You are on page 1of 20

1

Artikulasi Peran Aristoteles Dalam Membentuk Wajah Sains Modern


DR. Haedar Akib, M.Si.
Dosen pada Program Sarjana dan Pascasarjana UNM, STIA LAN dan
UNISMUH Makassar

Abstrak
Menampilkan kreasi filosof Yunani berarti “menyaksikan” kelahiran filsafat dan
ilmu pengetahuan. Para filsuf pertama adalah orang-orang yang mulai meragukan cerita
dongeng dan mencoba mencari tahu dengan akalnya dari mana asal muasal alam semesta
yang menakjubkan. Tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan peran Aristoteles dalam
membentuk wajah sains modern. Meskipun Aristoteles bukan filosof pertama yang
menyumbangkan pemikiran radikal, sistematis dan universal dalam menjawab pertanyaan
pokok keilmuan, namun dalam buku emas peradaban, Aristoteles dicatat sebagai salah
seorang representasi filosot periode Yunani. Bahkan, dalam periodenya tercatat pula dua
kutub peradaban ilmu pengetahuan yakni di Athena dengan andalan intelektual metode
filosofis deduktif yang diwakili oleh Plato dan di Alexandria dengan andalan “empiris
metode deduktif” yang diwakili oleh tokoh sentral Aristoteles.

Pendahuluan

Pilihan Aristoteles selaku tokoh kunci yang telah memberikan kontribusi dalam

pembentukan dan pergembangan ilmu pengetahuan dan filsafat (Poespowardojo, 2000)

amat tepat karena ternyata para filosof yang datang kemudian, meskipun dengan kurun

waktu dan tempat yang berbeda namun juga mendasarkan argumentasinya pada

pemikiran Aristoteles. Secara lugas Bertens (2000: 30) mengakui bahwa faktor yang

terpenting dalam perkambangan intelektual pada umumnya dan perkembangan filosofis

pada khususnya merupakan penemuan sejumlah karya filsafat Yunani, terutama karangan

Aristoteles yang pada saat itu belum dikenal di dunia Barat.

Sebenarnya hasil karya Aristoteles banyak sekali, sehingga para “komentator” agak

sulit menyusun secara runtut. Hal ini semakin nampak dari perbedaan cara yang

ditempuh komentator dalam membagi pembahasan materinya. Menurut Hadiwidjono


2

(2000: 45), ada komentator yang membagi hasil karya Aristoleles menjadi delapan

bagian, yakni mengenai logika, filsafat alam, psikologi, biologi, metafisika (meta ta

fusika), etika, politik dan ekonomi, serta retorika dan poetika. Ada pula yang mengurai

perkembangan pemikiran Aristoteles ke dalam tiga tahapan, yakni:

(1) Tahap di Akademi, ketika masih setia kepada gurunya, Plato termasuk ajaran Plato

tentang idea;

(2) Tahap di Assos, ketika berbalik dan mengeritik ajaran Plato tentang idea-idea dan

menemukan ajarannya sendiri;

(3) Tahap ketika membina sekolahnya di Athena, di mana berbalik dari berspekulasi ke

penyelidikan empiris, mengindahkan yang konkrit dan yang individual.

Tanpa mengabaikan cara pembagian hasil karya Aristoteles yang dilakukan oleh

komentator itu, penulis memahami bahwa pembagian itu dilakukan semata-mata untuk

lebih memudahkan pemahaman sistematika pemikiran Aristoteles yang terfokus pada

pembentukan dan pengembangan ilmu pengetahuan.

Isi tulisan ini dibagi ke dalam beberapa sub-bagian. Diawali dengan deskripsi

mengenai riwayat hidup Aristoteles yang pada kenyataannya lahir dan dibesarkan dalam

lingkungan orang berpendidikan. Uraian selanjutnya membahas sumbangan pemikiran

Aristotels bagi pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan pada umumnya dan bagi

upaya enrichment metode ilmu pengetahuan pada khususnya. Untuk menunjukkan

keluasan cakrawala pemikiran Aristoteles dibahas pula pemikirannya yang menjadi

kerangka dasar bagi pembentukan dan pengembangan berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Pada bagian akhir dijelaskan “benang merah” yang mengaitkan pemikiran Aristoteles

baik dengan pemikiran ‘filosof pertama’ yang mendahului maupun filosof yang datang
3

kemudian. Keterkaitan pemikiran Aristoteles dengan pemikiran Plato ialah ajarannya

tentang dua macam pengenalan, yakni pengenalan inderawi dan pengenalan rasional

(Bertens, 2000: 51) karena kedua jenis pengenalan ini pada gilirannya membimbing

kepada ilmu pengetahuan. Sementara itu, keterkaitan pemikiran Aristoteles dengan

filosof yang datang sesudahnya disesuaikan dengan maksud penulis untuk memahami

dan meneguhkan orisinalitas khazanah pemikiran Aristoteles.

