You are on page 1of 15

Beliau adalah al-Imam Abul Hasan Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin

Ismail
bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa al-Asy’ari Abdullah bin Qais
bin Hadhar salah seorang sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam yang masyhur.

Beliau Rahimahullah dilahirkan pada tahun 260 H di Bashrah, Irak.

Beliau Rahimahullah dikenal dengan kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman
pemahamannya. Demikian juga, beliau dikenal dengan qana’ah dan kezuhudannya.

Guru-gurunya
Beliau Rahimahullah mengambil ilmu kalam dari ayah tirinya, Abu Ali al-Jubai, seorang
imam kelompok Mu’tazilah.

Ketika beliau keluar dari pemikiran Mu’tazilah, beliau Rahimahullah memasuki kota
Baghdad dan mengambil hadits dari muhaddits Baghdad Zakariya bin Yahya as-Saji.
Demikian juga, beliau belajar kepada Abul Khalifah al-Jumahi, Sahl bin Nuh, Muhammad
bin Ya’qub al-Muqri, Abdurrahman bin Khalaf al-Bashri, dan para ulama thabaqah mereka.

Taubatnya dari aqidah Mu’tazilah


Al-Hafizh Ibnu Asakir berkata di dalam kitabnya Tabyin Kadzibil Muftari fima Nusiba ila
Abil Hasan al-Asy’ari, ”Abu Bakr Ismail bin Abu Muhammad al-Qairawani berkata,
‘Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’taziIah selama 40
tahun dan jadilah beliau seorang imam mereka. Suatu saat beliau menyepi dari manusia
selama 15 hari, sesudah itu beliau kembali ke Bashrah dan shalat di masjid Jami’ Bashrah.
Seusai shalat Jum’at beliau naik ke mimbar seraya mengatakan: Wahai manusia,
sesungguhnya aku menghilang dari kalian pada hari-hari yang lalu karena aku melihat suatu
permasalahan yang dalil-dalilnya sama-sama kuat sehingga tidak bisa aku tentukan mana
yang haq dan mana yang batil, maka aku memohon petunjuk kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala sehingga Allah memberikan petunjuk kepadaku yang aku tuliskan dalam kitab-
kitabku ini, aku telah melepaskan diriku dari semua yang sebelumnya aku yakini,
sebagaimana aku lepaskan bajuku ini. maka beliau melepas baju beliau dan beliau serahkan
kitab-kitab tersebut kepada manusia. Ketika ahlul hadits dan fiqh membaca kitab-kitab
tersebut mereka mengambil apa yang ada di dalamnya dan mereka mengakui kedudukan
yang agung dari Abul Hasan al-Asy’ari dan menjadikannya sebagai imam.’”

Para pakar hadits (Ashhabul hadits) sepakat bahwa Abul Hasan al-Asy’ari adalah salah
seorang imam dari ashhabul hadits. Beliau berbicara pada pokok-pokok agama dan
membantah orang-orang menyeleweng dari ahli bid’ah dan ahwa’ dengan menggunakan al-
Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat. Beliau adalah pedang yang terhunus
atas Mu’taziah, Rafidhah, dan para ahli bid’ah.

Abu Bakr bin Faurak berkata, ”Abul Hasan al-Asy’ari keluar dari pemikiran Mu’tazilah dan
mengikuti madzhab yang sesuai dengan para sahabat pada tahun 300 H.”

Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin Khalikan berkata dalam kitabnya, Wafayatul A’yan
(2/446), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya mengikuti pemikiran Mu’tazilah kemudian
bertaubat.”

Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam kitabnya, al-Bidayah wan Nihayah (11/187),
“Sesungguhnya Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah kemudian
bertaubat dari pemikiran Mu’tazilah di Bashrah di atas mimbar, kemudian beliau tampakkan
aib-aib dan kebobrokan pemikiran Mu’tazilah.”

Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar, ”Abul Hasan al-
Asy’ari awalnya seorang Mu’tazilah mengambil ilmu dari Abu Ali al-Juba’i, kemudian beliau
lepaskan pemikiran Mu’tazilah dan jadilah beliau mengikuti Sunnah dan mengikuti para
imam ahli hadits.”

Tajuddin as-Subki berkata dalam kitabnya, Thabaqah Syafi’iyyah al-Kubra (2/246), ”Abul
Hasan al-Asy’ari -mengikuti pemikiran Mu’tazilah selama 40 tahun hingga menjadi imam
kelompok Mu’tazilah. Ketika Alloh menghendaki membela agamaNya dan melapangkan
dada beliau untuk ittiba’ kepada al-Haq maka beliau menghilang dari manusia di rumahnya.”
(Kemudian Tajuddin as-Subki menyebutkan apa yang dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Asakir
di atas).

Ibnu Farhun al-Maliki berkata dalam kitabnya Dibajul Madzhab fi Ma’rifati A’yani Ulama’il
Madzhab (hal. 193), ”Abul Hasan al-Asy’ari awalnya adalah seorang Mu’tazilah, kemudian
keluar dari pemikiran Mu’tazilah kepada madzhab yang haq madzhabnya para sahabat.
Banyak yang heran dengan hal itu dan bertanya sebabnya kepada beliau, Maka beliau
menjawab bahwa beliau pada bulan Ramadhan bermimpi bertemu Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam yang memerintahkan kepada beliau agar kembali kepada kebenaran dan
membelanya, dan demikianlah kenyataannya -walhamdulillahi Taala-.”

