You are on page 1of 2

Tan Joe Hok

Selalu punya cita-cita, punya tujuan. Sikap hidup inilah yang membuat Tan Joe Hok—satu-satunya pebulu
tangkis anggota tim Piala Thomas 1958 yang masih tersisa—meraih sukses demi sukses dalam hidupnya.
Bahkan, dalam usia senja sekalipun, ia masih punya cita-cita.

Kita hidup, menurut Tan Joe Hok (71), memang selalu harus punya attainable goal, tujuan yang bisa kita
capai. Kalau tidak punya cita-cita, itu sama halnya dengan kapal yang tanpa tujuan di tengah lautan, lalu
limbung diombang-ambingkan ombak.

Ketika ia masih kecil, misalnya. Mungkin sekitar umur 12 tahun. Si kecil Tan Joe Hok di Kampung Pasir
Kaliki, Bandung, juga punya cita-cita sederhana, "ingin hidup berkecukupan, bisa makan".

Maklumlah. Masa itu, setelah perang kemerdekaan, sungguh sebuah masa yang sangat sulit. Bisa makan pun
masih untung.

"Saya bawa keinginan itu dalam doa, 'Ya Tuhan, bawalah saya kepada apa yang saya impikan, apa yang saya
tuju...'," tutur Tan Joe Hok.

Si kecil Tan lalu merintis tujuannya itu melalui bulu tangkis. Berlatih di lapangan yang dibangun ayahnya, di
depan rumah mereka. Dan, ikut bergabung di klub Blue White, Bandung, ketika ia ditawari Lie Tjuk Kong.
Siapa tahu bisa berkecukupan dari bulu tangkis....

Tentu bukan tanpa upaya untuk meraih cita-citanya. Ia biasa berlatih keras dari pagi-pagi buta (sampai
sekarang pun Tan Joe Hok terbiasa bangun pukul 04.15 dan senam di gym pribadinya untuk tetap menjaga
kebugarannya di usia senja, di rumahnya di kawasan Jalan Mandala, Pancoran, Tebet, Jakarta).

Pintu menuju tujuan sederhananya mulai terkuak lima tahun kemudian di Surabaya tahun 1954.

"Saya mengalahkan Njoo Kiem Bie dan tampil sebagai juara nasional pada usia 17 tahun," katanya. Setelah
sukses pertamanya itu, pintu-pintu cita-cita seperti mulai terbuka.

"Saya mulai diundang ke kanan, ke kiri, dan saya pun diundang ke India bersama (pasangan juara All
England) Ismail bin Mardjan dan Ong Poh Lin," tutur Tan.

Mulailah Tan pergi keliling India—ke Bombay, New Delhi, Calcutta, Ghorapur, Jabalpur, dan kota lainnya di
India. Keliling lebih dari setengah bulan, pulangnya mampir di Bangkok dan Singapura (Malaya,
waktu itu).

"Ismail tidak hanya menjadi kawan seperjalanan saya, tetapi juga sahabat saya," ungkap Tan Joe Hok, tentang
pemain Melayu itu. Dari mulut Ismail pula terembus cita-cita kedua Tan Joe Hok yang mulai
"bisa hidup berkecukupan".

"Ismail bin Mardjan bilang kepada saya, ini saya tak akan lupakan, 'Eh, Joe Hok, kamu akan menjadi yang
terbaik di dunia. Asalkan kamu latihan keras seperti sekarang. Tetapi jangan hidupnya kayak saya
ini...'," tutur Ismail bin Mardjan.

Ketika mampir di rumah Ismail di Malaya, barulah mengerti apa arti kata Ismail "jangan hidupnya kayak
saya".

"Jangan bayangkan Singapura seperti sekarang ini. Rumah Ismail ada di kampung, kotor, dan sungainya
hitam, berbau," tutur Tan. Sore hari, pukul 18.00, Ismail selalu pamit kepada Tan Joe Hok. Ternyata, guna
menyambung hidupnya, sang juara All England itu harus bekerja jadi petugas satpam, dari pukul 6 petang
sampai pukul 6 pagi.

"Doa" Ismail kepada Tan Joe Hok itu rupanya terwujud. "Saya kerja keras dan rupanya doa itu dikabulkan.
Saya diundang ke (kejuaraan bulu tangkis paling bergengsi—sebuah kejuaraan dunia tak resmi) All England,
ke Kanada dan Amerika Serikat. Ketiga-tiganya saya juara dalam kurun waktu sekitar tiga minggu," tutur Tan
Joe Hok.
Tak hanya berhasil tampil sebagai orang Indonesia pertama yang mampu juara All England, pada tahun 1959,
Tan Joe Hok rupanya juga memikat publik di Amerika Serikat.

