
seperti halnya dalam kurun waktu satu semester. Elaborasi atas
interpretasi yang lebih luas dari definisi tersebut dapat mencakupi
aspek-aspek akademik yang kemungkinan perlu dimiliki oleh
sekolah dalam kerangka kegiatan pembelajaran suatu kajian ilmu
tertentu. Keuntungan dalam pandang tersebut adalah 1. dengan
cepat dapat menunjukkan dan menjelaskan apa yang dimaksud
kurikulum dengan lebih konkret; 2. dapat memahami bahwa
kegiatan pembelajaran dapat terjadi dalam setting yang berbeda
pada jenjang yang berbeda. Kelemahan kurikulum sebagai
program adalah munculnya asumsi bahwa apa yang ada dalam
daftar pokok bahasan, itulah yang harus dipelajari oleh siswa tidak
ada perluasan pokok bahasan.
Pandangan kurikulum sebagai hasil belajar yang ingin dicapai
oleh para siswa mendeskripsikan kurikulum sebagai pengetahuan,
keterampilan, perilaku, sikap, dan berbagai bentuk pemahaman
terhadap bidang studi. Walau pengertian ini lebih konseptual,
namun hasil belajar yang diinginkan siswa juga sering dituangkan
dalam bentuk dokumen. Seperti halnya tujuan belajar, seperangkat
konsep yang harus dikuasai, prinsip-prinsip belajar dan sebagainya.
Keuntungan dari cara pandang seperti ini adalah 1. kurikulum
menjadi sebuah konsep, yang selanjutnya dapat dikembangkan
dan dielaborasikan oleh guru, siswa dan masyarakat, sehingga
tidak sekadar produk semata yang secara “ritual” harus diajarkan
apa adanya tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan kultur
baik di sekolah maupun di masyarakat; 2. dapat menyusun

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 16


kurikulum menjadi lebih manageable baik dari segi scope maupun
sequen-nya. Kelemahan pemahaman ini adalah adanya kesulitan
bagi para guru maupun sekolah dalam menangani secara terpisah
apa yang harus dipelajari oleh siswa dan cara mempelajarinya.
Dan, pemahaman kurikulum sebagai pengalaman belajar
pada hakikatnya merupakan pemisahan yang sangat jelas dari
tiga pemaknaan sebelumnya. Sebagai konsekuensinya apa yang
direncanakan dalam kurikulum belum tentu berhasil sebagaimana
yang diharapkan. Hal ini tentu banyak faktor yang memengaruhinya
seperti halnya kemampuan guru dalam menerapkan dan
mengembangkan kurikulum dalam proses pembelajaran. Artinya,
sebaik apa pun kurikulum bila tidak didukung oleh guru yang
profesional, itu tidak banyak memberikan makna terhadap siswa,
demikian pula sebaliknya.
Paling tidak ada dua keuntungan pemaknaan tersebut: 1. pihak
guru maupun sekolah lebih memusatkan perhatiannya kepada
siswa dalam proses pembelajaran; 2. guru akan lebih melibatkan
semua pengalaman siswa. Walaupun demikian pemahaman seperti
itu memiliki kelemahan: 1. kurikulum terasa lebih abstrak dan
kompleks jika dibandingkan dengan pemahaman yang sebelumnya,
dan 2. kurikulum menjadi sangat komprehensif, sehingga tidak
dapat dideskripsikan dalam bentuk yang sederhana. Sebagai
konsekuensinya muncul terminologi mengenai kurikulum eksplisit
(tertulis) dan implisit (tidak tertulis) atau kurikulum tersembunyi
(hidden curriculum).
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. (Depertemen
Pendidikan Nasional). Kurikulum adalah suatu perencanaan untuk
mendapatkan keluaran (out comes) yang diharapkan dari suatu
pembelajaran. Perencanaan tersebut disusun secara terstruktur
untuk suatu bidang studi, sehingga memberikan pedoman dan
instruksi untuk mengembangkan strategi pembelajaran (materi di
dalam kurikulum harus diorganisasikan dengan baik agar sasaran
(goals) dan tujuan (objectives) pendidikan yang telah ditetapkan
dapat tercapai). (Grayson, 197)

17 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


Kurikulum sebagai a plan for learning diartikan sebagai
sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh siswa. Pendapat
lain mengatakan bahwa kurikulum adalah dokumen tertulis yang
memuat rencana untuk peserta didik selama di sekolah. (Hilda
Taba, 1962, “Curriculum Development Theory and Practice)
Dari beberapa definisi tentang kurikulum tersebut dapat
diambil sebuah natijah bahwa makna kurikulum secara keseluruhan
adalah sebuah program, rencana yang akan di terapkan dalam
proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diharapkan
apakah kurikulum sebagai produk, sebagai program, sebagai hasil
yang diinginkan, maupun sebagai pengalaman belajar bagi peserta
didik.
Sementara kurikulum yang dimaknai di pondok pesantren
secara umum dapat juga diartikan sebagai produk yang dihasilkan
oleh kiai untu para santrinya, sebagai program yang telah
diciptakannya untuk menghasilkan santri-santri berkualitas,
sebagai hasil yang diinginkan. Definisi ini diarasa lebih tepat karena
kurikulum juga merupakan pengalaman belajar bagi peserta didik.
Oleh karenanya tidak sedikit pondok pesantren yang menerapkan
kurikulum sebagai pengalaman belajar para santrinya. Pondok
Pesantren Ulee Titi lebih memaknai kurikulum sebagai empat
komponen di atas.

Silabus Pendidikan Tidak Sistematis


Mengapa mereka bisa, sedang kita tidak? Ada sejumlah faktor
yang menghambat terjadinya akselerasi intelektual santri salaf
untuk dapat mumpuni dan produktif dalam disiplin ilmu agama
yang mereka tekuni. Salah satu yang terpenting adalah silabus
pesantren salaf yang kurang sistematis. Seperti diketahui, umumnya
pesantren salaf memiliki dua sistem pendidikan: madrasah dan
pengajian langsung ke kiai. Penulis melihat kurikulum madrasah
di pesantren salaf kurang padat, terlalu banyak pengulangan
khususnya dalam bidang tata bahasa Arab (nahwu dan sharaf)
dan fiqh. Keharusan menghafal kitab Alfiyah Ibnu Malik sebanyak
seribu bait adalah sangat memakan waktu (time consuming) yang
sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk menghafal materi yang
lebih bermanfaat, seperti al-Qur’an atau Hadits. Sementara kajian