Murtadha az-Zabidi berkata dalam kitabnya Ittihafu Sadatil Muttaqin bi Syarhi Asrari lhya’
Ulumiddin (2/3), ”Abul Hasan al-Asy’ari mengambil ilmu kalam dari Abu Ali al-Jubba’i
(tokoh Mu’tazilah), kemudian beliau tinggalkan pemikiran Mu’tazilah dengan sebab mimpi
yang beliau lihat, beliau keluar dari Mu’tazilah secara terang-terangan, beliau naik mimbar
Bashrah pada hari Jum’at dan menyeru dengan lantang, ‘Barangsiapa yang telah mengenaliku
maka sungguh telah tahu siapa diriku dan barangsiapa yang belum kenal aku maka aku
adalah Ali bin Ismail yang dulu aku mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk,
bahwasanya Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan mata, dan bahwasanya para hamba
menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Dan sekarang lihatlah aku telah bertaubat dari
pemikiran Mu’tazilah dan meyakini bantahan atas mereka,’ kemudian mulailah beliau mem-
bantah mereka dan menulis yang menyelisih pemikiran mereka.”

Kemudian az-Zabidi berkata, “Ibnu Katsir berkata, ‘Para ulama menyebutkan bahwa Syaikh
Abul Hasan al-Asy’ari memiliki tiga fase pemikiran: pertama mengikuti pemikiran
Mu’tazilah yang kemudian beliau keluar darinya, Kedua menetapkan tujuh sifat aqliyyah,
yaitu; Hayat, Ilmu, Qudrah, Iradah, Sama’, Bashar, dan Kalam, dan beliau menakwil sifat-
sifat khabariyyah seperti wajah, dua tangan, telapak kaki, betis, dan yang semisalnya. Ketiga
adalah menetapkan semua sifat Allah tanpa takyif dan tasybih sesuai manhaj para sahabat
yang merupakan metode beliau dalam kitabnya al-Ibanah yang beliau tulis belakangan.’”

Murid-muridnya
Di antara murid-muridnya adalah Abul Hasan al-Bahili, Abul Hasan al-Karmani, Abu Zaid
al-Marwazi, Abu Abdillah bin Mujahid al-Bashri, Bindar bin Husain asy-Syairazi, Abu
Muhammad al-Iraqi, Zahir bin Ahmad as-Sarakhsyi, Abu Sahl Ash-Shu’luki, Abu Nashr al-
Kawwaz Asy-Syairazi, dan yang lainnya.
Tulisan-tulisannya
Di antara tulisan-tulisan beliau adalah; al-Ibanah an Ushuli Diyanah, Maqalatul Islamiyyin,
Risalah Ila Ahli Tsaghr, al-Luma’ fi Raddi ala Ahlil Bida’, al-Mujaz, al-Umad fi Ru’yah,
Fushul fi Raddi alal Mulhidin, Khalqul A’mal, Kitabush Shifat, Kitabur Ruyah bil Abshar, al-
Khash wal ‘Am, Raddu Alal Mujassimah, Idhahul Burhan, asy-Syarh wa Tafshil, an-Naqdhu
alal Jubai, an-naqdhu alal Balkhi, Jumlatu Maqalatil Mulhidin, Raddu ala lbni Ruwandi, al-
Qami’ fi Raddi alal Khalidi, Adabul Jadal, Jawabul Khurasaniyyah, Jawabus Sirafiyyin,
Jawabul Jurjaniyyin, Masail Mantsurah Baghdadiyyah, al- Funun fi Raddi alal Mulhidin,
Nawadir fi Daqaiqil Kalam, Kasyful Asrar wa Hatkul Atsar, Tafsirul Qur’an al-Mukhtazin,
dan yang lainnya.

al-Imam Ibnu Hazm Rohimahullah berkata, “al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari memiliki 55
tulisan.

Di antara perkataan-perkataannya
al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari Rohimahullah berkata dalam kitabnya al-Ibanah an Ushuli
Diyanah hal. 17: Apabila seseorang bertanya, “Kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah,
Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Maka terangkan kepada kami
pendapatmu dan keyakinanmu yang engkau beribadah kepada Allah dengannya!” Jawablah,
“Pendapat dan keyakinan yang kami pegangi adalah berpegang teguh dengan kitab Rabb kita,
sunnah Nabi kita Shalallahu ‘alaihi wasallam dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat,
tabi’in, dan para ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya. Dan berpendapat dengan apa
yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal.”

Ringkas perkataan kami bahwasanya kami beriman kepada Allah, para malaikatNya, kitab--
kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang
diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
kami tidak akan menolak sedikitpun. Sesungguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada
sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh
makhluk, tidak membutuhkan anak dan istri. Dan bahwasanya Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wasallam adalah hamba dan urusanNya. Allah mengurusnya dengan membawa petunjuk dan
dien yang benar. Surga dan neraka benar adanya. Hari kiamat pasti datang, tidak ada
kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan membangkitkan yang ada di kubur. Allah berse-
mayam di atas Arsy seperti dalam firmanNya:
“Alloh bersemayam di atas ‘Arsy”. (QS. Thaha: 5)

Allah. memiliki dua tangan, tapi tidak boleh ditakyif, seperti dalam firmanNya:
“Telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku”. (QS. Shad: 75) dan firmanNya
“Tetapi kedua-dua tangan Alloh terbuka.” (QS. al-Maidah: 64)

Allah memiliki dua mata tanpa ditakyif, seperti dalam firmanNya:


