Professional Documents
Culture Documents
PEMIKIRAN TASAWUF
(Upaya Mengembalikan Tasawuf berdasarkan Al-qur’an dan Al-sunnah)
Penulis
Dr.H.Harapandi Dahri, MA
Pengantar
Prof.Dr.Moh.Ardhani, MA
Prolog:
Prof.Dr.H.Said Agil Siroj, MA
i
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
Kata Pengantar
Muqaddimah
Prolog
BAGIAN PERTAMA
Asal Mula Makna, pertumbuhan, dan perkembangan
tasawwuf
Asal Mula Makna al-Tasawwuf -
Makna Tasawwuf (Etimologi dan Terminologi)
Historis pertumbuhan tasawwuf
Marhalah perkembangan tasawwuf
BAGIAN KEDUA
Landasan Al-Tasawwuf dalam Islam
Landasan Qur’ani
Landasan Al-Sunnah
Landasan Qawl dan aktivitas para Sahabat Nabi
Landasan Qawl dan aktivitas para Tabi’in
Landasan Qawl dan aktivitas para Tabiut tabi’in
BAGIAN KETIGA
Klasifikasi dan Hubungan Tasawwuf dengan disiplin
ilmu lainnya
Tasawwuf Falsafi
Tasawwuf Akhlaqi
Hubungan Tasawwuf dengan Ilmu Kalam
Hubungan Tasawwuf dengan Filsafat
Hubungan Tasawwuf dengan Akhlak
ii
BAGIAN KEEMPAT
Ajaran-ajaran Sufistik
Ajaran-ajaran Sufistik tentang Aqidah
1. Aqidah sufistik tentang Ke-Esa-an Tuhan
2. Aqidah sufistik tentang Al-Nubuwah
3. Aqidah sufistik tentang Surga dan Neraka
Ajaran-ajaran Sufistik tentang Al-Walayah
Ajaran-ajaran Sufistik Al-Karamah
Kisah-kisah Keramat Sufi
Ajaran-ajaran Sufistik Al-Nazhar
Ajaran-ajaran Sufistik Waktu dan Tempat
BAGIAN KELIMA
Al-Maqamat wa Al-Ahwal
Al-Maqamat/Station
1. Maqam Al-Tawbah
2. Maqam Al-Zuhd
3. Maqam Al-Wara’
4. Maqam Al-Shabr
5. Maqam Al-Tawakkal
Al-Ahwal
1. Hal Al-Khawf {Perasaan takut}
2. Hal Al-Raja’ (Pengharapan)
3. Hal Al-Tawadhu’ {rendah hati}
4. Hal Al-Uns { rasa berteman}
5. Hal Al-Syukr { Rasa Syukur}
6. Hal Al-Tsawq {Rasa Rindu}
BAGIAN KEENAAM
Al-Musthalahat Al-Shufiyy
1. Maqam
2. Haal
3. Qabth dan Basth
4. Jam’ dan farq
5. Al-Ghauts
6. Al-Awtad
7. Al-Abdal
iii
8. Al-Nujaba’
9. Al-Nuqaba’
10. Al-Haibah dan al-Uns
11. Tawajud, Wujd, Wujud
12. Al-fana’ dan al-Baqa’
13. Al-Haibah dan al-Hudur
14. Al-Sahw dan al-Sukr
15. Al-Dzauq dan Al-Syurb
16. Al-Mahw dan al-Itsbat
17. Al-Qurb dan al-Bu’d
18. Al-Sitr dan al-Tajalli
19. Muhadarah, Mukasyafah,Musyahadah
20. Al-Muhadatsah
21. Al-Musamamar
22. Lawaih,lawami’ dan Tawalli
23. Al-Talwin dan al-Tamkin
24. Al-Raghbah dan al-Ruhbah
25. Al-Ghurbah
26. Al-Murid
BAGIAN KETUJUH
AL-THARIQAT AL-ISLAMIYAH
A. Pengertian dan pertumbuhan serta perkembangan Tarekat
di Dunia Islam
B. Aliran-aliran Tarekat Dalam Dunia Islam
1.Tarekat Qâdiriah
2.Tarekat Rifâiyyah
3.Tarekat Syâdzilîyyah
4.Tarekat Maulâwiyah
5.Tarekat Nahsyabandiyyah
6.Tarekat Bektasiyyah
7.Tarekat Ni’mâtullah
8.Tarekat Tijâniyyah
9.Tarekat Jarrâhiyyah
10.Tarekat Chistîyyah
11.Tarekat Kubrâwiyyah
12.Tarekat Ma’rûfiyyah
13.Tarekat Khalwâtiyyah
14.Tarekat Kâzirûniyyah
iv
15.Tarekat Junaidiyyah
16.Tarekat Suhrawardiyyah
17.Tarekat Qalandâriyyah
18.Tarekat Hizib Nahdlatul Wathan
19.Tarekat Wahîdiyyah
v
Muqaddimah
vi
sarat dengan muatan peningkatan keimanan, ketakwaan yang
diwujudkan dengan akhlak yang mulia demikian erat.