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 18


al-Quran dan Hadits, yang nota bene menjadi ujung tombak dari
fiqh itu sendiri sangatlah kurang.
Umumnya, santri membutuhkan waktu minimum sembilan
sampai 12 tahun untuk dapat lulus dari madrasah di pesantren
salaf. Ketika seorang santri lulus dari tingkat Tsanawiyah, (SMP) bagi
pesantren yang pendidikan utamanya sampai tingkat ini, seperti
yang terjadi pada pondok pesantren Ulee Titi5, maka kemampuan
yang dapat diharapkan dari mereka adalah penguasaan nahwu
/ sharaf yang baik, dan dapat membaca kitab-kitab fiqh kelas
menengah seperti Fath al-Qarib, Fath al-Mu’in, dll. Jarang sekali
mereka dapat menguasai kitab-kitab tafsir di atas kitab Tafsir
Jalalain atau kitab-kitab Hadits standar seperti Kutub al-Sittah,
karena yang dipelajari umumnya tidak lebih dari Bulugh al-Maram,
atau sekelas dengan itu.
Untuk sekedar perbandingan, Pesantren Deoband (India)
hanya membutuhkan waktu delapan tahun untuk menempuh
pendidikan Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah serta ditambah
tiga tahun untuk Fadhilat (S-1). Setelah selesai selama 12 tahun,
santri sudah menguasai nahwu/sharaf, sastra Arab, kitab Hidayat
untuk mazhab Hanafi (setingkat kitab al-Umm dalam madzhab
Syafii), hadits Kutub al-Sittah, plus al-Muwaththa’ karya Imam
Malik, al-Muwaththa’ karya Imam Muhammad, dan Thahawi Tafsir
al-Jalalain, dan sejarah Islam dari era Nabi sampai Dinasti Muslim
India. Kalau santri hendak mengambil spesialisasi (program
Master) di bidang tertentu, ia harus menambah dua tahun lagi.
Sebagai contoh, bagi yang hendak mengambil spesifikasi tafsir,
maka dalam dua tahun tersebut ia akan merampungkan Tafsir Ibnu
Katsir, Tafsir al-Baidhawi, dan ilmu tafsir untuk tingkat advanced
(tinggi) yang kemudian diakhiri dengan menulis thesis. Dus, untuk
mencapai tingkat “master” santri Deoband hanya membutuhkan
waktu 10 tahun.6

Kitab-kitab Klasik yang menjadi acuan


Kitab-kitab yang menjadi acuan dan sekaligus sebagai referensi
yang diajarkan di Pondok Pesantren Ulee Titi dapat dilihat secara
terperinci dari silabus di atas. Untuk lebih mendalam apa dan
bagaimana kitab-kitab tersebut diajarkan berikut ini sebagai
illustrasi singkatnya.

19 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


1. Dalam bidang fiqh: Safinah al-Naja, Matan at-Taqrib, al-Bajuri,
I’anah al-Thalibin, al-Qulyubi / al-Mahalli, al-Bujairimi,
2. Dalam bidang tauhid: Kifayah al-Mubtadin, Aqidah Islamiah,
Khamsatun Mutun, Tijan al-Dharari, Kifayah al-Awwam, Hud
Hudi, al-Dusuki,
3. Dalam bidang sharaf: Zammon, Matan al-Bina, al-Kailani, Sals
al-Madkhal, al-Madlub,
4. Dalam bidang tasawuf: Taisir al-Akhlaq, Ta’lim al-Muta’allim,
Muraqi Ubudiah, Minhaj al-Abidin, Ihya Ulum al-Din,
5. Dalam bidang nahwu: al-‘Awamil, Matn al-Jurumiyah, Muhktasar
Jiddan, Kawakib al-Durriyah, Matn Alfiah / Huzari, Ibnu Aqil /
Huzari
6. Dalam bidang tarikh: Khulasah, Nur al-Yakin,
7. Dalam bidang manteq: Matn Sulam, Idhah al-Mubham, Isaghuji,
Subban, Syamsiah, al-Talkhis,
8. Dalam bidang ushul: Waraqad, Nufahat, Lathaiful Isyarah,
Ghayah al-Usul,
9. Dalam badang ilmu bayan: Ahmad Sawi, Jauhar al-Maknun,
10. Dalam bidang Hadits: Arbain al-Nawawi, Majlis al-Saniah, al-
Baiquni,
11. Dalam bidang Tafsir: al-Shawi, al-Khazin

Perkembangan Pembelajaran
Perkembangan pembelajaran pada Dayah Ulee Titi terlihat
sangat pesat. Periode awaliyah hanya bersifat tradisional dengan
menggunakan kajian-kajian murni terhadap kitab-kitab klasik
di balik bilik bambu dan bedek reot. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman terutama setelah musibah Tsunami dan
masuknya donatur-donatur luar, Dayah Ulee Titi pun tak luput
dari sasaran pembaharuan, mulai dari sarana prasana yang
dimilikinya ditambah dan diperbaharui sampai pada sistem yang
dikembangkannya.
Sistem dan wajah baru yang ditampilkan oleh Dayah Ulee Titi
tidak serta merta membuang sistem paten yang telah dimilikinya

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 20


yakni perpaduan antara sistem tradisional dengan sistem modern.
Tapi dalam pembelajaran sistem sorogan dan bandongan merupakan
dua sistem yang tetap bertahan di tengah-tengah gempuran sistem
baru.
Kelas-kelas yang dimiliki oleh Dayah Ulee Titi lebih merupakan
kelas dengan sistem sorogan dan bandongan. Prinsip kelas yang
dikembangkannya tidak berdasarkan usia santri tapi lebih kepada
sistem waktu kapan santri bergabung di dayah. Dayah ini tidak
mengenal batas usia santri. Bisa jadi mereka yang bergabung
setelah usia 20 an dan bisa saja setelah usia tua. Umumnya,
mereka bergabung pada usia belasan.

Aktivitas Pondok Selain Pembelajaran


Karena tujuan awak pendirian Dayah Ulee Titi adalah untuk
membina masyarakat sekitar, maka pada awalnya program-
program selalu diorientasikan pada kebutuhan masyarakat. Di
antara program kemasyarakatan yang dilakukan oleh Dayah Ulee
Titi adalah;
a. Pengurusan Jenazah
Salah satu program yang dilestarikan oleh Dayah Ulee Titi
dalam pengabdiaannya terhadap masyarakat sekitar adalah
melakukan pengurusan jenazah terutama mensholatkannya.
Santri-santrinya dikerahkan untuk melakukan salat jenazah
sebagai salah satu bentuk pengabdiannya terhadap masyarakat
sekitar.
b. Samadiah/Tahlilan;
Kegiatan ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut
untuk menghantarkan orang yang meninggal dunia. Kegiatan
ini dimaksudkan selain untuk mengiringi kepergian sanak
keluarga yang telah meninggal dunia juga sebagai sarana
mempererat persaudaraan antar sesama. Momentum tahlilan
dapat dijadikan sebagai ajang sambung rasa antar masyarakat
guna memperkuat ukhuwah Islamiyah dan memperdalam
kajian keIslamannya.