“Yang berlayar dengan pengawasan mata Kami.” (QS. al-Qamar: 14)

Siapa yang menyangka bahwa nama-nama Allah bukanlah Allah maka sungguh dia sesat,
Allah berilmu seperti dalam firmanNya
“Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan
dengan ilmu-Nya.” (QS. Fathir: 11)

Kita menetapkan bahwa Allah mendengar dan melihat, kita tidak menafikannya seperti
dilakukan oleh orang-orang Mu’tazilah, Jahmiyyah, dan Khawarij.”
Beliau berkata dalam kitabnya Maqalatul lslamiyyin wa lkhtilafil Mushallin hal. 290: Kesim-
pulan apa yang diyakini oleh ahli hadits dan Sunnah bahwasanya mereka mengakui keimanan
kepada Allah, para malaikatNya, kitab-kitabNya, para rasulNya, dan apa yang dibawa oleh
mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para ulama yang terpercaya dari
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak akan menolak sedikitpun. Dan
bahwasanya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali
Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makhluk, tidak membutuhkan anak dan istri.
Dan bahwasanya Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan utusanNya.

Mereka memandang wajibnya menjauhi setiap penyeru kepada kebid’ahan dan hendaknya
menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, menulis atsar-atsar, dan menelaah fiqih,
dengan selalu tawadhu’, tenang, berakhlak yang baik, menebar kebaikan, menahan diri dari
mengganggu orang lain, meninggalkan ghibah dan namimah, dan berusaha memperhatikan
keadaan orang yang kekurangan.

Inilah kesimpulan dari apa, yang mereka perintahkan, amalkan, dan mereka pandang, dan
kami mengatakan sebagaimana yang kami sebutkan dari mereka dan kepada ini semua kami
bermadzhab, dan tidaklah kami mendapatkan taufiq kecuali dari Allah.”

Wafatnya
al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari wafat di Baghdad pada tahun 324 H. Semoga Allah
meridhoinya dan menempatkannya dalam keluasan jannahNya.

Sumber: Siyar A’lamin Nubala’ oleh Adz-Dzahabi 15/85-90, dan Tarjamah Abul Hasan
al-Asy’ari oleh Syaikh Hammad bin Muhammad al-Anshari cetakan ketiga 1390 H

Abu al-Hasan bin Isma'il al-Asy'ari (Bahasa Arab ‫( )ابو الحسن بن إسماعيل اﻷشعري‬lahir: 873-
wafat: 935), adalah seorang pemikir muslim pendiri paham Asy'ari.

[sunting] Latar Belakang

namanya Abul al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari keturunan dari Abu Musa al-Asy'ari, salah
seorang perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah. Al-Asy'ari lahir
tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M [1].Al-Asy'ari lahir di Basra, namun
sebagian besar hidupnya di Baghdad. pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang
Mu'tazilah terkenal, yaitu Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah dan
mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus ampai berusia 40 tahun, dan tidak sedikit dari
hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku kemuktazilahan. namun pada tahun 912 dia
mengumumkan keluar dari paham Mu'tazilah, dan mendirikan teologi baru yang kemudian
dikenal sebagai Asy'ariah.Ketika mencapai usia 40 tahun ia bersembunyi di rumahnya selama
15 hari, kemudian pergi ke Masjid Basrah. Di depan banyak orang ia menyatakan bahwa ia
mula-mula mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat dilihat mata
kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri yang memperbuatnya (semua pendapat aliran
Muktazilah). Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat
tersebut; saya harus menolak paham-paham orang Muktazilah dan menunjukkan keburukan-
keburukan dan kelemahan-kelemahanya"[1].
Banyak tokoh pemikir Islam yang mendukung pemikiran-pemikiran dari imam ini, salah
satunya yang terkenal adalah "Sang hujjatul Islam" Imam Al-Ghazali, terutama di bidang
ilmu kalam/ilmu tauhid/ushuludin.

Walaupun banyak juga ulama yang menentang pamikirannya,tetapi banyak masyarakat


muslim yang mengikuti pemikirannya. Orang-orang yang mengikuti/mendukung
pendapat/faham imam ini dinamakan kaum/pengikut "Asyariyyah", dinisbatkan kepada nama
imamnya. Di Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim banyak yang mengikuti paham
imam ini, yang dipadukan dengan paham ilmu Tauhid yang dikembangkan oleh Imam Abu
Manshur Al-Maturidi. Ini terlihat dari metode pengenalan sifat-sifat Allah yang terkenal
dengan nama "20 sifat Allah", yang banyak diajarkan di pesantren-pesantren yang
berbasiskan Nahdlotul Ulamak (NU) khususnya, dan sekolah-sekolah formal pada umumnya.

[sunting] Karya-karyanya

Ia meninggalkan karangan-karangan, kurang lebih berjumlah 90 buah dalam berbagai


lapangan[1]. Kitabnya yang terkenal ada tiga : 1. Maqalat al-Islamiyyin 2. Al-Ibanah 'an
Ushulid Diniyah 3. Al-Luma[1]

Mengenal Abul Hasan Al-Asy’ari, Pencetus Aliran Asy’ariyyah


Posted on 05/02/2010 by Fadhl Ihsan| Tinggalkan komentar

Orang-orang Asy’ariyah begitu bangga dengan tokoh satu ini. Mereka menganggap Abul
Hasan Al-Asy’ari sebagai imam panutan. Akan tetapi, bila Asy’ariyyun -yakni orang-orang
yang mengaku dirinya mengikuti beliau- mau jujur, maka mereka harus meneladani beliau
rahimahullah sepenuhnya utamanya dalam hal rujuknya beliau ke pangkuan manhaj salaf dan
berlepas dirinya beliau dari pemikiran mu’tazilah serta pemikiran sesat lainnya. Siapakah
beliau ini? Kita simak tulisan berikut:

Siapakah Abul Hasan Al Asy`ari?

