Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler.
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan
penangan yang cepat dan tepat. Tujuan penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas
akut adalah: membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga meningkatkan perfusi
1
jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu penyakit yang mendasari
gagal nafas tersebut.
B. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum :
a. Untuk memahami lebih jauh tentang fisiologi pernapasan.
b. Untuk memahami lebih jauh tentang definisi, patofisiologi, gambaran klinis,
etiologi, diagnosis serta tatalaksana gagal napas.
2. Tujuan Khusus :
Penulisan referat ini bertujuan untuk memenuhi sebagian syarat mengikuti ujian
kepanitraan klinik di bagian Anestesi dan Reanimasi RSUD Tidar Magelang.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. FISIOLOGI PERNAPASAN
A.1. Ventilasi
Ventilasi Paru
Ventilasi merupakan suatu proses perpindahan masa udara dari luar tubuh ke
alveoli dan pemerataan distribusi udara ke dalam alveoli-alveoli. Proses ini terdiri
dari dua tahap yaitu inspirasi dan ekspirasi. Paru-paru dapat dikembang kempiskan
melalui dua cara, yaitu diafragma naik turun untuk memperbesar atau memperkecil
rongga dada, dan (2) depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau
memperkecil diameter anteroposterior rongga dada. Selama inspirasi, kontraksi
diafragma menarik permukaan bawah paru ke arah bawah. Kemudian selama
ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis daya lenting paru
(elastic recoil), dinding dada, dan struktur abdominal akan menekan paru-paru.
Selama inspirasi otot yang paling membantu adalah otot interkostalis eksterna, otot
lain yang membantu adalah otot sternokleidomastoideus yang mengangkat sternum
3
ke atas, otot serratus anterior yang mengangkat sebagian besar iga, dan otot
skalenus yang mengangkat dua iga pertama. Sedangkan otot-otot yang berperan saat
ekspirasi adalah otot rektus abdominis dan otot interkostalis interna. Kontraksi otot
inspirasi memerlukan energi, jadi inspirasi adalah proses aktif, tetapi ekspirasi
adalah proses pasif pada bernapas tenang karena ekspirasi terjadi melalui penciutan
elastik paru sewaktu otot-otot inspirasi melemas tanpa memerlukan energi.
Inspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal (intra alveolar) lebih rendah dari tekanan
udara luar. Pada saat inspirasi biasa, tekanan dapat berkisar antara -1mmHg
sampai dengan -3mmHg. Pada saat inspirasi dalam tekanan intra alveolar
dapat mencapai -30mmHg. Menurunnya tekanan intra pulmonar pada waktu
inspirasi disebabkan oleh mengembangnya rongga thorax karena
berkontraksinya otot-otot inspirasi.
Proses inspirasi:
Kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna Volume thorax
membesar Tekanan Intra pleura menurun Paru mengembang
Tekanan intra alveolar menurun Udara masuk ke dalam paru
Ekspirasi
Terjadi bila tekanan intrapulmonal lebih tinggi daripada tekanan udara luar
sehingga udara bergerak keluar paru. Tekanan intrapulmonar meningkat bila
volume rongga paru mengecil yang terjadi saat otot-otot inspirasi
berelaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intraalveolar berkisar antara
+1mmHg sampai +3mmHg
Proses ekspirasi:
Otot inspirasi relaksasi volume thorax mengecil tekanan intrapleura
meningkat volume paru mengecil tekanan intra alveolar meningkat
udara bergerak keluar paru.
Tekanan Intrapleura
Adalah tekanan di dalam rongga pleura (antara pleura parietalis dan pleura
viseralis). Dalam keadaan normal ruang ini hampa udara dan mempunyai
4
tekanan negatif kurang lebih -4mmHg dibandingkan dengan tekanan
intraalveolar.