21 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


c, Menekuini Tarekat Samadiah
Tarekat Samadiah diperuntukan –sebenarnya—untuk
para santri yang tidak turut pulang di saat teman-temannya
pulang kampung untuk berlibur. Tarekat tersebut dimaksudkan
sebagai jalan ber-taqarrub kepada Allah SWT sedekat mungkin.
Hiburan spiritual ini ternyata mampu membuat para santrinya
menjadi santri-santri yang memiliki kemampuan spiritual yang
tinggi dan pada akhirnya kesedihan mereka terobati dengan
banyak berzikir dan berkontemplasi secara berkala dan terus-
menerus.
Tarekat yang menjadi andalan Dayah Ulee Titi adalah
Tarekat Nahsyabandiyah. Tarekat ini didirikan sekitar tahun
(717 H – 791 H) oleh Muhammad bin Muhammad Baka’ al–Din
al-Uwaisi al–Bukhari al-Naqsabandi. Ia adalah seorang pemuka
ilmu tasawuf ketika itu. Sementara proses penyebarannya di
Dayah Ulee Titi dilakukan di luar jam belajar sebagai bentuk
pembelajaran ekstrakurikuler.
d. Fidyah Sembahyang
Fidyah sembahyang ini secara hukum masih mengundang
perdebatan antar pakar dan ahli ilmu. Walau demikian dasar
yang dijadikan acuan adalah kitab I’anah al-Thalibin jilid I hal.
29 yang tersirat pada kata–kata tanbih.
Dalam pelaksanaannya fidyah sembahyang memiliki
keunikan tersendiri, persoanil yang dibutuhkan dalam fidyah
sembahyang sebanyak 30 orang, mareka dibagi dalam 2
kelompok dengan posisi duduk saling berhadapan (pace to
pace).
Di tengah–tengah mereka diletakkan sekarung beras
ukuran 15 kg berarti harus menyediakan 15 karung beras
untuk 30 peserta, dan tiap – tiap kelompok dipandu oleh
seorang Teungku selaku pengarah acara. Kemudian beras
tersebut dimaju mundurkan sesuai dengan aba–aba pengarah
acara. Lama dan singkatnya tarikan sangat bergantung dengan
sedikit dan banyaknya shalat yang ditinggalkan oleh Almarhum.
Secara umum fidyah yang dibayar selain sembahyang adalah
puasa dan sumpah atau janji yang telah dibuat orang yang
meninggal dunia.
Mastery Learning pada Pondok Pesantren 22
e. Peusijuk
Peusijuk merupakan ibadah yang isinya mengandung do’a–
do’a dan beberapa jenis zikir. Kegitatan ini dilaksanakan untuk
menuai masa depan yang lebih beruntung, untuk mencari
keberkahan, disertai rahmat. Karena ibadah yang menganut
sistem tafa’ul selain berguna ukhrawi juga menyangkut dengan
persoalan duniawi. Kegiatan ini dilakukan --ada kalanya-- pada
pagi, siang atupun malam hari, tergantung kebutuhan dan
keperluan serta tujuan melakukannya.
f. Aqiqah
Aqiqah mengandung makna penyembelihan kambing bagi
anak yang baru dilahirkan. Jumlah kambing yang disembelih
adalah dua ekor kambing untuk anak laki–laki dan satu ekor
kambing bagi anak perempuan. Prosesi ini dilaksanakan
pada hari ketujuh kelahiran, dengan membaca burdah yang
terdapat di dalam Dalail al-Khairat, dibawakan dengan irama
sendu sehingga menarik perhatian pengunjung. Peserta yang
membaca burdah dipilih dari mareka yang mempunyai suara
merdu. Jumlah personil terdiri dari 10 orang bahkan lebih,
tergantung keinginan keluarga. Bentuknya hampir sama
dengan zikir maulid.
g. Khatam al-Qur’an;
Peutamat Qur’an adalah kata yang sudah populer di
tengah–tengah masyarakat. Khatam mengandung arti
membaca Qur’an dari awal surat al-Fatihah hingga selesai surat
al-Ikhlash (30 juz). Di kalangan masyarakat, acara ini biasanya
dilakukan tatkala ada anggota keluarganya yang meninggal
dunia. Kegiatan ini dilakukan dengan melibatkan minimal 30
orang santri yang dipimpim langsung oleh Abu. Tiap–tiap santri
membaca 1 juz hingga selesai, sesudah semuanya selesai baru
dikhatam dengan ditutup do’a–do’a dan zikir.
Seiring dengan perkembangan zaman minat masyarakat
dan generasi peneurus untuk mempelajari, membaca dan
memahami al-Qur’an semakin menurun. Oleh karena
itulah, dalam acara-acara khatam al-Qur’an Dayah Ulee Titi
mengajak masyarakat khatam al-Qur’an dengan cara membagi
keseluruhan isi al-Qur’an per juz per orang/ santri, dengan

23 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


harapan lambat laun generasi-generasi cinta al-Qur’an akan
tumbuh dan bergairah kembali.
h. Ceramah Agama
Aspek lain yang ditekuni para santri dayah guna
mensosialisasikan dan memberdayakan masyarakat tentang
ilmu pendidikan adalah berdakwah. Sebanyak 30 orang da’i
dikirim dan diberikan tugas untuk memberikan siraman rohani
pada seluruh pelosok Kabupaten Aceh Besar baik melalui
mimbar Jum’at, maulid atupun acara-acara lainya.
i. Majlis Ta’lim
Di samping mengajar di Dayah, para pengajar pun secara
berkala melakukan pembinaan majlis-majlis ta’lim di wilayah
Aceh Besar. Prinsip dasar dalam kehidupan para pengajar
di Dayah adalah: “Hidup merupakan pengorbanan dan
pengorbanan yang paling mulia adalah pengorbanan untuk
agama Allah.” Ada 35 titik pengajian yang sudah terbentuk
dalam 5 kecamatan yang menurunkan 12 da’i dari kalangan
guru-guru dayah.

-[]-

POLA PEMBELAJARAN DAYAH ULEE TITI

Gambaran Pelaksanaan Sorogan dan Bandongan


Sejak zaman penjajah, pondok pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat. Eksistensinya telah mendapat pengakuan masyarakat.
Pondok Pesantren Ikut terlibat dalam upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa, tidak hanya dari segi moril, namun telah pula
ikut serta memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam
penyelenggaraan pendidikan. Sebagai pusat pengajaran ilmu-ilmu
agama Islam (tafaqquh fi al-din), pondok pesantren telah banyak
melahirkan ulama, tokoh masyarakat, muballigh, guru agama yang
sangat dibutuhkan masyarakat. Hingga kini pondok pesantren
tetap konsisten melaksanakan fungsinya dengan baik, bahkan
sebagian telah mengembangkan fungsinya dan perannya sebagai
pusat pengembangan masyarakat. (Depag RI, 2003:1).