Sebagaimana Rahman, dalam studinya tentang al-Qur’an
Jalaluddin Rahmat, menyimpulkan bahwa dalam al-Qur’an
terdapat empat tema utama yaitu;
Pertama, dalam al-Quran dan kitab-kitab hadits, proporsi
terbesar ditujukan pada urusan sosial.
Kedua, dalam kenyataannya, bila urusan ibadah bersama-
an waktunya dengan urusan sosial (muamalah), maka ibadah
boleh diperpendek atau ditangguhkan, tetapi bukan ditinggal-
kan.
Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasya-
rakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang
bersifat perseorangan (individual), dan
Keempat, bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna
atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka
tebusan (kafarat) nya harus melakukan sesuatu yang
berhubungan dengan masalah sosial.3
Gambaran tentang ajaran Islam yang demikian ideal itu
pernah dibuktikan dalam sejarah dan manfaatnya dirasakan
oleh seluruh umat manusia di pelosok dunia 4. Namun,
fragmentasi kehidupan masyarakat muslim kini semakin
menunjukkan perubahan dan degradasi nilai. Perubahan
tersebut terkait dengan perkembangan teknologi dan
industrialisasi, sehingga implementasi ajaran agama jauh dari
cita ideal. Ibadah yang dilaksanakan oleh umat Islam seperti;
3
Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, (Bandung: Mizan, 1991), hlm.
48-51.
4
Sejarah Islam dibagi ke dalam tiga periode, yaitu; periode klasik
(650—1250), periode pertengahan (1250—1800), dan periode modern
(1800 –sekarang). Yang disebut periode klasik pernah membuktikan
dengan jelas misi kemanusiaan dari ajaran-ajaran Islam yang mendunia
tanpa melihat siapa dan agama seseorang. Islam, kala itu dapat
memberikan rahmat bagi penduduk dunia (rahmatan li al-Alamin) di
berbagai bidang, termasuk keilmuan, kemasyarakatan dan keadilan.
Bidang politik (keamanan) , budaya (peradaban) dan ekonomi serta
bidang-bidang lainnya. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam
Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
hlm. 25.
vii
salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya hanya berhenti pada
sebatas membayar kewajiban dan menjadi lambang kesalehan
belaka. Sedangkan implikasi dari ibadah yang berdimensi
sosial semakin kurang.
Di kalangan masyarakat telah terjadi kesalahpahaman
dalam menghayati dan memaknai pesan simbolis keagamaan
itu5. Akibat dari kesalahpahaman tersebut, agama lebih dihayati
sebagai penyelamat individu yang semestinya sebagai
keberkahan sosial secara bersama dan merata. Dalam hal ini,
seolah-olah Tuhan tidak hadir dalam problematik sosial,
kendatipun nama-nama (asma’)-Nya semakin rajin terdengar di
mana-mana. Pesan spritualitas agama mengalami stagnasi,
terkristal dalam kumpulan mitos dan ungkapan simbolis tanpa
makna, agama tidak muncul dalam satu kesadaran kritis
terhadap situasi aktual. Penyebutan asma’ Allah, walaupun itu
terhitung ibadah, namun nilai yang terkandung dalam asma’
tersebut tidak pernah berusaha dimunculkan dalam tataran
pergaulan dengan hamba-hamba Allah yang lain, ucapan
Rahman Rahim-Nya hanya sebatas verbalitas belaka.
