You are on page 1of 4

Nama : FajriHarish Nur Awan

NIM : L2J009008

Habis Banjir Terbitlah Asap


(Siklus Bencana Tahunan di Riau)

Belum lagi bencana banjir yang melanda beberapa daerah di Riau hilang dari perbincangan publik,
kini bencana baru datang lagi. Padahal jarak antara musim hujan dan kemarau belum mencapai
hitungan bulan. Namun siklus alam tersebut tetap saja menorehkan kenangan pahit bagi masyarakat
Riau. Akar permasalahannya tetap saja sama, yaitu masalah kehutanan yang dewasa ini menjadi
kambing hitam terhadap semua bencana yang terjadi di Riau. Dan hal itu tetap tidak akan usai
sampai semua pihak menyadari pentingnya perlindungan kualitas hutan sebagai paru-paru dunia.

Banyaknya kawasan hutan lindung di Riau yang mengalami alih fungsi dan status menyebabkan
provinsi ini selalu dilanda banjir sejak beberapa tahun terakhir. Karena memang kawasan hutan yang
mengalami kondisi kritis dari tahun ke tahun semakin meluas. Hal ini secara paralel akan menambah
tingkat kerusakan daerah kabupaten/kota akibat banjir yang disebabkan penurunan luas kawasan
hutan. Nah melihat ini apakah pemerintah akan tutup mata hingga terjadi bencana yang maha
dahsyat seperti di Bahorok atau tsunami Aceh?

Secara ekonomis bencana alam pasti menyebabkan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat.
Karena kerugian juga menimpa seluruh aspek kehidupan termasuk tulang punggung perekonomian.
Tak terhitung lagi luas lahan pertanian yang rusak akibat banjir, termasuk lahan strategis di beberapa
daerah seperti Rokanhilir, Rokanhulu, Kampar, Indragiri Hulu dan sebagainya. Hal itu belum
termasuk relokasi terhadap korban bencana yang menelan APBD hingga triliunan rupiah. Jika hal ini
terus berlanjut tanpa ada penanganan yang komprehensif tidak mustahil anggaran pembangunan
Riau hanya terkuras untuk pemulihan kerusakan akibat banjir.

Kerawanan ekologis di daerah yang kaya sumber daya alam ini bila terus dibiarkan berlarut tentu
akan merusak ekosistem lingkungan hutan. Greenomics Indonesia bahkan pernah membuat skenario
terburuk bahwa pada tahun 2004 lalu hutan Riau yang tersisa tinggal 229.000 hektar. Hal itu
diasumsikan menurut data tahun 2001 luas hutan Riau sekitar 4 juta hektar dengan 79 persen dalam
kondisi buruk dan terus mengalami deforestasi hingga 100.000 – 200.000 hektar per tahun. Lalu
bagaimana kondisi tahun 2005 ini bila restrukturisasi kawasan hutan tidak segera dilakukan. Maka
bencana banjir niscaya akan menambah daftar panjang penderitaan masyarakat dan memperluas
‘lingkaran setan’ yang bernama kemiskinan dan keterbelakangan.

Asap Datang Kembali


Bila beberapa hari ini kita rajin bangun pagi dan melihat hamparan semesta di sekitar kita, maka
yang tampak hanyalah warna kelabu dengan bau yang menyesakkan dada. Persis dengan tahun-
tahun lalu, kali ini pun datang di awal musim kemarau dengan suhu udara yang panasnya melebihi
kondisi normal. Fenomena ini menyebabkan penurunan kualitas kesehatan masyarakat dengan
timbulnya gejala infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan Pneomenia (radang paru-paru),
menyusul kondisi udara yang tidak sehat. Lalu kenapa hal ini selalu terjadi setiap tahun dan seperti
menjadi siklus yang tiada terputus?

Bila diamatai lebih jauh, penyebab utama terjadinya kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap
ini sebenarnya akibat ulah manusia itu sendiri baik secara perorangan atau kolektif (perusahaan).
Karena pembersihan lahan dengan cara pembakaran mungkin secara ekonomis dianggap lebih
menguntungkan karena relatif efektif dan efisien. Karena itulah bila musim kemarau titik api akan
muncul secara sporadis di beberapa kawasan yang menjadi langganan kebakaran lahan. Hanya
dalam empat hari saja sudah ditemukan 36 titik api yang diperkirakan merupakan akibat
pembakaran lahan secara sengaja oleh masyarakat. Titik api terbanyak terdapat di daerah Bukit
Kapur Dumai, yang jumlahnya mencapai 30 titik, sementara sisanya, terdapat di Kecamatan Bukit
Batu Duri XIII di areal milik anak perusahaan dari PT Arara Abadi yang sementara diduga sengaja
dibakar oleh kelompok masyarakat (Riau Pos, 26 Januari 2005).

Ketua Yayasan Konservasi Borneo Dr Gusti Z Anshari dalam artikel Mengapa Lahan dan Hutan
Terbakar dan Dibakar? menyebutkan bahwa kekacauan sistem politik ekonomi pengelolaan hutan
dan rendahnya penegakan hukum di Indonesia telah menyediakan peluang besar bagi perusahaan
pemegang hak pengusahaan hutan (HPH) ––tentu bekerja sama dengan oknum aparatur
pemerintah––dalam melakukan kegiatan penghancuran habitat hutan tropika. Lebih dari 90 persen
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia disebabkan oleh manusia yang melakukan pembakaran
pada lahan gambut, pembakaran untuk membuka areal perkebunan (termasuk areal kelapa sawit
dan hutan tanaman industri/HTI), pembakaran pada sisa-sisa kayu dan ranting kering pada areal HPH
yang rusak, serta pembakaran vegetasi pada sistem perladangan gilir balik (berpindah).

