Professional Documents
Culture Documents
Pendidikan Pesantren
Pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan yang
muncul dan berkembang dari, oleh dan untuk masyarakat, pada
hakekatnya merupakan bagian dari bentuk kultur keagamaan.
Seperti yang dinyatakan Hansen (1979), bahwa proses alih
(transfer) pengetahuan dan nilai-nilai budaya suatu masyarakat
pada hakekatnya merupakan bagian dari budaya mereka.
Pendidikan pesantren pada dasarnya bertujuan untuk
menyiapkan para santri dapat mendalami dan menguasai ilmu
agama Islam yang dikenal dengan istilah tafaqquh fi al-din. Lebih
jauh diharapkan dapat mencetak kader-kader ulama dan turut
mencerdaskan masyarakat indonesia (Departemen Agama,
2000).
Perkembangan selanjutnya menunjukkan upaya untuk
mengintegrasikan fungsi pesantren sebagai pusat pendidikan
Fasilitas Pesantren
Pondok Pesantren Ulee Titi memiliki luas tanah sekitar 3 ha.
Tanah tersebut dipergunakan untuk membangun berbagai sarana
dan prasarana untuk menunjang tetap berjalannya proses belajar
mengajar di pesantren. Sebagai sebuah pondok pesantren, Dayah
Ulee Titi dilengkapi dengan gedung asrama putra, balai pengajian,
perpustakaan, klinik pesantren, koperasi, mushallah, dan lain-lain.
Di samping dilengkapi dengan berbagai sarana yang berbentuk
gedung, pondok pesantren juga dilengkapi berbagai sarana
penunjang lain seperti peralatan elektronik, perlengkapan praktek
keterampilan, sarana air bersih dan penerangan.
Dari data sarana dan prasarana yang dimiliki, dapat dikatakan
bahwa Pondok Pesantren Ulee Titi adalah pesantren salafi yang
bertaraf modern. Pemanfatan bangunan terlihat sangat efektif
dan efisien karena pembelajaran dimulai dari pukul 08.00 sampai
pukul 21.00 hanya diselingi oleh waktu istirahat dan shalat.
Perkembangan Pembelajaran
Perkembangan pembelajaran pada Dayah Ulee Titi terlihat
sangat pesat. Periode awaliyah hanya bersifat tradisional dengan
menggunakan kajian-kajian murni terhadap kitab-kitab klasik
di balik bilik bambu dan bedek reot. Namun, seiring dengan
perkembangan zaman terutama setelah musibah Tsunami dan
masuknya donatur-donatur luar, Dayah Ulee Titi pun tak luput
dari sasaran pembaharuan, mulai dari sarana prasana yang
dimilikinya ditambah dan diperbaharui sampai pada sistem yang
dikembangkannya.
Sistem dan wajah baru yang ditampilkan oleh Dayah Ulee Titi
tidak serta merta membuang sistem paten yang telah dimilikinya
-[]-
Kesimpulan
Dari beberapa temuan tersebut, penulis dapat menyimpulkan
bahwa pembelajaran tuntas melalui metode sorogan dan bandongan
telah diaplikasikan oleh Dayah Ulee Titi Aceh Besar. Ukuran
ketuntasan yang dijadikan standar minimal adalah penguasaan
dari segi cara membaca (kebahasaan), pemahaman, dan dapat
menterjemahkan teks-teks secara generik maupun secara umum
dengan bahasa yang baik dan dapat dipahami oleh pembaca
berikutnya.
Metode sorogan yang diaplikasikan di Dayah Ulee Titi telah
memberikan nuansa berbeda tinimbang dengan pesantren-
pesantren lain di Nusantara. Perbedaan tersebut terlihat dari
metode sorogan yang digabungkan dengan sistem bandongan
secara langsung dan diberikan kesempatan untuk berdiskusi dan
argumentasi bagi para santrinya.
Hal yang sangat bereda jika dilihat di pesantren-pesantren
lain adalah diskusi dan argumentasi –yang sepertinya— haram
hukumnya bagi santri yang menginginkan keselamatan dalam arti
keberkahan dari sang guru. Hal itu tidak ditemukan di Dayah Ulee
Titi.
Rekomendasi
Beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi dari hasil
penelitian ini adalah:
Catatan
1
Imam al-Ghazali, Fatihah al-Ulum, Epistemology Ilmu Pengetahuan, Terjemahan
Indonesia oleh Muhammad Adib, (Jakarta: Media Nusantara, 2006)
2
Keuletan beliau juga ditunjukan dengan mengarang kitab–kitab. Paling tidak ada
17 kitab kecil dan besar beliau yang tercatat, tapi sayang kitab-kitab tersebut tidak dicetak
ulang karena ketakutan terjadinya kekeliruan dalam percetakan. Walaupun demikian kitab
tersebut tetap menjadi kitab acuan.
3
Ciri Khas Dayah Ulee Titi adalah pimpinannya alim dan beribawa, fanatisme
masyarakat sangat kuat, pola hidup sederhana (wara’), berani berkorban untuk mencapai
suatu tujuan, mandiri dan indenpenden, tenaga pengajar tidak mendapat imbalan
dari ponpes, mareka mengharapkan imbalan di akhirat kelak, Semua fasilitas pondok
ditanggung oleh masyarakat, tidak dipungut biaya BP 3 dari santri, penghasilan orang tua
santri tergolong menengah ke bawah.
4
Tgk. H. Athaillah Ishaq al-Amiry adalah putra kecil yang telah menerima ilmu dari
orang tuanya, bahkan diusia 10 tahun (lahir tahun 1955) sudah sanggup menghafal Alfiah.
Konon sulit sekali menemukan anak yang bisa menempuh ilmu setinggi itu. Setelah
beranjak usia 17 tahun Dayah Budi Lamno (Aceh Barat) menjadi tempat menimba ilmunya
dan tiga tahun sesudahnya pimpinan Ponpes mengangkatnya sebagai Ketua Umum
(orang nomor 2 di ponpes). Diangkatnya ke jabatan tersebut bukan karena kharisma
seorang Abuya, juga bukan karena beliau sebagai ulama besar, tapi karena ketinggian
ilmunya. Setelah enam tahun di Ponpes tersebut kemudian dia melanjutkan ke salah satu
Dayah di Aceh Utara selama empat tahun. Setelah beliau selesai dari pondok kemudian
Abuyanya memanggilnya pulang untuk mengabdi pada masyarakat dan meneruskan
pondok pesantren Dayah Ulee Titi.