5
Banyak contoh yang bisa dikedepankan tentang masalah kesalah
pahaman yang diekspresikan masyarakat masa kini dalam memahami
pesan-pesan simbolistis dari ajaran agama. Barkaitan dengan kajian
disertasi ini, bahwa pemahaman terhadap makna ke-Wali-an dan bentuk-
bentuk keramat bahwa setiap orang yang sudah sampai pada tingkat Wali
dengan ukuran atau standar masing-masing akan bersih dari kesalahan
(ma’shum/ashamah). Dan dalam arti apapun kesalahan yang dilakukan
para Wali dapat ditolerir karena menurut anggapannya (pengikut setia
Wali atau Kiyai, dan Tuan Guru;Sasak], bahwa mereka sudah
mendapatkan ampunan dari Allah dan semua kesalahannya hanya
menurut penglihatan kita sebagai orang yang belum mencapai tingkat ke-
Wali-an Sedang mereka yang telah sampai tidak ada ukuran salah
maupun lainnya. Dengan keyakinan demikian, bila dilihat dari perspektif
ajaran Islam yang sempurna, tergolong sesat dan menyesatkan. Keramat
keajaiban serta keanehan yang diperoleh para Wali tidak selalu dalam
kondisi tersebut, keramat lebih berupa ahwal yang kadang-kadang terjadi
kadang-kadang tidak. Lihat, Sa’id b. Musaffar b. Mufarrah al-Qahtahny,
Al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani wa Arauhu al-I’tiqadiyyah wa al-
Shufiyyah, (Makkah: Disertasi pada Jami’ah Ummul Qura, Makkah Qism
Al-Aqidah, 1997), .hlm. 551—553}.
viii
Penyelewengan pemahaman terhadap makna-makna
simbolis ajaran Islam juga banyak terjadi dalam masyarakat,
seperti kesalahan dalam memahami makna pesan kenabian
beserta mukjizatnya. Paranormal (dukun) dengan kelebihan-
nya, tukang sihir dengan keunggulannya, dan kewalian dengan
keramat-keramatnya adalah vareasi keberagamaan dalam
masyarakat yang syarat terhadap penyimpangan dalam
memahami pesan-pesan suci Allah SWT. terutama yang
disebut terakhir ini secara syar’i banyak mengundang kesalah-
pahaman dalam memaknai pesan-pesan agama. Namun,
kesalahpahaman tersebut jika ditinjau dari sisi budaya dan
teologi sufistik segera dapat terselesaikan atau terpecahkan.
Abdullatif b. Muhammad al-Hasan, menjelaskan bahwa
kesalahpahaman dalam menginterpretasikan makna wali dan
keramatnya telah terjadi sejak ketika para tokoh sufi secara
berlebihan menggambarkan tentang kekeramatan para tokoh
seperti; Fudlail b. Iyadl6, Ibrahim b. Adham7, Al-Nahsyabandi8,
Khatim al-Asham9, Malik b. Dinar10, Al-Burhanpuri11, dan lain-
lainnya. Hal tersebut terlihat jelas dalam berbagai referensi
6
Biografi sosial intelektual Abu Ali al-Fuzail bin Iyaz at-Talaqani
baca, Al-Qahtahny, Al-Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani, hlm. 194.
7
Kisah mengenai Ibrahim Ibnu Adham bin Mansur ibnu Yazid ibnu
Jabir al-ijli, lihat, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), cet. Ke-2, h.35—38}.