Volume Pernapasan semenit
Adalah jumlah total udara baru yang masuk ke dalam saluran pernapasan
tiap menit, dan ini sesuai dengan volume alun napas (volume Tidal/VT)
dikalikan dengan frekuensi pernapasan. VT normal kira-kira 500ml dan
frekuensi pernapasan normal kira-kira 12 kali permenit. Oleh karena itu,
volume pernapasan semenit rata-rata sekitar 6 liter/menit
5
VA = (VT – VD) x RR
6
- Sifat membrane dan koefisien difusi gas, Gambar 1. Proses
kelarutan gas, sifat fisikokimia pertuka ran gas di
alveolus
7
Oksigen diangkut ke jaringan dari paru melalui dua jalan, yaitu (1) secara fisik
larut dalam plasma, kira-kira hanya 3% (2) secara kimiawi berikatan dengan
hemoglobin (Hb) sebagai oksihemoglobin, kira-kira sebesar 97% O2 ditranspor
melalui cara ini.
Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat reversible, dan jumlah sesungguhnya
yang diangkut dalam bentuk ini mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan
parsial O2 dalam darah arteri (PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara
fisik larut dalam plasma darah.
Jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma mempunyai hubungan
langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus (PAO2). Jumlah O2 juga
bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Cara transport seperti ini tidak
memadai untuk mempertahankan hidup walaupun dalam keadaan istirahat
sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang terdapat dalam sel darah
merah. Dalam keadaan tertentu (misalnya keracunan karbon monoksida atau
hemolisis masif dengan insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan
hidup dapat diangkut dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O 2
bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).
Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam plasma dan
berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi kebutuhan jaringan
yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan tersebut bervariasi, namun sekitar
75% Hb masih berikatan dengan O2 pada waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk
darah vena campuran. Jadi hanya sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan
untuk keperluan jaringan. Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan
disebut Hb tereduksi. Hb tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna
kebiruan pada darah vena, sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan
menyebabkan warna kemerah-merahan pada darah arteri.
Transpor CO2 dari jaringan ke paru untuk dibuang dilakukan dengan tiga cara.
Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma, karena tidak seperti O 2, CO2
mudah larut dalam plasma. Sekitar 20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada
Hb (karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut
8
dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi
berikut ini :
9
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi afinitas oksihemoglobin
dan akan menggeser kurva dissosiasi oksihemoglobin ke kanan dan ke kiri, faktor-
faktor tersebut dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)
pH ↑ pH ↓
PCO2 ↓ PCO2 ↑
Suhu ↓ Suhu ↑
10
seperti syok (pembentukan asam laktat berlebihan akibat metabolisme anaerobic)
atau retensi CO2 (seperti yang ditemukan pada banyak penyakit paru) akan
menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva sedikit ke kanan seperti
pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu pelepasan O 2 ke jaringan.
Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr. Faktor lain yang menyebabkan
pergeseran kurva ke kanan adalah peningkatan suhu dan 2,3 difosfogliserat (2,3-
DPG) yaitu fosfat organic dalam sel darah merah yang mengikat Hb dan
mengurangi afinitas Hb terhadap O2. Pada anemia dan hipoksemia kronik, 2,3-DPG
sel darah merah meningkat. Meskipun kemampuan transport O2 oleh Hb menurun
bila kurva bergeser ke kanan, namun kemampuan Hb untuk melepaskan O 2 ke
jaringan dipermudah. Karena itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran
kurva ke kanan merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang
disertai kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel
dan peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi dan menyebabkan
lebih banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.
11
banyak kemungkinan akan mengalami gangguan pelepasan O2 ke jaringan karena
adanya pergeseran kurva disosiasi HbO2 ke kiri.
Central Control
Pons,
input output
medulla,
other parts
Sensor Effector
12
melalui saraf-saraf lain ke otot-otot pernapasan. Output dari central ini dipengaruhi
oleh sentra yang lebih tinggi di kortikal dan oleh stimulasi mekanik maupun kemis.
Proses autonomic normal dari pernapasan mula-mula berasal dari batang otak.
Korteks bisa mengambil alih kontrol ventilasi jika diperlukan (kontrol volunteer).
Input dari bagian otak yang lain dapat terjadi pada kondisi tertentu.