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 24


Tugas pokok yang dipikul pondok pesanten selama ini pada
esensinya adalah mewujudkan manusia dan masyarakat muslim
yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam konteks ini,
lebih khusus, pondok pesantren diharapkan berfungsi lebih dari
itu; ia diharapkan agar memikul tugas yang tak kalah pentingnya,
yakni melakukan reproduksi ulama’. Dengan kualitas ke-Islaman,
keimanan, keilmuan dan akhlaknya, para santri diharapkan
mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya. Di
sini, para santri diharapkan dapat memainkan fungsi ulama; dan
pengakuan terhadap keulamaan mereka biasanya pelan-pelan tapi
pasti datang dari masyarakat. Selain itu juga pondok pesantren
bertujuan untuk menciptakan manusia muslim mandiri -dan ini
kultur pondok pesantren yang cukup menonjol - yang mempunyai
swakarya dan swadaya.
Dalam menghadapi era globalisasi dan informasi, pondok
pesantren perlu meningkatkan peranannya. Ini dikarenaan Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah agama yang
berlaku seantero dunia sepanjang masa. Ini berarti ajaran Islam
adalah global dan melakukan globalisasi untuk semua. (QS. al-
Hujurat:13). Kunci dari ayat di atas adalah setiap persaingan yang
keluar sebagai pemenang adalah yang berkualitas, yaitu memiliki
iman-takwa, kemampuan, ilmu pengetahuan, teknologi dan
ketrampilan (Rahim, 2001:160). Di sinilah peran pondok pesantren
perlu ditingkatkan, tuntutan globalisasi tidak mungkin dihindari.
Maka salah satu langkah bijak jikalau tidak mau dalam persaingan,
adalah mempersiapkan pondok pesantren agar “tidak ketinggalan
kereta”.
Keunggulan lain dari pondok pesantren terletak pada sistem
pembelajaran yang telah dilestarikannya, sehingga berhasil
memproduksi generasi-generasi handal yang dapat bersaing
di dunia global dan dapat mewujudkan generasi muda yang
berkualitas tidak hanya pada aspek kognitif, tetapi juga pada aspek
afektif dan psikomotorik. (Azra,2000:48).
Metode sorogan merupakan sistem yang juga dipraktekan di
berbagai kajian sebagai metode yang telah terbukti menjadikan
alumninya menjadi orang-orang yang mumpuni dalam bidang
pengembangan sumber daya manusia. Di samping itu, alumni
metode sorogan diharapkan tidak hanya mempunyai perspektif

25 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


keilmuan yang lebih integratif dan komprehensif antara ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu yang lain, tetapi juga memiliki kemampuan
teoritis dan praktis tertentu yang diperlukan dalam masa industri
dan pasca industri.
Proses pembelajaran seperti inilah yang telah dipresentasikan
oleh Pondok Pesantren Ulee Titi sehingga para alumni yang telah
terdidik di dalamnya mampu mendesain berbagai bentuk teori
dan praktek untuk kemudian diaplikasikan kepada masyarakat
sebagai konsumen.
Secara garis besar aplikasi sistem sorogan yang dipraktekan di
Dayah Ulee Titi terlihat sebagai berikut;
Pertama, para santri terbagi menjadi beberapa kelas. Ukuran
kelas masing-masing terletak pada waktu tempuh (lama belajar)
yang telah dijalankan di pesantren. Jumlah santri pada masing-
masing sangat bervariasi sehingga sistem sorogan yang diterapkan
juga bervariatif. Sistem sorogan berarti menyodorkan, sebab setiap
santri menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau pembantunya
(badal, asisten kiai). System sorogan ini termasuk belajar secara
individual, di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru,
terjadi interaksi saling mengenal di antara keduanya. Dayah Ulee
Titi menerapkan hal yang sama, seorang santri mendatangi guru
dengan membuka kitab yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Beberapa persoalan yang dijadikan standar dalam pembelajaran
sorogan adalah: a. penguasaan ilmu alat (nahwu & sharf) yang
dibuktikan dalam tingkat kebenaran dalam membaca kitab-kitab
gundul (tidak berharakat); b. mengetahui dengan baik terjemahan
dari kitab yang telah dibaca (secara generik maupun istilah); c.
memahami dengan benar apa yang terkandung dari teks kitab
yang telah dibaca; d. mampu menjelaskan dan menguraikan dari
aspek makna yang tersirat di balik naskah yang dibaca. Indikator-
indikator inilah yang dijadikan acuan dalam melihat kemajuan
para santrinya.
Kedua, setelah masing-masing santri membaca dan
mempertanggungjawabkan isi, makna, dan maksud kitab
sesuai dengan batasan yang telah ditentukan, maka giliran guru
memberikan ulasan secara menyeluruh terhadap apa yang telah
dibaca oleh masing-masing santri tersebut. Ulasan inilah yang
pada akhirnya dikenal dengan sitilah bandongan atau wetononan.

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 26


Istilah wetonan ini berasal dari kata wektu (bahasa Jawa) yang
berarti waktu. Penamaan seperti itu dikarenakan pengajian
tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan
atau sesudah melakukan shalat fardu. Istilah wetonan seperti ini
tidak berlaku di Dayah Ulee Titi karena bandongan atau wetonan
yang diaplikasikan di Dayah Ulee Titi tidak sama seperti yang
berlangsung di Jawa. Metode weton merupakan metode kuliah, di
mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling
kiai yang menerangkan pelajaran kuliah, santri menyimak kitab
masing-masing dan membuat cacatan padanya.
Ketiga, –masih dalam satu waktu— bentuk pembelajaran
berikutnya adalah membahas maksud teks kitab yang telah
dibaca masing-masing santri dengan sistem diskusi. Para santri
diberikan kebebasan bertanya dan memberikan ulasan tersendiri
sesuai dengan pemahaman mereka terhadap apapun yang
terkandung dalam teks. Pada proses ini, tidak jarang terjadi
perbedaan pendangan antara santri dan guru ketika, namun tidak
menjadikannya sebagai aib bagi guru dan kendala bagi santri.
Kebebasan berpendapat seperti ini di Dayah Ulee Titi telah dibina
dengan baik sehingga tidak terkesan santri harus menerima secara
hitam putih apa yang dikatakan gurunya. Pada pesantren ini tidak
mengenal istilah “kualat” atau tidak berkah ilmunya jika bertanya
apalagi berdiskusi sampai berbeda pendapat dengan guru. Hal ini
jarang terjadi pada pondok pesantren lain baik di Jawa maupun di
luar Pulau Jawa (Wahhab, 973: 26).