8
Nama lengkapnya adalah Bahauddin Muhammad al-Bukhari al-
Nahsyabandi, dilahirkan di daerah Hinduan, Bukhara, pada tahun
717/1317. Al-Nahsyabandi, mulai belajar dasar-dasar keilmuan Islam di
daerahnya. Kemudian melanjutkan ke luar daerah kepada al-Syaikh
Muhammad Baba al-Syammasi, al-Syaikh Amir Sayyid al-Kulli di daerah
Nasaf, Al-Syaikh Arif al-Dikarani. Lihat, Martin Van Bruinessen,
Tarekat Nahsyabandiyyah di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1996) , Cet.
Ke-4.
9
Abu Abdur Rahman Hatim bin Unwan al-Ashamm (“Si Tuli”),
seorang pribumi Balkh. Adalah murid dari Syaqiq al-Balkhi. Hatim
mengunjungi Bagdad dan meninggal dunia di Wasyjard di dekat Tirmiz
pada tahun 237/852. Dinamakan al-Ashamm karena ketika kedatangan
seorang perempuan untuk bertanya tentang masalah urusan agama,
perempuan secara tidak sengaja buang angin, yang bersuara, kemudian
Hatim mengatakan;”keraskan suaramu saya tidak dapat mendengar”,
maksudnya agar perempuan tersebut tidak merasa malu.
ix
yang dikarang oleh para ulama yang mempunyai kecenderung-
an sufistik seperti kitab al-Tabaqat al-Kubra, oleh Imam al-
Sya’rani, Jami’ Keramat al-Awlia’ oleh Ibn al-Mulaqqin, dan
kitab Karamat al-awliya oleh an-Nabhani.
Di tengah jargon reformasi, demokratisasi, globalisasi, dan
semacamnya, klaim keagungan dan kemulyaan terhadap
seseorang juga masih pada perkembangan kehidupan
masyarakat muslim dewasa ini. Di Indonesia terdapat beberapa
tokoh yang dianggap mempunyai keagungan dan kemuliaan.
Karena itu, wajar jika para pengikut atau murid-muridnya
mengagungkan bahkan sampai ke tingkat pengkultusan
sehingga maqbarah-maqbarah mereka ramai dikunjungi untuk
diminta berkahnya. Para tokoh didimaksud adalah; Muhammad
10
Malik bin Dinar al-Sami adalah putera seorang budak berbangsa
Persia dari Sijistan (Kabul) dan menjadi murid Hasan al-Bashri dan ahli
hadits. Ia meninggal sekitar tahun 130/748. Di samping terkenal sebagai
kaligrafer juga sebagai pengagum berat al-Quran dan ia berpendapat
bahwa al-Quran merupakan kenikmatan yang luar biasa bila dapat dibaca
dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan. Hati menurutnya ibarat
anggota tubuh, bila ia sakit tidak ada makanan dan minuman apapun yang
enak dirasakan, demikian pula halnya hati seorang yang terperangkap
cinta duniawi, maka berbagai nasihat apapun yang diarahkan tidak akan
berguna dan bermanfaat adanya. {QS. Al-Baqarah:6}. Lihat Ahmadi Isa,
Tokoh-Tokoh Sufi Tauladan Kehidupan Yang Saleh, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), hlm. 73-78.
11
Muhammad bin Fadhlullah Al-BurhanPuri adalah seorang sufi
besar yang lahir di Gujarat, India. Beliau terkenal dengan karya tulisnya
berjudul Al-tuhfat al-Mursalah Ila Ruh al-Nabiy, al-Haqiqat al-
Muwafaqah Li al-Syari’ah. Beliau mengedepankan konsep martabat
tujuh yang berupa pengembangan terhadap wahdat al-wujud Ibnu ‘Arabi,
dan kemudian oleh Al-Jilli. Kewujudan terjadi, kata Al-Burhan Puri,
melalui tingkatan-tingkatan, yang disebutnya sebagai martabat tujuh,
yaitu; 1) Maratabat Ahadiyah, 2) Martabat Wahdah, 3) Martabat
Wahidiyah, 4) Martabat alam arwah, 5) Martabat alam Mitsal, 6)
Martabat Alam Ajsam, dan 7) Martabat alam Manusia. Lihat, Chatib
Quzwain, Mengenal Allah: Suatu Studi Mengenai Ajaran Tasawuf Syekh
Abdus Shamad Al-Palembani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1985), hlm.