1. Pusat Pernapasan
Ada tiga kelompok utama neuron pengatur pernapasan di batang otak yaitu:
a. Medullary Respiratory Centre
Pusat ini terletak di reticulum formatio medulla, terdiri dari dua bagian,
yaitu:
- Inspiratory area: sel-sel neuron terletak di region dorsalis medulla yaitu
nucleus ductus solitaries, bertanggung jawab pada pengaturan ritme
ventilasi.
- Expiratory area: sel-sel neuron terletak di region anterior medulla (nucleus
ambiguous dan nucleus retroambiguous). Nuclei ini tidak aktif pada
pernapasan normal, karena ventilasi dicapai dengan kontraksi otot-otot
inspirasi (terutama diafragma) diikuti relaksasi pasif sampai terjadi
keseimbangan. Pada k ponsondisi tertentu (misalnya olah raga) ekspirasi
akan aktif sebagai aktifitas sel-sel ekspirasi.
- Apneustic centre: terletak di bagian bawah pons. Akibat aktifitas impuls
dari bagian ini, akan berakibat perpanjangan waktu inspirasi. Pada kondisis
normal kerja apneustic centre pada manusia tidak diketahui, namun pada
trauma otak yang berat tipe pernapasan ini akan tampak.
- Pneumotaxic Centre: terletak di atas pons di regio nucleus para brachialis.
Aktifitas sentra ini mengatur volume inspirasi dan rate inspirasi. Beberapa
peneliti mengemukakan bahwa kerja bagian ini adalah sebagai “fine tuning”
dari irama pernapasan.
13
Gambar 3.
Area pusat
pernapasan
b. Cortical Center
Input kortikal pada sentra respirasi akan menghasilkan respirasi yang
bersifat kontrol voluntary.
c. Bagian Lain Otak
Bagian lain dari otak seperti sistim limbic dan hipotalamus dapat merubah
pola pernapasan. Contoh: affektif state seperti marah dan ketakutan.
2. Efektor
Otot-otot efektor respirasi termasuk di dalamnya adalah diafragma,
mm.intercostalis, mm.Abdominalis, dan m.sternokleidomastoideus, berada
dalam kendali setara pernapasan. Bayi baru lahir, terutama premature, otot-otot
respirasi belum terkoordinasi, terutama selama tidur.
3. Sensor
a. Central Chemoreceptor
Sel yang berada pada sentrum ventilasi, yang mana sensitive terhadap
perubahan PH cairan ekstraseluler. Perubahan cairan ekstraseluler
diperngaruhi oleh PaCO2, karena CO2 akan diubah menjadi HCO3. Aktivitas
14
ventilasi akan meningkat yang merupakan akibat dari kenaikan CO 2 atau
sebaliknya. Karbondioksida akan dengan mudah melintasi sawar darah otak,
sehingga perubahan sedikit saja pada PaCO2 (2-3 mmHg) akan dengan cepat
merubah ventilasi permenit.
b. Peripheral Chemoreceptor
Terletak di bifucartio carotis dan sepanjang arcus aorta. Kecepatan aliran
darah pada badan carotis berhubungan dengan diameter pembuluh darah,
yang akan diikuti respon ventilasi pada perubahan PaO2 dan kurang tanggap
terhadap perubahan PaCO2.
15
C. KLASIFIKASI GAGAL NAPAS
Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi gagal napas hiperkapnia dan gagal
napas hipoksemia. Berdasarkan waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut
dan gagal napas kronik. Gagal napas akut berkembang dalam waktu menit sampai
jam, PH darah kurang dari 7,3. Gagal napas kronik berkembang dalam beberapa
hari atau lebih lama, terdapat waktu untuk ginjal mengkompensasi dan
meningkatkan konsentrasi bikarbonat, oleh karena itu biasanya PH hanya menurun
sedikit.
16
Hipoksia berarti penurunan penyampaian (delivery) O2 ke jaringan atau
efek dari penurunan penyampaian O2 ke jaringan.
Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula
terjadi akibat penurunan penyampaian O2 karena faktor rendahnya curah
jantung, anemia, syok septic atau keracunan karbon monoksida, dimana
PaO2 dapat meningkat atau normal.