Riwayat Hidup Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM) lahir di Stageira, daerah Thrake di Yunani Utara, anak

seorang dokter pribadi raja Makedonia yang meninggal dunia tatkala ia masih sangat

muda. Aristoteles kemudian diasuh oleh Proxenus dan diberikan pendidikan yang

istimewa. Hal itu terbukti karena pada waktu berumur kira-kira 18 tahun, Aristoteles

dikirim ke Athena untuk belajar dan menjadi murid Plato dalam Akademia selama 20

tahun. Setelah Plato meninggal dunia pada tahun 342, Aristoteles kembali ke Makedonia

untuk diangkat menjadi pendidik Pangeran Alexander yang Agung selama dua tahun.

Setelah Alexander menjadi raja, maka Aristoteles kembali ke Athena dan mendirikan

sekolah di Assos (Asia Kecil) yang dinamakan Lykeion (dilatinkan: Lyceum).

Tatkala Alexander berperang di Asia pada tahun 334 SM., sekolah Aristoteles juga

bersaing dengan sekolah Plato, Akademia. Persaingan yang mendorong Aristoteles

meningkatkan penelitian yang hasilnya tidak hanya menjelaskan prinsip-prinsip sains,

melainkan pula mengajarkan politik, retorika dan dialektika. Dalam pergaulan tingkat

atas, Aristoteles barangkali lebih berhasil dari pada Plato, bukan saja karena dipilih

menjadi pendidik Alexander, melainkan pula karena memiliki pengaruh besar dalam
4

sejarah dunia. Selama kurun waktu antara tahun 340-335 SM., Aristoteles menekuni riset

di Stagira, dibantu oleh Theophratus yang juga alumnus Athena. Riset yang intensif itu

dibiayai oleh Alexander dan menghasilkan kemajuan dalam sains dan filsafat.

Pada tahun 323 SM., ketika Alexander wafat, timbul huru-hara di Athena

menentang Makedonia, sehingga lama kelamaan posisi Aristoteles juga menjadi tidak

aman karena dianggap orang asing sekaligus teman Alexander. Orang-orang Athena yang

anti-Macedonia melihat Aristoteles sebagai penyebar pengaruh subversif, bahkan dituduh

mendurhaka (atheis), sehingga Aristotels yang berpikir lebih arif memilih meninggalkan

Athena atau lari ke Khalkes, tempat ia meninggal dunia pada tahun berikutnya (322 SM.).

Metode Aristoteles: Silogistis Deduktif

Silogisme deduktif yang dimaksud di sini terkait dengan uraian mengenai logika.

Ini dilakukan karena masalah deduksi dan induksi dijelaskan dalam logika. Aristoteles

menyatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan

untuk memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode itu disebut metode

induktif dan deduktif. Induksi (epagogi) ialah cara menarik kesimpulan yang bersifat

umum dari hal yang khusus. Sementara itu, deduksi (apodiktif) ialah cara menarik

kesimpulan berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan yang bertolak dari

sifat umum ke khusus. Induksi bertolak dari pengamatan empiris dan pengetahuan

inderawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi adalah sebaliknya, terlepas

dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman. Menurut

Verhaak dan Imam (1989: 17) bahwa, induksi adalah penalaran dengan simpulan yang
5

wilayahnya lebih luas dari pada wilayah premisnya, sedangkan deduksi adalah penalaran

dengan kesimpulan yang wilayahnya lebih sempit dari pada wilayah premisnya.

Berdasarkan uraian di atas dipahami bahwa sesungguhnya Aristotels menerima

induksi dan deduksi, namun karena dikenal sebagai filsuf Barat pertama yang secara rinci

dan sistematis menyusun ketentuan dalam penalaran deduktif, maka nama Aristoteles

selalu dihubungkan dengan penalaran deduktif. Hal ini dapat dipahami karena pada

kenyataannya, baik deduksi maupun induksi dijelakan oleh Aristoteles dalam logika.

Menurut Hadidjono (2000: 46) dan Rapar (2000: 34), logika sebagai ajaran tentang

berpikir ilmiah atau membicarakan bentuk-bentuk pikiran itu sendiri (termasuk

pengertian, pertimbangan dan penalaran, serta hukum-hukum yang menguasai pikiran)

adalah ciptaan Aristoteles. Dengan demikian, tidak dapat disangkal bahwa logika

merupakan salah satu karya monumental yang dihasilkan Aristoteles, sehingga sering

disebut sebagai pelopor, penemu atau bapak logika, kendati itu tidak berarti sebelum

Aristoteles belum ada logika.

Sebenarnya, istilah logika tidak pernah digunakan oleh Aristoteles. Istilah logika

pertama kali digunakan oleh Zeno dari Citium (334-262 SM) pendiri Soisisme. Logika

adalah istilah yang dibentuk dari kata Yunani, logikos yang berasal dari kata benda logos.