Beliau bernama `Ali bin Isma`il bin Abi Bisyr Ishaq bin Salim bin Isma`il bin Abdullah bin
Musa bin Bilal bin Burdah bin Musa Al Asy`ary, lebih dikenal dengan Abu Al Hasan Al
Asy`ary. Dilahirkan pada tahun 260 Hijriyah atau 875 Masehi, pada akhir masa daulah
Abbasiyah yang waktu itu berkembang pesat berbagai aliran ilmu kalam, seperti : al
Jahmiyah, al Qadariyah, al Khawarij, al Karamiyah, ar Rafidhah, al Mu`tazilah, al
Qaramithah dan lain sebagainya.

Sejak kecil Abul Hasan telah yatim. Kemudian ibunya menikah dengan seorang tokoh
Mu`tazilah bernama Abu `Ali Al Jubba`i. Beliau (Abul Hasan) seorang yang cerdas, hafal Al
Qur`an pada usia belasan tahun dan banyak pula belajar hadits. Pada akhirnya beliau
berjumpa dengan ulama salaf bernama al Barbahari (wafat 329 H), inilah yang akhirnya
merubah jalan hidupnya sampai beliau wafat pada tahun 324 H atau 939 M dalam usia 64
tahun.
Abu al Hasan al Asy`ary dan Mu`tazilah.

Pada mulanya, selama hampir 40 tahun, beliau menjadi penganut Mu`tazilah yang setia
mengikuti gurunya seorang tokoh Mu`tazilah yang juga ayah tirinya. Namun dengan hidayah
Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-ayat Al Qur`an dan hadits- hadits Rasulullah,
beliau mulai meragukan terhadap ajaran Mu`tazilah. Apalagi setelah dialog yang terkenal
dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Abu `Ali al Jubba`i dan setelah
mimpi beliau bertemu dengan Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu`tazilah.

Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber kepada suatu yang
qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang masuk akal (rasional). Itulah sebabnya
maka kaum Mu`tazilah menolak ajaran al Qur`an apalagi as Sunnah yang tidak sesuai dengan
akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan mereka terhadap mu`jizat para nabi,
adanya malaikat, jin dan tidak percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah
tidak mungkin dapat berubah, sesuai dengan firman Allah : “Tidak akan ada perubahan dalam
sunnatillah.” (Al Ahzab:62; lihat juga Fathir:43 dan Al Fath:23)

Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat, yang dianggapnya tidak rasional.
Menurut mereka bila benar ada mu`jizat berarti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri.
Sudah barang tentu pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al
Qur`an dan as Sunnah. Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya : “(Allah) melakukan
segala apa yang Dia kehendaki.” (Hud : 107)

Untuk kehidupan manusia Allah telah memberikan hukum yang dinamakan sunnatullah dan
bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai
Pencipta yang Maha Kuasa. Allah adalah Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi
manusia jelas berbeda dengan hukum yang berlaku bagi Allah. Bukankah Allah dalam
mencipta segala sesuatu tidak melalui hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan
manusia?

Allah telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada, menciptakan dari suatu benda
mati menjadi benda hidup. Adakah yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional?

Itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy`ary dalam segi aqidah dalam
rangka koreksi terhadap faham mu`tazilah, disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal
yang termasuk ghaibiyat.

Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal adalan mengenai, apakah
perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di ta`lilkan atau tidak? Faham Mu`tazilah
berpendapat bahwa perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan diuraikan hikmahnya. Sedangkan
menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak.

Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba`I:

Al Asy`ary (A) : Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir menurut tuan?
Al Jubba`i (B) : Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam surga karena imannya dan
orang kafir masuk ke dalam neraka.
A : Bagaimana dengan anak kecil?
B : Anak kecil tidak akan masuk neraka.
A : Dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang mukmin?
B : Tidak, karena tidak pernah berbuat baik.
A : Kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa ia tidak diberi umur panjang
untuk berbuat kebaikan.
B : Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau akan berbuat kejahatan
atau kekafiran sehingga engkau tidak akan selamat.
A : Kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka, mengapa Allah tidak
mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari neraka.
Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat diandalkan.

Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar kepada sunnah
Rasulullah. Itulah sebabnya maka madzhab yang dicetuskannya lebih dikenal dengan Ahlus
Sunnah wal Jama`ah.

Abu al Hasan al Asy`ary Pencetus Paham Asy`ariyah.

Namun karena pengaruh yang cukup dalam dari paham Mu`tazilah, pada mulanya cetusan
pendapat Abu al Hasan sedikit banyak dipengaruhi oleh Ilmu Kalam. Keadaan seperti ini
sangat dimaklumi karena tantangan yang beliau hadapi adalah kelompok yang selalu
berhujjah kepada rasio, maka usaha beliau untuk koreksi terhadap Mu`tazilah juga berusaha
dengan memberikan jawaban yang rasional. Setidak-tidaknya beliau berusaha menjelaskan
dalil-dalil dari Al Qur`an atau As Sunnah secara rasional. Hal ini dapat dilihat ketika beliau
membahas tentang sifat Allah, dalam beberapa hal beliau masih menta`wilkan sebagiannya.
Beliau menyampaikan pendapatnya tentang adanya sifat Allah yang wajib menurut akal.