Faktor-Faktor pendukung Sorogan dan Bandongan


Seperti kita ketahui bahwa pesantren di Nusantara telah terpola
sistem dan metode kajiannya menjadi dua pola besar yakni sistem
sorogan dan bandongan. Namun, pada masa-masa terakhir ini, telah
terjadi beberapa sistem baru yang dimasukkan untuk mencapai
tujuan yang lebih maksimal. Sistem-sistem tersebut sangat terkait
dengan tipologi pondok pesantren yang dikemabngkan oleh
pemerintah. Tipologi-tipologi pondok pesantren berakibat pada
sistem dan metode yang dikembangkan oleh masing-masing
pondok pesantren.
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
mengalami perkembangan bentuk sesuai dengan perubahan

27 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


zaman, tertama sekali adanya dampak kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perubahan bentuk pesantren bukan berarti bahwa
pondok pesantren yang telah hilang kekhasannya. Dalam hal
ini pondok pesantren tetap merupakan lembaga pendidikan
Islam yang tumbuh dan berkembang dari masyarakat untuk
masyarakat. Secara faktual ada beberapa tipe pondok pesantren
yang berkembang dalam masyarakat, yang meliputi:
1. Pondok Pesantren Tradisional:
Pondok pesantren ini masih tetap mempertahankan bentuk
aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab berbahasa Arab
yang ditulis oleh ulama pada abad ke-15. Pola pengajarannya
menerapakan sisitem “halaqah” yang dilaksanakan di masjid
atau surau. Hakekat dari sistem pengajaran halaqah adalah
penghapalan dengan tujuan akhirnya dari segi metodologi
cenderung kepada terciptanya santri yang menerima dan
memiliki ilmu. Artinya ilmu itu tidak berkembang ke arah
paripurnanya ilmu, melainkan hanya terbatas pada apa yang
diberikan oleh kiainya. Kurikulumnya tergantung sepenuhnya
kepada para kiai pengasuh pondoknya. Santrinya ada yang
menetap di dalam pondok (santri mukim), dan santri yang
tidak menetap di dalam pondok (santri kalong).
2. Pondok Pesantren Modern
Pondok pesantren ini merupakan pengembangan tipe
pesantren karena orietasi belajaranya cenderung mengadopsi
seluruh sistem belajar secara klasik dan meninggalkan
system belajar tradisional. Penerapan sistem belajar modern
ini terutama tampak pada bangunan kelas-kelas belajar
baik dalam bentuk madrasah maupun sekolah. Kurikulum
yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang
berlaku secara nasional. Santrinya ada yang menetap ada
yang tersebar di sekitar desa itu. Kedudukan para kiai sebagai
koordinator pelaksana proses belajar mengajar langsung di
kelas. Perbedaannya dengan sekolah dan madrasah terletak
pada porsi pendidikan agama dan bahasa Arab lebih menonjol
sebagai kurikulum muatan lokal.

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 28


3. Pondok Pesantren Komprehensif
Sistem pesantren ini disebut komprehensif karena sistem
pendidikan dan pengajaran yang merupakan gabungan antara
sistim tradisional dan modern. Artinya, di dalamnya diterapkan
pendidikan dan pengajaran kitab kuning dengan metode
sorogan, bandongan dan watonan, namun secara reguler
sistem pesekolahan terus dikembangkan. Bahkan pendidikan
ketrampilan pun diaplikasikan sehingga menjadikannya
berbeda dari tipologi kesatu dan kedua (Ghazali, 3003:15)

Faktor Perkembangan Dayah Ulee Titi


Berkembangnya metode sorogan dan bandongan di Dayah Ulee
Titi tidak terlepas dari beberapa faktor beriktu:
1. Faktor Internal
Faktor internal yang dimaksud adalah bangunan-bangunan
berupa bale-bale yang telah disiapkan dengan kapasitas sekitar
20-30 santri. Guru-guru yang siap setiap saat untuk memberikan
bimbingan secara mendalam terutama karena para guru
tinggal bersama santri dalam komplek yang sama, santri-santri
tinggal dalam asrama yang telah ditentukan dengan seorang
pembimbing (kakak kelas). Di samping itu, aturan-aturan
yang diterapkan di Dayah Ulee Titi sangat mendukung proses
pelaksanaan program pembelajaran sorogan dan bandongan.
Dalam aturan tersebut juga terselip sanksi bagi santri yang
melanggar kesepakatan yang telah dibuat.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dimaksud adalah keinginan orang tua
yang begitu kuat dalam memberikan semangat dan dukungan
kepada anak-anaknya serta dukungan nyata terhadap para guru
yang memberikan pembelajaran dengan bantuan dana secara
berkelanjutan walaupun tidak besar. Dukungan pemerintah
setempat memberikan bantuan berupa sarana dan prasarana
yang dapat mendukung proses pembelajaran.

29 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


Keunggulan dan Kelemahan Metode Sorogan dan Bandongan
Metode sorogan dan bandongan merupakan metode tradisional
sejak awal berdirinya pesantren di nusantara . Metode klasik
ini telah mampu memberdayakan dan meningkatkan santrinya
dalam menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Pola pengajaran
sorogan dan bandongan/wetonan telah digunakan untuk mengkaji
kitab-kitab agama yang ditulis oleh para ulama pada zaman
abad pertengahan yang populer dengan istilah “kitab kuning.”
(Bruinessen, 1997:23).
Masing-masing metode (sorogan dan bandongan) memiliki
keunggulan diantaranya:
1. Keunggulan metode sorogan:
a. Terbukti sangat efektif sebagai tahap pertama bagi seorang
murid yang bercita-cita menjadi alim.
b. Metode ini memungkinkan seorang guru mengawasi,
menilai dan membimbing secara maksimal kemampuan
seorang santri dalam menguasai materi pembelajaran.
c. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri
yang lebih menitikberatkan pengembangan kemampuan
perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang kiai
atau ustadz.
d. Membiasakan santri untuk selalu siap berhadapan
dengan guru yang mengajarnya, di samping memberikan
pembelajaran bahwa persiapan sebelum menghadapi guru
sangat dibutuhkan.
e. Memberikan pembelajaran bahwa seorang santri harus
patuh –tentunya bukan pada hal-hal yang bertentangan-
kepada gurunya.
6. Memungkinkan hubungan kiai dengan santri sangat dekat,
sebab kiai dapat mengenal kemampuan pribadi santri
secara satu satu persatu.
2. Keunggulan metode bandongan:
Sistem bandongan yang diterapkan di Dayah Ulee Titi
memiliki keunggulan yang tidak dimiliki oleh pesantren lain di
Nusantara. Keunggulannya adalah setelah guru memberikan

