You are on page 1of 2

ANTARA BUKIT UHUD DAN BUKIT JALIL

Bismillaahirrohmaanirrohiim.  

Bukit uhud menjadi saksi, tentang sifat manusia yang melalaikan amanah, sulitnya menjaga
keistiqomahan terkalahkan oleh sifat serakah hawa nafsu syeitan yang menggoda dalam jiwa manusia.
Sedikit lengah akan menjadi celah masuknya ruh – ruh kesesatan yang menusuk dan bersemayam di hati
(Al-Biruni98, http://magrounj.multiply.com/journal/item/64/BELAJAR_DARI_PERANG_UHUD).
Kemenangan yang di depan mata berubah menjadi malapetaka yang menyayat jiwa.

Bukit Uhud

Hari-hari sebelumnya kita menyaksikan, keserakahan meng"klaim" kesuksesan sesaat timnas kita. Tak
kurang dari tukang becak hingga sang Nahkoda negeri membusungkan dadanya tinggi-tinggi. Begitu
jumawanya para tokoh kita menunjukkan "andil-andil" semunya. Akan tetapi mentalitas pemenang kita
diuji malam ini. Bahwa menang tidaklah sekadar kemenangan materi, ia perlu kemenangan jiwa.

 Betapa saat itu pula, ketika Rasulullah diisukan wafat oleh pasukan di peperangan, barisan muslimin
menjadi kocar kacir tak beraturan. Hanya sahabat teruji saja yang terus tenang dan melindungi
Rasulullah, menahan bertubi-tubi serangan panah, pedang bahkan tombak. Ada bahkan yang terluka
hingga 70 puluh titik di sekujur tubuhnya, demi Rasulullah saw.

 Mungkin begitu pula jadinya setelah kekalahan timnas kita malam ini di Stadion Bukit Jalil, banyak orang
yang lari bersembunyi dari dukungan. Mentalitas pendukung pun teruji dan tersaring. Itu sudah terlihat
ketika pertandingan belum habis saja, beberapa penonton sudah meninggalkan tribun stadion. Banyak
pendukung "si ganteng" yang kemudian tak lagi berteriak histeris. Tidak lagi ada pejabat yang
berkomentar membanggakan andil kesalahannya. Tidak, sekali-kali tidak. Apakah kemudian sang jumawa
itu mau bertanggungjawab atau mengundurkan diri? Kita tunggu. 

Warna sejarah yang cukup kelam itu tidak lantas menghantamkan celaan pada veteran perang uhud.
Pihak sahabat yang tadinya "kalah" pendapat dalam musyawarah penentuan perang tetap tawadhu
menyadari bahwa kekalahan tersebut adalah buah kehendak Allah ta'ala dan hasil kerja berjama'ah.
Mereka semua lantas hanya menjadi saksi utuh sejarah, menjadi pelajaran hikmah sepanjang masa bagi
manusia setelahnya. Bahka Allah swt pun menghibur mereka, diabadikan dalam kitab yang paling mulia,
al-qur'an :

"Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-
orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. Jika kamu (pada perang
uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pula (pada perang Badar) mendapat luka
yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang
kafir) dan supaya kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada. Dan Allah tidak menyukai orang-orang
yang zalim."(Qs Ali Imron: 139-140).

 Satu hal penting, penonton itu bukan pemain dan pemain bukan pula penonton apalagi sekedar
komentator belaka. Pemain yang menentukan feedbacknya, ia sendiri yang menjadi dirijen
perjuangan.Ketika sorak sorai berubah seketika menjadi cemooh, hujatan, makian bahkan terkadang
intimidasi, yang diperlukan adalah turn-over mentalitas. Momentum kekalahan ini yang harus digapai
menjadi ketegaran. Agar kekalahan ini justru menjadi cambuk, memisahkan antara pendukung musiman
dengan pendukung sejati, memisahkan antara "si famous" an sich dengan si "marvelous". Mana si
pendompleng dan mana si penumpang sungguhan.

Bukit Jalil

 Rasulullah saw seketika sekembalinya di Madinah dari Bukit Uhud, langsung menyuruh sahabat untuk
melakukan ekspedisi-ekspedisi pasukan, sariyah, mengejar pasukan quraisy yang hendak kembali ke
Makkah. Ketahuan pula pada akhirnya tabir persekongkolan kaum munafiqin dan Yahudi Madinah.
Mereka bagai musang berbulu ayam. Maka Rasulullah saw memerangi dan mengusir mereka semuanya.
Semua untuk mengembalikan mentalitas berjihad kaum muslimin ketika itu. Rasulullah saw tahu celah
mentalitas itu.

 Maka tidak ada waktu bagi kita hanya untuk mencemooh, hanya menyalahkan, apalagi mundur
kebelakang. Mudah-mudahan pendukung yang telah rela berhari-hari menunggu mabit di stadion hanya
untuk mencari selembar tiket "si rakus" itu, tetap bertahan meneruskan perjuangannya. Tidak ada kata
menyerah kalah sebelum lari, lompatan, sundulan dan peluh itu sekedar rekaman video sejarah yang
diputar laris di pemberitaan.

 Mungkin terlalu berlebihan bagi sebagian orang, bahwa tulisan ini mencoba mengkaitkan dua "bukit"
tersebut, tapi saya yakin sejarah dapat berulang dalam bentuk dan waktu yang lain. Hari esok adalah
milik para pemenang!

 SALAM SATU JIWA!  ALLAHU AKBAR!

You might also like