Pada mulanya manhaj Abul Hasan Al Asy`ary dalam bidang aqidah menurut pengakuan
secara teoritis, pertama berdasarkan naqli atau wahyu yang terdiri dari Al Qur`an dan Al
Hadits Al Mutawatir, dan kedua berdasarkan akal. Namun dalam prakteknya lebih
mendahulukan akal daripada naql. Hal ini terbukti masih menggunakan penta`wilan terhadap
ayat-ayat Al Qur`an tentang sifat-sifat Allah, misalnya: yadullah (tangan Allah) diartikan
kekuatan Allah, istiwa-ullah dikatakan penguasaan dan sebagainya. Contoh lain misalnya
dalam menetapkan dua puluh sifat wajib bagi Allah, diawali dengan menetapkan hanya tiga
sifat wajib, kemudian berkembang dalam menyimpulkan menjadi lima sifat, tujuh sifat, dua
belas sifat atau dan akhirnya dua puluh sifat atau yang lebih dikenal dengan Dua puluh Sifat
Allah. Dari dua puluh sifat itu tujuh diantaranya dikatakan sebagai sifat hakiki sedang tiga
belas yang lain sifat majazi.

Penetapan sifat hakiki dan majazi adalah berdasarkan rasio. Dikatakannya, penetapan tujuh
sifat hakiki tersebut karena bila Allah tidak memilikinya berarti meniadakan Allah. Ketujuh
sifat hakiki tersebut adalah hayyun bihayatin, alimun bi ilmin, qadirun bi qudratin, sami`un bi
sam`in, basyirun bi basharin, mutakallimun bi kalamin dan muridun bi iradatin. Sedangkan
mengenai tiga belas sifat majazi bila dikatakan sebagai sifat hakiki berarti tasybih atau
menyamakan Allah dengan makhluk.

Ketika ditanyakan: Bagaimana menetapkan sifat hakiki tersebut, sedangkan sifat itu secara
lafziah sama dengan sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk? Jawabannya: Sifat-sifat tersebut
dari segi lafaz sama dengan makhluk, namun bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala mempunyai
arti `Maha` sesuai dengan kedudukan Allah yang Maha Kuasa. Kalau demikian seharusnya
tidak perlu khawatir dalam menerapkan tiga belas sifat yang lain dengan mengatakannya
sebagai sifat hakiki bukan ditetapkan sebagai majazi, dengan pengertian sebagaimana dalam
menetapkan tujuh sifat hakiki tersebut diatas, yakni walaupun sifat-sifat Allah dari segi lafaz
sama seperti sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, namun sifat itu bila dinisbahkan kepada
Allah akan mempunyai arti Maha.

Abu Al Hasan Al Asy`ary kembali ke Salaf.

Pada akhirnya setelah banyak berdialog dengan seorang bernama Al Barbahari (wafat 329
H), Abul Hasan Al Asy`ary menyadari kekeliruannya dalam pemahaman aqidah terutama
dalam menetapkan sifat-sifat Allah dan hal lain tentang ghaibiyat. Empat tahun sebelum
beliau wafat beliau mulai menulis buku Al Ibanah fi Ushul Al-Diyanah, merupakan buku
terakhir beliau sebagai pernyataan kembali kepada faham Islam sesuai dengan tuntunan salaf.
Namun buku ini tidak sempat terbahas secara luas di kalangan umat Islam yang telah
terpengaruh oleh pemikiran beliau sebelumnya.

Untuk mengenal lebih jauh tentang kaidah pemikiran beliau di bidang aqidah sesudah beliau
kembali ke metode pemikiran salaf yang kemudian lebih dikenal dengan Salafu Ahli As
Sunnah wa Al Jama`ah, beliau merumuskannya dalam tiga kaidah sebagai berikut:

1. Memberikan kebebasan mutlak kepada akal sama sekali tidak dapat memberikan
pembelaan terhadap agama. Mendudukkan akal seperti ini sama saja dengan merubah aqidah.
Bagaimana mungkin aqidah mengenai Allah dapat tegak jika akal bertentangan dengan
wahyu?

2. Manusia harus beriman bahwa dalam urusan agama ada hukum yang bersifat taufiqi,
artinya akal harus menerima ketentuan wahyu. Tanpa adanya hukum yang bersifat taufiqi
maka tidak ada nilai keimanan.

3. Jika terjadi pertentangan antara wahyu dan akal maka wahyu wajib didahulukan dan akal
berjalan dibelakang wahyu. Dan sama sekali tidak boleh mensejajarkan akal dengan wahyu
apalagi mendahulukan akal atas wahyu.

Adapun manhaj Abul Hasan dalam memahami ayat (tafsir) adalah sebagai berikut:

1. Menafsirkan ayat dengan ayat.


2. Menafsirkan ayat dengan hadits.
3. Menafsirkan ayat dengan ijma`.
4. Menafsirkan ayat dengan makna zahir tanpa menta`wilkan kecuali ada dalil.
5. Menjelaskan bahwa Allah menurunkan Al Quran dalam bahasa Arab, untuk itu dalam
memahami Al Quran harus berpegang pada kaidah-kaidah bahasa Arab.
6. Menafsirkan ayat dengan berpedoman kepada asbabun-nuzul dari ayat tersebut.
7. Menjelaskan bahwa isi ayat Al Quran ada yang umum dan ada yang khusus, kedua-duanya
harus ditempatkan pada kedudukannya masing-masing.