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 30


penegasan dan penjelasan terhadap isi kitab yang (secara
tematik) telah dibaca oleh para santri pada sistem sorogan, guru
dan santri berdiskusi layaknya perguruan tinggi. Perbedaan
pendapat antara santri dan guru sudah biasa dilakukan dan
bukan menjadi kendala kemajuan buat santri. Bahkan, proses
seperti ini dapat menjadi ukuran kematangan pengetahuan
seorang santri ketika santri dapat memberikan argumentasi
terhadap pandangan yang dikemukakannya. Dalam hal ini
santri dituntut membaca referensi selain kitab kuning yang
dikaji bersama untuk dapat memberikan wawasan luar selain
dari kitab yang dibaca. (Azzurnuji, 1999:25)
Adapun kelemahan yang mendasar dari metode sorogan dapat
dilihat pada beberapa hal:
1. Waktu yang sangat panjang (long time) dihabiskan untuk
mempelajari sebuah kalimat.
2. Tidak terjadi ketuntasan pemahaman karena habis digunakan
untuk mengkaji kebahasaan.
3 Tidak fokus terhadap spesifikasi keilmuan karena semua kitab
dikaji bahkan –pada tingkat lanjutan—hanya dibaca secara
tuntas untuk memperoleh “berkah” dengan ijazah diakhir
bacaan sebuah kitab.
Semantara kelemahan bandongan yang diterapkan di Dayah
Ulee Titi adalah tidak terdapat sebuah konklusi yang dapat
dijadikan pegangan bagi santri yang notabenenya mencari
kebenaran. Tidak jarang kemudian santri tidak mendapatkan
sebuah kepastian hukum atau simpulan makna dari sebuah teks
yang dikaji. Kecendrungan perdebatan bukan pada substansi
bahasan kitab namun kepada kebahasaan seperti mengapa dibaca
kasrah, fathah, ataupun dhammah. Bukan mencari solusi, makna
yang tersirat dalam substansi teks yang telah dibaca.

Abstrak Kitab-kitab Klasik yang Dikaji


Penelitian ini dimaksudkan selain melihat metode sorogan dan
bandongan, juga untuk mengetahui makna “ketuntasan” dalam
pembelajaran di pondok pesantren.
Dengan demikian metode sorogan dan bandongan memiliki
hubungan dan kemiripan dengan prinsip pembelajaran tuntas.

31 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


Secara umum pembelajaran tuntas dapat diartikan sebagai suatu
strategi pembelajaran, di mana keberhasilan peserta ditentukan
oleh pencapaian tingkat penguasaan kompetensi minimal yang
dipersyaratkan untuk dinyatakan menguasai (mastery). Jadi
peserta hanya boleh pindah topik atau program, jika topik atau
program yang sedang dipelajarinya telah dikuasai secara tuntas
sampai standar minimal yang dipersyaratkan. Tujuannya adalah
memberi kesempatan kepada peserta untuk menguasai bahan
pelajaran dan kompetensi yang dipelajarinya dengan terstandar,
melalui langkah-langkah pembelajaran secara bertahap, utuh, dan
tuntas, sehingga memberikan pengalaman belajar yang bermakna
(meaningful learning).
Sementara makna ketuntasan yang dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah mengetahui kemampuan santri melalui
bacaan, pemahaman, dan kemampuan menerjemahkan teks-teks
yang sudah dibaca. Untuk melihat beberapa contoh standar makan
ketuntasan dalam penelitian ini, maka perlu disajikan abstrak
kitab-kitab standar yang dijadikan acuan di Dayah Ulee Titi:
1) Kitab ilmu alat (nahwu dan sharf) meliputi kitab: Matn al-
Ajurumiyah. Kitab ini disajikan oleh Imam Abu al-Aswad al-
Du’ali, seorang pakar nahwu yang mencoba memberikan
tanda-tanda pada ilmu kebahasaan. Kitab ini dimulai dari
pengertian sebuah kalimat dalam bahasa Arab. Disebutkan
bahwa yang dimaksud kalimat dalam bahasa Arab adalah
sebuah lafadz yang mengandung pengertian dengan sempurna,
tersusun dan berbahasa arab. Ada tiga tanda dan unsur sebuah
kalimat dikatakan sempurna (al-ism, al-fi’l, dan al-harf). Al-Ism
adalah unsur-unsur yang dapat dikenali melalui berbagai hal
di antaranya dapat awali dengan huruf “al”, dapat menerima
huruf jar al-majrur, dapat ditanwinkan dan lain-lani. Semua
persoalan tanda baca ini dipelajari dari kitab awal sebagai
dasar untuk memahami gramatika bahasa Arab. Kitab ini
dapat dikatakan sebagai sebuah kitab pengantar yang sangat
sempurna, sebab kitab-kitab lanjutannya hanya sebagai
pelanjut pembahasan lebih mendalam dari topik-topik yang
dibahas dalam Matn al-Jurumiyah.
Kitab-kitab sharf membahas persoalan asal usul sebuah kata
secara mendalam. Misalnya kata nashara dapat diperluas

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 32


sampai ke akar kata yang mengandung pengertian dan
makna yang berbeda dan tersendiri. Makna asal dari nashara
adalah telah menolong. Kemudian berlanjut ke dalam konsep
keterangan waktu sekarang dan akan datang dalam kata
yanshuru berarti sedang atau akan menolong dan ketika di-
tashrif menjadi unshur maka kata tersebut berubah menjadi
kata perintah yang berarti tolonglah. Perubahan bentuk dan
makna sangat erat kaitannya dengan syiaq al-kalimat (konteks
kata) yang diinginkan.
2. Kitab yang terkait dengan aqidah adalah kitab Kifayah al-
Mubtadin. Kitab ini menjelaskan konsep-konsep dasar dalam
ilmu aqidah seperti rukun iman, rukun Islam, kewajiban
seorang hamba terhadap khaliqnya. Rukun iman dapat
diartikan sebagai dasar-dasar keimanan seseorang yang wajib
dilakukan dan dipercayai sehingga keyakinan tersebut dapat
termanifestasi dalam rukun Islam. Rukun Islam merupakan
sebuah konsep aplikatif yang bisa menunjukkan jati diri seorang
muslim. Setiap orang Islam belum tentu mukmin karena iman
sangat terkait dengan hati dan keyakinan mendalam terhadap
apapun yang telah digariskan Allah dan rasul-Nya. Kitab ini
memberikan dasar seperti itu agar orang yang baru mengenal
tauhid dapat menambahkan keyakinannya secara mendalam.
3. Kitab yang menyangkut hukum dalam Islam atau yang lebih
populer kitab fiqh adalah Safinah al-Naja. Secara generik arti
safinah adalah kapal dan an-naja berarti keselamatan. Jadi jika
dilihat dari namanya kitab ini bisa dimaknai dengan kitab yang
berarti kapal yang dapat membawa keselamatan bagi orang
yang mengamalkan substansi yang terkandung di dalamnya.
Kitab dasar ini masih sangat sederhana. Di dalamnya
terakumulasi sebatas syarat dan rukun berwudlu, syarat dan
rukun shalat, syarat dan rukun bersuci, segala hal yang dapat
merusak dan membatalkan wudlu, salat, dan kesucian.
4) Kitab fiqh lanjutan yang terdiri dari Kitab Ghayah al-taqrib.
Kata ghayah berarti tujuan dan al-taqrib berarti kedekatan.
Jadi kitab ini mengandung pengertian menyampaikan pada
tujuan dalam mendekatkan dirinya kepada Allah SWT. Kitab
ini lebih jauh melihat dan membahas persoalan-persoalan
hukum. Lebih jauh dalam artian tidak hanya sebatas persoalan