Kata logos berarti suatu yang diutarakan, suatu pertimbangan akal (pikiran), kata,

percakapan dan bahasa. Logikos berarti sesuatu yang diutarakan, sesuatu pertimbangan

akal, mengenai kata, mengenai percakapan, atau yang berkenaan dengan bahasa. Dengan

demikian, secara etimologis, logika berarti suatu pertimbangan akal pikiran yang

diutarakan dengan kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut juga
6

logike episteme atau logica scientia yang berarti ilmu logika namun sekarang ini lazim

disebut logika saja (Rapar, 2000: 52).

Menurut Verhaak dan Imam (1989: 18) dan Rapar (2000: 53), tiga dari empat

hukum dasar logika yang dikenal dewasa ini dirumuskan oleh Aristoteles, yakni:

(1) Hukum identitas (Principium identitatis, law of identity) yang menegaskan bahwa

sesuatu itu sama dengan dirinya sendiri. Formulanya adalah: P = P.

(2) Hukum kontradiksi (principium contradictionis, law of contradiction) yang

menyatakan bahwa sesuatu itu pada waktu yang sama tidak dapat sekaligus memiliki

sifat tertentu dan juga tidak memiliki sifat tertentu itu. Formulanya adalah: tidak

mungkin P = Q dan P ≠ Q.

(3) Hukum tiada jalan tengah (principium exclusi tertii, law of excluded middle) yang

menyatakan bahwa sesuatu itu pasti memiliki suatu sifat tertentu atau tidak memiliki

sifat tertentu itu dan tidak ada kemungkinan lain. Jadi, P = Q dan sekaligus P ≠ Q.

Untuk meneliti berbagai argumentasi yang berangkat dari proposisi yang bebas

dipakai istilah “analitika”. Sementara itu, untuk meneliti argumentasi yang bertolak dari

proposisi yang diragukan kebenarannya dipakai istilah “dialektika”. Istilah logika

sebagaimana arti yang dikenal pada masa kini mulai digunakan oleh Alexander

Aphrodisias pada awal abad ke-3 sebelum Masehi. Logika merupakan cabang filsafat

yang menyusun, mengembangkan dan membahas asas, aturan formal dan prosedur

normatif, serta kriteria yang sahih bagi penalaran dan penyimpulan demi mencapai

kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Inti logika adalah

silogisme dan silogisme sebagai alat dan mekanisme penalaran untuk menarik

kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah suatu bentuk
7

formal dari penalaran deduktif. Bagi Aristoteles, deduksi merupakan metode terbaik

untuk memperoleh kesimpulan demi meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itu lah

sebabnya mengapa metode Aristoteles disebut “metode silogistik deduktif”.

Silogisme adalah penemuan Aristoteles yang murni dan terbesar dalam logika.

Namun, Aristoteles tidak memakai silogisme semata-mata untuk menyusun berbagai

argumentasi bagi suatu perdebatan (dialog), melainkan lebih utama sebagai metode dasar

bagi pengembangan suatu bidang ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, Aristoteles tidak

memasukkan logika ke dalam salah satu kelompok dari ketiga kelompok menurut

pembagian ilmu pengetahuan yang disusunnya (Rapar, 2000: 34).

Silogisme sebagai bentuk formal dari deduksi, terdiri atas tiga proposisi. Proposisi

pertama dan kedua disebut premis, sedang proposisi ketiga merupakan kesimpulan yang

ditarik dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi kedua. Jadi, setiap silogisme

terdiri atas dua premis dan satu kesimpulan. Setiap proposisi harus memiliki dua term.

Jadi, setiap silogisme harus memiliki enam term. Akan tetapi, karena setiap term dalam

suatu silogisme senantiasa disebut dua kali, maka sebenarnya dalam setiap silogisme

hanya ada tiga term. Apabila proposisi ketiga, yaitu proposisi yang disebut kesimpulan

diperhatikan dengan seksama maka pada proposisi itu terdapat dua term dari ketiga term

yang telah disebutkan. Dengan demikian, yang menjadi subjek kesimpulan disebut term

minor dan yang menjadi predikat kesimpulan disebut term mayor. Term yang terdapat

pada kedua proposisi disebut term tengah (terminus medius). Contoh Silogisme:

Semua anjing adalah hewan berkaki empat. (umum/universal)

Si hitam adalah seekor anjing. (khusus/partikular)

Si hitam adalah hewan berkaki empat.


8

Pola kerja yang ditempuh dalam penjelasan silogistis-deduktif adalah sebagai

berikut. Pertama-tama ditentukan suatu kebenaran universal, kemudian menjabarkannya

pada hal-hal yang khusus. Dengan kata lain, sesudah ketentuan umum ditetapkan, barulah

kemudian berdasarkan ketentuan umum itu ditarik kesimpulan yang bersifat khusus atas

kasus tertentu.

Immanuel Kant (dalam Rapar 2000: 12) menyatakan bahwa logika yang diciptakan

oleh Aristoteles sejak semula sudah begitu sempurna sehingga tidak mungkin bertambah

sedikitpun. Namun, perlu juga diperhatikan kecaman Bertrand Russel yang menganggap

Aristoteles mengakui bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit dari pada pria,

padahal kendati pernah dua kali kawin, tidak pernah terlintas dalam benak Aristoteles

untuk menguji pendapatnya dengan meneliti mulut istri-istrinya itu.