Banyak sekali buku-buku karya Abul Hasan Al Asy`ary. Yang ditulis beliau sebelum tahun
320 H (sebelum kembali kepada manhaj salaf) lebih dari 60 buku. Sedangkan yang ditulis
sesudah tahun 320 H hampir mencapai 30 buah buku, diantara yang terakhir ini adalah Al
Ibanah fi Ushul Ad Diyanah. Wallahu A`lam.

(Dinukil dari tulisan Abu Ibrahim pada Majalah As Sunnah No.01/Th.I Nov 1992)
Sumber: http://ibnuramadan.wordpress.com/2008/11/20/sesatnya-faham-asyariyah-dan-
kembalinya-syaikh-abul-hasan-al-asyari/

DEBAT IMAM ABU HASSAN AL-ASY'ARI

Inti ajaran faham Mu`tazilah adalah dasar keyakinan harus bersumber


kepada suatu yang qath`i dan sesuatu yang qath`i harus sesuatu yang
masuk akal (rasional). Itulah sebabnya maka kaum Mu`tazilah
menolak ajaran al Qur`an dan apatah lagi as Sunnah yang tidak
sesuai dengan akal (yang tidak rasional). Sebagaimana penolakan
mereka terhadap mu`jizat para nabi, adanya malaikat, jin dan tidak
percaya adanya takdir. Mereka berpendapat bahwa sunnatullah tidak
mungkin dapat berubah.

Sesuai dengan firman Allah (yang artinya):

Tidak akan ada perubahan dalam sunnatillah (Al Ahzab:62; lihat


juga Fathir:43 dan Al Fath:23).

Itulah sebabnya mereka tidak percaya adanya mu`jizat, yang


dianggapnya tidak rasional. Menurut mereka bila adanya mu`jizat
bererti Allah telah melangar sunnah-Nya sendiri. Sudah tentu
pendapat seperti ini bertentangan dengan apa yang dikajinya dari al
Qur`an dan as Sunnah. 

Bukankah Allah menyatakan bahwa dirinya (yang artinya):


(Allah) melakukan segala apa yang Dia kehendaki (Hud : 107)

Untuk kehidupan manusia. Allah telah memberikan hukum yang


dinamakan sunnatullah dan bersifat tetap. Tetapi bagi Allah berlaku
hukum pengecualian, karena sifat-Nya sebagai Pencipta yang Maha
Kuasa. Allah adalah  Penguasa mutlak. Hukum yang berlaku bagi manusia
jelas berbeza dengan hukum yang berlaku bagi Allah. 

Bukankah Allah dalam mencipta segala sesuatu tidak melalui


hukum sunnatullah yang berlaku bagi kehidupan manusia ? Allah
telah menciptakan sesuatu yang tidak ada menjadi ada,
menciptakan dari suatu benda mati menjadi benda hidup. Adakah
yang dilakukan Allah dapat dinilai secara rasional ?

Itulah diantara hal-hal yang dibahas oleh Abu Al-Hasan Al Asy`ary dalam
segi aqidah dalam rangka pembetulan terhadap faham mu`tazilah,
disamping masalah takdir, malaikat dan hal-hal yang termasuk ghaibiyat.

Salah satu dialog beliau dengan Abu Ali Al Jubba`i yang terkenal
adalan mengenai,  
 Apakah perbuatan Allah dapat diketahui hikmahnya atau di
ta`lilkan atau tidak. Fahaman Mu`tazilah berpendapat bahwa
perbuatan Allah dapat dita`lilkan dan dihuraikan hikmahnya. Sedangkan
menurut pendapat Ahlus Sunnah tidak. 

Berikut ini dialog antara Abu Al Hasan dengan Abu Ali al Jubba`i:

Al Asy`ary (A) :  Bagaimana kedudukan orang mukmin dan orang kafir


menurut tuan?

Al Jubba`i (B)  :  Orang mukmin mendapat tingkat tinggi di dalam


surga karena imannya dan orang kafir masuk ke dalam neraka.

A  : Bagaimana dengan anak kecil?


B  : Anak kecil tidak akan masuk neraka
A  : dapatkah anak kecil mendapatkan tingkat yang tinggi seperti orang
mukmin?
B  : tidak, kerana dia tidak pernah berbuat baik

A :  kalau demikian anak kecil itu akan memprotes Allah kenapa dia tidak
diberi umur panjang untuk berbuat kebaikan
B  :  Allah akan menjawab, kalau Aku biarkan engkau hidup, engkau
akan berbuat kejahatan atau kekafiran sehingga engkau tidak akan
selamat.

A  :  kalau demikian, orang kafir pun akan protes ketika masuk neraka,
mengapa Allah tidak mematikannya sewaktu kecil agar selamat dari
neraka.

Abu Ali Al Jubba`i tidak dapat menjawab lagi, ternyata akal tidak dapat
digunakan.

Abu al Hasan Al Asy`ary dalam meninjau masalah ini selalu berdasar


kepada sunnah Rasulullah. Itulah sebabnya maka aqidah yang
disusunnya lebih dikenali dengan  

Ahlus Sunnah wal Jama`ah.