33 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


rukun, syarat syah maupun batalnya sebuah salat, tapi lebih
jauh dari itu mempersoalkan beberapa interkasi sosial, cara
transaksi dalam jual beli, cara melakukan pinjam-meminjam
dan berbagai hukum lainnya.
5. Dalam bidang akhlaq, kitab yang dijadikan dasar adalah
Taisir al-Akhlaq. Kata taisir berarti ringan, mudah, gampang.
Sedangkan kata akhlaq berarti perilaku, sikap dan tatacara
pergaulan kita baik terkait dengan Allah, makhluk Allah,
orang tua dan pergaulan dengan sesama manusia. Kitab ini
secara umum memberikan gambaran bahwa manusia harus
mengatur cara-cara berinteraksi, mengetahui kewajiban
bersyukur dan beribadah hanya kepada Allah, mengetahui tata
cara menghormati dan sekaligus kewajiban bersama orang tua
dan manusia lainnya.
6. Dalam bidang akhlaq lanjutan, kitab yang dipakai adalah Ta’lim
al-Muta’allim. Ia adalah sebuah kitab yang dijadikan referensi
pada kalangan pesantren yang mengatur tata cara berinteraksi
antara guru dan murid baik dalam pembelajaran maupun di
luar pembelajaran. Sikap murid terhadap guru harus selalu
dipelihara dengan maksimal, menjaga cara berkomunikasi,
cara bertanya dan tatacara lainnya. Kitab ini menganjurkan
para murid agat tidak terlalu vokal terhadap apa yang dialami
maupun dilihat terkait dengan gurunya, sebab jika seorang
murid bertanya sedikitpun tentang persoalan yang dilihatnya,
maka ia dianggap “ragu” terhadap gurunya. Oleh karenanya,
ia tidak akan pernah “selamat” selama-lamanya. Tidak akan
selamat selama-lamanya mengandung pengertian seorang
murid tidak akan bisa menapaki jalan kesuksesan karena apa
yang dia lihat dan belum tentu sampai pada pengetahuannya,
oleh karena itulah jika ingin selamat maka harus mengikuti
apapun yang dikatakan oleh seorang guru tanpa pernah
bertanya mengapa hal itu harus dilakukan.
7. Dalam bidang tafsir, kitab yang dijadikan referensi adalah
kitab al-Shawi. Kitab ini menjelaskan makna-makna dasar
sekaligus memberikan ulasan yang sangat sederhana tentang
firman-firman Allah yang dimulai dengan pembahasan surat
al-Fatihah. Kitab ini secara sederhana memberikan uraian

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 34


singkat terhadap makna-makna dan maksud dasar dari ayat-
ayat yang termaktub didalamnya.
Dari beberapa contoh kitab tersebut masih banyak lagi kitab-
kitab yang dijadikan dasar dalam pembelajaran secara sorogan
maupun bandongan. Kitab-kitab tersebut dibaca dan dikaji secara
tuntas sesuai dengan kelas masing-masing santri. Kitab-kitab
contoh tersebut baru menyentuh kelas-kelas dasar (tajhizi dan
kelas satu). Seiring dengan meningkatnya kelas maka kitab yang
dijadikan referensi pun lebih tinggi. Kajian-kajian dengan sistem
sorogan dapat memberikan –paling tidak— gambaran utuh secara
tuntas mulai dari basmalah hingga hamdalah terhadap sebuah kitab
kajian. Ketuntasan akan sangat tergantung bagaiamana seorang
santri dapat memahami dan membaca kitab-kitab referensi
tersebut secara baik dan benar sesuai dengan tata bahasa yang
telah ditentukan. Inilah yang dinamakan pembelajaran tuntas
melalui metode sorogan dan bandongan.

Kesimpulan
Dari beberapa temuan tersebut, penulis dapat menyimpulkan
bahwa pembelajaran tuntas melalui metode sorogan dan bandongan
telah diaplikasikan oleh Dayah Ulee Titi Aceh Besar. Ukuran
ketuntasan yang dijadikan standar minimal adalah penguasaan
dari segi cara membaca (kebahasaan), pemahaman, dan dapat
menterjemahkan teks-teks secara generik maupun secara umum
dengan bahasa yang baik dan dapat dipahami oleh pembaca
berikutnya.
Metode sorogan yang diaplikasikan di Dayah Ulee Titi telah
memberikan nuansa berbeda tinimbang dengan pesantren-
pesantren lain di Nusantara. Perbedaan tersebut terlihat dari
metode sorogan yang digabungkan dengan sistem bandongan
secara langsung dan diberikan kesempatan untuk berdiskusi dan
argumentasi bagi para santrinya.
Hal yang sangat bereda jika dilihat di pesantren-pesantren
lain adalah diskusi dan argumentasi –yang sepertinya— haram
hukumnya bagi santri yang menginginkan keselamatan dalam arti
keberkahan dari sang guru. Hal itu tidak ditemukan di Dayah Ulee
Titi.

35 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


Beberapa keunggulan metode sorogan yang diterapkan di
Dayah Ulee Titi adalah
1. Terbukti sangat efektif sebagai tahap pertama bagi seorang
murid yang bercita-cita menjadi alim.
2. Metode ini memungkinkan seorang guru mengawasi, menilai
dan membimbing secara maksimal kemampuan seorang
santri dalam menguasai materi pembelajaran.
3. Sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri
yang lebih menitikberatkan pada pengembangan kemampuan
perorangan (individual), di bawah bimbingan seorang kiai atau
ustadz.
4. Membiasakan santri untuk selalu siap berhadapan dengan guru
yang mengajarnya dan memberikan pembelajaran bahwa
persiapan sebelum menghadapi guru sangat dibutuhkan.
5. Memberikan pembelajaran bahwa seorang santri harus patuh
–tentunya bukan pada hal-hal yang bertentangan—kepada
gurunya.
6. Metode pengajaran secara sorogan ini memungkinkan hubungan
kiai dengan santri sangat dekat, sebab kiai dapat mengenal
kemampuan pribadi santri secara satu satu persatu.
Sementara metode bandongan memiliki keunggulan tersendiri
dibandingkan dengan penerapan metode bandongan di tempat
lain. Keunggulan metode bandongan di antaranya: adanya diskusi
dan peluang bagi santri untuk berbeda pendapat dengan gurunya
setelah melaksanakan metode sorogan. Diskusi dan perbedaan yang
terjadi antara santri dan guru tidak menjadi kendala kemajuan buat
santri, bahkan dapat menjadi ukuran kematangan pengetahuan
seorang santri jika dapat memberikan argumentasi terhadap
pandangan yang dikemukakannya. Dalam hal ini santri dituntut
membaca referensi selain kitab kuning yang dikaji bersama untuk
dapat memberikan wawasan luar selain kitab yang dibaca.