Meskipun kritik Russel itu cukup pedas, namun tidak berarti mengecilkan jasa

Aristoteles yang harus diakui memang spektakuler bagi pengembangan ilmu

pengetahuan. Sumbangan pemikiran Aristoteles menjadi lebih nyata dan luas jika dilihat

dari kerangka dasar pembentukan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Poespowardojo:

5 Desember 2000), sebagaimana dijelaskan berikut ini.

Kekayaan Khazanah Pemikiran Aristoteles Lainnya

Orisinalitas pemikiran yang disajikan ini merupakan bukti nyata kekayaan

khazanah pemikiran Aristoteles selaku great thinker sepanjang zaman. Pemikiran orisinal

tersebut bertebaran namun menjadi fundamental dalam pembentukan dan perkembangan

berbagai bidang ilmu pengetahuan, di antaranya dalam bidang politik, hukum, psikologi,

poetika dan sebagainya, serta ajaran hilemorphisme (teori bentuk dan materi) yang
9

menjadi dasar pandangannya tentang manusia dan perkenalan metode ilmu pengetahuan

yang digunakan sampai saat ini.

Selanjutnya, karya-karya monumental Aristoteles yang tidak terekam adalah buku

berjudul Organon mengenai categories di mana buku itu menjelaskan logika. Buku On

Interpretation yang membahas berbagai tipe proposisi. Buku Prior Analytics yang

membicarakan silogisme. Posterior Analytics yang menjelaskan pengetahuan sains dan

On Sophistical Refutations yang membuktikan kepalsuan logika orang sofis.

Aristoteles lebih jauh mengemukakan pengelompokan ilmu pengetahuan ke dalam

ilmu-ilmu teoritis yang diarahkan pada pengetahuan saja dan ilmu-ilmu praktis dimana

pengetahuan ditujukan pada praksis (Melsen, 1992: 14), atau jika memakai klasifikasi

filsafat dapat dibagi ke dalam tiga bidang studi, yakni filsafat spekulatif atau teoritis,

filsafat praktika, dan filsafat produktif (Rapar, 2000: 34). Klasifikasi bidang filsafat

spekulataif itu sama dengan ilmu-ilmu teoritis, kemudian filsafat praktika dan filsafat

produktif sama dengan ilmu-ulmu praktis.

Pembagian ilmu-ilmu praktis mengikuti kaidah praksis yang bersangkutan.

Misalnya, etika menyangkut tindakan yang tepat; politik menyangkut bagaimana

memperoleh, menggunakan dan mempertahankan kekuatan, serta kekuasaan yang

dimiliki. Dengan kata lain, filsafat praktika memberi petunjuk dan pedoman bagi tingkah

laku manusia yang baik dan sebagaimana mestinya. Sasaran terpenting bagi filsafat

praktika ialah membentuk sikap dan perilaku yang akan menstimulasi manusia bertindak

secara ilmiah sekaligus etis. Begitu pula bidang lain, seperti poetika yang menyangkut

produksi yang tepat (membikin sesuatu dengan tepat) dan logika menyangkut

argumentasi yang tepat. Sementara itu, ilmu-ilmu teoritis tertentu bertumpu pada prinsip
10

pengelompokan yang lain, yaitu prinsip mengenai cara melihat realitas menurut aspek-

aspeknya yang material dan kualitatif. Jadi, filsafat spekulatif atau teoritis bersifat

objektif dengan tujuan pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri. Matematika atau ilmu

pasti tidak memperhatikan aspek-aspek material dan kualitatif tetapi hanya memandang

aspek-aspek kuantitatif. Akhirnya, metafisika melihat realitas menurut aspek-aspeknya

yang paling umum dan fundamental, yaitu sejauh realitas itu ada.

Mengingat kekayaan khazanah pemikiran Aristoteles, maka untuk dibahas secara

komprehensif dan terpisah-pisah dalam suatu tulisan adalah amat sulit, apalagi pemikiran

tersebut terkait satu sama lain. Ketika berbicara masalah negara sebagai konteks

misalnya, maka aspek politik dan hukum justru mewarnai isinya. Oleh karena itu, pada

uraian berikut hanya akan dikembangkan beberapa bidang secara bersama-sama.

Ajaran Aristoteles tentang negara berkaitan erat dengan ajarannya tentang etika.

Dapat dikatakan bahwa ajaran Aristoteles tentang negara mewujudkan lanjutan dan

penyelesaian ajarannya tentang etika. Hal ini dapat dipahami karena filsafat politik klasik

senantiasa bermuara pada etika yang pada saat itu menduduki tempat paling mulia di

antara segala cabang filsafat. Persoalan yang dikemukakan dan pertanyaan yang diajukan

merupakan abstraksi moral yang bersumber dari upaya untuk memberi makna bagi

kehidupan individu dan masyarakat. Dengan demikian, ada tujuan lebih pasti dan lebih

agung (lebih etis) yang hendak diraih kendati harus melewati perjuangan yang tidak

kunjung selesai.