Mekanisme hipoksemia
Mekanisme fisiologi hipoksemia dibagi dalam dua golongan utama,
yaitu 1) berkurangnya PO2 alveolar dan 2) meningkatnya pengaruh
campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi
rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan
di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki
kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah
vena sistemik. PO2 darah vena sistemik (PVO2) menentukan batas bawah
PaO2. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru
dan mencapai keseimbangan dengan gas di rongga alveolar, maka PO 2 =
PAO2. Maka PO2 alveolar (PAO2) menentukan batas atas PO2 arteri. Semua
nilai PO2 berada diantara PVO2 dan PAO2.
Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan PO2 alveolar, atau
peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan
darah kapiler pulmonal (campuran vena).
Penurunan PO2Alveolar
Tekanan total di ruang alveolar ialah jumlah dari PO 2, PCO2, PH2O, dan
PN2. Bila PH2O dan PN2 tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada
PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO2. Hipoventilasi alveolar
menyebabkan penurunan PAO2, yang menimbulkan penurunan PaO2 bila
darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan
17
gas alveolar, bila disederhanakan menunjukkan hubungan antara PO 2 dan
PCO2 alveolar:
PAO2 = FiO2 x PB - PACO2
R
FiO2 adalah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan
barometric, dan R ialah rasio pertukaran udara pernapasan, menunjukkan
rasio steady-state CO2 memasuki dan O2 meninggalkan ruang alveolar.
Dalam praktek, PCO2 arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO2 alveolar
(PaCO2). PAO2 berkurang bila PACO2 meningkat. Jadi, hipoventilasi
alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaO2).
Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa hipoksemia akan
terjadi jika tekanan barometric total berkurang, seperti pada ketinggian, atau
bila FiO2 rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas dimana
sebagian oksigen digantikan gas lain). Hal ini juga akibat penurunan PO 2.
Pada hipoksemia, yang terjadi hanya karena penurunan PaO2. Perbedaan PO2
alveolar - arteri adalah normal pada hipoksemia karena hipoventilasi.
18
2). Penyakit jantung congenital dengan defek septum. 3). ARDS, dimana
dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar
sehingga terjadi pirau kanan ke kiri yang berat.
Petanda terjadinya pirau kanan ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam
pernapasan udara ruangan. 2). Hanya sedikit peningkatan PaO2 jika
diberikan tambahan oksigen. 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai
PaO2 yang diinginkan. 4). PaO2 < 550 mmHg saat mendapat O2 100%. Jika
PaO2 < 550 mmHg saat bernapas dengan O2 100% maka dikatakan terjadi
pirau kanan ke kiri.
19
Keterbatasan Difusi (diffusion limitation)
Keterbatasan difusi O2 merupakan penyebab hipoksemia yang jarang.
Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan normal,
terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua
paru untuk mendapatkan keseimbangan gas dengan alveolus. Walaupun
jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak
cukup waktu bagi PO2 kapiler paru untuk mengalami kesetimbangan dengan
PO2 alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAO 2
sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membrane alveolar-kapiler
melambat atau jika waktu transit darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa
keadaan dimana keterbatasan difusi untuk transfer oksigen dianggap sebagai
penyebab utama hipoksemia ialah: penyakit vaskuler paru; pulmonary
alveolar proteinosis, keadaan dimana ruang alveolar diisi cairan
mengandung protein dan lipid.
Gambaran Klinis
Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari
gambaran hipoksemia arterial dan hipoksemia jaringan. Hipoksemia arterial
meningkatkan ventilasi melalui stimulus kemoreseptor glomus karotikus,
diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi. Derajat
respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan
kemampuan sistem pernapasan untuk merespon. Pada pasien yang fungsi
glomus karotikusnya terganggu maka tidak ada respon ventilasi terhadap
hipoksemia. Mungkin didapatkan sianosis, terutama di ekstremitas distal,
tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membrane mukosa dan
bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan
perfusi pasien.
Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibat pasokan oksigen ke
jaringan yang tidak mencukupi atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan
pergeseran metabolisme ke arah anaerobik disertai pembentukan asam
20
laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah selanjutnya akan merangsang
ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental,
terutama untuk pekerjaan kompleks dan berpikir abstrak. Hipoksia yang
lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,
seperti somnolen, koma, kejang dan kerusakan otak hipoksik permanen.
Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat. Sehingga menyebabkan
terjadinya takikardi, diaphoresis dan vasokonstriksi sistemik, diikuti
hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi, dapat menyebabkan bradikardia,
vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark,
aritmia dan gagal jantung.
Manifestasi gagal napas hipoksemik akan lebih buruk jika ada gangguan
hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah
jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi dapat diramalkan
akan mengalami hipoksia jaringan global dan regional pada hipoksemia
yang lebih dini. Misalnya pada pasien syok hipovolemik yang menunjukkan
tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.
21
Patofisiologi gagal napas hiperkapnia
Hipoventilasi alveolar
Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO2 dari proses
metabolic setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO2 tersebut dari
kedua paru setiap menit. Jika keluaran semenit CO 2 (VCO2) menukarkan
CO2 ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan V A adalah volume
udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar),
didapatkan rumus:
22
proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VD/VT
meningkat juga.
Hiperkapnia (hipoventilasi Alveolar) terjadi saat:
1. nilai VE dibawah normal.
2. nilai VE normal atau tinggi, tetapi rasio VD/VT meningkat.
3. nilai VE di bawah normal, dan rasio VD/VT meningkat.
Trakea dan saluran pernapasan menjadi penghantar pergerakan udara
dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut
berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru (difusi).
Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan
bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan
ekspirasi juga merupakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit
paru, sebagian besar peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi
fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi regional melebihi
jumlah aliran darah regional (ventilation-perfusion [V/Q] mismatching).
Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme
hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching juga akan
menyebabkan peningkatan PaCO2. Kenyataannnya dalam hampir semua
kasus, kecuali dengan V/Q mismatching yang berat, hiperkapnia merangsang
peningkatan ventilasi, mengembalikan PaCO2 ke tingkat normal. Jadi V/Q
mismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia
dengan peningkatan VE.
Gambaran Klinis
Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat.
Peningkatan PaCO2 merupakan penekanan sistem saraf pusat, mekanismenya
terutama melalui turunnya PH cairan cerebrospinal yang terjadi karena
peningkatan akut PaCO2. Karena CO2 berdifusi secara bebas dan cepat ke
dalam cairan serebrospinal, PH turun secara cepat dan hebat karena
hiperkapnia akut.
23
Peningkatan PaCO2 pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga
bikarbonat serum dan cairan serebrospinal meningkat sebagai kompensasi
terhadap asidosis respiratorik kronik. Kadar PH yang rendah lebih
berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain
daripada nilai PaCO2 mutlak.
Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia.
Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan
hiperkapnia mungkin memiliki ventilasi semenit yang meningkat atau
menurun, tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas.
Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea, dan hipopnea dapat
berhubungan dengan gagal napas hiperkapnea.
Pasien dengan gagal napas hiperkapnea akut harus diperiksa untuk
menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas
hiperkapnea karena penyakit paru versus penyakit nonparu. Pasien dengan
penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan
derajad hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO 2
alveolar-arterial. Tetapi pasien dengan masalah nonparu dapat pula
mempunyai hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuscular
(sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi.
Kelainan pada paru berhubungan dengan peningkatan V D/VT dan karenanya
sering menunjukkan peningkatan VE dan frekuensi pernapasan. Tetapi pasien
yang mengalami kelumpuhan otot pernapasan sering ditemui takipneu. Efek
dari hiperkapnea dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan neurologis,
pengobatan berlebih dengan sedative, mixedema, atau trauma kepala.