Rekomendasi
Beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi dari hasil
penelitian ini adalah:

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 36


1. metode sorogan ini sangat baik diterapkan bagi pendidikan
dasar di seluruh bentuk dan tipologi pendidikan, bukan hanya
di pesantren namun juga di sekolah-sekolah umum baik di
dalam maupun di luar kurikulum.
2. Ketuntasan pembelajaran yang teraplikasikan di Dayah Ulee
Titi dengan sistem mengkaji tuntas sebuah kitab, baik untuk
diterapkan di berbagai bidang keilmuan lainnya.
3) Metode bandongan yang diterapkan di Dayah Ulee Titi juga dapat
ditiru oleh berbagai pesantren lainnya agar tidak menjadikan
santri sebagai manusia-manusia penurut tanpa menggunakan
rasionalitas yang telah mereka miliki. Kebebasan berpendapat
dengan argumentasi hendaknya diberikan ruang yang luas
agar kematangan santri dapat tercermin dari pola pikir yang
diekspresikan.
-[]-

Catatan

1
Imam al-Ghazali, Fatihah al-Ulum, Epistemology Ilmu Pengetahuan, Terjemahan
Indonesia oleh Muhammad Adib, (Jakarta: Media Nusantara, 2006)
2
Keuletan beliau juga ditunjukan dengan mengarang kitab–kitab. Paling tidak ada
17 kitab kecil dan besar beliau yang tercatat, tapi sayang kitab-kitab tersebut tidak dicetak
ulang karena ketakutan terjadinya kekeliruan dalam percetakan. Walaupun demikian kitab
tersebut tetap menjadi kitab acuan.
3
Ciri Khas Dayah Ulee Titi adalah pimpinannya alim dan beribawa, fanatisme
masyarakat sangat kuat, pola hidup sederhana (wara’), berani berkorban untuk mencapai
suatu tujuan, mandiri dan indenpenden, tenaga pengajar tidak mendapat imbalan
dari ponpes, mareka mengharapkan imbalan di akhirat kelak, Semua fasilitas pondok
ditanggung oleh masyarakat, tidak dipungut biaya BP 3 dari santri, penghasilan orang tua
santri tergolong menengah ke bawah.
4
Tgk. H. Athaillah Ishaq al-Amiry adalah putra kecil yang telah menerima ilmu dari
orang tuanya, bahkan diusia 10 tahun (lahir tahun 1955) sudah sanggup menghafal Alfiah.
Konon sulit sekali menemukan anak yang bisa menempuh ilmu setinggi itu. Setelah
beranjak usia 17 tahun Dayah Budi Lamno (Aceh Barat) menjadi tempat menimba ilmunya
dan tiga tahun sesudahnya pimpinan Ponpes mengangkatnya sebagai Ketua Umum
(orang nomor 2 di ponpes). Diangkatnya ke jabatan tersebut bukan karena kharisma
seorang Abuya, juga bukan karena beliau sebagai ulama besar, tapi karena ketinggian
ilmunya. Setelah enam tahun di Ponpes tersebut kemudian dia melanjutkan ke salah satu
Dayah di Aceh Utara selama empat tahun. Setelah beliau selesai dari pondok kemudian
Abuyanya memanggilnya pulang untuk mengabdi pada masyarakat dan meneruskan
pondok pesantren Dayah Ulee Titi.

37 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


5
Hal yang sama juga terjadi di berbagai pondok pesantren seperti Sidogiri; atau
Aliyah bagi pesantren-pesantren salaf seperti Lirboyo, Langitan, dll
6
Buletin Alkhoirot Edisi Desember 2007, A. Fatih Syuhud, Website: www.fatihsyuhud.
com

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 38


DAFTAR BACAAN

Abdurrahman, Mas’ud, MA., Ph.D, Dari Haramain ke


Nusantara;Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, Prenada Media Group,
Jakarta, 2006.
Arifin, As’ad Syamsul, Percik-Percik Pemikiran Kiai Salaf-
Wejangan Dari Balik Mimbar, BP2M PP. Salafiyah Syafiiyah,
Situbondo, 2000.
A’la, Abd, Pembaharuan Pesantren, Pustaka Pesantren,
Yogyakarta, 2006.
Al-Ghazali, (terj:Muhammad Adib), Fatihah al-‘Ulum;
Efistemologi Pesantren, Media Nusantara, Jakarta, 2006.
Bruinessen Martin Van, NU-Tradisi-Relasi Kuasa-Pencarian
Wacana Baru, LKIS, Yogyakarta, 1999.
Dhofier, Zamakhsyari, Ttradisi Pesantren-Studi Tentang
Pandangan Hidup Kiai, LP3ES, 1994.
Faely, Greg, Ijtihad Politik Ulama’- Sejarah NU 1952-1967, LKIS,
Yogyakarta, 2007.
Hasan, Syamsul A, Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat, LKIS,
Yogyakarta, 2003.
Khozin, Jejak-Jejak Pendidikan Islam di Indonesia-Rekonstruksi
Sejarah Untuk Aksi, UMM Press, Malang, 2006.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2004,
Sulton, M dan Khusnurridlo, M., Manajemen Pesantren Dalam
Perspektif Global, Laksbang Press, Yogyakarta, 2006.
Geertz, Clifort, Abangan Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa,
Pustaka Jaya, Jakarta, 1982.
Tolkhah, Imam, dan Barizi, Ahmad, Membuka Jendela Pendidikan
Mengurai Akar Tradisi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004,
Badan Libang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, Edukasi,
Volume I Nomor 3 Juli –September & nomor 4 Oktober-Desember.
2003
Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Depag RI, Lektur
Keagamaan, volume I, No 1, 2003.

39 Melalui Metode Sorogan dan Bandongan


Anni, Catharina, Tri, dkk, Dra, M.Pd.. Psikologi Belajar. UPT
UNNES Press, Semarang, 2004
Joyce, B. dan Well, M. Models of Teaching. N.J, Prentice-Hall,
Englewood, 1986.

Mastery Learning pada Pondok Pesantren 40

You might also like