Buku daras Aristoteles tentang Etika Nikomacheia dan Politik merupakan buku

klasik filsafat dan sosiologi politik, serta bersama dengan Politeia Platon menjadi dua

paradigma fundamental pendekatan politis, sekaligus sebagai salah satu argumentasi


11

terkuat melawan gambaran dangkal bahwa hanya keterlibatan dalam praksis yang

menghasilkan filsafat bermutu dan bermakna bagi praksis. Walaupun Aristoteles menjadi

pendidik Iskandar Agung dan dari Athena dapat menyaksikan muridnya mendirikan salah

satu kerajaan terbesar dalam sejarah, namun perkembangan politik ketika itu tidak

meninggalkan jejak apa pun dalam filsafat politik Aristotels. Dengan kata lain,

Aristoteles berfilsafat seakan-akan tidak ada bentuk lain dari polis, negara kota Yunani

(Suseno, 2000: 16). Manusia adalah zoon politikon atau mahluk sosial dan mahluk hidup

yang membentuk masyarakat. Demi keberadaan dirinya maka diperlukan persekutuan

dengan orang lain. Untuk keperluan itu, dibutuhkan suatu negara, karena melalui negara

lah masyarakat dapat hidup dengan baik (Hadiwidjono, 1992: 53). Pada sumber lain

dinyatakan bahwa negara adalah he ekoinonia politike (persekutuan yang berbentuk

polis) yang dibentuk demi kebaikan tertinggi (the highest good) bagi manusia. Negara

harus mengupayakan dan menjamin kesejahteraan bersama yang sebesar-besarnya karena

hanya dalam kesejahteraan bersama, kesejahteraan individu dapat diperoleh (Rapar,

2000: 76).

Pandangan ketatanegaraan Aristoteles memiliki keunikan karena tidak semua

bentuk negara adalah baik. Bentuk negara yang buruk ialah tirani, yaitu pemerintahan

oleh seorang lalim, begitu pula bentuk pemerintahan oleh kelompok kecil orang, dan

demokrasi yaitu pemerintahan rakyat oleh orang berpendidikan atau tidak, kaya atau

miskin. Negara yang demikian tidak mungkin mencapai tujuannya. Sebaliknya, menurut

Aristoteles, susunan negara yang tergolong ideal ialah negara “monarki” yaitu

pemerintahan seorang raja atau aristokrasi, dimana pemerintahan dipimpin oleh kaum

ningrat dan politeia yaitu pemerintahan oleh banyak orang. Menurut Aristoteles,
12

alangkah baiknya manakala suat negara diperintah oleh seorang “filsuf-raja” yang

memiliki pengetahuan sempurna dan amat bijaksana karena akan menjamin tercapainya

kebaikan tertinggi bagi warga negara. Akan tetapi di dunia ini tidak mungkin ditemukan

seorang filsuf-raja yang sempurna. Oleh karena itu, Aristoteles menyatakan bahwa yang

penting ialah menyusun konstitusi terbaik yang menjadi sumber kekuasaan dan pedoman

pemerintahan bagi para penguasa. Dengan kata lain, bentuk yang paling baik ialah

politeia yang bersifat demokratis-moderat atau demokrasi dengan undang-undang dasar,

sebab hak memilih dan dipilih bukan pada semua orang, melainkan pada golongan tengah

yang memiliki senjata dan telah biasa berperang. Bentuk pemerintahan ini lah yang

memberikan jaminan terkuat, bertahan lama, dan terhindar dari perbuatan yang

berlebihan.

Hal yang juga amat penting dicatat ialah Aristoteles tidak menyelesaikan ajarannya

tentang negara yang ideal itu. Setelah zaman Aristoteles, pemerintahan kota (polis) mulai

mengalami kemerosotan. Tafsir (2000: 62) dan Hadiwijono (2000: 53) menjelaskan

bahwa kemunduran filsafat sejalan dengan kemunduran politik ketika itu, yaitu sejalan

dengan terpecahnya menjadi bagian-bagian kecil imperium besar yang dibangun oleh

Alexander.

Pada uraian Aristoteles tentang politik, juga secara eksplisit dibahas aspek hukum

yang berlaku dalam suatu negara yang terbentuk. Aristoteles berpendapat bahwa hukum

adalah sumber kekuasaan dalam negara (Rapar, 2000: 14). Hal ini didasarkan pada

asumsi bahwa, jika hukum menjadi sumber kekuasaan maka baru lah pemerintahan

penguasa terarah untuk kepentingan (interest), kebaikan dan kesejahteraan umum

(bersama). Hukum sebagai sumber kekuasan harus memiliki kekuasaan dan kedaulatan
13

tertinggi dalam negara. Bagi Aristoteles hukumlah yang seharusnya memiliki kedautan

tertinggi, bukan manusia, karena bagaimana pun arifnya penguasa tidak mungkin dapat

menggantikan kedudukan hukum.