1. Otak - Epilepsi
- Neoplasma - Hematoma Subdural
24
- Keracunan Morfin - Asma
- CVA - Infeksi paru
2. Susunan Neuro-muskular - Benda asing
- Miastenia Gravis - Pneumothoraks, hemathoraks
- Polyneuritis, demyelinisasi - Edema Paru
- Analgesia spinal tinggi - ARDS
- Pelumpuh otot - Aspiras
3. Dinding Thoraks dan Diafragma 5. Kardiovaskuler
- Luka tusuk Thoraks - Renjatan, Gagal jantung
- Ruptur diafragma - Emboli paru
6. Pasca Bedah Thoraks
4. Paru
Gagal napas akut merupakan salah satu kegawat daruratan. Untuk itu,
penanganannya tidak bisa dilakukan pada area perawatan umum (general care area)
di rumah sakit. Perawatan dilakukan di Intensive Care Unit (ICU), dimana segala
perlengkapan yang diperlukan untuk menangani gagal napas tersedia. Tujuan
penatalaksanaan pasien dengan gagal nafas akut adalah: membuat oksigenasi arteri
25
adekuat, sehingga meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying
disease, yaitu penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
26
Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik.
Pada penyakit berat seperti ARDS, mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive
end-expiratory pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya
tidak didapatkan hiperkapnea, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan
menyebabkan kelelahan otot pernapasan. Transportasi oksigen penting untuk
diperhatikan, jika ada anemia berat harus dikoreksi serta curah jantung yang adekuat
harus dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik
harus diatasi.
Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua
bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi dimana
area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat
meningkatkan oksigenasi, hal ini karena adanya gaya gravitasi. Pasien dengan
hemoptisis berat atau sekretnya banyak tidak boleh diposisikan seperti ini karena
dapat terjadi aspirasi darah atau sekret ke area yang belum terlibat. Pada pasien
ARDS dengan edema paru nonkardiogenik difus, dianjurkan dalam posisi pronasi
(tengkurap), paru akan jarang mengalami kolaps pada bagian yang tergantung.
Selain itu lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi
abdomen.
Pengobatan nonspesifik
Pengobatan ini dapat dan harus dilakukan segera untuk mengatasi gejala-
gejala yang timbul, agar pasien tidak jatuh ke dalam keadaan yang lebih buruk.
Sambil menunggu dilakukan pengobatan spesifik sesuai dengan etiologi
penyakitnya.
27
Pengobatan nonspesifik pada gagal napas akut:
1. Atasi hipoksemia: terapi oksigen
2. Atasi hiperkapnia: perbaiki ventilasi
a. Perbaiki jalan napas
b. Ventilasi bantuan: memompa dengan sungkup muka berkantung (bag and
mask), IPPB
3. Ventilasi kendali
4. Fisioterapi dada
Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari penyakit
kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa dengan keadaan
hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang oleh hipercarbic drive
melainkan terhadap hypoxemic drive. Akibat kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi (FiO2),
menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34°C atau pemberian obat
pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau terkendali. Cara pemberian
oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal, atau sungkup muka. Sungkup muka
tipe venture dapat mengatur kadar O2 inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi
kembali dengan ventilator maka konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%.
Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan
konsentrasi O2 Inspirasi.
28
Inkubator 3-8 30-40
Dalam hal ini, penurunan PaCO2 secara cepat dapat menyebabkan PH darah
meningkat menjadi alkalosis, keadaan ini justru dapat membahayakan, dapat
menimbulkan gangguan elektrolit darah terutama kalium menjadi hipokalemia,
gangguan pada jantung seperti aritmia jantung hingga henti jantung. Penurunan
tekanan CO2 harus secara bertahap dan tidak melebihi 4 mmHg/jam.
b. Ventilasi Bantu
29
Pada keadaan darurat dan tidak ada fasilitas lengkap, bantuan napas dapat
dilakukan mulut ke mulut (mouth to mouth) atau mulut ke hidung (mouth to
nose). Apabila kesadaran pasien masih cukup baik, dapat dilakukan bantuan
ventilasi menggunakan ventilator, seperti ventilator bird, dengan ventilasi
IPPB (Intermittent Positive Pressure Breathing), yaitu pasien bernapas
spontan melalui mouth piece atau sungkup muka yang dihubungkan dengan
ventilator. Setiap kali pasien melakukan inspirasi maka tekanan negative
yang ditimbulkan akan menggerakkan ventilator dan memberikan bantuan
napas sebanyak sesuai yang diatur.
c. Ventilasi Kendali
Pasien diintubasi, dipasang pipa trakea dan dihubungkan dengan ventilator.