Tanpa kita sadari, di Riau yang kondisi hutannya sudah memprihatinkan ini penertiban praktik illegal
logging atau penebangan liar masih “jauh panggang dari api”. Padahal kejahatan hutan ini
berpotensi menjadi bom waktu yang setiap saat dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan
secara besar-besaran. Sebab areal hutan yang mengalami intensitas penebangan liar cukup tinggi
akan menyebabkan kawasan hutan tersebut porak poranda dan menyisakan volume hutan yang
sangat sedikit. Kemudian apabila hal itu diperparah dengan banyaknya dahan dan ranting kering sisa
penebangan yang berserakan di mana-mana, maka bisa dipastikan dahsyatnya kebakaran hutan
tinggal menunggu waktu saja.

Mungkin kita bisa membayangkan akibatnya bila kebakaran hutan terjadi hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Kemungkinan terburuk semua aktivitas perekonomian dan transportasi akan terganggu.
Sebab kabut asap dengan jarak pandang yang sangat pendek akan menyebabkan masyarakat enggan
keluar rumah untuk melakukan kegiatan perekonomian. Berdasarkan pengalaman sebelumnya,
kegiatan belajar mengajar juga pernah diliburkan selama beberapa hari ketika bencana kabut asap
mencapai titik kulminasi. Begitu juga dengan aktivitas penerbangan yang lumpuh total, sementara
arus transportasi di darat dan laut juga terganggu dan menyebabkan beberapa kecelakaan lalu lintas
yang terjadi karena terbatasnya jarak pandang. Apakah kita semua hanya akan tinggal diam melihat
kerugian yang disebabkan oleh segelintir orang tidak bertanggungjawab itu?
Penanganan Terpadu
Penanggulangan dampak buruk dari kerusakan alam berupa banjir dan kebakaran hutan memang
bukan perkara mudah. Diperlukan kebijakan yang mengikat dengan sanksi yang tidak bisa ditawar-
tawar lagi. Terutama pemerintah harus melakukan kebijakan yang meliputi pencegahan
(prevention), pemantauan (monitoring), dan penanggulangan (mitigation) secara komprehensif
dengan melibatkan aparat dan masyarakat. Sebab selama ini yang sering dilakukan hanyalah
penanggulangan terhadap banjir atau kebakaran hutan yang telah terjadi. Sehingga setiap saat akan
selalu berulang bila tidak dilakukan pencegahan dan pemantauan titik rawan kerusakan hutan.

Untuk itulah ke depan perlu dirumuskan program-program penanganan kerusakan hutan secara
terpadu dan sistemik dengan melibatkan semua departemen, instansi pemerintah, perusahaan
swasta dan LSM. Di tingkat pelaksana juga harus mengikutsertakan masyarakat peduli hutan atau
tinggal di sekitar hutan agar melakukan pengawasan terhadap lingkungan sekitar secara
berkelanjutan. Dengan melakukan koordinasi secara terpadu semua pihak merasa ikut dilibatkan
dan ikut bertanggungjawab terhadap semua kemungkinan yang terjadi (bencana).
Menurut penulis, setelah merangkum dari beberapa bahan bacaan ada lima hal yang seharusnya
dilakukan pemerintah untuk mengatasi dan mengantisipasi siklus bencana banjir dan asap yang
sering terjadi di Riau. Pertama, pemerintah provinsi Riau dan kabupaten/kota se-Riau tidak lagi
melakukan perubahan fungsi dan status kawasan lindung menjadi kawasan budidaya kehutanan dan
nonkehutanan. Kedua, pemerintah harus segera menyusun rencana tindak yang konkret
menyangkut pemberantasan praktik kejahatan hutan, seperti illegal logging, konversi kawasan
lindung dan pembakaran hutan. Ketiga, melakukan pemantauan secara rutin terhadap
perkembangan kebakaran hutan dan lahan, baik melalui satelit maupun patroli di lapangan dan
melakukan pengecekan terhadap kesiapan sumber daya manusia (SDM) dan peralatannya sebelum
bencana terjadi. Keempat, membina masyarakat untuk mencegah kebakaran dalam menyiapkan
lahan yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat dan menyosialisasikan dampak
kebakaran terhadap tatanan kehidupan masyarakat termasuk timbulnya bencana lingkungan.
Kelima, membangun kelembagaan dan mekanisme untuk menjalankan fungsi pengendalian
kerusakan hutan sesuai dengan kemampuan daerah dan tuntutan masyarakat serta melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

Dengan melakukan kelima hal di atas diharapkan bencana banjir dan kabut asap yang menjadi siklus
tahunan pengiring musim hujan dan kemarau, ke depan tidak terjadi lagi. Perusahaan perkebunan/
kehutanan serta sebagian masyarakat yang selama ini kurang arif dalam pengelolaan hutan dan
lahan diharapkan sadar akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Karena kualitas
kehidupan manusia tidak terlepas dari pengaruh lingkungan.***

You might also like