Aristoteles adalah filsuf pertama yang membedakan antara customary laws (hukum

kebiasaan) dengan written laws (hukum tertulis). Hukum kebiasaan ialah landasan dari

segala pengetahuan dan pengalaman manusia di sepanjang masa. Oleh sebab itu, hukum

kebiasaan bersifat abadi, berlaku dengan sendirinya dan pada dasarnya unchangeable.

Sementara itu, hukum tertulis seluruhnya dibuat, disusun dan diterapkan oleh manusia,

serta bersifat changeable sesuai dengan keadaan dan kebutuhan manusia.

Kaitan Pemikiran Filsuf Sebelum dan Sesudah Aristoteles

Pemahaman penting yang dapat ditarik dari uraian berikut ialah kreativitas

Aristoteles mengeritik pemikiran gurunya, Plato, sembari upayanya melahirkan

pemikiran baru yang menjadi fundamental bagi pembentukan dan perkembangan ilmu

pengetahuan. Lebih daripada itu, perkembangan penting dalam filsafat menurut Tafsir

(2000: 61) dibantu oleh klasifikasi yang diperkenalkan Aristoteles. Aristoteles tertarik

pada fakta spesifik dan umum (universal) sekaligus. Pada satu sisi, Aristoteles

mementingkan observasi, yaitu memulai dari gejala partikular menuju konklusi universal.

Jadi, induksi menuju generalisasi. Pada situasi ini pula tampak perbedaannya dengan

Plato, karena sangat tertarik pada pengetahuan kealaman dalam filsafat. Poespowardojo

(Kuliah: 5 Desember 2000) secara lugas menyatakan bahwa Aristoteles mengakui bahwa

setting pengetahuan harus bertolak dari pengalaman atau penginderaan. Pada sisi lain,
14

penalaran silogistik deduktif yang diperkenalkan juga merupakan bukti bahwa Aristoteles

menerima pendekatan deduktif.

Plato dianggap sebagai representasi filosof sebelum Aristoteles karena Plato

merupakan “guru” Aristoteles dan yang terpenting ialah “kesamaan” pemikirannya dalam

mengajarkan dua jenis pengenalan, yakni pengenalan inderawi dan pengenalan rasional

(Hadiwijono: 2000: 52). Meskipun Aristoteles “berat sebelah” karena menganggap hanya

pengamatan rasional yang membimbing ke arah ilmu pengetahuan.

Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang bentuk

benda tanpa materinya. Hal ini sama dengan lilin yang padanya diberikan cap. Lilin itu

hanya menerima bentuk cap, bukan capnya, karena kualitas telah tersirat dalam bendanya

sendiri. Di sini, pengetahuan inderawi berkaitan dengan hal-hal konkrit dari suatu benda

tertentu. Sementara itu, pengenalan rasional atau rasio itu sendiri dapat mengenal hakekat

dan jenis sesuatu. Pengamatan rasional ini lah yang memimpin kepada ilmu pengetahuan

(sains). Lebih jauh Aristoteles menyatakan, ilmu pengetahuan hanya terdiri dari

pengenalan rasional saja, artinya tidak ada ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang

konkrit. Ilmu pengetahuan hanya tentang hal-hal yang umum dan jalan menuju ilmu

pengetahuan adalah abstraksi. Jalan abstraksi dapat dimisalkan bahwa, jika melihat meja

bundar, meja persegi panjang, meja segi tiga dll, maka hakekat meja dilepaskan dari

semua atribut yang diamati itu. Akal atau rasio tidak memiliki ide-ide bawaan, rasio

melepaskan atau mengabstraksikan ideanya dari benda konkrit itu.

Aristoteles, murid Plato, meneruskan ajaran gurunya, tetapi juga melakukan

perubahan mendasar pada berbagi segi (Verhaak dan Imam, 992: 94). Intuisi diganti

dengan abstraksi. Tekanan pengetahuan apriori diganti menjadi tekanan pada pengamatan
15

aposteriori dan sebelum cara kerja deduksi boleh dipakai dalam filsafat, Aristoteles

menuntut jalan induktif dari gejala-gejala menuju asas-asas yang dapat menjadi titik

pangkal deduksi. Aristoteles menekankan pengetahuan tentang objek dan dengan

demikian menjadi tokoh pertama yang secara luas menjalankan penelitian ilmiah empiris.

Upayanya ini cukup identik dengan apa yang kini dianggap ilmu alam. Sementara itu,

Aristoteles sekaligus mengembangkan filsafat dan sudah membedakan secara jelas tiga

jenis abstraksi. Pertama, dalam bidang ilmu alam (abstraksi ciri-ciri individu). Kedua,

dalam bidang matematika (abstraksi semua ciri material kecuali yang dapat diukur dan

dihitung). Ketiga, dalam bidang metafisika (abstraksi segala materi nyata untuk mencapai

asas-asas pembentukannya).