IKTIQAD IMAM ABU HASSAN AL-ASY'ARI

Imam Abu Hassan Al-Asy’ari dalam furu’ syari’at beliau penganut yang kuat dari
Madzhab Syafi’i. Beliau belajar fiqh kepada Abu Ishaq al Marwadzi, demikian dikatakan
oleh Ustadz Abu Bakar bin Furak pengarang kitab Tabaqatul Mutakallimin, dan demikian
juga dikatakan oleh Ustadz Abu Ishaq al Ar-faraini sebagai yang dinukilkan oleh Syeikh
Abu Muhammad al Junaidi dalam kitab Syarah Risalah

Abu Hasan al Asy’ari adalah seorang Ulama Besar, ikutan ratusan juta umat Islam dari dulu
sampai sekarang, kerana beliau yang menjadi Imam kaum Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai
lawan dari kaum Mu’tazilah, kaum Syi’ah, kau’m Mujassimah, dan lain-lain firqah
yang sesat.

Walaupun beliau seorang Imam Besar dalam usuluddin, tetapi dalam furu’ syari’at beliau
menganut dan mempertahankan Madzhab Syafi’i Rahimahullah.

Abu Hasan al-Asy’ari membuat pembaharuan dalam aliran Ahli Sunnah dengan
mengemukakan hujah-hujah logik akal serta teks-teks al-Quran dan hadis yang ada. Hujah-
hujah yang dikumpulkan cukup kuat bagi mematahkan hujah Muktazilah yang pesat
berkembang pada masa itu. Beliau berjaya mengumpulkan ramai murid dan pengikut.
Kemudian, lahir golongan Ahli Sunnah wal Jamaah dikenali sebagai
Asya’irah iaitu golongan pengikut fahaman Abu Hasan al Asy’ari.
Antara teori Abu Hasan al-Asy’ari adalah mengemukakan 13 sifat yang wajib bagi Allah
secara terperinci iaitu:

BIL : 1
SIFAT WAJIB : WUJUD
MAKNA : Ada
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu ada. Mustahil Allah itu tiada.

BIL : 2
SIFAT WAJIB :QIDAM
MAKNA : Sedia
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu sedia ada. Mustahil didahului oleh Adam (tiada)

BIL : 3
SIFAT WAJIB : BAQA
MAKNA : Kekal
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu bersifat kekal. Mustahil ia dikatakan fana (binasa)

BIL : 4
SIFAT WAJIB : MUKHALAFATUHU LILHAWADIS
MAKNA : Tidak sama dengan yang baharu
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu tidak mempunyai sifat-sifat yang baharu yakni
dijadikan dan dihancurkan. Mustahil bersamaan dengan yang baharu.

BIL : 5
SIFAT WAJIB : QIYAMUHUU BINAFSIH
MAKNA : Berdiri dengan dirinya sendiri
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu bersendiri. Mustahil tidak berdiri dengan dirinya
sendiri atau berdiri pada lainnya.
BIL : 6
SIFAT WAJIB : WAHADAANIYAT
MAKNA : Esa
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu Maha Esa Dzat-Nya, Esa sifat-Nya dan esa juga
perangai-Nya. Mustahil ia mempunyai Dzat, sifat dan perangai yang berbilang-bilang.

BIL : 7
SIFAT WAJIB : QUDRAT
MAKNA : Kuasa
SIFAT MUSTAHIL : Alah Taala itu Maha Berkuasa. Mustahil Allah itu lemah atau
tidak berkuasa.

BIL : 8
SIFAT WAJIB : IRADAT
MAKNA : Menentukan
SIFAT MUSTAHIL : Allah itu Menentukan segala-galanya. Mustahil Allah Taala itu
terpaksa dan dipaksa.

BIL : 9
SIFAT WAJIB : ILMU
MAKNA : Mengetahui
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu amat mengetahui segala-galanya. Mustahil Allah
tidak mengetahui.

BIL : 10
SIFAT WAJIB : HAYAT
MAKNA : Hidup
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu sentiasa hidup yakni sentiasa ada. Mustahil Allah
Taala itu tiada atau mati.

BIL : 11
SIFAT WAJIB : SAMA
MAKNA : Mendengar
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu tidak tuli (pekak). Mustahil Allah tuli atau tidak
mendengar.

BIL : 12
SIFAT WAJIB : BASAR
MAKNA : Melihat
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu sentiasa melihat. Mustahil Allah Taala itu buta.

BIL : 13
SIFAT WAJIB : KALAM
MAKNA : Berkata-kata
SIFAT MUSTAHIL : Allah Taala itu berkata-kata. Mustahil Allah Taala itu tidak
bercakap atau bisu.

Beliau juga menghuraikan perkara taklid iaitu mengambil pendapat orang lain tanpa hujah
yang menguatkannya ataupun tidak dalam perkara yang berkaitan dengan sifat-sifat itu.
Beliau menghuraikan perkara-perkara lain yang berkaitan dengan kepercayaan pada rukun-
rukun iman.