Ventilasi pasien sepenuhnya dikendalikan oleh ventilator. Biasanya
diperlukan obat-obatan seperti sedative, narkotika, atau pelumpuh otot agar
pasien tidak berontak dan parnapasan pasien dapat mengikuti irama
ventilator.
Fisioterapi Dada
Ditujukan untuk membersihkan jalan napas dari sekret dan sputum. Tindakan
ini selain untuk mengatasi gagal napas juga untuk tindakan pencegahan. Pasien
diajarkan bernapas dengan baik, bila perlu dengan bantuan tekanan pada perut
dengan menggunakan kedua telapak tangan pada saat inspirasi. Pasien melakukan
batuk yang baik dan efisien. Dilakukan juga tepukan-tepukan pada dada dan
punggung, kemudian perkusi, vibrasi dan drainase postural. Kadang-kadang
diperlukan juga obat-obatan seperti mukolitik, bronchodilator, atau pernapasan
bantuan dengan ventilator.
30
Pengobatan Spesifik
Pengobatan spesifik ditujukan pada underlying disease, sehingga pengobatan
untuk masing-masing penyakit akan berlainan. Kadang-kadang memerlukan
persiapan yang membutuhkan banyak waktu seperti operasi atau bronkhoskopi.
Macam-macam pengobatan spesifik dapat dilihat pada tabel.
Tabel.3 Macam-macam pengobatan spesifik penyebab gagal napas akut
8. Susunan Neuro-muskular
- Miastenia Gravis - Prostigmin, Piridostigmin
- Polyneuritis, - Rawat dan bantuan napas
demyelinisasi ventilasi terkendali
- Pelumpuh otot
9. Dinding Thoraks dan
Diafragma - Operasi
- Luka tusuk Thoraks - Operasi
- Ruptur diafragma
10. Paru
- Asma - Steroid, Bronkodilator
- Infeksi paru - Antibiotik
- Benda asing - Bronkhoskopi
- Pneumothoraks, - Drainase paru
hemathoraks
- Edema Paru - Diuretika, Ventilasi kendali
- ARDS
- Aspirasi
31
- Terapi cairan
BAB III
KESIMPULAN
32
Gagal napas merupakan ketidakmampuan sistem pernapasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran udara antara atmosfer dengan sel-sel
tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal. Gagal napas diklasifikasikan menjadi
gagal napas hipoksemia, dan gagal napas hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia
ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO 2 normal atau rendah. Gagal napas
hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg. Penyebab gagal napas dapat
diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan neuromuscular, dinding thoraks dan
diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Penatalaksanaan pasien dengan gagal
nafas akut yang utama adalah membuat oksigenasi arteri adekuat, sehingga
meningkatkan perfusi jaringan, serta menghilangkan underlying disease, yaitu
penyakit yang mendasari gagal nafas tersebut.
BAB IV
33
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 25 Juni 2010 dari
http://www.faqs.org/health/topics
Anonim. (2002). Respiratory Failure Fact Book. Diakses pada tanggal 24 Juni 2010 dari
http://www.healthnewsflash.com
Amin, Zulkifli; Purwoto, Johanes. (2006). Gagal Napas Akut. Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simandibrata, M., Setiati, S (Eds). Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi Keempat. Jilid 1. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI.
Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9,
Jakarta: EGC.
Kaynar, Ata Murat; Sharma, Sat. (2010). Respiratory Failure. Diakses pada tanggal 23
Juni 2010 dari http://emedicine.medscape.com/article/167981-overview
Latief, A. Said. (2002), Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.
Rahardjo, Sri. (2002). Gagal Napas. Modul Anestesi HSC UGM. Yogyakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Gadjah Mada
34