Dalam kaitannya dengan pakar yang datang kemudian, maka ada beberapa filosof

atau tokoh yang penting dikemuakan, karena selain menerjemahkan dan meneruskan,

juga ada yang mengeritik sembari melengkapi pemikiran Aristoteles. Boethius sebagai

filsuf Romawi terakhir, sekaligus filsuf Skolastik pertama, menerjemahkan beberapa

karya Aristoteles mengenai logika ke dalam bahasa Latin. Boethius juga menulis

beberapa traktat tentang logika Aristoteles, sehingga dianggap sebagai ‘guru logika’ pada

abad pertengahan sampai abad ke-12. Selain itu, Thomas Aquinas yang menjadikan

pemikiran Aristoteles sebagai sumber utama ajaran filsafatnya, meskipun dalam

uraiannya tentang principia (asas-asas), Thomas nampaknya lebih menekankan intuisi

(Verhaak dan Imam, 1992: 99).

Ibnu Sina selaku filsuf zaman keemasan Skolastik menggabungkan ajaran

Aristoteles dengan pemikiran neoplatoisme. Percobaan untuk mengadakan suatu sintesis

ajaran yang begitu berlainan sangat diringankan karena dalam dunia Arab terdapat
16

keyakinan bahwa dua karya filsafat dikarang oleh Aristoteles, padahal sesungguhnya

berasal dari kalangan neoplatoisme. Karya yang dimaksud adalah Theologia Aristotelis

(teologi Aristoteles) dan Liber de Causis (kitab membahas penyebab-penyebab). Hal

terpenting dari Ibnu Sina ialah ketika memperkenalkan istilah “intelek”, yakni yang

mengeluarkan jiwa manusiawi dan menguasai bumi beserta seluruh isinya, padahal istilah

itu berasal dari Aristoteles (Bertens, 2000: 30).

Ibn Rushd yang sangat mengagumi sekaligus banyak mengomentari karya

Aristoteles sehingga digelari “sang komentator” ditampilkan karena sama dengan Ibnu

Sina, yakni dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles. Pemikiran Ibnu Rushd mengenai dua

hal, yakni Allah yang dianggap penyebab yang menciptakan segala sesuatu dan

“monopsikisme (ajaran yang banyak menyebabkan kericuhan dalam dunia Skolastik

sepanjang abad pertengahan) merupakan suatu interpretasi atas beberapa baris karangan

Aristoteles. Dengan kata lain, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd menjadikan pemikiran

Aristoteles sebagai sumber inspirasi utama pemikirannya (Bertens, 2000: 32).

Rene Descartes dengan kesangsian metodisnya ditampilkan karena tidak puas

dengan filsafat pada zamannya yang didasarkan atas dalil Aristoteles (Suseno, 2000: 70).

Sementara itu, Hegel menjadikan pemikiran Aristoteles sebagai tesis vis-à-vis pemikiran

Immanuel Kant sebagai antitesis. Namun, pada akhrinya Hegel tetap kembali kepada

insight Aristoteles bahwa hidup etis terlaksana dalam partisipasi pada kehidupan polis,

kehidupan kenegaraan kota. Bagi Aristoteles, berpolitik dalam arti partisipasi dan

beretika adalah sama (Suseno, 2000: 113 dan Bertens, 2000: 68).

Jurgen Habermas, sebagai tokoh mazhab Frankfurt, memahami praksis Aristoteles

sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat. Dengan demikian,


17

teori kritis Habermas untuk melahirkan masyarakat komunikatif juga diinspirasi oleh

pemikiran etis Aristoteles (Suseno, 2000: 176). Meskipun demikian, pemikiran Francis

Bacon de verulam juga penting disajikan dalam bagian penutup tulisan ini karena justru

mengeritik pandangan Aristoteles mengenai keistimewaan ilmu empiris yakni ilmu yang

tidak berpamrih dan tidak mencari untung. Bacon menyatakan bahwa ilmu pengetahuan

baru bermakna jika meningkatkan kekuasaan manusia, baik atas alam maupun dengan

sesama manusia sesuai ungkapan knowledge is power. Implikasinya ialah semua ilmu

pengetahuan alam dipisahkan secara definitif dari filsafat sebagai ilmu pengetahuan

(Sutrisno dan Hadirman, 1992: 149 dan Suseno, 2000: 176). Menurut Bertens (2000: 44),

Bacon adalah salah seorang pemikir yang dianggap meletakkan dasar filosofis untuk

perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan modern.