"Saya dimasukkan di majalah Sports Illustrated," tutur Tan Joe Hok. Majalah itu masih rapi disimpannya dan,
memang, profil Tan Joe Hok menghiasi dua halaman majalah tersebut, terbitan 13 April 1959.

"Wonderful World of Sports. Tan Joe Hok Takes Detroit...", tulis majalah tersebut. Ada satu foto besar Tan Joe
Hok yang berselonjor dengan kedua telapak kaki telanjangnya melepuh-darah, blood-blister,
setelah menjuarai AS Terbuka.

"Ketika dioperasi, isinya darah dan nanah," tutur Tan Joe Hok. Hadiah juaranya? Tan Joe Hok mendapat
kesempatan untuk meninjau pabrik mobil di Detroit.

Cita-cita apa lagi? Menurut Tan Joe Hok, semua impiannya sejak masa kecil dan juga ketika remaja sudah
tercapai semua. Cita-cita berikutnya, Tan Joe Hok ingin menggapai sukses dalam studi.

Sejak tahun 1959 itu, Tan Joe Hok studi di Texas, memenuhi beasiswa dari Baylor University Jurusan
Premedical Major in Chemistry and Biology.

"Antara tahun 1959-1963 (saat menyelesaikan studi di Baylor), saya masih sempat pulang untuk
mempertahankan Piala Thomas 1961 di Jakarta serta 1964 di Tokyo. Tahun 1962, saya juga pulang untuk
Asian Games," kata Tan Joe Hok, yang menjadi atlet bulu tangkis pertama yang meraih
medali emas di arena Asian Games.

Meski demikian, ada juga "pengorbanan" yang dilakukan Tan Joe Hok untuk bulu tangkis. Gara-gara ia harus
pulang untuk mempertahankan Piala Thomas di Tokyo 1964, studi S-2-nya di Baylor gagal lantaran
kurang empat jam kredit (credit hours), maka dia tak lulus, tutur Tan Joe Hok.

Situasi konfrontasi, Bung Karno mencanangkan "Ganyang Malaysia" dan "Ganyang Antek Imperialis",
membuat Tan Joe Hok mengurungkan niatnya untuk kembali ke AS meneruskan studi S-2. Ia lalu tinggal di
Tanah Air.

"Apa kata Bung Karno, saya nurut saja. Saya malah sempat main di perbatasan Kalimantan sampai ke
Mempawah, menghibur sukarelawan kita di medan perang," ungkap Tan Joe Hok.

"Dulu Ganyang Amerika, eh, tahun 1965 giliran Ganyang China. Dampaknya, kita yang nggak ngerti apa-apa
jadi kena," tutur Tan Joe Hok.

Di pelatnas Senayan pun terjadi perubahan drastis. Suatu siang, di flat atlet—kini Plaza Senayan—Kolonel
Mulyono dari CPM Guntur, Jakarta Pusat, mengumpulkan para atlet.

"Kami semua disuruh ganti nama begitu saja. Pak Mulyono yang tentukan," tutur Tan.

Maka, anggota-anggota Piala Thomas pun "diberi nama" Indonesia, Ang Tjing Siang menjadi Mulyadi, Wong
Pek Sen menjadi Darmadi, Tan King Gwan menjadi Dharmawan Saputra, Lie Tjuan Sien menjadi Indra
Gunawan, Tjiong Kie Nyan menjadi Mintarya, Lie Poo Djian menjadi Pujianto, dan Tjia Kian Sien menjadi
Indratno.

"Saya diberi nama Hendra oleh (Panglima Kodam Siliwangi) HR Dharsono. Kartanegara saya karang sendiri,
pokoknya ada 'tan'- nya," papar Tan Joe Hok.

Ternyata tak sesederhana pergantian nama. Perlakuan terhadap Tan Joe Hok dan kawan- kawannya itu
ternyata "dibedakan".

Mengurus KTP dan paspor, mereka harus menunjukkan bukti Surat Bukti Kewarganegaraan RI (SBKRI)
meski nyata-nyata bertahun-tahun mereka sebenarnya telah berjuang untuk negeri ini. Itulah namanya
dinamika hidup, terkadang manis, ada waktunya pula pahit-getir.

Source : http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/07/00494886/tan.joe.hok

You might also like