Bandingkan dengan, Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar
Pembaharuan Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan, 1994), Cet. Ke-2,
x
Yusuf Tajul Khalwati12, Hamzah Fansuri13, Syamsuddin al-
Sumatrani14, Abdus Samad al-Palimbani15, TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid16, bahkan tokoh yang kini masih aktif di
kancah politik nasional seperti Gusdur (panggilan akrab Abdur
Rahman Wahid)17.
Selanjutnya, Abdul latif menjelaskan bahwa sebab
terjadinya kesalahan dalam memaknai wali dan keramatnya
adalah sejak perdebatan teologis di antara sekte-sekte dalam
teologi Islam, seperti aliran Mu’tazilah, al-Asy’ariyyah, al-
Maturidiyyah dan lainnya. Di samping terdapat ketidakjelasan
yang menimbulkan perbedaan menyangkut konsep mu’jizat,
karamah, irhas, istidraj, sihir dan ilmu hikmah.18 Dampaknya
hingga menembus tradisi keberagamaan masyarakat di
xi
Indonesia. Seperti munculnya pengkultusan terhadap beberapa
tokoh agama yang sekaligus sebagai tokoh masyarakat dan
tokoh nasional. Belum tuntas persoalan makna-makna tentang
konsep mukjizat, irhas, sihir dan sebagainya muncul lagi
keragaman persepsi masyarakat mengenai kriteria bagi
seseorang yang dikategorikan sebagai wali. Indikator tentang
kesalahpahaman tersebut terlihat pada sikap penyembahan
disertai permohonan sesuatu terhadap makam para wali.
Konsep tawassul atau berwasilah dalam berdo’a dan meminta
sesuatu kepada Allah, dinilai lebih meyakinkan apabila
dilakukan secara langsung kepada seorang wali yang masih
hidup. Sedang kepada para wali yang telah meninggal dunia
xii
dilakukan dengan berziarah dan bermunajat di atas makam-
makamnya.19
Tasawuf dan Islam tak dapat dipisahkan. Sama halnya
kesadaran batin yang lebih tinggi atau kebangkitan pun tak
dapat dipisahkan dari Islam. Islam bukanlah sebuah fenomena
sejarah.Tasawuf adalah jantung Islam, usianya setua masa
bangkitnya kesadaran manusia. persoalan yang banyak
berkaitan dan bersentuhan dengan dunia batin, ketenangan
jiwa dalam bertaqarrub kepada Ilahi juga banyak terdapat
perdebatan dan perhelatan sengit bahkan tidak jarang antara
satu ilmuan dengan ilmuan lainnya saling bersitegang, orang
yang pro terhadap tasawwuf akan membela habis-habisan
dunia tasawwufnya, sebaliknya orang yang kontra terhadapnya
akan secara habis-habisan mencari dan menelaah dalil-dalil
yang berkaitan dengan penolakan terhadap tasawwuf.
Dalam buku ini, kami berusaha menyajikan suatu tinjauan
menyeluruh tentang asal usul makna, pertumbuhan,
perkembangan, dan maqâmat wa al-ahwâl serta al-
mushtalahât al-shûfiyyah. Semoga dengan hadirnya buku ini
dapat memberikan gambaran komprehensif tentang tasawuf
dengan berbagai persoalannya.
18
Ahmadi Isa, Tokoh-Tokoh Sufi, hlm. 73-78.
19
Quzwain, Mengenal Allah, hlm. 7—22. Bandingkan Azra,
Jaringan Ulama, hlm. 178-9.
xiii
xiv