Penutup

Perkembangan ilmu pengetahuan selama berabad-abad dilatarbelakangi asumsi

tentang ilmu pengetahuan khazanah pemikiran filosof Yunani kuno. Salah seorang filosof

yang representatif di masanya ialah Aristoteles, karena telah menata fundamen bagi

pembentukan dan perkembangan ilmu pengetahuan (sains) modern. Dalam uraiannya

tentang pengetahuan dan ilmu pengetahuan, Aristoteles membedakan theoria dengan

praxis, sekaligus membedakan pengetahuan teoritis dan pengetahuan praktis. Pemikiran

pertama dikembangkan demi pengetahuan itu sendiri oleh manusia yang pada dasarnya

sangat menggemari pengetahuan. Sedangkan pengetahuan praktis dianggap agak

menjauh dari pengetahuan yang benar karena lebih merupakan keterampilan. Begitu pula
18

tentang metode ilmu pengetahuan, dipengaruhi oleh pemikiran para filsuf Yunani Kuno,

khususnya Aristoteles.

Metode silogistis deduktif yang dikaitkan dengan logika, merupakan sisi amat

penting yang mewarnai khazanah pemikiran Aristoteles. Signifikansi hal itu terlihat dari

pengakuan bahwa Aristoteles adalah pelopor, penemu atau Bapak Logika, meskipun

istilah logika itu sendiri tidak pernah digunakan, melainkan pertama kali digunakan oleh

Zeno, pendiri Stoisisme. Selain itu, keberagaman ajaran Aristoteles yang terlihat dari

berbagai bidang ilmu, seperti matematika, logika, politik, hukum, etika dan lain-lain,

merupakan sisi penting lainnya yang menunjukkan keluasan dan kedalaman khazanah

pemikirannya, apalagi setelah dimatangkan oleh filsuf lain.

Kaitan pemikiran Aristoteles dengan filosof sebelumnya, khususnya Plato,

didasarkan pada alasan bahwa selain Plato sebagai guru Aristoteles, juga dan yang

terpenting ialah adanya kesamaan pemikiran keduanya dalam mengajarkan dua jenis

“pengenalan”, yakni pengenalan inderawi dan pengenalan rasional. Dua pengenalan ini

lah yang membimbing ke arah pembentukan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan

filsafat. Plato mengutamakan model ilmu apriori, sedangkan Aristoteles memadukan

model apriori dan aposteriori. Sementara itu, dalam kaitannya dengan filsuf yang datang

kemudian maka selain banyak filosof atau tokoh yang meneruskan pemikiran Aristoteles,

juga banyak pemikiran Aristoteles yang dikritik (Boethius menerjemahkan beberapa

karya Aristoteles mengenai logika ke dalam bahasa Latin; Thomas Aquinas menjadikan

pemikiran Aristoteles sebagai inti ajaran filsafatnya; Ibnu Sina menggabungkan ajaran

Aristoteles dengan pemikiran neoplatoisme; Ibn Rushd sangat mengagumi sekaligus

mengomentari karya Aristoteles sehingga digelari sang komentator; Descartes tidak puas
19

dengan filsafat pada zamannya karena dipengaruhi dalil Aristoteles; Hegel menjadikan

pemikiran Aristoteles sebagai tesis; sampai pada Jurgen Habermas memahami praksis

Aristoteles sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat).

Akhirnya, pemikiran Francis Bacon de verulam penting dikemukakan karena

sangat kritis terhadap pandangan Aristoteles mengenai keistimewaan ilmu-ilmu empiris,

yakni yang tidak berpamrih atau tidak mencari untung. Menurut Bacon ilmu pengetahuan

baru bermakna jika mampu meningkatkan kekuasaan manusia, baik atas alam maupun

dengan sesama manusia sesuai ungkapan “knowledge is power”. Implikasi dan

rekomendasinya ialah semua ilmu pengetahuan alam harus dipisahkan secara definitif

dari filsafat sebagai ilmu pengetahuan. Namun, “kecurigaan” Bacon itu pun perlu dikritisi

karena nampaknya hanya memahami serpihan pemikiran Aristoteles yang ternyata sangat

komprehensif dan prospektif bagi pembentukan dan perkembangan sains modern hingga

dewasa ini.
20

Daftar Bacaan

Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta.


Bertens, K. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius Yogyakarta.
_________. 1999. Etika, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Delfgraauw, Berhard. 1992. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. PT Tiara Wacana
Yogyakarta.
Hadiwijono, Harun. 1992. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Kanisius Yogyakarta.
Hardiman, F Budi. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat, Politik dan
Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas, Kanisius Yogyakarta.
Lodge, Rupert. 1949. The Great Thinkers. Routledge and Keegan Paul Limited London.
Poespowardojo, Soerjanto. 2000. Bahan Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan, Program
Doktor FISIP Universitas Indonesia.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat. Kanisius Yogyakarta.
Saefuddin, Ahmad Muflih. 1987. Desekularisasi Pemikiran, Mizan Bandung.
Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Kanisius Yogyakarta.
Sutrisno, F.X Mudji dan F. Budi Hardiman. 1992. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman,
Kanisius Yogyakarta.
Tafsir, Ahmad. 2000. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra, PT
Remaja Rosdakarya Bandung.
Verhaak, C dan Haryono Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara
Kerja Ilmu-Ilmu. PT Gramedia Jakarta.

You might also like