Imam Abu Hassan al-Asyaari juga terkenal dengan teori al-Kasbu (usaha) di dalam
membincangkan kudrat Allah Taala dan perbuatan manusia, iaitu pandangannya adalah
pertengahan di antara golongan Jabariyyah dengan Muktazillah. Golongan Muktazillah
berpandangan bahawa manusia yang menciptakan perbuatannya sendiri. Golongan
Jabariyyah pula berpendapat bahawa manusia tidak mempunyai kuasa untuk mencipta
perbuatan apatah lagi berusaha untuk melakukan sesuatu. Manakala Imam Abu Hassan al-
Asyaari berpandangan bahawa manusia tidak mempunyai kuasa untuk mencipta
perbuatannya akan tetapi berkuasa untuk berusaha.
Sumber:
Sejarah dan Keagungan Madzab Syafi’i, karangan KH. Siradjuddin Abbas,
Pustaka Tarbiyah, 1994

IMAM ABU HASSAN AL-ASY'ARI

Kitab Al-Ibanah Imam Abu Hassan Al-Asy'ari

LATAR BELAKANG

Penyusun aqidah Asya’irah (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah) ialah


Imam Ali bin Ismail bin Ishak bin Salim bin Abdullah Musa bin
Bilal bin Bardah bin Abu Musa al-Asy’ari. Beliau lebih dikenali sebagai
Imam Abu Hassan al-Asy’ari. Beliau juga merupakan cucu kepada
salah seorang sahabat Rasulullah S.A.W. iaitu Saidina Abu Musa al-
Asy’ari RA. Salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali bin Abi
Thalib dan Mu'awiyah. 

Beliau dilahirkan pada tahun 260 Hijrah di Basrah dan wafat pada 324
H/935 H. Ini bermakna beliau berkesempatan untuk hidup sebagai
golongan Salaf al-Soleh sekitar tahun 300 Hijrah yang merupakan sebaik-
baik generasi. 

Sepertimana Sabda Rasulullah S.A.W. bermaksud:

Sebaik-baik manusia ialah (kaum Muslimin yang hidup) pada


kurunku, kemudian diikuti oleh kurun yang sepelas mereka
kemudian diikuti oleh kurun yang selepas mereka.
(Riwayat al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Al-Asy'ari lahir di Basra, namun sebagian besar hidupnya di Baghdad.


Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang Mu'tazilah terkenal, iaitu
ayah tirinya Abu Ali Al-Jubbai, mempelajari ajaran-ajaran Muktazilah
dan mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun.
Kebanyakkan hidupnya digunakan untuk mengarang buku-buku
kemuktazilahan. 

Namun dengan hidayah Allah setelah beliau banyak merenungkan ayat-


ayat Al Qur`an dan hadits-hadits Rasulullah, beliau mulai meragui
terhadap ajaran Mu`tazilah. Apatah lagi setelah dialognya yang
terkenal dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh
Abu `Ali al Jubba`i dan setelah mimpi beliau bertemu dengan
Rasulullah, beliau secara tegas keluar dari Mu`tazilah. Dan pada
tahun 912 M dia mengumumkan keluar dari Fahaman Mu'tazilah, dan
menyusun method ilmu aqidah yang mudah difahami yang kemudian
dikenal sebagai Asy'ariah.

Dikhabarkan ketika usianya mencapai usia 40 tahun, ia bersembunyi di


rumahnya selama 15 hari dan kemudian beliau berdebat dengan ayah
tirinya mengenai kehidupan selepas mati. Selepas berdebat dan ayah
tirinya tidak dapat menjawab persoalan yang ditanyakannya berkaitan
perbuatan Allah Taala. Kemudian dia pergi ke Masjid Basrah. 

Di depan semua orang, dia menyatakan bahawa ia mula-mula dahulu


mengatakan bahwa Quran adalah makhluk; Allah Swt tidak dapat
dilihat dengan mata kepala; perbuatan buruk adalah manusia sendiri
yang memperbuatnya (semua pendapat aliran Muktazilah).

Kemudian ia mengatakan: "saya tidak lagi memegangi pendapat-


pendapat tersebut; saya harus menolak fahaman orang
Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahanya. Dan mengisytiharkan dia kembali
berpegang kepada aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah.

KITAB-KITABNYA

Imam Abu Hasan al-Asy’ari juga meninggalkan beberapa buku yang


dikarangnya dan yang masih ada pada zaman sekarang antaranya Al-
Ibanah Min Uslul Diniati. Dalam buku ini, beliau menyokong dengan
tegas kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara dan didera oleh
kerajaan Abbasiah yang menyokong Muktazilah pada zamannya. 

Begitu juga dalam buku AJ-Luma ‘ Fir Raddi ‘Ala Ahlil Zaighi wal Bid
‘i beliau mendedahkan hujah logik dan teks. Buku Maqalatul Islamiyiin
mendedahkan fahaman-fahaman yang timbul dalam ilmu Kalam dan
menjadi rujukan penting dalam pengajian fahaman-fahaman akidah. Buku
Istihsan al-Khaudhi Fil Ilmu Kalam pula adalah risalah kecil bagi
menolak hujah mereka yang mengharamkan ilmu Kalam.

Fahaman beliau berjaya mematikan hujah-hujah Muktazilah yang


terpesong jauh iaitu membicarakan al-Quran sebagai kata-kata Allah
yang kekal, isu melihat Allah pada hari Kiamat, membetulkan perkara
yang berhubung dengan Qadak dan Qadar dan lain-lain dan menjadi
golongan pertama yang menamakan Ahli Sunnah Wal Jamaah di
tengah-tengah kelahiran pelbagai fahaman pada zamannya.

Imam Abu Hasan Asy’ari meninggal dunia pada tahun 324 Hijrah dengan
meninggalkan pusaka ilmu yang terdiri daripada buku-buku karangan
beliau serta murid-murid yang meneruskan perjuangannya. Akhirnya, ia
meninggalkan aliran pengajian akidah yang dianuti oleh sebahagian besar
umat Islam hari ini dalam melanda cabaran-cabaran baru yang tidak ada
pada zamannya. 

You might also like